MAQASID SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN HUKUM
(Analisis Terhadap Beberapa Dalil Hukum)
Aris Rauf
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: aris_stainpare@yahoo.co.id
Abstract: This paper studies regarding one
aspect of the discussion about the science of usul Fiqhi Maqasid Shariah law
and development. The issue is how maqasid role in the development of Shariah
law. In the discussion of its principles Fiqhi, one method of extracting law is
Shariah maqasid approach. Through Shariah maqasid verses and hadiths law
quantitatively very limited amount can be developed to address the problems
that arise. Legal development is done by using the method of determination of
the law such as qiyas, maslahah mursalah and istihsan. Methods of determination
is through maqasid Shariah law.
Kata Kunci: Maqasid Syari’ah, Pengembangan Hukum
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai
dengan era globalisasi yang kian meningkat dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat
telah membawa pengaruh yang besar yang dapat menimbulkan berbagai
persoalan-persoalan hukum.1 Masyarakat
Islam, sebagai suatu bagian yang tak dapat melepaskan diri dari persoalan
persoalan baru yang berkem-bang dalam masyarakat, terutama jika dikaitkan dengan
persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Perubahan dan perkembangan dalam kehidupan sosial yang begitu cepat dewasa
ini mau tidak mau menuntut adanya penetapan hukum yang ber-kembang pula, yang
mampu berpacu dengan masa, mampu menjawab berbagai tuntutan masa kini, sehingga
ia dapat sejalan dengan peristiwa yang dihadapi-nya.
Persoalan-persoalan baru yang sta-tus hukumya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan dalam
Alquran dan hadis tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam.
Akan tetapi, banyak persoalan baru yang tidak ditemukan pemecahannya dalam
Alquran maupun dalam hadis secara tekstual. Dalam mengatasi hal ini, Alquran
ataupun hadis sebagai sumber hukum Islam harus ditafsirkan secara kontekstual.
Penafsiran terhadap sumber hukum Islam tidak cukup dengan pemahaman berupa
kosa kata dan kalimat yang tertera dalam nas Alquran atau hadis. Akan tetapi,
diperlukan juga upaya pemahaman berdasarkan kontekstual nilai-nilai yang
terkandung di dalam Alquran maupun hadis itu.
Pemahaman yang pertama disebut lafziyah (zahir nas), biasa juga
diistilahkan dengan tekstual. Cara kedua lazim di-istilahkan dengan maknawiyah,
yaitu seorang mujtahid terkadang mengenyam-pingkan bunyi lafaz dalam teks-teks
syariat dan memberinya pengertian baru meskipun asing bagi lafaz itu.
Pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam dititikberatkan pada
pendalaman sisi kaidah-kaidah kebaha-saan untuk menemukan suatu makna tertentu
dari suatu teks. Maka dalam kajian pendekatan makna atau maqasid syari’ah,
kajian lebih dititkberatkan dengan melihat nilai-nilai yang yang berupa
kemaslahatan dan keadilan manusia dalam setiap taklif yang di-turunkan
Allah.2 Melalui maqasid syari’ah
inilah ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang terbatas jumlahnya dapat dikembangkan
untuk menjawab persoaln-persoalan baru yang yang tidak ter-selesaikan melalu
kajian kebahasaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan membahas
tentang bagaimana peranan maqasid syari’ah dalam pengembangan hukum.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Ruang lingkup Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan hukum, baik yang berkaitan dengan perintah maupun yang berkaitan
dengan larangan. Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik
dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Selanjutnya secara terminologi, terdapat
beberapa defenisi yang dikemukakan ulama ushul fiqhi, tetapi seluruh defenisi
tersebut mengan-dung esensi yang sama. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.3
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun berten-tangan
dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu.
Misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan
yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat
istiadat mereka. Akan tetapi, pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak
syara’, karenanya tidak dinama-kan maslahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan
dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan
kehendak dan tujuan manusia.4
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para pakar
hukum Islam seperti al Syatibi men-jelaskan bahwa kemaslahatan yang akan
diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
1.
Al Maslahah al Dharuriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan
yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia yang harus ada atau kebutuhan
primer. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat
manusia di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal dan memelihara keturunan dan
memelihara harta benda.
2.
Al Maslahah al Hajiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) yang sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memeli-hara kebutuhan mendasar manusia atau
kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apa-bila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam
keselamatan, namun mengalami kesulitan.
3.
Al Maslahah al Tahsiniyyah (المصلحة التحسنية), kemaslahatan
yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan al Tahsiniyyah
ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Tingkat ke-butuhan ini berupa kebutuhan peleng-kap seperti menghindarkan hal-hal yang tidak
enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan
norma dan akhlak.
B.
Maqasid Syari’ah dalam Pengem-bangan Hukum
Maqasid syari’ah merupakan se-suatu yang dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk
memahami ayat-ayat dan hadis-hadis hukum. Ia juga dapat diper-gunakan untuk
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat pen-ting adalah maqasid
syari’ah dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum persoalan-persoalan dalam
kehidupan manusia yang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang tidak ter-selesaikan
oleh al-Qur’an dan Hadis melalui kajian kebahasaan.
Seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad terkadang mengnyampingkan bunyi
lafaz dalam teks al-Qur’an maupun Hadis dan memberinya pengertian baru. Cara
ini yang dinamakan metode makna-wiyah, yang banyak
dipergunakan dalam metode qiyas, istihsan dan maslahah mursalah.
Metode penggalian hukum atau dalil hukum seperti qiyas, istihsan dan maslahah
mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum yang didasarkan atas maqasid
syari’ah.5
1.
Qiyas
Metode ini memikirkan makna yang menjadi illat (causa), mengapa
sesuatu itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Qiyas baru bisa
dilaksanakan apabila sudah ditemukan maqasid syari’ah nya yang merupakan
alasan logis (illat) dari suatu hukum. Salah satu cara memahami maqasid
syari’ah menurut al-Syatibiy analisah illat perintah dan larangan
dalam suatu nash.6 Manusia harus berpedoman pada illat tertulis,
karena dengan meng-ikuti illat tertulis sebagai tujuan hukum, perintah dan larangan itu
dapat tercapai. Illat merupakan bagian dari esensi maqasid syari’ah.
Mengenai illat itu, tidak semua dapat diketahui dengan mudah, bahkan
ada di antaranya iilat yang sama sekali tidak dapat diketahui. Jika illat
dari suatu perintah atau larangan dapat diketahui, maka dengan
sendirinya maksud syariat pun dapat diketahui, sebab illat itu sendiri
adalah identik dengan maksud syariat. Masalah yang timbul kemudian jika illat
dari suatu perintah atau larangan sulit diketahui atau tidak dapat diketahui
sama sekali. Dalam keadaan seperti ini, kita dapat menghadapi dua kemungkinan,
yakni jika benar-benar illatnya tidak dapat diketahui, maka sebaiknya
untuk semen-tara bersikap tawaqquf, yaitu berhenti untuk mencari illat
kemudian kembali menjadikan perintah atau larangan itu sendiri sebagai illatnya.
Dalam hal ini maksud pokok syariat ialah dipatuhinya perintah dan larangan.7
Pengembangan hukum dengan metode qiyas harus melewati contoh illat
yang dizahirkan oleh Tuhan dalam nash guna merealisasikan maqasid
syari’ah. Ibnu al Qayyim al Jauziah mengatakan bahwa proses qiyas
harus selaras dengan perintah dan larangan syara’, tidak menyampaikan sesuatu
yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang
bertentangan dengan keadilan.8
Proses qiyas yang benar sebagai pemikiran akal sehat tidak harus ber-tentangan dengan maqasid syari’ah itu.
Itulah sebabnya, illat yang menjadi fokus qiyas merupakan bagian
dari maqasid syari’ah.
Contoh: ketidakbolehan bersikap kasar dalam bentuk memukul orang tua, yang
dianalogikan kepada ketidakbolehan berkata kasar yang menyakitkan sebagai-mana
yang ditunjukkan dalam Q.S. al Isra’ (17):23:
فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل
لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
Terjemahnya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya per-kataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.9
Ayat di atas bertujuan membimbing dan memberi arah kepada manusia untuk
selalu menempatkan orang tua pada posisi yang terhormat dalam rangka menjaga
martabat dan kehormatan sebagai bagian dari maqasid syari’ah.
Contoh lain tentang kasus diharam-kannya minuman khamar. Dari hasil penelitian ulama ditemukan
bahwa maqasid syari’ah dari diharamkannya khamar adalah karena sifat
memabukkan yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi illat (alasan
logis) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu
sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.10 Oleh karena itu setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Illat hukum dalam suatu ayat atau hadis
bila diketahui maka dapat dilakukan qiyas. Qiyas hanya bisa
dilakukan apabila ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat
menqiyaskan
2.
Istihsan
Persoalan-persoalan yang telah dike-tahui dan ditetapkan hukumnya dalam
nash atau melalui qiyas, kemudian dalam suatu kondisi bila ketentuan itu
diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih
umum dan lebih layak menurut syara’ untuk diper-tahankan, maka ketentuan
itu dapat ditinggalkan. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan.
Istihsan adalah mengecualikan atau memindahkan hukum suatu peristiwa dari
hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum
yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengucualian tersebut. Dengan
demikian maka istihsan adalah kebalikan qiyas, karena qiyas adalah
mempersama-kan hukum suatu peristiwa dengan peristiwa
lain yang sejenisnya.11
Dari defenisi istihsan di atas, di-ketahui bahwa istihsan
dimaksudkan sebagai cara untuk menetapkan salah satu di antara dua alternatif
hukum yang dianggap lebih dekat kepada kebutuhan manusia (اساس التيسير ورفع الحرج), atau mening-galkan kesulitan untuk kemuda-han. Prinsip ini sejalan
dengan Q.S al Baqarah (2): 185:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
Terjemahnya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.12
Untuk memperjelas makna ihtihsan penulis
kemukakan contoh istihsan pada kasus wakaf tanah pertanian. Menurut
kesimpulan qiyas, hak pengairan pada tanah pertanian tidak ikut
diwakafkan kecuali jika disebutkan dalam ikrar wakaf, disamakan dengan jual
beli karena sama-sama menghilangkan hak milik. Akan tetapi, berdasarkan istihsan
yang ber-orientasi kepada kemaslahatan (maqasid syari’ah), hak pengairan
termasuk ke dalam wakaf tanah pertanian seaklipun tidak disebutkan dalam ikrar
wakaf disamakan dengan sewa menyewa dengan illat untuk diambil
manfaatnya. Per-samaan tanah wakaf ke sewa menyewa lebih kuat pengaruh hukumnya
karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil
manfaatnya.
3.
Maslahah Mursalah
Dalam pembahasan qiyas dijelaskan bahwa qiyas bisa dilakukan
apabila ada ayat atau hadis yang secara khusus yang dapat dijadikan tempat
menqiyaskan. Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al
maqis ‘alaih, tetapi termasuk ke dalam maqasid syari’ah secara umum
maka dilakukan metode maslahah mursalah.
Maslahah mursalah ialah penetapan
hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada
ketetapan hukumnya dalam syariat yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau
mengabaikannya.13 Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan
manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan atau menghindarkan kesusahan
bagi manusia.
Golongan yang paling banyak mempergunakan metode ini adalah golongan
malikiyah. Abu Zahrah dalam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa setidaknya ada
tiga alasan yang diper-gunakan golongan malikiyah terhadap penggunaan metode
atau dalil maslahah mursalah.14
Pertama, para sahabat Nabi telah menerapkan metode maslahah
mursalah ini. Contohnya adalah sahabat Nabi Abu Bakar atas saran Umar bin
Khattab mengumpulkan al Qur’an dalam satu mushaf, dan dalam hal ini tidak
pernah dilakukan pada masa Nabi. Pengumpulan al Qur’an ini di dasarkan pada maslahah,
yaitu terpeliharanya al Qur’an dari sifat kemutawatirannya yang diakibatkan
karena banyaknya para sahabat yang menghafal al Qur’an wafat. Umar bin Khattab
tidak memberikan bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk
Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.
Usman bin Affan menuliskan al Qur’an pada satu logat bahasa demi memelihara
tidak terjadinya perbedaan bacaan al Qur’an itu sendiri.
Kedua, maslahah mursalah jika diterapkan
dalam hal yang sejalan dengan maksud syariat, tentunya metode ini juga
dibenarkan. Ayat-ayat al Qur’an atau hadis-hadis Rasulullah menujukkan bahwa
setiap hukum mengandung kemas-lahatan bagi manusia. Oleh karena itu, memberlakukan maslahah
terhadap hukum-hukum lain yang juga mengan-dung kemaslahatan adalah legal. Dengan demikian menolak maslahah
mursalah berarti menolak metode yang sesuai dengan maqasid syari’ah(
tujuan syariat), dan hal ini merupakan kebathilan.
Ketiga, sekiranya maslahah mur-salah yang
pada prinsipnya merupakan tujuan syariat itu tidak dapat diterima sama sekali,
maka pada suatu saat manusia akan mengalami kesulitan, padahal Allah
menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi manusia.
Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan
lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam hanya terbatas pada
hukum-hukum yang tertulis dalam ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Rasulullah
yang jumlahnya terbatas itu saja, akan membawa kepada kesulitan dan ketidakmampuan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul
III.
PENUTUP
Berdasarkan dari uraian-urain ter-sebut di atas, di akhir dari pembahasan
tulisan ini tentang maqasid syari’ah dan pengembangan hukum maka penulis
mengemukakan bahwa melalui maqasid syari’ah ayat-ayat atau hadis-hadis
yang secara kuantitatif terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab
berbagai macam persoalan hukum yang muncul yang tidak terselesaikan dengan pen-dekatan
kebahasaan
Pengembangan hukum melalui maqasid syari’ah dilakukan dengan
penggunaan metode penggalian hukum atau dalil hukum seperti qiyas, istihsan
dan maslahah mursalah. Metode-metode penetapan hukum atau dalil hukum
ini didasarkan atas maqasid syari’ah.
Catatan
Akhir:
1Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Dina
Utama, t.th.), h. 3.
2Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Mesir: Dar al Fikr al Arabiy,
t.th.), 364
3Lihat Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul , jilid I
(Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983), h. 286.
4Ibid.
5Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), h. 237
6Abu Ishaq al Syatiby, al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Juz IV
(ed.) Abdullah Darras (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1991), h. 89.
7Lihat Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqhi (Makassar:
Yayasan al Ahkam, 2000), h. 234
8Lihat Asafri Jaya Bahkri, Konsep Maqasid
syari’ah Menurut al Syatibiy (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 136
9Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha
Putra, 1989), h. 427
10Lihat Satria Efendi, M. Zein, op.cit., h. 238.
11Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet
VI;Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 66.
12Departemen Agama RI, op.cit., h. 45
13Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam
(Cet IV; Bandung: al Ma’arif, 1997), h. 105.
14Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Mesir: Dar al Fikr al
‘Araby, t.th.), h 281-282.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al Fiqh. Mesir: Dar al Fikr al Arabiy, t.th.
Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam. Cet VI;Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Asafri Jaya Bahkri. Konsep Maqasid syari’ah
Menurut al Syatibiy. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Departemen Agama RI. al Qur’an dan
Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989.
al Ghazali, Abu Hamid. al Mustashfa min
‘Ilm al Ushul. jilid I, Beirut: Dar
al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983.
Hamka Haq. Falsafat Ushul Fiqhi. Makassar:
Yayasan al Ahkam, 2000.
Muhammad Abu Zahrah. Ushul al Fiqh.
Mesir: Dar al Fikr al ‘Araby, t.th.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman. Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Cet IV; Bandung: al Ma’arif, 1997.
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana, 2009.
al Syatiby, Abu Ishaq. al Muwafaqat fi
Ushul al Syari’ah. Juz IV (ed.) Abdullah Darras, Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyyah, 1991.
Umar Syihab. Hukum Islam dan Transformasi
Pemikiran. Semarang: Dina Utama, t.th.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar