Rabu, 28 Januari 2015

MAQASID SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN HUKUM (Analisis Terhadap Beberapa Dalil Hukum)



MAQASID SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN HUKUM  
(Analisis Terhadap Beberapa Dalil Hukum)
Aris Rauf
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: aris_stainpare@yahoo.co.id


Abstract: This paper studies regarding one aspect of the discussion about the science of usul Fiqhi Maqasid Shariah law and development. The issue is how maqasid role in the development of Shariah law. In the discussion of its principles Fiqhi, one method of extracting law is Shariah maqasid approach. Through Shariah maqasid verses and hadiths law quantitatively very limited amount can be developed to address the problems that arise. Legal development is done by using the method of determination of the law such as qiyas, maslahah mursalah and istihsan. Methods of determination is through maqasid Shariah law.

Kata Kunci: Maqasid Syari’ah, Pengembangan Hukum


I.     PENDAHULUAN
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi yang kian meningkat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat telah membawa pengaruh yang besar yang dapat menimbulkan berbagai persoalan-persoalan hukum.1 Masyarakat Islam, sebagai suatu bagian yang tak dapat melepaskan diri dari persoalan persoalan baru yang berkem-bang dalam masyarakat, terutama jika dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Perubahan dan perkembangan dalam kehidupan sosial yang begitu cepat dewasa ini mau tidak mau menuntut adanya penetapan hukum yang ber-kembang pula, yang mampu berpacu dengan masa, mampu menjawab berbagai tuntutan masa kini, sehingga ia dapat sejalan dengan peristiwa yang dihadapi-nya.
Persoalan-persoalan baru yang sta-tus hukumya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan dalam Alquran dan hadis tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, banyak persoalan baru yang tidak ditemukan pemecahannya dalam Alquran maupun dalam hadis secara tekstual. Dalam mengatasi hal ini, Alquran ataupun hadis sebagai sumber hukum Islam harus ditafsirkan secara kontekstual.
Penafsiran terhadap sumber hukum Islam tidak cukup dengan pemahaman berupa kosa kata dan kalimat yang tertera dalam nas Alquran atau hadis. Akan tetapi, diperlukan juga upaya pemahaman berdasarkan kontekstual nilai-nilai yang terkandung di dalam Alquran maupun hadis itu.
Pemahaman yang pertama disebut lafziyah (zahir nas), biasa juga diistilahkan dengan tekstual. Cara kedua lazim di-istilahkan dengan maknawiyah, yaitu seorang mujtahid terkadang mengenyam-pingkan bunyi lafaz dalam teks-teks syariat dan memberinya pengertian baru meskipun asing bagi lafaz itu.
Pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam dititikberatkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebaha-saan untuk menemukan suatu makna tertentu dari suatu teks. Maka dalam kajian pendekatan makna atau maqasid syari’ah, kajian lebih dititkberatkan dengan melihat nilai-nilai yang yang berupa kemaslahatan dan keadilan manusia dalam setiap taklif yang di-turunkan Allah.2 Melalui maqasid syari’ah inilah ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab persoaln-persoalan baru yang yang tidak ter-selesaikan melalu kajian kebahasaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang bagaimana peranan maqasid syari’ah dalam pengembangan hukum.
II.  PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Ruang lingkup Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hukum, baik yang berkaitan dengan perintah maupun yang berkaitan dengan larangan. Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Selanjutnya secara terminologi, terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan ulama ushul fiqhi, tetapi seluruh defenisi tersebut mengan-dung esensi yang sama. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.3
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun berten-tangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka. Akan tetapi, pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinama-kan maslahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.4
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para pakar hukum Islam seperti al Syatibi men-jelaskan bahwa kemaslahatan yang akan diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
1.    Al Maslahah al Dharuriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia yang harus ada atau kebutuhan primer. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal dan memelihara keturunan dan memelihara harta benda.
2.    Al Maslahah al Hajiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) yang sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memeli-hara kebutuhan mendasar manusia atau kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apa-bila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun mengalami kesulitan.
3.    Al Maslahah al Tahsiniyyah (المصلحة التحسنية), kemaslahatan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan al Tahsiniyyah ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ke-butuhan ini berupa kebutuhan peleng-kap seperti menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
B.  Maqasid Syari’ah dalam Pengem-bangan Hukum
Maqasid syari’ah merupakan se-suatu yang dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami ayat-ayat dan hadis-hadis hukum. Ia juga dapat diper-gunakan untuk menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat pen-ting adalah maqasid syari’ah dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum persoalan-persoalan dalam kehidupan manusia yang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang tidak ter-selesaikan oleh al-Qur’an dan Hadis melalui kajian kebahasaan.
Seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad terkadang mengnyampingkan bunyi lafaz dalam teks al-Qur’an maupun Hadis dan memberinya pengertian baru. Cara ini yang dinamakan metode makna-wiyah, yang banyak dipergunakan dalam metode qiyas, istihsan dan maslahah mursalah. Metode penggalian hukum atau dalil hukum seperti qiyas, istihsan dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum yang didasarkan atas maqasid syari’ah.5

1.    Qiyas
Metode ini memikirkan makna yang menjadi illat (causa), mengapa sesuatu itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Qiyas baru bisa dilaksanakan apabila sudah ditemukan maqasid syari’ah nya yang merupakan alasan logis (illat) dari suatu hukum. Salah satu cara memahami maqasid syari’ah menurut al-Syatibiy analisah illat perintah dan larangan dalam suatu nash.6 Manusia harus berpedoman pada illat tertulis, karena dengan meng-ikuti illat tertulis sebagai tujuan hukum, perintah dan larangan itu dapat tercapai. Illat merupakan bagian dari esensi maqasid syari’ah.
Mengenai illat itu, tidak semua dapat diketahui dengan mudah, bahkan ada di antaranya iilat yang sama sekali tidak dapat diketahui. Jika illat dari suatu perintah atau larangan dapat diketahui, maka dengan sendirinya maksud syariat pun dapat diketahui, sebab illat itu sendiri adalah identik dengan maksud syariat. Masalah yang timbul kemudian jika illat dari suatu perintah atau larangan sulit diketahui atau tidak dapat diketahui sama sekali. Dalam keadaan seperti ini, kita dapat menghadapi dua kemungkinan, yakni jika benar-benar illatnya tidak dapat diketahui, maka sebaiknya untuk semen-tara bersikap tawaqquf, yaitu berhenti untuk mencari illat kemudian kembali menjadikan perintah atau larangan itu sendiri sebagai illatnya. Dalam hal ini maksud pokok syariat ialah dipatuhinya perintah dan larangan.7
Pengembangan hukum dengan metode qiyas harus melewati contoh illat yang dizahirkan oleh Tuhan dalam nash guna merealisasikan maqasid syari’ah. Ibnu al Qayyim al Jauziah mengatakan bahwa proses qiyas harus selaras dengan perintah dan larangan syara’, tidak menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang bertentangan dengan keadilan.8
Proses qiyas yang benar sebagai pemikiran akal sehat tidak harus ber-tentangan dengan maqasid syari’ah itu. Itulah sebabnya, illat yang menjadi fokus qiyas merupakan bagian dari maqasid syari’ah.
Contoh: ketidakbolehan bersikap kasar dalam bentuk memukul orang tua, yang dianalogikan kepada ketidakbolehan berkata kasar yang menyakitkan sebagai-mana yang ditunjukkan dalam Q.S. al Isra’ (17):23:
فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
Terjemahnya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya per-kataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.9
Ayat di atas bertujuan membimbing dan memberi arah kepada manusia untuk selalu menempatkan orang tua pada posisi yang terhormat dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sebagai bagian dari maqasid syari’ah.
Contoh lain tentang kasus diharam-kannya minuman khamar. Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’ah dari diharamkannya khamar adalah karena sifat memabukkan yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi illat (alasan logis) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.10 Oleh karena itu setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui maka dapat dilakukan qiyas. Qiyas hanya bisa dilakukan apabila ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat menqiyaskan
2.    Istihsan
Persoalan-persoalan yang telah dike-tahui dan ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian dalam suatu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk diper-tahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan.
Istihsan adalah mengecualikan atau memindahkan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengucualian tersebut. Dengan demikian maka istihsan adalah kebalikan qiyas, karena qiyas adalah mempersama-kan hukum suatu peristiwa dengan peristiwa lain yang sejenisnya.11
Dari defenisi istihsan di atas, di-ketahui bahwa istihsan dimaksudkan sebagai cara untuk menetapkan salah satu di antara dua alternatif hukum yang dianggap lebih dekat kepada kebutuhan manusia (اساس التيسير ورفع الحرج), atau mening-galkan kesulitan untuk kemuda-han. Prinsip ini sejalan dengan Q.S al Baqarah (2): 185:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Terjemahnya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.12
Untuk memperjelas makna ihtihsan penulis kemukakan contoh istihsan pada kasus wakaf tanah pertanian. Menurut kesimpulan qiyas, hak pengairan pada tanah pertanian tidak ikut diwakafkan kecuali jika disebutkan dalam ikrar wakaf, disamakan dengan jual beli karena sama-sama menghilangkan hak milik. Akan tetapi, berdasarkan istihsan yang ber-orientasi kepada kemaslahatan (maqasid syari’ah), hak pengairan termasuk ke dalam wakaf tanah pertanian seaklipun tidak disebutkan dalam ikrar wakaf disamakan dengan sewa menyewa dengan illat untuk diambil manfaatnya. Per-samaan tanah wakaf ke sewa menyewa lebih kuat pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya.
3.    Maslahah Mursalah
Dalam pembahasan qiyas dijelaskan bahwa qiyas bisa dilakukan apabila ada ayat atau hadis yang secara khusus yang dapat dijadikan tempat menqiyaskan. Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al maqis ‘alaih, tetapi termasuk ke dalam maqasid syari’ah secara umum maka dilakukan metode maslahah mursalah.
Maslahah mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syariat yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.13 Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan atau menghindarkan kesusahan bagi manusia.
Golongan yang paling banyak mempergunakan metode ini adalah golongan malikiyah. Abu Zahrah dalam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga alasan yang diper-gunakan golongan malikiyah terhadap penggunaan metode atau dalil maslahah mursalah.14
Pertama, para sahabat Nabi telah menerapkan metode maslahah mursalah ini. Contohnya adalah sahabat Nabi Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab mengumpulkan al Qur’an dalam satu mushaf, dan dalam hal ini tidak pernah dilakukan pada masa Nabi. Pengumpulan al Qur’an ini di dasarkan pada maslahah, yaitu terpeliharanya al Qur’an dari sifat kemutawatirannya yang diakibatkan karena banyaknya para sahabat yang menghafal al Qur’an wafat. Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Usman bin Affan menuliskan al Qur’an pada satu logat bahasa demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al Qur’an itu sendiri.
Kedua, maslahah mursalah jika diterapkan dalam hal yang sejalan dengan maksud syariat, tentunya metode ini juga dibenarkan. Ayat-ayat al Qur’an atau hadis-hadis Rasulullah menujukkan bahwa setiap hukum mengandung kemas-lahatan bagi manusia. Oleh karena itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengan-dung kemaslahatan adalah legal. Dengan demikian menolak maslahah mursalah berarti menolak metode yang sesuai dengan maqasid syari’ah( tujuan syariat), dan hal ini merupakan kebathilan.
Ketiga, sekiranya maslahah mur-salah yang pada prinsipnya merupakan tujuan syariat itu tidak dapat diterima sama sekali, maka pada suatu saat manusia akan mengalami kesulitan, padahal Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi manusia. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam hanya terbatas pada hukum-hukum yang tertulis dalam ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Rasulullah yang jumlahnya terbatas itu saja, akan membawa kepada kesulitan dan ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul
III.   PENUTUP
Berdasarkan dari uraian-urain ter-sebut di atas, di akhir dari pembahasan tulisan ini tentang maqasid syari’ah dan pengembangan hukum maka penulis mengemukakan bahwa melalui maqasid syari’ah ayat-ayat atau hadis-hadis yang secara kuantitatif terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab berbagai macam persoalan hukum yang muncul yang tidak terselesaikan dengan pen-dekatan kebahasaan
Pengembangan hukum melalui maqasid syari’ah dilakukan dengan penggunaan metode penggalian hukum atau dalil hukum seperti qiyas, istihsan dan maslahah mursalah. Metode-metode penetapan hukum atau dalil hukum ini didasarkan atas maqasid syari’ah.
Catatan Akhir:
1Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Dina Utama, t.th.), h. 3.
2Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Mesir: Dar al Fikr al Arabiy, t.th.), 364
3Lihat Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul , jilid I (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983), h. 286.
4Ibid.
5Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), h. 237
6Abu Ishaq al Syatiby, al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Juz IV (ed.) Abdullah Darras (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1991), h. 89.
7Lihat Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqhi (Makassar: Yayasan al Ahkam, 2000), h. 234
8Lihat Asafri Jaya Bahkri, Konsep Maqasid syari’ah Menurut al Syatibiy (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 136
9Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 427
10Lihat Satria Efendi, M. Zein, op.cit., h. 238.
11Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet VI;Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 66.
12Departemen Agama RI, op.cit., h. 45
13Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam (Cet IV; Bandung: al Ma’arif, 1997), h. 105.
14Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Mesir: Dar al Fikr al ‘Araby, t.th.), h 281-282.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al Fiqh. Mesir: Dar al Fikr al Arabiy, t.th.
Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cet VI;Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Asafri Jaya Bahkri. Konsep Maqasid syari’ah Menurut al Syatibiy. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Departemen Agama RI. al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989.
al Ghazali, Abu Hamid. al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul.  jilid I, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983.
Hamka Haq. Falsafat Ushul Fiqhi. Makassar: Yayasan al Ahkam, 2000.
Muhammad Abu Zahrah. Ushul al Fiqh. Mesir: Dar al Fikr al ‘Araby, t.th.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Cet IV; Bandung: al Ma’arif, 1997.
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2009.
al Syatiby, Abu Ishaq. al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah. Juz IV (ed.) Abdullah Darras, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1991.
Umar Syihab. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina Utama, t.th.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar