MASLAHAT MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM AL-GHAZALI (STUDI
PERBANDINGAN)
Hj. Andi Herawati
UIN Alauddin Dpk Fakultas Agama Islam Universitas Islam Makassar
Abstract: This
article discusses Imam Malik’s and Imam al-Gazali’s theory of maslahat: First, both Malik
and al-Gazali agreed that maslahat relevant
to Islamic law. Therefore, maslahat must not
contradict the primary texts (the Quran and hadith), rational and absolute,
there is no primary text supports or contradicts it. Both Malik and al-Gazali
agreed that maslahat only used in social aspect, not worship field. Second,
Imam Malik used maslahah mursalah as a resorce of Islamic law. In contrast, al-Gazali put maslahah mursalah as method to Islamic
law. Malik justified that maslahah mursalah as an independent Islamic resource, and al-Gazali justified it as
a dependent lslam law resouce. Malik’s point of view is different from
al-Gazali’s where Malik said that maslahah mursalah may be used both for daruriyat and hajiyat,
while al-Gazali’s point of view that it is used for daruriyat or hajiyat
which is the same level as daruriyat.
Kata
Kunci: Maslahat, Imam Malik, Al-Gazali
I.
PENDAHULUAN
Masalahah
mursalah, apakah sebuah sumber hukum Islam atau sekedar sebuah metode istinbath,
merupakan starting point yang mewar-nai perdebatan ulama. Perbedaan ter-sebut
merupakan titik awal yang selan-jutnya berimplikasi pada cara pandang dan cara menyikapinya. Hal ini berang-kat dari
sebuah hasrat untuk mewujud-kan tujuan-tujuan utama syariat diturun-kan dan diformulasikan. Tujuan hukum yang dalam
istilah ushul fiqh disebut dengan maqashid al-syari‘ah adalah mengkaji nilai-nilai yang dikandung oleh hukum,
yaitu maslahat.1 Pakar ushul fiqh,
seperti Imam al-Haramain sebagaimana dikutip oleh Amir Mual-lim dan Yusdani dapat
dikatakan seba-gai orang yang pertama menekankan pentingnya memahami maqasid
al-syari’ah dalam menetapkan hukum.2
Kajian tentang maqasid
al-syar‘iah tidak lain adalah
menyangkut pembahasan tentang maslahat. Pem-bahasan tentang maslahat
ini tidak luput dari perbedaan dan perdebatan di kalangan pakar ushul fiqh.
Perbedaan dan perdebatan ini bukan saja terlihat dari segi pemahaman tentang
essensi maslahat, yaitu menyangkut pemak-naan dan bentuknya, tetapi
juga terkait langsung dengan relevansinya dengan kepentingan dan hajat manusia
yang terus berkembang. Tidak dapat dipung-kiri bahwa perbedaan dan
perdebatan ini semakin lebih terlihat lagi ketika terjadinya pertentangan
antara masla-hat dengan nash dan Ijma’.3
Para pakar ushul fiqh
memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam menghadapi pertentangan antara masla-hat dengan nas.
Sebagaimana dijelas-kan oleh Abdullah al-Kamali,4 pada umumnya para ushuliyun
berpendapat bahwa jika terjadi pertentangan antara maslahat dengan nas
al-Qur’an dan Sunah atau al-Ijmak, maka hal yang demikian merupakan maslahat
yang diragukan dan harus ditolak karena akan membawa kepada kerusakan (mafsadat).
Jalan yang harus diambil adalah mendahulukan nas atas masla-hat (taqdim al-nash ‘ala al-maslahat).
Mengapa mendahulukan nas
jika terjadi perlawanan atau pertentangan dengan maslahat? Hal ini tidak lain
karena apa yang disebut maslahat atau kemaslahatan cenderung jika tidak disebut lebih
banyak dipengaruhi oleh hawa
nafsu dan kepentingan manusia. Jika sesuatu yang disebut maslahat dipengaruhi
oleh hawa nafsu manusia, maka akan terjadi kerusakan dan hal ini yang tidak
bisa ditolerir.
Dalam upaya pembinaan
hukum syarak berbagai langkah metodologis telah dirumuskan oleh ulama ushul.
Langkah-langkah metodologis ini me-rupakan sarana atau cara yang bukan saja dapat dipergunakan untuk mema-hami
hukum-hukum syarak dari sum-bernya al-Qur’an dan Sunah, melain-kan juga
berfungsi sebagai alat untuk menggali dan menetapkan hukum. Perumusan
langkah-langkah metodo-logis ini melahirkan
sejumlah teori yang dipergunakan oleh para ulama ushul dalam kegiatan
istinbath (penari-kan kesimpulan) hukum. Teori yang paling
awal digunakan dalam kegiatan istinbath hukum adalah berpijak pada
kaidah-kaidah lafzhiyah nash dan muatan hukum yang terkandung di
dalamnya, yang kemudian dikenal dengan teori bayani. Kemudian, dalam
perkembangan berikutnya muncul teori qiyasi dan istislahi.
Teori Qiyasi fokusnya adalah memperluas
pemberlakuan suatu ke-tentuan hukum yang sudah ada kepada persoalan-persoalan
baru yang tidak disebutkan oleh nas atas dasar ke-samaan ‘illat
antara keduanya. Berbeda dengan teori bayani dan qiyasi, teori istishlahi
digunakan ketika tidak ditemukan jawaban hukum secara tekstual dalam nas,
dan tidak pula ada padanannya dengan apa yang telah diterapkan di dalam nas.
Operasional istislahi didasarkan atas substansi kepentingan yang dibutuhkan
oleh manusia yakni segi keberadaan kepen-tingan tersebut dan segi
peniadaan atau penolakan terjadinya kemudaratan dalam kehidupan manusia. Dan
teori ini yang kemudian, oleh para ulama ushul disebut dengan teori Masalahat Mursalah. Kajian tentang maslahat
Mursalah merupakan bagian yang sangat penting dalam dalam teori pemikiran
hukum Islam, disamping ia digunakan secara luas dalam kegiatan istinbath
hukum ketika menghadapi berbagai kasus baru yang tidak ditemu-kan jawabannya secara
tekstual dalam nas al-Qur’an dan Sunah.
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Malik dan Iman al-Ghazali
1.
Imam Malik.
Nama lengkapnya Abu Abdullah Malik bin Anas
bin Malik bin Abi Amir bin Amr al-Haris bin Gaiman bin Husail bin Amr bin
al-Haris al-Asbahi al-Madani, kunyah-nya Abu Abdullah.5 Ia dilahirkan di kota
Madinah, dari sepasang suami isteri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik,
bangsa Arab Yaman.
Terdapat perbedaan
pendapat ten-tang kelahirannya di
kalangan sejara-wan. Ada yang menyatakan
90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas sejarawan
lebih cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H. pada masa Khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik bin Marwan dan wafat di Madinah dalam usia 87 tahun, setelah
menjadi mufti Madinah selama 60 tahun. Ia sakit selama 22 hari dan
wafat pada hari Ahad tanggal 14 Rabiul Awal
tahun 179 H.6
Imam Malik
menimba ilmu dari semua Ulama di Madinah, baik ahli hadis maupun ahli fikih. Ia
belajar hadis dari sekian banyak ulama dan gurunya yang paling terkenal dalam
bidang hadis antara lain adalah al-Zuhri, Nafi’ Maula ibn Umar dan Hidyam ibn
Zubair. Ia dalam bidang fikih, ia dari fuqaha di Madinah
yang dikenal dengan fuqaha al-Sab’ah.
Dalam usianya
yang masih muda, ia telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh hidupnya didedikasikan dalam dunia pendidikan. Ulama
besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam
Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat
disebutkan, murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.7
Ia
disebut-sebut sebagai tokoh utama eksklusifisme sunah ulama Madinah yang
ditandai dengan karya monumentalnya, al-Muwatta’. Karya ini merupakan kitab
hadis sekaligus sebagai kitab fikih. Sebagai kitab hadis, Muwatta’ terklasifikasi
dalam al-kutub al-tis‘ah.
Al-Muwatta' sebagai kitab
fikih berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan dan menjadi salah satu rujukan
penting para ulama kontemporer. Karya terbesar imam Malik ini dinilai memiliki
banyak keistimewaan. Kitab tersebut disusun berdasarkan klasifi-kasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadis dan fatwa sahabat.
Selain Al-Muwatta',
Imam Malik juga menyusun kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa
dan jawaban Imam Malik atas berbagai masalah. Imam Malik tidak hanya
meninggalkan warisan berupa buku, melainkan juga mewariskan Mazhab Fikih di
kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki.
Disamping konsisten
memegang teguh hadis, mazhab ini juga dikenal memprioritaskan aspek kemaslahatan
dalam menetapkan hukum. Secara ber-urutan, sumber hukum yang dikem-bangkan
dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah saw., amalan sahabat, tradisi masyarakat
Madinah (amal ahli al-Madinah), qiyas (analogi), dan al-Maslahah
al-Mursalah.
2.
Imam al-Ghazali
Abu
Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Gazali Al-Thusi. Al-Gazali lahir pada tahun 450
H/1058 M di Tabaran, salah satu wilayah di Thus, yakni kota terbesar kedua di
Khurasan setelah Naisabur. Kepada nama kota kelahirannya inilah kemudian nama
Al-Gazali dinisbatkan (al-Thusi). Al-Gazali adalah seorang tokoh pemikir muslim
yang hidup pada bagian akhir dari zaman keemasan di bawah khilafah Abbasiyah
yang berpusat di Bagdad. Al-Ghazali sempat berpartisi-pasi dalam kehidupan
politik ke-agamaan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Nizam dan kemudian
menjadi sosok sentral. Ia wafat di kota kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M.8
Dunia Islam memberikan gelar kehormatan
kepadanya dengan sebutan Hujjah al-Islam (pembela Islam)
karena kegigihan dan jasa-jasanya dalam membela Islam dari gencarnya gempuran
arus pemikiran yang dikhawatirkan dapat mengancam eksistensi Islam, baik dari
kalangan filosof, mutakallimin, batiniyah, dan sufi. Demikian juga atas upaya
dan usaha-nya merawat kembali tradisi keilmuan Islam sebagaimana terlihat pada
karya besar monumentalnya Ihya Ulum al-Din.9
Al-Gazali menguasai berbagai cabang ilmu. Dari
sekian banyak karyanya menunjukkan bahwa ia adalah ulama yang handal di bidang ushul
al-din (ilmu kalam), ushul fiqh, fiqh, mantiq (logika),
hikmah, filsafat, dan ta sawuf. Dari segi geneologi
intelek-tualnya, ia memiliki banyak guru, di-antaranya Imam Haramain (Abu
al-Ma’ali al-Juwaini) yang dianggap paling banyak berjasa membina Al-Gazali
menjadi ahli fikih dan usul fiqh. Di akhir hayat sang guru
inilah Al-Gazali mulai menampakkan eksistensi-nya sebagai ulama besar yang di-kagumi
oleh banyak kalangan, dan mulai banyak mengajar dan menga-rang.
Sebagaimana disebutkan di atas, al-Gazali
dikenal sebagai filosof, mantiqi, mutakallim, sufi, faqih
dan ushuli.
Di bidang ilmu kalam ia meru-pakan tokoh mutakallimin Asy’ariyah, sementara di
bidang hukum Islam (fiqh dan ushul
fiqh), ia merupakan tokoh Syafi’iyah. Selaku ushuli,
mazhab Syafi`i, Al-Gazali meninggalkan bebe-rapa karya ilmiah khusus di bidang
disiplin ilmu ini, diantaranya adalah:
1.
A1-Mankhul
min Ta’liqat al-Ushul. Ini adalah
karya Al-Gazali yang pertama
di bidang ushul
fiqh. Kitab ini telah di‑tahqiq (diedit) oleh Muhammad Hasan
Haitu dan diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut.
2.
Syifa
‘al-Ghalil fi Bayan asy-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al- Ta’lil. Kitab ini di-tahqiq oleh Hammid al-Kabisi untuk
meraih gelar doktor di bidang Ushul fiqh dari Fakultas Syari’ah
Al-Azhar.
3.
Al-Mustasfa
Min ‘Ilm al-Ushul. Ini adalah kitab
ushul
fiqh yang menempatkan Al-Gazali sebagai tokoh ushuliyyin
mazhab Syafi’i.10
Diantara sejumlah karya Al-Gazali dalam bidang
Ushul Fiqh,
al-Mustasfa dipandang sebagai salah satu dari buku induk yang
menjadi rujukan kitab-kitab ushul al-fiqh Syafi’iyyah yang
dikarang pada masa-masa beri-kutnya. Tiga serangkai buku induk ushul
fiqh Syafi’iyah dimaksud ialah: Al-Mu’tamad karya Abu al-Husain
al-Basri al-Mu`tazili (463 H), Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya
Abu al-Ma’ali Abd Allah al-Juwayni al-Naisaburi Imam al Haramain (478 H) dan Al-Mustasfa,
karya Al-Gazali (505 H). 11
Badran Abu al-Ainain dan Syekh Muhammad al-Khudari
(w. 1345 H) menilai, diantara ketiga kitab di atas yang paling bagus adalah al-Mustasfa,
baik dilihat dari segi keindahan dan kejelasan bahasa, sistematika,
maupun adanya tambahan-tambahan yang belum pernah ditemukan pada kitab-kitab
sebelumnya.12
Perhatian para ulama terhadap al-Mustasfa
cukup besar. Hal ini, antara lain, ditandai dengan adanya upaya
para ulama untuk mensyarahkan (memberi komentar) kitab
tersebut, disamping ada pula yang meringkasnya dalam suatu buku dan memberikan
catatan-catatan penting.
B. Teori Maslahat Imam Malik dan Imam al-Gazali
Menurut Imam Malik bahwa maslahat
mursalat adalah kemasla-hatan yang tidak ada pembatalannya dari nash dan
juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash akan tetapi maslahat
mursalah ini tidak boleh bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok.
Teori maslahah mursalah
menu-rut imam Malik sebagaimana dinukil-kan oleh imam Syatibi dalam kitab al-I’tisham
adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syarak,
yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah
(primer) maupun hujjiyah (sekunder).13
Sedang menurut teori imam
al-Ghazali, maslahah adalah: “memeli-hara tujuan-tujuan syari’at”.
Sedang-kan tujuan syari’at meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1) melindungi
agama (hifzh al diin); 2) melindungi jiwa (hifzh
al nafs); 3) melindungi akal (hifzh al aql); 4) melindungi kelestarian
manusia (hifzh al nasl); dan 5) melindungi harta benda (hifzh al mal).14
Teori maslahah-mursalah atau istislah
sebagaimana disebutkan di atas, pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik
(W. 97 H.), pendiri mazhab Malik. Namun, setelah abad ketiga hijriyah tidak ada
lagi ahli usul fikih yang menisbatkan maslahah-mursalah kepada Imam
Malik,15 sehingga tidak berlebihan jika
ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan
dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fikih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Menurut beberapa
hasil penelitian, ahli usul fikih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah
adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.16
Dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu,
Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika tidak mene-mukannya
dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya di dalam Sunah Nabi,17 dan apabila di dalam al-Qur’an dan Sunah tidak ditemukan,
maka ia mendasarkan pendapatnya kepada konsensus (ijma’) para sahabat,
dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah hukum
tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara ber-ijtihad.
Metode ijtihad
yang dipakai oleh Imam Malik dalam rangka menggali hukum (istinbath)
ada dua yaitu; qiyas dan istislah atau maslahah-mursalah. Metode
qiyas dipraktekkan oleh Imam Malik apabila ada nas tertentu, baik
al-Qur’an maupun Sunah yang men-dasarinya. Sedangkan metode istislah atau
maslahah-mursalah dipraktekkan oleh Imam Malik apabila masalah (hukum)
yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nas yang mendasarinya, baik yang
membenarkan maupun yang melarangnya. Dalam
kasus-kasus ter-tentu, Imam Malik menggunakan metode maslahah-mursalah
dalam men-takhsis ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.18
Secara umum, Imam Malik menggunakan maslahat meskipun tidak ada nas
atau hadis Nabi saw. karena tujuan
syara’ adalah untuk kemasla-hatan umat manusia dan setiap nas pasti mengandung
nilai maslahat. Jika tidak ada nas, maslahat hakiki adalah melihat
tujuan hukum syara’.
Untuk menjadikan maslahah mur-salah menjadi dalil, Imam
Malik ber-tumpu pada:
1.
Praktek para sahabat yang
telah menggunakan maslahah mursalah, diantaranya saat sahabat mengum-pulkan
al-Qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw..
2.
Adanya maslahat berarti
sama dengan merealisasikan maqasid al-syariah. Oleh karena itu, wajib
menggunakan dalil maslahat karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri
sendiri.
3.
Seandainya maslahat tidak
diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang
mukallaf akan mengalami kesulitan.
Imam Malik dalam menggunakan
maslahah mursalah sebenarnya tidak memberikan peluang terhadap subjek-tivitas seseorang. Hal ini terbukti dengan adanya
syarat-syarat yang ia terapkan terhadap pengguna
maslahah mursalah dengan ketat, syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Maslahah mursalah harus memiliki kecenderungan mengarah kepada
tujuan syari’at walaupun secara umum dan tidak bertentangan
dengan dasar-dasar Syarak, dalil-dalil hukum.
2.
Pembahasannya harus bersifat rasional dengan indikasi seandainya dipaparkan
terhadap orang-orang berakal mereka akan menerimanya.
3.
Penggunaanya bertujuan untuk kebu-tuhan yang sangat darurat atau untuk menghilangkan
berbagai ben-tuk kesulitan dalam beragama.
4.
Maslahah mursalah yang digunakan untuk membuat hukum adalah benar-benar maslahah secara nyata
bukan dugaan.
5.
Maslahah yang dipakai adalah maslahah umum,
bukan maslahah bagi kepentingan satu golongan atau individu tertentu.19
Sebagai
implikasi sikap kehati-hatiannya, Imam Malik selalu mem-prioritaskan al-Qur’an dan
hadis di dalam ber-istimbath dan tidak meng-gunakan Maslahah
Mursalah jika ber-tentangan dengan nas.
Dengan demi-kian dapat disimpulkan bahwa
Masla-hah Mursalah menurut Imam Malik jelas
sebagai alternatif terakhir apabila tidak ditemukan dalam nas
dan ijma’.
Sedang al-Gazali
menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh
dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Maslahat yang dibenarkan
oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas,
yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh:
menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang mema-bukkan adalah haram
diqiyaskan kepada khamar.
2.
Maslahat yang dibatalkan
oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika
melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hen-daklah berpuasa dua bulan
berturut-turut. Ketika pendapat itu disang-gah, mengapa ia tidak memerintah-kan
Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia kaya, ulama itu berkata, kalau raja
itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia
dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya.
Oleh karena
itu, maslahatnya, ia
wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat
yang batal dan menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan
merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan
perubahan kondisi dan situasi.
3.
Maslahat yang tidak dibenarkan
dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.20
Ketiga hal tersebut di atas dijadi-kan landasan oleh imam al-Ghazali dalam membuat
batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:
1.
Maslahat
tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2.
Maslahat
tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’.
3.
Maslahat
tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder)
yang setingkat dengan daruriyah.
4.
Kemaslahatannya
harus berstatus qat’i atau zanny yang mendekati qat’i.
5.
Dalam
kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah,
daruriyah,dan kulliyah.21
Berdasarkan persyaratan operasi-onal
yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak
memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas
dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah
hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum,
bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.
Sedangkan ruang lingkup opera-sional
maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas,
namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratma Putra
terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang di-kemukakan oleh
Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-Mankhul, Asas
al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa)
dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah
yaitu hanya di bidang muamalah saja.22
Jika dibandingkan persyaratan yang
dibuat oleh Imam Malik dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di
atas, maka persamaan antara Maslahat Imam Malik
dengan Maslahat Imam al-Gazali adalah:
1.
Maslahat sejalan dengan penetapan hukum Islam
2.
Maslahat tidak bertentangan dengan nas
3.
Maslahat bersifat rasional dan pasti
4.
Maslahat yang dimaksud tidak ditun-jukkan oleh dalil tertentu yang mem-benarkan atau sebaliknya mem-batalkan
5.
Dalam ruang lingkup operasional maslahah-mursalah, Imam Malik dan
Imam al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang
muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.
Sedangkan perbedaan antara ke-duanya adalah:
1.
Imam Malik memandang maslahah mursalah sebagai masadir tasyri’ atau sebagai dalil dalam menetap-kan hukum Islam, sementara Imam al-Ghazali
memandang maslahah-mursalah hanya sebagai metode istimbat.
2.
Imam Malik, memandang maslahah mursalah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, sementara imam al-Gazali
memandang maslahah-mur-salah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri (tidak
terlepas dari al-Qur’an, hadis dan ijma’).
3.
Imam Malik memandang bahwa maslahat mursalah selain untuk masalah Daruriyah
juga untuk masalah Hajjiyah, sementara imam al-Gazali bahwa hanya untuk
masalah daruriyyah atau hajjiyah yang setingkat dengan daruriyyah.
Sebagai contoh, Imam Malik membolehkan menyita
kekayaan kong-lomerat23 dengan
pertimbangan mas-lahat, sedang Imam al-Ghazali tidak membenarkannya, karena hal
itu tidak pernah dilakukan oleh para sahabat (bertentangan dengan ijma’).
Imam Malik berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah-mur-salah
dalam menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nas tertentu
(berlawanan atau tidak), tetapi hanya berdasarkan maslahat yang sejalan dengan
tujuan penetapan hukum syarak.24
Contoh maslahat yang dibenar-kan oleh Imam
al-Ghazali, misalnya apabila harta benda milik orang telah bercampur-baur
dengan harta hasil korupsi, kolusi, manipulasi, penjara-han, dan sebagainya,
sehingga sangat sulit untuk mendapatkan harta/barang yang murni halal, maka
berdasarkan maslahat, boleh atau halal bagi pen-duduk membeli barang sesuai
dengan kebutuhannya melalui transaksi yang halal/benar, sebab jika hal itu
tidak dibenarkan, maka sistem perekono-mian dan kegiatan keagamaan akan macet
dan terhenti, dan akan ber-dampak buruk dalam kehidupan masyarakat. Keadaan
semacam itu tidak dibenarkan oleh Islam. Hal
ini suatu sikap mendahulukan prevensi mafsadat dan menciptkan maslahat untuk
kepentingan kemanusiaan yang lebih besar.
Dengan demikian terlihat bahwa
ulama-ulama besar, baik dari kalangan mazhab Malikiyah maupun dari kalangan Syafi’iyah
menerima masla-hah mursalah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam dengan per-syaratan.
Pertama, hukum yang ditetapkan harus mengandung kemaslahatan. Kedua, maslahat
tersebut sejalan dengan maksud pembentukan hukum Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Ketiga, maslahat
yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut tidak ditunjukkan oleh dalil
tertentu yang membenarkan, atau sebaliknya membatalkan. Sedangkan ruang lingkup
implementasinya khusus dalam masalah muamalah dan adat, tidak berlaku di bidang
ibadah.
Implementasi maslahah-mursalah tersebut, para
ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahkan Imam al-Ghazali memakai
beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga berimplikasi
kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi beri-kutnya mengenai pendapat
ulama ter-dahulu tentang masalah ini.
Dalam kitab al-Mankul, Imam
al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal sahih (bukan
istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai istilah istislah,
dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib
mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam al-Ghazali tetap
menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali
menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat
yang mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Penggunaan terma yang
berbeda-beda tersebut juga berimplikasi pada terjadinya distorsi pemahaman pada
generasi selanjutnya mengenai teori maslahah-mursalah.
C.
Analisis
Secara normatif al-Qur’an diyakini sebagai petunjuk bagi manusia yang membawa kepada kemaslahatan
di dunia dan akhirat. Keyakinan ini juga mengandung makna bahwa (1) al-Qur’an
tidak mungkin bertentangan dengan maslahat, (2) Maslahat tidak mungkin
bertentangan al-Qur’an. Oleh karena itu, jika terjadi pertentangan antara nash
dan maslahat maka ter-dapat dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan pemahaman terhadap nash itu tidak tepat. Kedua, kemungkinan pemahaman terhadap maslahat itu tidak tepat, Ketiga, kemungkinan pemahaman terhadap teks dan maslahat keduanya tidak
relevan. Jika terjadi dua kemung-kinan tersebut maka keadaan itu menis-cayakan dilakukan pengkajian ulang
terhadap teori-teori ilmu al-Qur’an dan rekonstruksi teori maslahat.
Adapun jika maslahat berten-tangan
dengan sunnah, maka itu bisa terjadi karena beberapa faktor. Pema-haman terhadap
maslahat itu dipenga-ruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosio
kultural, tempat, zaman, waktu. Sedangkan sunnah, secara historis
periwayatannya telah melalui rentang waktu, sehingga periwatannya berlangsung
sekitar abad ke 2 hijriyah. Hal ini tentu memungkinkan hadis itu harus diuji
validitas dan realibiltasnya dengan teknik triangulasi. Sebuah riwayat yang
disandarkan kepada Nabi saw. sangat layak
dipertanyakan, apa-lagi dengan merujuk pada pandangan adanya hadis-hadis yang
dinilai ber-laku temporal atau lokal. Yang demi-kian itu tentu tidak relevan
untuk semua keadaan dan tempat, sehingga perlu dilakukan penelusuran terhadap
riwayat-riwayat yang lebih relevan.
Demikian pula konsensus (ijma’)
sahabat, rumusan konsensus mereka tentu saja dilatarbelakangi oleh per-timbangan
rasional, logis, faktual pada masanya, yang belum tentu sejalan dengan
fakta-fakta empirik yang di-hadapi oleh setiap generasi dari zaman ke zaman.
Rumusan maslahat yang dihasilkan dari pertimbangan temporal dan lokal tidak
selalu tepat digunakan untuk perumusan maslahat dengan latar belakang situasi,
konsisi, tempat, dan zaman yang berbeda.
Pendekatan-pendekatan seperti itu perlu dirumuskan berdasarkan Kenya-taan
bahwa hadis-hadis Nabi saw. mempunyai
karakteristik dan sifatnya masing-masing. Ada hadis yang ber-sifat universal,
bersifat temporal, dan bersifat lokal. Syuhudi Ismail, mengata-kan bahwa pada kenyataannya, ada hadis Nabi saw. yang muncul didahului oleh sebab
tertentu, tetapi pada Kenya-taan lain ada juga hadis tidak dihahului oleh sebab
tertentu. Ada hadis yang bersifat umum, dan ada pula hadis yang muncul
berkaitan dengan erat dengan keadaan yang bersifat khusus.25 Di sinilah dibutuh-kan adanya kejelihan dalam
memahami sebuah teks yang disandarkan kepada Nabi saw. Konteks pembicaraannya pun harus dipahami
agar tidak keliru dalam memahami peruntukan dan maknanya.
Dengan pendekatan kontekstual (historis, sosiologis, antropologis) di-harapkan mampu memberikan pema-haman terhadap teks hadis
secara tepat, apresiatif, dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan
zaman.26 Dengan kalimat yang lebih
vulgar, diungkapkan Fazlur Rahman, apabila kajian terhadap materi-materi hadis
dilakukan secara konstruktif, dengan norma-norma kritisisme historis dan
historis sosiologisnya maka hadis itu akan mempunyai makna baru. Sebalik-nya, tanpa memperhatikan
historis-sosiologisnya, maka hadis itu akan mati tanpa memberikan arti bagi
kita masa kini.27 Hal ini sejalan dengan kaidah tagayyur
al-hukm bitagayyuri al-ahwal, al-azman, wal amikinat, yaitu meniscayakan
adanya elastisitas pemberlakuan teks karena dengan per-timbangan keadaan,
zaman, dan milliu.
Hukum pada prinsipnya bertujuan untuk membangun dan mendatangkan maslahat
serta menghindarkan manusia dari kekacauan dan kerusakan. Dengan demikian
pandangan tersebut sesuai dengan prinsip al-muhafazhat ‘ala al-Qadim al-shalih
wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni bersikap selektif dan akomodatif
terhadap perubahan demi tercapainya maslahat yang bertumpu pada tujuan-tujuan
syariat. Oleh karena itu salah satu prinsip yang perlu diper-hatikan dari teori
maslahat Imam Malik dan al-Gazali adalah skala priori-tas, yakni memprioritaskan proteksi mafsadat
daripada mengambil masla-hat, sebab mencegah mafsadat pada hakikatnya
bermakna mendahulukan maslahat yang lebih besar dan paling urgen daripada
maslahat yang lainnya. Hal ini sejalan dengan kaidah Dar’u al-mafasid
muqaddamun ala jalb al-mashalih.
Selain itu, latar belakang intelek-tual
dan sosiologis serta politik yang melingkupi kehidupan Imam Malik di Madinah
tentu menjadi pertimbangan untuk menarik teorinya ke dalam konteks yang berbeda.
Begitu pula kehidupan al-Gazali yang berhadapan dengan pelbagai tantangan dan
anca-man terhadap eksistensi ajaran Islam juga mendapat pertimbangan. Perbe-daan
antara iman Malik dan al-Gazali dalam konteks penyitaan harta dari kaum
konglomerat itu dilatarbelakangi oleh situasi sosial, ekonomi, dan politik yang
berbeda. Secara teoritis tidak satu pun pemikiran yang berdiri sendiri terlepas
dari ideologi dan konteksnya.28 Faktor geneologi intelek-tual Imam Malik dan al-Gazali juga harus menjadi pertimbangan dalam men-dudukkan teori maslahatnya.
Keduanya berguru kepada ulama yang berbeda, sehingga latar belakang intelektual
para guru itu juga turut memengaruhi cara pandang mereka. Dalam kaitan ini, al-Gazali
harus dilihat dengan latar belakang dikenal sebagai filosof, mantiqi,
mutakallim, sufi, faqih, dan ushuli.
Di bidang ilmu kalam ia merupakan tokoh mutakallimin Asy’-ariyah, sementara di bidang hukum Islam (fiqh
dan ushul
fiqh), ia merupakan tokoh Syafi’iyah. Dari latar belakang afiliasi
mazhab fikihnya sudah bisa dipastikan banyak di-pengaruhi oleh paradigma
berpikir Imam Syafi’i dengan latar belakang sosiologis - antropologis masyarakat
Mesir. Sementara Imam Malik, maski-pun ia merupakan salah seorang guru Imam
Syafi’i, namun istinbath yang mempengaruhinya adalah kondisi sosio-historis
masyarakat Madinah. Kitab-kitab bacaan mereka juga tidak dapat dipungkiri
sebagai faktor yang memengaruhi pemikiran mereka.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut
dimaksudkan untuk tidak membatasi dinamika intelektual sesuai dengan logika dan
kebutuhan terhadap maslahat. Konstruksi teori maslahat kedua tokoh tersebut
harus diakui telah memberikan kontribusi besar sepan-jang sejarah, tetapi
secara substantif bisa saja berbeda sebagai konsekuensi logis dari pertimbangan
yang terus bergerak dan berubah. Singkatnya, kontribusi mereka telah
menginspirasi umat Islam sepanjang sejarah, dan kini tugas generasi selanjutnya
untuk men-dinamisir sesuai konteksnya sebagai sebuah keniscayaan.
III.
PENUTUP
Beracu dari dari uraian sebelum-nya,
perbandingan teori maslahat Imam Malik dan Imam al-Gazli dapat dikemukakan
beberapa catatan.
Pertama, maslahah mursalah menurut Imam Malik adalah suatu
maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syarak, yang
berfungsi untuk menghilangkan ke-sempitan, baik yang bersifat dharu-riyah (primer)
maupun hujjiyah (sekunder), sedang maslahat mursalah menurut Imam
al-Ghazali adalah memelihara tujuan-tujuan syariat yang meliputi
lima dasar pokok, yaitu; melindungi agama (hifzh al diin),
melin-dungi jiwa (hifzh al nafs), melindungi akal (hifzh al aql),
melindungi keles-tarian manusia (hifzh al nasl), dan melindungi harta
benda (hifzh al mal).
Kedua, titik temu antara pan-dangan Imam Malik dan Imam al-Ghazali tentang maslahat yaitu harus sejalan dengan penetapan hukum Islam, maslahat tidak bertentangan dengan nas,
bersifat rasional dan pasti, tidak
ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan atau sebaliknya membatalkan. Dalam ruang lingkup operasional maslahah-mursalah, Imam
Malik dan Imam al-Ghazali mem-punyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam
bidang mua-malah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.
Ketiga, starting point perbedaan paradigma
antara Imam Malik dan Imam al-Gazali terletak pada maslahat
mursalah sebagai sumber
hukum dan sebagai metode istinbath hukum. Imam Malik memandang maslahah mursalah sebagai masadir tasyri’ atau sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam, sementara Imam al-Ghazali memosisi-kannya
hanya sebagai metode istimbat. Imam
Malik, memandang maslahah mursalah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, sementara imam al-Gazali
memandang maslahah-mur-salah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri (tidak
terlepas dari al-Qur’an, hadis dan ijma’). Imam Malik meman-dang bahwa maslahat
mursalah selain untuk masalah daruriyah juga untuk masalah hujjiyah,
sementara imam al-Gazali menggunakannya hanya untuk masalah daruriyyah
atau hajjiyah yang setingkat dengan daruriyyah.
Catatan Akhir:
[1]Maslahat atau kemaslahatan yang semula berasal dari bahasa Arab yang
selanjutnya diserap menjadi bahasa Indonesia mengandung makna yang sama dengan
arti asalnya, yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat
atau kepentingan. Lihat Tim Penyusun Kamus bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 563.
2Lihat Amir Mua’llim dan Yusdani, Konfi-gurasai Pemikiran Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 1999), h. 52.
3Lihat Abdullah al-Kamali, Maqashid
al-Syari’ah fi Dau’ Fiqh al-Muuwazanat (Cet. I; Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 2000), hal. 38-39.
4Abdullah al-Kamali, Maqashid al-Syari’ah fi
Dau’ Fiqh al-Muwazanat., h. 38
5Abdul Ghafur Sulaiman al-Bandari, al-Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah,
juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1993), h. 494
6Muhammad Awadah, Malik bin Anas Imam Dar al-Hijarah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), h. 5
7Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 107
8Saeful Saleh Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi Ontologi dan
Aksiologi (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 14
9Saeful Saleh Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi Ontologi dan
Aksiologi, h. 15
10Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 99-100
11Nawer Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul
Fikih: Konsep Mashlahah Imam al-Haramain al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam
(Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), h. 7-8.
12Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, h.
102-103
13Abu Ishak al-Syatibi, Al-I’tisham, Jilid II (Baerut: Dar
al-Ma’rifah, 1975), h. 39
14Al- Ghazali, Al-Mustasfa, Juz I (Bairut: Daar al-Ihya’ al
Turas al-‘Araby, 1997), h. 217
15Wael
B. Hallag, A History of Islamic Legal Theories, diterjemahkan E.
Kusnadiningrat (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 165-166
16Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali:
Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, h. 63-64
17Imam Malik (w. 97 H.) menerima hadist-hadist ahad sebagai hujjah
(sumber hukum Islam) yaitu apabila hadis-hadis ahad tersebut sesuai dengan
amalan dan prilaku masyarakat Madinah. Namun jika hadis ahad tersebut tidak
sesuai dengan amalan dan prilaku masyarakat Madinah maka hadis ahad tersebut
tidak diterima oleh Imam Malik sebagai hujjah. Imam Malik membuat tolak
ukur amalan dan prilaku masyarakat Madinah untuk dapat menerima hadis ahad
sebagai hujjah karena pada masa itu sudah banyak berkembang hadis-hadis
palsu di kalangan umat Islam. Imam Malik menganggap masyarakat Madinah lebih
tahu mengenai Sunnah Nabi karena mereka tinggal satu kota bersama Nabi.
18Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pemben-tukan dan Perkembangan Hukum
Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 110
19Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh & Usul Fiqh (Cet.
I; Surabaya: Bina Amin, 1990), h. 199
20Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min Ilm
Ushul, Tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar (Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997
M./1418 H.) h. 414-416
21Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosoply: A Study of Abu
Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought (Islamabad Pakistan: Islamic Research
Istitute, 1977), h. 149-150.
22Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali:
Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, h. 144.
23Dalam konteks Indonesia, para koruptor malah tidak hanya kaya,
tetapi kekayaannya berasal dari sumber yang tidak legal. Jadi, menyitanya
merupakan suatu keniscayaan yang wajib dilakukan oleh Negara (oleh aparat
penegak hukum khusus Komisi Pemberantasan Korupsi).
24Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosoply: A Study of Abu
Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, h. 162
25Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual, Telaah Ma ‘ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal, Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 5.
26Gagasan ini tampaknya juga merupakan
kegelisahan intelektual Arkoun sebagaimana diungkap oleh Hendrik Meuleman, Tradial
Kemodernan dan Metamodernisme: Memper-bincangkan pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta:
LKIS, 1996), h. 28.
27Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad
(Cet. I; Bandung: Pustaka, 1995), h. 269.
28Bandingkan pernyataan tersebut dengan Joseph peter Ghougassian, Sayap-sayap Pemikiran Khalil Gibran
(Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru. 2002), h. 21.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Saeful Saleh. Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi Ontologi dan
Aksiologi. Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Awadah, Muhammad.
Malik bin Anas
Imam Dar al-Hijarah. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992.
Bandari, Abdul Ghafur Sulaiman al-. al-Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah. juz III. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1993.
Gazali, Muhammad al-. Al-Mustasfa min Ilm Ushul. Tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997 M./1418 H.
Ghougassian, Joseph peter. Sayap-sayap Pemikiran Khalil Gibran.
Yogya-karta. Fajar Pustaka Baru. 2002.
Hallag, Wael B. A History of Islamic Legal
Theories, diterjemahkan E. Kusnadiningrat.
Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Ismail, M. Syuhudi. Hadits
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma ‘ani al-Hadits tentang Ajaran
Islam yang Universal, Temporal, Lokal. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
Kamali, Abdullah al-. Maqashid al-Syari’ah fi Dau’ Fiqh
al-Muuwazanat. Cet. I; Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 2000.
Khallaf,
Abdul Wahab. Sejarah Pemben-tukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta:
Rajawali Press, 2003.
Mas’ud,
Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosoply: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s
Life and Thought. Islamabad Pakistan: Islamic Research Istitute, 1977.
Meuleman, Hendrik. Tradial Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbin-cangkan pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta: LKIS, 1996.
Mua’llim, Amir dan Yusdani. Konfigu-rasai Pemikiran Hukum Islam. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 1999.
Rahman, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Cet. I; Bandung: Pustaka, 1995.
Supriyadi,
Dedi. Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Suratmaputra,
Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
Syatibi,
Abu Ishak al-. Al-I’tisham. Jilid II. Baerut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
Syukur,
Asywadie. Pengantar Ilmu Fiqh & Usul Fiqh. Cet.
I; Surabaya: Bina Amin, 1990.
Tim
Penyusun Kamus bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Yuslem,
Nawer. al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih: Konsep Mashlahah Imam al-Haramain
al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam. Bandung: Cita
Pustaka Media, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar