WAKAF DALAM PERSPEKTIF FIKHI DAN
HUKUM NASIONAL
Muh.
Sudirman Sesse
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Parepare
Email: sumantri123@yahoo.com
Abstract: Waqf
is one of philanthropy institutions in Islam. Debates on which have been
coloring of dynamical thought of Islam law, occurred since classical Islamic
scholar until modern one. Topics
is concerning with existenie of
waqif, mauquf ‘alaih (nadzir), mauquf (object), and sighat
(proclamation). Fiqh and Indonesian rule, called UU (red. Act) are giving deepest attention and analysis. The latest makes combination
and accommodation to reconstruct and widen of the implementation scope of waqf.
It is due to reinterpretation derived from earliest concept, and public welfare
reached is as final objeitive of
its philanthropy based on new interpretation. This paper is also going to elaborate some new issues like cash waqf
(waqf al-nuqud) and productive waqf,
emerged from lack of
propessionalism and mismanagement of waqf object. Tese elaborations presented to analysis content substance of
the Act 41/2004 as compromised solution conducted by the Rule.
Kata Kunci: waqh
al-nuqud, dan wakaf produktif
I. PENDAHULUAN
Wakaf merupakan salah satu bentuk kegiatan ibadah yang
sangat dianjurkan bagi umat Islam karena pahala wakaf akan selalu mengalir
meskipun sang wakif telah wafat. Dalam sejarahnya, wakaf merupakan instrumen maliyah, yang
sebagai ajaran ia tergolong pada syariah yang bersifat sakral dan suci, tetapi
pemahaman dan implementasi wakaf tersebut tergolong pada fiqh (upaya yang
bersifat kemanusiaan); karena itu, bisa dipahami bahwa praktik dan realisasi
wakaf tersebut terkait erat dengan realitas dan kepentingan umat di
masing-masing negara muslim (termasuk Indonesia).1
Di beberapa negara, wakaf secara serius dijadikan
sebagai media untuk mensejahterakan rakyat di samping pen-dapatan negara yang lain. Kekekalan objek wakaf menjadi
salah satu doktrin utama untuk melestarikan keberadaannya dan modifikasi pemanfaat
yang bervariasi menjadi inovasi pemberdayaan harta wakaf sehingga tidak statis
dan stagnan. Wakif mengalami perubahan bentuknya, tidak hanya wakif perorangan
tetapi juga wakif lembaga (baca: badan hukum), yang dituntut kredibilitas dan
akunta-bilitasnya. Demikian
pula dengan keber-adaan
nadzir yang profesional menjadi pilihan dan keniscayaan zaman modern sekarang
ini dalam mengemban amanat untuk mengelola harta wakaf.
Hal-hal tersebut yang menjadi fokus kajian pada tulisan ini yang
lebih rinci disebar dalam sub kajian mengenai wakaf ditinjau dari fiqh
muamalah, wakaf ditin-jau
dari hukum nasional, transformasi aturan wakaf dari fiqh ke hukum nasional, dan
implikasi sosial wakaf yang muncul dari aturan hukum yang ditetapkan di
Indonesia.
Sebagai acuan dalam pembacaan tulisan ini, penulis memberikan
catatan bahwa tulisan ini tidak akan memper-bincangkan perdebatan tentang keber-adaan istilah fiqh secara umum, tetapi terkonsentrasi pada
wacana fiqh klasik tentang wakaf dan hal-hal yang terkait. Hukum nasional yang
dimaksud adalah semua aturan yang dibuat oleh aparatur negara, baik pemerintah
maupun Dewan. Tetapi fokus hukum nasional yang dianalisis dalam tulisan ini
adalah UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, meskipun tidak menutup kemungkinan
juga mengambil aturan hukum nasional yang lain. Tulisan ini menggunakan
pendekatan deskriptif referensial dengan nuansa kajian fiqh muamlat dan hukum
Islam, yang selalu mengalami perubahan seiring dengan bersentuhannya institusi
wakaf dengan realitas sehingga keniscayaan munculnya ijtihad baru tak
terelakkan.
II. PEMBAHASAN
A.
Wakaf dalam perspektif Fikhi
Wakaf dilihat dari sudut fiqh meng-alami perbincangan yang sangat menarik, meskipun terkadang objek
perbincangan-nya
lebih menitik-beratkan
pada unsur wakaf. Menariknya pula baik ulama klasik maupun modern tidak akan
lepas dari kajian tersebut. Secara sistematis sub bab ini mengkaji pengertian,
dasar hukum, unsur, bentuk-bentuk wakaf.
1.
Pengertian
Wakaf
Wakaf, berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari kata “waqafa-yaqifu-waqfan Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar
dari “habasa-yahbisu-habsan” artinya
menahan.2 Dalam bahasa Arab,
istilah wakaf kadang-kadang bermakna objek atau benda yang diwakafkan (al-mauquf
bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang
dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, term wakaf dapat bermakna
objek yang di-wakafkan
atau institusi.3
Menurut istilah meskipun terdapat
perbedaan penafsiran,
disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan
hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya.4 Adapun
perbedaan pen-dapat para ulama fiqh dalam men-definisikan wakaf diakibatkan
cara penafsiran dalam memandang hakikat wakaf. Perbedaan pendangan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:5
Menurut Abu Hanifah “Wakaf adalah
menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap miliki si wakaf dalam rangka
mempergunakan man-faatnya untuk kebajikan”. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif,
bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif
wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang
timbul dari wakaf hanyalah “menyum-bangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafiyah mendefinisikah “wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang
berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menye-dekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan
datang”.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa
wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun
wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat me-lepaskan kepemilikannya
atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaat-nya serta
tidak boleh menarik hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah,
atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa
tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta
menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi mem-bolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan,
yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap milik si
wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak
boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.
Madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan sebagian Hanafiyah. Madzhab
ini berpendapat bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil
manfaatnya dengan mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif
untuk mendayagunakan harta tersebut. Wakif tidak boleh melakukan apa saja
terhadap harta yang diwakafkan. Berubahnya status kepemilikan dari milik
seseorang, kemudian diwakafkan menjadi milik Allah. Jika wakif wafat, harta
yang diwakafkan tersebut tidak dapat di-warisi oleh ahli waris. Wakif menyalur-kan
manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (orang yang diberi
wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif tidak dapat melarang
menyalurkan sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka qadhi berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu madzhab
ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda, yang ber-status
sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan
(sosial).
2.
Dasar
hukum wakaf
a.
Wakaf
dalam Alquran
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè?
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
(QS. Al-Hajj (22): 77)
Kata khair (kebaikan) yang secara umum dimaknai
salah satunya dalam bentuk memberi seperti wakaf, dan berlaku untuk
bentuk-bentuk charity atau endowment yang lain yang bersifat
filantropi, tentunya dalam ajaran Islam.
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Terjemahnya:
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah menge-tahuinya”.
(QS. Ali Imran (3): 92)
Berbeda dengan kata khair (kebaikan), kata birr
(kebaikan) terkait erat dengan kata infaq (memberi). Kata birr ini
terletak antara huruf lan (mengandung makna tidak untuk selamanya) dan hatta
(hingga atau sampai yang berhubungan dengan tindakan). Sehingga ada 3 kata
kunci pada ayat ini sehingga sering kali dijadikan dalil utama dalam wakaf yang
bersumber dari alquran, (1)
kebaikan, (2) tindakan infak, dan (3) harta yang dimiliki adalah paling
dicintai. Psikoanalisis mengatakan tidak mungkin orang memberikan harta yang
paling dicintai kepada orang lain demi kebaikan. Salah satu analisis itulah
sehingga kebaikan dalam konteks kata birr sulit untuk dilakukan. Oleh
para penafsir model infak seperti ini, digolongkan sebagai wakaf, bukan bentuk
pemberian yang lain.
b.
Wakaf
dalam Hadis
Ada beberapa hadis yang dianalisis menjelaskan tentang
wakaf. Hadis-hadis tersebut antara lain:
عَنْ
اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَُ قَالَ: أَنَّ النَّبِيُّ
صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: اِذَا مَاتَ ابْنُ أَدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ
اِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمِ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ
صَاِلحٍ يَدْعُوْا لَهُ6.
Artinya:
“Dari
Abi Hurairah r.a. sesunggunya Rasulullah Saw berkata: jika seseorang telah
meninggal dunia, maka terputuslah semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu
sadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kepadanya
(kepada orang tuanya)”.
Para ahli hadis dan kebanyakan ahli fiqh
mengidentifikasi bahwa wakaf termasuk sadaqah jariyah, kecuali
al-Dzahiri. Dalam hadis tersebut bahwa sadaqah jariyah direalisasikan
dalam bentuk wakaf yang pahalanya mengalir terus menerus kepada si wakif.
Hadis yang lebih tegas meng-gambarkan
dianjurkannya wakaf, yaitu hadis riwayat Ibn Umar tentang tanah khairbar.
Berikut bunyi hadis tersebut:
عَنْ
اَبِي عُمَرْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ عُمَرَبْنِ اْلَخطَّابِ اَصَابَ أَرَضًا
بِخَيْبَرِ, فَاَتَي النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَسْتَأْمَرُهُ
فِيْهَا, فَقَالَ:يَارَسُوْلُ
الله إِنِّي أَصَبْتُ أَرَضًا بِخَيْبَرٍ لَمْ أُصِبَ مَالًا قَطُّ اَنْفَسَ
عِنْدِيْمِنْهُ
فَمَاتَُأْمَرُبِهِ, قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسَتْ اَصْلَهَا وَتَصَدَّقَ بِهَاقَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَاعُمَرَ, إِنَّهُ لَايُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ
وَلَايُوْرَثُ,
وَتَصَدَّقَ
بِهَا فِى اْلفُقَرَاءِ وَفِى اْلقُرْبَى وَفِى الرِّقَابِ وَفِى سَبِيْلِ الله
وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ وَلَا جُنَاحَ عَلَى مِنْ وَلِيِّهَا اَنْ
يَأْكُلَ مِنْهِابِاْلَمْعُروْفِ وَيُطْعَمُ غَيْرَ مَتَمَوُّل7 ( متفق عليه)
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra. Bahwasanya Umar bin Khattab mendapat bagian
sebidang kebun di Khaibar, lalu ia
datang kepada nabi saw. untuk menerima nasehat tentang harta itu, ia berkata: Ya
Rasulallah, sesung-guhnya aku telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang
aku belum pernah memperoleh tanah seperti itu, apa nasehat engkau kepadaku
tentang tanah itu?. Rasulullah menjawab: Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu
dan bersedekalah dengan hasilnya. Berkata Ibnu Umar: Maka Umar bin Khattab
mewakafkan harta itu dengan arti bahwa
tanah itu tidak boleh lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ia menyedekahkan
hasil harta itu kepada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdeka-kan budak,
pada jalan Allah, orang yang terlantar dan tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang
mengurusnya (nazir)memakan sebahagian harta itu secara patut atau memberi makan
asal tidak bermaksud men-cari kekayaan.
Dari hadis inilah
muncul berbagai penafsiran yang secara substantif memperbincangkan (1) Esensi wakaf,
antara dzat benda dan manfaat benda, (2) status kepemilikan harta wakaf, (3) konsekuensi kepemilikan me-munculkan 3
larangan yang meng-iringi perlakuan terhadap benda wakaf, yaitu tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan diwariskan, (4) kemestian adanya nadzir, yang memiliki hak konsumsi, dengan syarat tidak berlebihan dan tidak bermaksud
mengambil alih kepemilikan, (5) benda bergerak dan tidak bergerak, yang
belakangan memunculkan wacana wakaf tunai, dan (6) wakaf permanen dan wakaf
temporal.
3.
Unsur
(Rukun) wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Rukun wakaf menurut fiqh ada 4 (empat) macam, yaitu (1) waqif (orang
yang mewakafkan), (2) Mauquf‘alaih (pihak yang diserahi wakaf), (3) Mauquf (harta yang diwakafkan), (4)
Shighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakaf-kan).8
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
Waqif adalah pihak yang mewakaf-kan.
Wakif harus mempunyai keca-kapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelan-jakan hartanya (tasharruf al-mal). Kecakapan tersebut meliputi 4 kriteria,9 yaitu: (1) Merdeka; (2) Berakal sehat, (3) Dewasa (baligh), (4)
tidak dibawah pengampuan.11
Berkenaan dengan pelepasan benda wakaf oleh wakif muncul perbedaan pendapat tentang status
kepemilikan benda yang sudah diwakafkan. Kepe-milikan,
hanya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa harta yang diwakaf-kan
adalah tetap milik si wakif. Pendapat ini berimplikasi pada kewe-nangan wakif untuk men-tasharuf-kan harta wakaf sesuai dengan keinginan-nya, termasuk menghibahkan,
menjual dan mewariskan. Ia memandang bahwa wakaf itu seperti ariyah (pinjam
meminjam), di mana benda di tangan peminjam sebagai pihak yang meng-ambil manfaat benda tersebut. Menurut-nya
wakaf mempunyai kepastian hukum hanya dalam tiga hal: (1) wakaf masjid, (2)
wakaf bila diputuskan oleh hakim, (3) bila benda wakaf dihubungkan dengan
kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.12 Selain Abu Hanifah, Imam Malik juga berpendapat sama bahwa harta
wakaf masih milik si wakif. Pendapat inilah yang mem-pengaruhinya hingga ada pembedaan antara wakaf muabbad dan
wakaf muaqqat. Bila muabbad kepemilikan putus, maka muaqat kepemilikan
masih pada wakif.13 Berdasarkan hadis Umar, Imam Malik memandang bahwa tidak ada
indikasi dari hadis tersebut yang menyuruh wakaf untuk selama-nya, sehingga Imam Malik memuncul-kan pembagian
tersebut. Selain dua pendapat tersebut hampir semua sepakat terhadap putusnya
kepemilikan antara harta wakaf dengan wakif dan berpindahnya kepemilikan
menjadi milik Allah. Syafi’i menyamakan
wakaf dengan al-‘itq (pemerdekaan budak). Budak adalah milik tuannya,
tetapi bila ia sudah merdeka, ia men-jadi milik
Allah.14
b. Mauquf ‘alaih (orang yang diberi amanat wakaf)
Mauquf ‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang
diserahi mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga
diartikan peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf ‘alaih sebagai nadzir, dalam literatur fiqh kurang mendapat porsi
pembahasan yang detail oleh para ahli fiqh yang terpenting adalah keberadaan mauquf ‘alaih mampu mewujudkan peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauquf ‘alaih). Hal ini ter-pengaruh
oleh unsur tabarru’ (kebaikan) yang meliputi peruntukan ibadah dan
sosial (umum) kecuali yang bertentangan dengan Islam (ideologi) dan maksiat.
Pengaruh lain adalah karena pemahaman bahwa wakaf termasuk akad sepihak yang
tidak membutuhkan adanya qabul dan salah satu pendapat boleh hukumnya wakaf
kepada diri sendiri.
Berkenaan dengan keyakinan nadzir, menurut Nawawi15 sah hukum-nya wakaf
kepada kafir dzimmi dengan 2 syarat, (1) peruntukan objek wakaf yang
diamanatkan kepada nadzir tidak berupa ibadah bagi muslim, seperti wakaf Qur’an
kepada nadzir kafir dzimmi, dan (2) manfaat benda wakaf oleh nadzir tidak untuk
kepentingan keyakinan si kafir dzimmi seperti wakaf untuk pembangunan gereja
yang difasilitasi oleh nadzir kafir dzimmi.
c. Mauquf (Harta Benda Wakaf)
Perbincangan fiqh mengenai benda wakaf, bertolak pada, pertama,
jenis harta, apakah benda bergerak atau tidak bergerak, atau bisa keduanya.
Madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah tergolong konservatif dengan hanya
membolehkan harta tak bergerak sebagai objek wakaf. Sementara Hanafiyah dan
Malikiyah cenderung membolehkan wakaf harta bergerak. Perbedaan ini muncul dari
perbedaan menafsirkan apakah yang diwakafkan adalah dzat benda atau manfaat
benda. Bila dzat benda maka cenderung benda tidak bergerak yang ternyata jumlah jenisnya
sedikit, sedangkan bila man-faat benda
cenderung benda bergerak yang jumlah jenisnya sangat banyak.
Keterkaitan antara status kepemili-kan wakif terhadap benda wakaf setelah diwakafkan
berimplikasi pada kewenangan atas perlakuan wakif ter-hadap benda wakaf tersebut yang oleh hadis riwayat umar
memuat tiga tin-dakan
yaitu dijual, dihibahkan dan diwariskan. Terhadap hal tersebut Abu Hanifah
menyatakan bahwa harta wakaf masih milik wakif, maka wakif boleh memperlakukan
apa saja ter-hadap
harta wakaf seperti menjual, menghibakan, dan mewariskan ter-masuk mengagunkan harta benda wakaf. berbeda dengan Hanafi, Maliki sekalipun menyatakan bahwa harta wakaf milik wakif, tetapi
wakif tidak punya hak untuk mendayagunakan harta wakaf secara pribadi dalam
bentuk apapun. Sedangkan Syafi’i dan Hanbali menyata-kan
putusnya kepemilikan harta wakaf dengan wakif sehingga wakif terputus haknya
terhadap harta wakaf. Kedua, kelanggengan atau keabadian objek wakaf
yang terkait erat dengan objek wakaf yang bergerak. Oleh karena itu mewakafkan
harta bergerak harus melekat dengan harta tak bergerak seperti wakaf alat
pertanian terkait dengan sawah, dan sebagainya.16
Hal yang menarik lagi adalah perubahan peruntukan. Jika
suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau sudah berkurang
manfaatnya, kecuali ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual,
merubah bentuk asal, memin-dahkan
ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain, bolehkan per-ubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf tersebut?
Ternyata dalam hal tersebut para ulama fiqh berbeda pendapat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kalau benda wakaf
sudah tidak ber-fungsi
(tidak dapat dipergunaka) atau kurang berfungsi, maka benda tersebut tidak
boleh dijual, tidak boleh diganti/ tukar, tidak boleh dipindahkan, tapi benda tersebut dibiarkan
tetap dalam keadaannya. Pendapat ini adalah pen-dapat yang dikemukakan oleh Syafi’i dan Malik. Alasannya adalah
hadis riwayat Ibn Umar, yang tersurat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibah-kan,
dan diwariskan.
Perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat peng-aturannya dalam madzhab Syafi’i. namun demikian,
berdasarkan keadan darurat dan prinsip mashlahah, dikalangan para ulama fiqh
perubahan itu dalam dilakukan. Ini disandarkan pada pandangan agar manfaat
wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai sadaqah jariyah, tidak
mubadzir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.17
Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menjual benda wakaf
atau menukarnya,[ menggantinya,
memin-dahkannya, dan
menggunakan hasil penjualan
tersebut untuk kemudian digunakan lagibagi kepentingan wakaf. Abu Yusuf, murid
Hanafi, berpendapat bahwa benda wakaf tersebubt boleh dijual dan menggunakan
hasil pen-jualan tersebut. Sedangkan
Muhammad, murid Hanafi juga, berpendapat bahwa kalau benda wakaf tersebut sudah
tidak berfungsi lagi atau rusak, maka benda tersebut kembali kepada pemilik per-tama atau wakif.18
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif)
Shighat atau ikrar adalah
pernyataan penyerahan harta benda wakaf oleh wakif. Dalam hal ini perbedaan
yang muncul adalah bentuk pernyataan apakah lisan, kinayah atau tindakan.
Sementara dalam hal akad wakaf, semua madzhab menyatakan bahwa wakaf adalah
akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang
tidak memerlukan kabul dari pihak penerima dan dicukupkan dengan ijab si wakif.
Akad tidaklah menjadi syarat dalam akad wakaf. Definisi akad disini adalah
suatu bentuk perbuatan hukum (tasharruf) yang mengakibatkan adanya
kemestian penataan kepada apa yang dinyatakan dari kehendak per-buatan hukum itu oleh pihak yang berkepentingan,
kendatipun pernyataan itu dari sepihak saja. Akad dalam pengertian kesepakatan
dari dua belah pihak yang berkehendak melakukan suatu perikatan digambarkan
dengan ijab dan qabul seperti yang terjadi dalam jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya, sehingga tidaklah berlaku dalam pengertian akad wakaf.19
Di samping penjelasan tersebut di atas, al-Kabisi lebih
dahulu memper-tanyakan
apakah wakaf termasuk akad yang menimbulkan tasharruf (perbuatan hukum) yang menimbulkan prestasi akibat
hukum yang telah disetujui atau al-iqa’ (pelimpahan) yang tidak menim-bulkan
akibat hukum, hanya pelim-pahan
atau penyerahan yang instrinsik di dalamnya adalah amanat dan tanggung jawab untuk menjalankannya. Ia cenderung berpendapat bahwa wakaf merupakan akad al-‘iqa’ (pelimpahan)
karena fokus wakaf adalah pendaya-gunaan
yang sifatnya sosial dengan perspektif kebutuhan sosial juga, bukan kontraktual.20
4. Bentuk-bentuk wakaf
a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli yaitu wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga si wakif atau bukan.
Wakaf ahli juga sering disebut
wakaf dzurri atau wakaf ‘alal aulad yakni wakaf yang diper-untukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan
keluarga atau lingkungan kerabat sendiri.21
Dalam satu segi, wakaf ahli ini mempunyai dua
aspek kebaikan, yaitu (1) kebaikan sebagai amal ibadah wakaf, (2) kebaikan
silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Namun, pada sisi
lain wakaf ahli sering menimbulkan masalah, seperti bagaimana jika
keturunan yang ditunjuk sudah tidak ada lagi? Siapa yang berhak mengambil
manfaat benda (harta wakaf) itu? Bagaimana jika keturunan si wakif berkembang
sangat banyak sehingga menyulitkan peme-rataan
dalam pembagian hasil harta wakaf? Bagaimana bila keturunan wakif tidak bersedia
lagi mengurus harta wakaf, siapa yang berwenang mengemban amanat untuk
mengelola harta wakaf? Dan seterusnya.
b. Wakaf Khoiri
Wakaf khoiri yaitu wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan ke-agamaan
atau kemasyarakatan (kepen-tingan
umum).22 Wakaf
ini ditujukan untuk kepentingan umum dengan tidak terbatas pada aspek
penggunannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk keagamaan, jaminan
sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain, yang dapat berwujud
seperti pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan sarana sosial lainnya.
Dari tinjauan penggunaannya, wakaf ini lebih banyak
manfaatnya ketimbang wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak
yang meng-ambil manfaat.
Sesungguhnya jenis wakaf ini yang sesuai dengan hakikat wakaf dan secara
substansial, wakaf ini juga merupakan salah satu cara membelanjakan
(memanfaatkan) harta di jalan Allah.
B.
Wakaf Menurut Hukum Nasional
Pada sub ini lebih dikonsentrasi dengan menganalisis berbagai hal
seputar wakaf berdasarkan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan terkadang
mengambil dari aturan hukum nasional lain dengan porsi seperlunya saja seperti
Peraturan Pemerintah (PP) atau Instruksi Presiden (Inpres). Beberapa peraturan
yang menaungi wakaf dimunculkan dalam tulisan ini, karena sesuai dengan bunyi
pasal 70 UU No. 41 tahun 2004, bahwa: “Semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau
belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini”
Pembahasan ini diawali dengan pengertian, tetapi perlu diingat
bahwa pengertian atau definisi wakaf secara institusional pun beraga. Keragaman
definisi ini sebagai akibat dari perbedaan penafsiran terhadap institusi wakas
sebagaimana yang dilakukan oleh para mujtahid dan yang pernah dipraktekkan, dan
oleh masyarakat Islam.
Pada mulanya, definisi wakaf di Indonesia lebih cenderung kepada
definisi yang dikemukakan oleh Syafi’iyah. PP No. 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, pasal 1 (1), berbunyi bahwa: “Wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekaya-annya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Agama Islam”.
Sementara dalam Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam, pasal 215 (1), berbunyi bahwa: “Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta benda miliknya dan melem-bagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
Jika membandingkan keduanya antara PP No. 7 tahun 1977 dan Inpres No. 1 tahun 1999
terlihat pada jenis benda wakaf. Dalam PP disebutkan bahwa benda wakaf adalah
tanah milik. Sedangkan dalam Inpres disebutkan bahwa benda wakaf adalah benda
milik. Dalam Inpres menunjukkan bahwa benda yang dapat diwakafkan itu bukan
saja hanya tanah milik, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, yang
menurut tafsir terhadap Inpres tersebut bisa benda tetap (tak bergerak) yang
disebut al-‘aqr, atau benda bergerak yang disebut al-musya’.
Dinamika sosial, desakan publik dan perubahan paradigma berpikir
yang semakin meluas memandang wakaf ”memaksa” lahirnya UU No. 41 tentang wakaf
sebagai payung hukum yang lebih kuat berskala nasional. UU tersebut
mendefiniskan bahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk me-misahkan dan/atau menyerahkan seba-gian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.22
Definisi ini tergolong definisi yang cukup longgar dan
mengakomodasi perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh dan mempertimbangkan
pengembangan objek wakaf demi kemaslahatan umat. Beberapa catatan yang dapat
dikemuka-kan adalah: (1)
fleksibilitas bentuk objek wakaf dalam Inpres sebenarnya sudah mengakomodir
semua pandangan ahli fiqh, tetapi tertutupi oleh pandangan hierarkhi terhadap
pandangan hukum di Indonesia, bahwa Peraturan Pemerintah (PP) lebih tinggi dari
pada Intruksi Presiden (Inpress), sehingga dengan lahirnya UU tersebut
fleksibilitas tersebut lebih kuat payung hukumnya; (2) Kendala fanatisme
madzhab yang kuat di akar rumput dalam meyakini objek wakaf adalah tanah (yang
ia termasuk barang tak bergerak), sehingga implementasi belum berjalan mulus; (3)
Durasi waktu dimun-culkan
mengakomodasi madzhab Maliki yang menafsirkan adanya wakaf temporal; (4) kata “keperluan umum” dirubah “kese-jahteraan umum” mencerminkan sasaran final wakaf adalah masyarakat
dapat menikmati wakaf sebagai salah satu media yang bisa mensejahterakannya; (5) kata “Agama
Islam” atau “Islam“ dirubah menjadi “Syariah“.23
Dalam peraturan perundang-undangan (hukum nasional), unsur (rukun) wakaf tidak
jauh berbeda dengan penambahan-penambahan tertentu. Mengenai wakif, syarat
tidak jauh berbeda dengan uraian fiqh, hanya UU No. 41 tahun 2004 menambahkan
syarat (1) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan (2) pemilik sah harta benda wakaf.24 Dua syarat tersebut diakomodasi dari berbagai pendapat ulama fiqh.
Dalam UU tidak menyebutkan kata muslim sebagai syarat wakif,
sehingga non muslim pun bisa menjadi wakif.25 Pada tanggal
13 September 2004, Panitia Kerja Pembahasan RUU Wakaf yang terdiri dari
Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati untuk menghapus syarat “muslim” sebagai
wakif. Penghapusan muslim sebagai syarat menjadi wakif bertujuan untuk
menghindari sebuah paradoks, karena dalam sejarah Islam dan Hadis, bahwa wakaf
yang diberikan oleh wakaf non muslim sah, artinya wakaf tersebut diterima.
Hanya saja ada catatan bahwa wakaf yang diberikan oleh wakif non muslim
hendaknya diarahkan untuk hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umat bukan
diperuntukan untuk tempat-tempat ibadah.26
Penghapusan syarat “muslim” ter-sebut dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI serta dari unsur
agamawan diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk mencapai keputusan
tersebut, tim tersebut telah melakukan penelitian tentang pendapat dari
berbagai madzhab, yang kemudian ditemukan keterangan bahwa wakaf yang berasal
dari non muslim itu bisa diterima.27
Sementara, pemaknaan istilah mauquf ‘alaih sering disebutkan dengan istilah nadzir sebagai
pelaksana dan pengelola wakaf. Secara spesifik dalam UU No. 41 tahun 2004,
pemaknaan mauquf ‘alaih dipisahkan lebih tegas dengan men-cantumkan nadzir sebagai pengelola dan dengan tegas
disebutkan peruntukan harta benda wakaf, yang konsekuensi menim-bulkan ketatnya perubahan terhadap peruntukan harta
wakaf di kemudian waktu.28
Disebutkan juga jangka waktu wakaf, unsur ini erat kaitannya
dengan pendapat Imam Malik, yang memuncul-kan
wakaf permanen dan wakaf temporal. Unsur jangka waktu ini muncul karena
perluasan makna objek wakaf sehingga dibolehkannya wakaf harta bergerak seperti
uang, yang dalam istilah modern penyalurannya dalam bentuk investasi.
Kembali ke konteks mauquf ‘alaih sebagai nadzir, ada beberapa hal yang harus dicermati,
pertama, Nadzir non muslim. Dalam kasus nadzir non muslim, UU No. 41
tahun 2004 menegaskan bahwa nadzir harus muslim, pertimbangan adalah persoalan
distribusi yang bermuara pada faktor politis keagamaan, termasuk di dalamnya
nadzir yang berbentuk organisasi maupun badan hukum. Kedua, porsi
konsumsi nadzir terhadap harta benda wakaf. berdasarkan.29 Berdasarkan hadis Umar ibn Khattab ra tentang wakaf
tanah Khaibar diperkenankan nadzir mengkonsumsi hasil harta benda wakaf, hanya
saja batasannya adalah: (1) tidak berlebih-lebihan, dan (2) tidak ada niat
untuk menguasai (mengambil alih status kepemilikan). Dalam UU disebutkan porsi
konsumsi adalah 10 persen
dari hasil dari harta wakaf.
Mengenai benda wakaf, di Indonesia terjadi perluasan makna. Pada
mulanya terbatas pada tanah yang termasuk kategori harta tak bergerak. Dalam UU
No. 41 tahun 200430 membolehkan
wakaf dengan harta bergerak maupun harta tak bergerak. Kategori yang dijelaskan
dalam undang-undang tersebut antara lain: (1) Benda Tidak
bergerak, meliputi (a) hak atas
tanah, (b) bangunan/bagian bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, (c)
tanaman/benda lain yang berkaitan dengan tanah, (d) hak milik atas satuan rumah
susun, (e) benda tidak bergerak sesuai syariah dan UU; (2) Benda
bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak sesuai syariah dan UU,
termasuk mushaf, buku, kitab.
Dari segi
akadnya, wakaf memang diakui sebagai akad sepihak dan termasuk akad tabarru’,
yang tidak membutuhkan qabul dari nadzir. Tetapi terhadap akad tersebut
harus disikapi secara hati-hati Nadzir harus dilihat profil, komitmen,
reputasi, kredibilitas, kapabilitas dan ter-populer adalah track
record (rekam jejak) sehingga akuntabilitas publiknya dapat diper-tanggungjawabkan. Hal terpen-ting pula
terkait dengan akad adalah dimung-kinkan timbulnya sengketa yang memer-lukan pembuktian untuk keabsahan se-hingga dipersyaratkan adanya (1) dokumen dan (2)
saksi. Keduanya bukan menjadi rukun tetapi alat bukti yang harus ada dan dapat
menguatkan keberadaan adanya akad (penyerahan) wakaf. Hal inilah yang sering terjadi di masyarakat,
dan ini diduga adalah pengaruh madzhab Syafi’i.31
C. Wakaf: Institusi Baru
dalam Praktik
1. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan badan bentukan pemerintah
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan nadzir dan pengelolaan harta benda
wakaf. Beberapa kasus terjadi misalnya, para nadzir baik perorangan maupun
lembaga tidak bertanggung jawab atas harta benda wakaf yang dikelola, perubahan
per-untukan harta benda
wakaf dikare-nakan
salah satunya,
misalnya ada perubahan tata ruang kota, sehingga harus digusur atau
dipindahkan. BWI diposisikan layaknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam
hal zakat, namun hal yang masih diperdebatkan adalah mengenai status BWI,
apakah struktural, koordinatif atau konsultatif.32
2. Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Diakomodasinya wakaf dalam bentuk benda bergerak,
geliat wakaf tunai menjadi marak dari perbincangan sampai ke aksi. Namun,
masalah wakaf uang, amanat UU menyebutkan pengelola (nadzir) adalah hanya lem-baga keuangan syariah. Hal ini menimbulkan dua
implikasi yang serius. Pertama, LKS adalah lembaga profit dan komersial,
boleh jadi (dan kemungkinan besar) menggunakan dana wakaf menjadi suntikan dana
likuiditas maupun dana investasi sektor riil, yang melupakan esensi dari wakaf
uang untuk kemaslahatan dan ke-sejahteraan
umat, kedua, tereduksinya potensi kemandirian dalam rangka pemberdayaan
umat yang boleh jadi secara manajemen keuangan lebih baik dan akuntabel
ketimbang LKS, sebagai contoh Dompet Dhuafa Republika, dan lembaga yang lain.33
3.
Sengketa
Wakaf
Penyelesaian sengketa wakaf ditempuh dengan beberapa
tahapan yang dilakukan secara stratifikatif:34 1) Musyawarah untuk mencapai mufakat, 2) Mediasi, (mediasi yang dimaksud adalah penyelesaian
seng-keta dengan bantuan
pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa), dan 3) Arbitrase (Arbitrase yang dimaksud adalah Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Terkait dengan persoalan sengketa wakaf, keberadaan
dokumen (ser-tifikat)
dan saksi menjadi persoalan terpenting yang tidak bisa diabaikan, mengingat
kultur sosial yang meng-atasnamakan
ibadah semuanya serba lisan. Sengketa yang muncul kemudian (diharapkan tidak muncul) dapat meng-ajukan
dokumen dan saksi sebagai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa, meskipun proses penyelesaiannya mung-kin
tidak sederhana.
D. Wakaf Tunai dalam Literatur Fiqh dan Implikasinya
Dewasa ini, muncul perbincangan seputar wakaf tunai yang tidak
lagi set back pada kajian fiqh semata, tetapi perbincangan lebih luas
pada bagaimana institusi wakaf tidak hanya sebagai ritualitas keagamaan tetapi
bisa menyen-tuh
aspek kemanusiaan dengan member-dayakan
potensinya untuk kesejahteraan publik semaksimal mungkin. Dari situlah kemudian muncul ide
pendekatan ekonomi dalam mengkaji wakaf, sehingga seluruh unsur wakaf harus
diberdayakan produktivitasnya baik wakif, nadzir maupun objek wakafnya serta
menata sistem administrasi sebagai wujud akunta-bilitas dan transparansi sebagai tuntutan manajemen modern.
1. Wakaf Uang Tunai
Wakaf tunai (cash waqf atau waqf al-nuqud) merupakan
salah satu wakaf benda bergerak yang dispesifikasi berupa uang.35 Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian
uang adalah surat berharga.36 Wakaf tunai merupakan bentuk wakaf produktif dengan mekanisme
investasi dana wakaf dan menyalurkan hasil dari pokok modal yang
diinvestasikan. Membandingkannya dengan wakaf tanah misalnya, wakaf tanah hanya
dinikmati oleh masyarakat yang berdomisili di sekitar harta wakaf tersebut
berada. Sementara masyarakat miskin berdomisili di berbagai tempat, sehingga
dibutuhkan sumber pendanaan baru yang tidak terikat tempat dan wakatu. Sebab
uang bersifat fleksibel dan tidak mengenal batas wilayah pendistri-busian.
Dalam
sejarahnya, wakaf tunai telah dijalankan sejak awal abad kedua hijriyah.
Bukhari meriwayatkan bahwa Imam Az-Zuhri (w. 124 H.) salah seorang ulama
terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadis telah menetapkan fatwa itu.
Sebagaimana ditulis dalam Shahih Bukhari juz 9 halaman 330 sebagai berikut:
بَابُ وَقْفِ الدَّوَابِّ وَاْلكُرَاعِ وَاْلعُرُوْضِ وِاْلصَّامِتِ
وَقَالَ الذُّهْرِيُ فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِيْنَارٍ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ وَدَفَعَهَا
اِلَى غُلَامِ لَهُ تََاجِرٍ بِهَا وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدقََةََ لِلْمَسَا كِيْنِ
وَاْلاَقْرَبِيْنَ هَلْ لِرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ رِبْحِ ذَالِكَ اْلاَلْفِ شَيْئُا
وَاِنْ لَمْ يَكُنْ جَعَلَ رِبْحَهَا صَدَقَةُ
فِى اْلمَسَاكِيْنِ قَالَ لَيْسَ لَهُ اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا37
Ulama madzhab Hanafi memboleh-kan
wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian atas dasar istihsan bi
al-‘urf, berdasarkan atsar Abdullah ibn Mas’ud ra: “apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan
apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka pandangan Allah pun buruk”.38 Hanya madzhab ini yang secara tegas mem-bolehkan praktek wakaf tunai sebagai implikasi dari
dibolehkannya wakaf benda bergerak secara tegas pula.
Di Indonesia, wakaf tunai (cash waqf) juga telah dikuatkan
dengan diter-bitkannya
keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang, yang pokok putusannya berisi:39 “Wakaf
uang (cash waqf atau waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam
pengertian uang adalah surat-surat berharga. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
Dari segi kemanfaatannya, menurut Antonio40, wakaf uang dewasa ini mem-punyai empat
manfaat utama, pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingg
seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya
tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui
wakaf uang, aset-aset yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan
dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga,
dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang cash flow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas
akademika alakadarnya. Keempat, pada gilirannya, Insya Allah, umat Islam
dapat lebih mandiri dalam mengem-bangkan dunia
pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pen-didikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Bila kemudian
wakaf tunai hendak diterapkan dalam dunia pendidikan, masih menurut Antonio, ada
tiga filosofi dasar yang harus ditekankan. Pertama, alokasi cash waqf
harus dilihat dalam bingkai “proyek yang terintegrasi”, bukan bukan
bagian-bagian dari biaya yang terpisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf
akan habis bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara
wakaf harus abadi. Kedua, asas kesejah-teraan nadzir.
Sering kali nadzir diposisi-kan kerja
asal-asalan atau lillahi ta’ala, sebagai akibatnya seringkali pula
kinerja nadzir asal-asalan juga. Inilah saatnya menjadikan nadzir sebagai
profesi yang memberikan kesejahteraan dan harapan masa depan. Ketiga,
asas transparansi dan accountability, di mana badan wakaf dan lembaga
yang membantunya harus melaporkan setiap tahun tentang proses pengelolaan dana
kepada umat dalam bentuk aMdited finaniial report.41
Di dunia
pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa nama-nama lembaga Islam terkemuka
seperti al-Azhar University Cairo, Universitas Zaituniyyah di Tunisia dan
ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki, Universitas Nizamiyah di Baghdad,
dan lain sebagainya bukanlah lembaga pendidikan yang fully profit oriented. Mereka
merupakan lembaga yang bercorak sosial. Secara operasional tidak mungkin
lembaga tersebut akan bertahan hingga sekarang bila meng-harapkan subsidi pemerintah, dan tidak mungkin hanya mengandalkan
sum-bangan masyarakat. Anehnya lembaga-lembaga tersebut bisa memberikan
bea-siswa bagi jutaan mahasiswa di seluruh dunia.
Di Indonesia,
Pondok Modern Gontor Ponorogo, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, dan Pesantren Tebuireng Jombang, merupakan beberapa potret
pelembagaan wakaf yang dikembangkan dalam bentuk investasi yang manfaatnya
dipergunakan untuk pengembangan pen-didikan.42 Tidak heran
bila beberapa lembaga pendidikan yang berbasis wakaf di Indonesia tidak bisa
berkembang mandiri dan selalu bergantung pada subsidi pemerintah dan donasi
masya-rakat. Hal ini memang tidak terlepas dari kendala-kendala yang
melekat guna pengembangan wakaf tunai ke depan. Adapun kendala
pengembangan wakaf tunai dintaranya:
a. State of mind
Kuatnya pengaruh bahwa wakaf identik dengan wakaf harta
benda tak bergerak khususnya tanah dan bangunan. Hal ini dipengaruhi oleh 2
aspek (1) keyakinan ajaran (madzhab) yang dianut yakni mayoritas madzhab
Syafii, (2) budaya lokal (local culture/ community image).
Hal tersebut yang secara implikatif mempengaruhi proses sosialisasi konsep
wakaf tunai pada masyarakat, apalagi masyarakat cen-derung patuh terhadap figur ketika memutuskan untuk
mengikuti sebuah ajaran keagamaan yang tergolong tidak familier.43 Juga terasa aneh kedengaran-nya, sadaqah
yang sudah lazim berupa uang saja sulit untuk melaksanakan apalagi sadaqah atas nama wakaf berupa uang.
c.
Model Peruntukan
Tidak mudah memang mengelola investasi untuk disalurkan
pada sektor riil. Namun demikian bidang-bidang tertentu bisa dijadikan lahan
untuk menyalurkan manfaat wakaf tunai agar bisa cepat dirasakan oleh
masyarakat. Pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, usaha kecil menengah, dan bidang-bidang
potensial lainya bisa menjadi lahan garapan dalam pengembangan wakaf tunai,
hanya saja kendala teknis di lapangan tidak mudah. Misalnya, dalam hal usaha
kecil mikro, peruntukan dana wakaf sedianya untuk masyarakat kecil, namun
sayangnya mereka tidak bisa menunjukkan kelayakan usaha yang hendak dibantu.
Sasaran akhirnya adalah kemandirian, sementara atas nama wakaf, masya-rakat selalu bergantung sebagai amal jariyah cuma-cuma.44
c. Nadzir hanya Lembaga Keuangan Syariah
Berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, bahwa untuk kasus
wakaf tunai nadzir yang diberi wewenang untuk mengelola adalah lembaga keuangan
syariah yang ditunjuk oleh menteri.45 Pemerintah menyatakan bahwa pengelo-laan wakaf
tunai melalu lembaga keuangan syariah ini atas dasar pertimbangan keuangan.
Mestinya penyerahan dan pengelolaan wakaf tunia tak hanya diserahkan kepada
lembaga keuangan syariah, karena ada lembaga lain yang mampu mengelola wakaf
tunai tersebut dengan pro-fesional dan
diyakini mampu menjaga keamanan wakaf. Ada dua hal yang dicermati dari
penyerahan dan pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga keuangan syariah, (1) lembaga keuangan syariah adalah lembaga profit dan komersial, ia
juga harus memikirkan pendayagunaan sosial wakaf, yang ditakutkan adalah dana
wakaf tersebut justru menyokong kegiatan komersial-nya sendiri,
sehingga bahwa wakaf itu harus diberikan manfaat ekonomi bagi umat, ddan (2)
tereduksinya peran dan pemberdayaan masyarakat dalam hal-hal produktif,
sementara intinya adalah kapabilitas, kredibilitas, profesionalitas dari
nadzir, bukan status nadzir yang akan mengelola wakaf tunai.46
d. Perangkat aturan hukum
Sebagai acuan bertindak dalam masalah wakaf di
Indonesia, UU No. 41 tahun 2004 belum memiliki aturan turunan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk pelak-sana (juklak) operasional. Beberapa pasal yang disebutkan bergantung pada kehadiran Peraturan Pemerintah, misal-nya
tentang detail mengenai ketentuan wakaf benda bergerak berupa uang.45 Namun demikian,
spirit religiusitas harus mengalahkan segalanya demi kepentingan sosial dan
yang terpenting adalah prinsip kemaslahatan harus selalu dikedepankan, sesuai
dengan koridor hukum yang berlaku.
2. Wakaf Produktif
Perlunya rekonstruksi konsep fiqh wakaf, diamati oleh Uswatun
Hasanah, staf pengajar Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, didasarkan salah satunya pada pengelo-laan wakaf di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Ia menunjukkan
bahwa karena faktor ketidakprofesionalan dalam penanganan harta benda wakaf,
banyak yayasan pendidikan yang berasal dari harta benda wakaf terlantar. dan
tidak berkembang atau bahkan “gulung tikar“. Yayasan semacam ini, di Indonesia
jumlahnya sangat banyak. Inilah salah satu ide dasar munculnya istilah wakaf
produktif.
Kesadaran masyarakat untuk meng-amalkan tingkat religiusitasnya dengan cara wakaf memang cukup
tinggi. Namun sayangnya, banyak aset wakaf yang tingkat pendayagunaannya
stagnan, dan tidak sedikit yang tidak berkembang sama sekali. Penyebabnya
adalah umat Islam pada umumnya mewakafkan tanah, namun kurang memikirkan biaya
opera-sional sekolah, sehingga
yang harus dilakukan adalah pengembangan wakaf produktif untuk mengatasi hal
tersebut. Pilihan menganut manajemen modern menjadi niscaya dan harus dilakukan
serta kelaziman bahwa harta benda wakaf adalah hanya harta benda tak bergerak
harus segera diubah bahwa harta benda wakaf bergerak juga bisa diwakafkan dan
potensial untuk dikembangkan. Keteri-katan
dengan pemahaman yang diyakini dan kualitas nadzir yang tidak futuristik dalam
mengelola aset wakaf menyebab-kan
potensi harta wakaf tidak berkembang semestinya.48
Dua hal yang dilakukan adalah (1) manajemen
kenadziran. Hal yang harus diperhatikan pula adalah profesiona-litas nadzir, baik mengenai (1) kredibilitas terkait dengan kejujuran, (2) profesionalitas terkait dengan kapabilitas, maupun (3) kompensasi terkait dengan upah pen-dayagunan
sebagai implikasi profesionali-tasnya, (2) peruntukan aset wakaf. Kemung-kinan
alih fungsi (rubah peruntukan)dan relokasi menjadi kemestian yang harus
dilakukan untuk pengembangan aset wakaf yang boleh jadi juga terpengaruh oleh
mekanisme pasar yang mempenga-ruhi
kebutuhan peruntukan aset wakaf agar lebih produktif.
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara
produktif dapat dilakukan dengan ber-bagai
cara. Kategori produktif47 yang dapat dilakukan antara lain: cara pengum-pulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan,
perdagangan, agro-bisnis, pertambangan, perundustrian,
pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan,
usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dalam hal
pengelolaan dan pengem-bangan harta
benda wakaf diperlukan penjamin, maka diperlukan lembaga penjamin syariah. Lembaga tersebut adalah badan hukum yang menyeleng-garakan kegiatan penjamin atas suatu kegiatan usaha
yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengembangan dan pengelolaan fungsi aset wakaf secara produktif
merupakan upaya menghidupkan kembali harta wakaf yang statis atau cenderung
mati. Pengembangan wakaf ini juga bisa ditopang dengan dikembangkannya konsep wakaf tunai.
III. KESIMPULAN
Wakaf sebagai salah satu ajaran agama sejatinya harus segera membumi sehingga amanat UU dengan kata
“kesejahteraan umum” yang menihilkan sekat keyakinan cepat terwujud. Untuk mewujudkannya sesegera
mungkin dilaku-kan
transformasi yang meliputi (1)
transformasi paradigma relijiusitas dalam bentuk aksi yang diawali dengan tidak
hanya statis pada keyakinan ajaran yang dipegangi tetapi dengan membuka horizon
pemahaman yang lebih luas, (2) transformasi
relijius menjadi aksi sosial, (3) transformasi harta tak bergerak diperluas
untuk barang yang bergerak, (4) transformasi
peruntukan yang stagnan menjadi dinamis ke arah produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Abil Mawahib bin Ahmad Abdul Wahab (t.t.). Mizan
al-Kubro. Mesir: Dar Ahya al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Abu Zahrah (1971). Mhadharat fi al-Waqo. Beirut:
Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Akh. Minhaji (2005). “Nation State dan Implikasinya
Terhadap Pemikiran dan Implementasi Hukum Wakaf”, Kata Pengantar dalam
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Per-wakafan di Indonesia.
Yogyakarta: Pilar Media.
Al-Baijuri (t.t.). Hasyiyah al-Baijuri. Beirut:
Dar al-Fikr, II.
Ali Fikri (1938). Al-Mu’amalat al-Maliyah wa
al-Adabiyah. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Asy-Syarbini (t.t.). Mugni al-Muhtaj. Kairo:
Musthafa Halabi.
Bukhari (t.t.). Shahih Bukhari. Mesir: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir.
Chaidar S. Bamualim & Irfan Abubakar (ed.) (2005). Revitalisasi
Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia.
Jakarta: PBB UIN Syahid.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang.
Harian Umum Republika.
Inpres No. 1 tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Juhaya S. Praja (1995). Perwakafan di Indonesia:
Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara.
M. Dawam Rahardjo (2004). “Menegakkan Syariat Islam di
Bidang Ekonomi” dalam Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Keuangan. Jakarta: Rajawali Press.
Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam,
Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum
Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terleng-kap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas
Seng-keta Wakaf,
Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. Jakarta: Dompet Dhuafa Republika
& IIMaN.
Muhammad ibn Bakar ibn Mandzur al-Mishri (1301 H). Lisan
al-‘Arab. Bulaq: Al-Mishriyah, Jilid 11.
Muhammad Syafii Antonio (2004). “Kata Pengantar” dalam
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penye-lesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. Jakarta: Dompet
Dhuafa Republika & IIMaN.
Muslim (t.t.). Shahih Muslim. Mesir: Dar al-Fikr
al-Mu’ashir.
Nawawi (t.t.). al-Raudhah. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, Juz IV.
PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Sayyid Sabiq (1977). Fiqhu as-Sunnah. Lebanon:
Dar al-‘Arabi.
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.). (2006). Wakaf,
Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di
Indonesia. Jakarta: CRCS UIN Syahid.
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Wahbah Zuhaili (1985). Al-Fiqh al-Islamiy wa
‘Adillatuhu. Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir.
Catatan akhir:
[1]Akh. Minhaji (2005). “Nation State dan Implikasinya Terhadap
Pemikiran dan Implementasi Hukum Wakaf”, Kata Pengantar dalam Abdul
Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta:
Pilar Media), hlm. xxi.
2Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, juz 3. Bairut: Dar al-Fikr, tt., h. 515.
3Juhaya S. Praja (1995). Perwakafan di Indonesia:
Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. (Bandung: Yayasan Piara),
hlm. 6.
4Abu Zahrah (1971). Muhadharat fi al-Waqf.
(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm. 41
5Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal.
7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta
Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan
KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN), hlm. 38-60.
6Al-Syaukani, Nailul
al-Autar, juz 6, Mesir: Mustafa Baby al- Halaby, tt., h. 24. Lihat juga Muslim (t.t.). Shahih Muslim. (Mesir: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir), Juz 8, hlm. 405
7Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3, Bairut: Dar Al-Fikr, tt.,
h. 196. Muslim, Shahih Muslim,
juz 2, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, tt., h. 14
8Asy-Syarbini (t.t.). Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Mushthafa
Halabi), Juz II, hlm. 376.
9Ibid
10Di bawah pengampuan menurut al-Bajuri meliputi 2 jenis
yaitu (1) orang yang berhutang, dan (2) orang yang sedang sakit parah (penyakit
cenderung mematikan). Lihat al-Baijuri (t.t.). Hasyiyah al-Baijuri.
(Beirut: Dar al-Fikr), II, hlm. 44.
11Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 153.
12Pandangan ini yang dijadikan dasar dalam UU No. 41
Tahun 2004 yang membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu atau muaqqat.
13Wahbah
Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 7599-7502; Al-Kabisi. Hukum Wakaf,
hlm. 38-60; Abu Zahrah. Muhadharat fi al-Waqf, hlm. 34; Ali Fikri
(1938). Al-Mu’amalat al-Maliyah wa al-Adabiyah. (Mesir: Mushthafa
al-Babi al-Halabi), hlm. 311.
14Nawawi
(t.t.). al-Raudhah. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), Juz IV, hlm. 379
15Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf,
Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di
Indonesia. (Jakarta: CRCS UIN Syahid), hlm. 39.
16Mohammad
Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI
Press), hlm. 93
17Sayyid
Sabiq (1977). Fiqhu as-Sunnah. (Lebanon: Dar al-‘Arabi), hlm. 387; Abil
Mawahib bin Ahmad Abdul Wahab (t.t.). Mizan al-Kubro. (Mesir: Dar Ahya
al-Kutub al-‘Arabiyyah), hlm. 228.
17Abu
Zahrah. Muhadharat fi al-Waqf, hlm. 51-52.
19Al-Kabisi.
Hukum Wakaf, hlm. 95
20Ibid
21UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1).
22Menurut
Dawam Rahardjo, pengertian Syariah itu tidak identik dengan Syariah itu
sendiri. Syariah dalam pengertian kedua adalah wahyu Tuhan itu sendiri dan
Sunnah rasul yang pengertiannya sama dengan thariq, sabil, dan manhaj,
yaitu jalan (way). Sedangkan Syariah dalam arti kedua masih memerlukan
penjelasan dan interpretasi. Setelah berbentuk interpretasi dalam bentuk
Syariah yang pertama, maka ia telah menjadi ilmu yang kebenarannya relatif dan
karena itu beragam. Di sinilah Syariah yang pertama telah mengalami
rasionalisasi menurut metode ilmiah. Hasilnya adalah konsep bank Syariah.
Sementara istilah “bank Syariah“ sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang
tidak dijumpai di negara-negara lain, yang seringnya dengan sebutan “bank
Islam” (Islamic bank). Hal inilah yang menunjukkan bahwa bank Islam
telah mengalami kontekstualisasi makna. Lihat M. Dawam Rahardjo (2004).
“Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi” dalam Adiwarman Azwar Karim. Bank
Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: Rajawali Press), hlm. xx.
23UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 8 ayat (1).
24Ibid
25Republika, Jum’at, 17 September 2004, “Panja RUU Wakaf sepakat, Non-Muslim
bisa jadi Wakif”.
26Ibid
27Harta
benda wakaf tidak boleh dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk hak lainnya. Terhadap harta
benda wakaf yang ditukar baik status, fungsi dan fisiknya atas persetujuan
Badan Wakaf Indonesia dengan salah satu pertimbangannya adalah kepentingan umum
menyesuaikan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sesuai dengan UU dan tidak
bertentangan dengan syariah. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 40, 41.
28Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nadzir dapat menerima
imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf pasal 12.
29UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 16.
30Juhaya
S. Praja. Perwakafan di Indonesia, hlm. 3.
31Republika, Jum’at, 10 September 2004, “Menimbang Badan Wakaf Indonesia”.
32Lihat
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar. Revitalisasi Filantropi Islam.
33UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 62 dan penjelasannya.
34UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 28-31.
35Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang.
36Bukhari
(t.t.). Shahih Bukhari. (Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir), Juz 9, hlm.
330.
37Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 162
38Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang.
39Muhammad
Syafii Antonio. “Kata Pengantar” dalam Al-Kabisi. Hukum Wakaf, hlm. xiv
40Ibid., hlm. xv.
41Chaidar
S. Bamualim & Irfan Abubakar (ed.). Revitalisasi Filantropi Islam,
hlm. 217-296.
42Tim
Penyusun Buku (2007). Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia.
(Jakarta: Depag RI), hlm. 7-8
43Ibid., hlm. 72.
44UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 28.
45Republika, Jum’at, 01 Oktober 2004, “Pengelolaan Wakaf Tunai Hanya oleh
Lembaga Keuangan Syariah”.
46UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 31.
47Republika,
30 April 2004, “Perlu Rekonsepsi Fikih Wakaf”.
48UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya.
Wakaf selalu banyak manfaat jika dikelola dengan benarGlobal Wakaf
BalasHapusPermasalahan yang timbul adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang wakaf, dan lemahnya pemerintah menyadarkan itu
BalasHapusTerimakasih banyak, refrensi nya bs membantu saya dalam menyelesaikan skripsi... terutama soal dasar hukum nya, sesuai yg saya cari.
BalasHapus