H. Sudirman L.
Abstract: The number of divorce that occurred in the district increased Sidrap based on data from the Religious Court Sidrap in 2013 recorded 708 divorce cases filed with the Court of Religion, 80.5% were contested divorce. This condition is developing new polemic in the life of society and raises new issues related to gender issues. Issues arising start growing
awareness of women of their rights in a marriage that demands sameness and equality. Gender issues was often misunderstood issue, as if it was a form of resistance to women, when in fact the concept of gender is socially constructed between women and men that accommodates the problems and issues them to seek justice and equality.
Kata Kunci: Polemik, Isu Gender,
Perceraian, Kabupaten Sidrap
I. PENDAHULUAN
Masyarakat yang
menuntut pencitraan dalam pergaulan hidup sehari-hari di lingkungannya,
memposisikan setiap orang harus mampu menjaga keharmonisan hubungan rumah
tangga yang mereka bina. Perkawinan ideal menjadi harapan dari setiap pasangan
yang berumah tangga, pemerintah pun berupaya menciptakan aturan yang bertujuan
untuk menjamin pasangan yang tunduk pada aturan Negara Indonesia untuk
dilindungi hak-haknya dari peristiwa perkawinan ini. Pengaturan yang dimaksud
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa Per-kawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menjadi hal yang penting dan menempati posisi yang sakral dalam
suatu hubungan antar manusia, karena dalam perkawinan melibatkan Tuhan Yang
Maha Esa sebagai penyatu dan pemberi rahmat. Perkawinan selalu diharapkan dalam
kondisi langgeng hingga maut memisahkan, tetapi dalam perjalanannya tidak
sedikit yang mengalami rintangan-rintangan yang berakhir pada
proses perceraian, baik yang dilakukan atas dasar inisiatif suami (permohonan
Talak) maupun atas dasar inisiatif isteri (gugat cerai).
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara hukum
terbilang cukup siknifikan dengan jumlah yang semakin bertambah tiap tahunnya.
Sebagai ilustrasi dipenghujung tahun 2011 total perceraian yang diajukan di
Peng-adilan Agama Kabupaten Sidrap mencapai 547 kasus dengan jumlah kasus terbanyak
gugat cerai hingga 76,2%; Tahun 2012 total perceraian 609 kasus, 79,3% gugat
cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan berbagai
alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk kembali,
suami berzina, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.1
Upaya para istri yang menggugat cerai ke Pengadilan ditanggapi oleh bebe-rapa orang sebagai
bentuk keberanian wanita menuntut haknya. Isu gender juga melekat disini, mulai
dari pemikiran dan prasangka yang positif hingga yang negative. Apapun
bentuknya, yang jelas ada suatu persoalan dalam proses perkawinan yang sakral,
dan ini menyentuh ranah wanita sebagai subjek yang mengajukan gugatan cerai,
tentu saja akan menimbulkan isu gender yang marak dibincang saat ini. Persoalan ini pula yang menjadi fokus kajian dalam
tulisan ini.
II.
PEMBAHASAN
A. Kondisi Perceraian di Kabupaten Sidrap
Kenyataan yang tidak dapat dipung-kiri bahwa dalam mengarungi rumah tangga “badai” yang terjadi dapat mengakibatkan
putusnya perkawinan atau perceraian. Di Kabupaten Sidrap angka perceraian yang
tercatat di Pengadilan Agama (PA) dari waktu ke waktu semakin meningkat,
tercatat di tahun 2012 ada 547 perkara cerai yang masuk ke PA Sidrap, 130 perkara
talak dan 417 perkara cerai gugat.2
Dulu secara umum masyarakat kabupaten Sidrap hanya mengenal istilah
“talak” sebatas sebutan talak
satu, talak dua dan talak tiga. Dalam perkembangan hukum kemudian Talak yang
dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak, sedangkan talak yang dimohonkan
oleh istri dinamakan cerai gugat.3
Pergeseran nilai di
dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas, dahulu isteri paling
“khawatir” atau “takut” jika dicerai oleh suaminya, bahkan dahulu isteri tidak
punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan hak prerogatif suami, kenyataan
sekarang menunjukkan bahwa sebagaian besar istri-lah yang mengajukan permohonan
cerai ke PA.4 Pergeseran nilai ini
merupakan fenomena sosial yang menyangkut budaya (culture) di masyarakat yang
mengangap lebih modern dan mapan. Keberanian isteri dalam mengajukan gugat
cerai satu sisi meng-indikasikan perkembangan positif kesa-daran perempuan akan
hak-haknya yang mulai meningkat, tetapi yang menjadi tidak kalah pentingnya adalah
apakah nilai yang terkandung didalam budaya yang ada di masyarakat saat ini
juga merupakan per-kembangan positif, dan benarkah pema-haman akan hukum
utamanya tentang hak dan kewajiban, perkawinan serta paradigma gender telah
dipahami secara benar.
Dalam perkembangannya,
budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat
itu berada serta pergaulan masyarakatnya.6
Tujuan suatu perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami-isteri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dapat tercapai. Walaupun undang-undang maupun hukum agama menginginkan
agar suatu perkawinan yang telah dibentuk dapat terjalin bahagia dan kekal,
tidak menutup kemungkinan aturan yang ideal tersebut tidak dapat
terlaksana dalam kenyataan hidup, adanya perselisihan yang terus menerus
meruncing antara pasangan suami istri dapat menyebabkan perkawinan menjadi
putus.7
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUPerkawinan) tidak memberikan definisi mengenai
perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya
secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan
alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian dapat, dilihat dari
putusnya perkawinan. Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi
karena: (1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan
demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Perceraian
yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan “talaq”, sementara
cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut dengan “cerai gugat”.8
Dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir jumlah cerai gugat pada Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap
cenderung meningkat dan lebih banyak dibandingkan talaq. Padahal secara
antropologis masyara-kat kita cenderung hidup dalam sistem patrilinear, dimana
kekuasaan berada di tangan laki-laki dengan implikasi bahwa semua keputusan di
dalam keluarga ditentukan oleh laki-laki (suami/ayah). Selain itu pandangan
masyarakat terhadap perempuan yang bercerai atau status janda khususnya di
masyarakat bugis Sidrap dianggap “negative” dan posisi keter-gantungan secara
ekonomi terhadap suami.
Berdasarkan hasil survai yang dilakukan di Pengadilan
Agama Kabupaten Sidrap, diperoleh data sebagai berikut; Tahun 2010 jumlah
perkara perceraian yang masuk adalah 547 perkara, 130 (23,76%) perkara gugat
talak dan 417 (76,23%) perkara gugat cerai. Pada tahun 2011
meningkat menjadi 609 perkara, 126 (20,68%) perkara gugat talak dan 483 (79,31%)
perkara cerai gugat, bahkan berdasarkan penjelasan Panitera PA Sidrap tahun 2013
perkara cerai yang masuk meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 708 perkara.9 Angka perceraian yang inisiatifnya dari
isteri (gugat cerai) jauh lebih banyak dibandingkan “talaq” yang diajukan oleh
suami.
Secara lengkap jumlah
perkara perceraian yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap dalam kurun
2011 hingga 2013 dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel. 1: Jumlah Perkara Cerai Yang Diterima Pengadilan Agama SidrapTahun 2011-2013
No.
|
Jenis
Perkara
|
2011
|
2012
|
2013
|
1
|
Cerai
Talak
|
130
|
126
|
138
|
2
|
Cerai
Gugat
|
417
|
483
|
570
|
|
JUMLAH
|
547
|
609
|
708
|
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Sidrap Tahun 2011-2013
Data tersebut menunjukkan bahwa
telah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat berkaitan dengan masalah perkawinan
khususnya perceraian. Perem-puan mulai berani memposisikan dirinya sama seperti
laki-laki, menyadari haknya dan berani menunjukkan eksistensinya, perempuan
tidak lagi mau diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki sehingga apabila
perempuan menerima perlakuan dari suami dan sudah tidak dapat ditolerir olehnya
maka istri akan melakukan tindakan untuk mempertahankan hak-haknya, salah
satunya dengan melakukan gugataan perceraian ke pengadilan. Pada masa lalu
perempuan sangat “malu” menyandang status janda khususnya janda cerai apalagi
dalam usia relatif muda (produktif) karena label janda sering
dianggap negatif dalam masyarakat, selain itu ketergantungan ekonomi dengan
suami menambah kekhawatiran mereka apabila bercerai nasib anak-anak mereka akan
menjadi taruhannya.10
Meningkatnya kesadaran
perempuan akan hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup positif
apabila dihubungkan dengan kesadaran hukum khususnya hukum perkawinan
menyangkut status (hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan), hal ini
dimungkinkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan perem-puan terutama terkait
dengan masalah hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Selain dari pada itu,
adanya payung hukum bagi perempuan dalam mempertahankan hak-haknya yang diatur
secara normatif juga disinyalir memiliki andil dalam peningkatan kesadaran akan
hak perempuan ini. Analisis lain yang dapat diinventarisir adalah mulai adanya
pergeseran nilai budaya timur ke arah modernisasi yang merupakan pengaruh dari
budaya barat yang menganggap suatu perkawinan hanya-lah salah satu bentuk
perikatan perdata11 dengan
mengenyampingkan nilai sakral suatu perkawinan berupa ikatan suci lahir batin
berlandaskan kasih sayang dan cinta yang dipersatukan oleh Allah swt.
Perceraian dapat
dilakukan dengan syarat utama harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Pasal
39 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Jo Pasal 14 Peraturan Pemerintah No
9 Tahun 1975. Jumlah Angka perceraian yang terdaftar di Pengadilan Agama kabupaten
Sidrap terus naik dari tahun ketahun. Keseluruhan data perceraian dari tahun
2011 sampai dengan tahun
2013 Pengadilan Agama kabupaten
Sidrap menerima perkara cerai gugat sebesar 1470 perkara, dan perkara
cerai talak sebesar 394 perkara. Data tersebut dapat dimaknai bahwa bagi sebagian
masyarakat perceraian merupakan solusi yang paling tepat pada saat ini. Alasan
yang paling banyak seperti yang di jelaskan dalam laporan tahunan pengadilan
Agama Sidrap tahun 2013 adalah karena faktor tidak keharmonisan dalam berumah
tangga dominan perkara yang beralasan untuk bercerai dengan alasan tersebut,
dan juga dengan alasan tidak bertanggung jawab dari suami menjadi alasan yang
juga banyak menjadi faktor perceraian setelah faktor tidak keharmonisan.
Secara lengkap alasan cerai yang dapat diajukan adalah sebagai berikut;12
1. Salah satu berzina, pemabok,
pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya.
4. Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang memba-hayakan.
5. Salah satu pihak cacat badan atau
penyakit yang sulit disembuhkan
6. Terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus
7. Suami menlanggar taklik talak
8. Peralihan
agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
Akibat dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah
hak wali anak, hak pemeliharaan anak.
Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah. Apabila
talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampai
masa iddhahnya selesai. Tetapi jika isteri yang mengajukan gugatan cerai, maka
isteri tidak berhak atas bagian dari penghasilan suami.13
Bubarnya perkawinan,
khususnya karena perceraian tidak menghapuskan hak dan kewajiban orangtua
kepada anak-anak, artinya orangtua tetap bertanggungjawab untuk membiayai
kehidupan anak-anak tersebut hingga anak-anak dewasa atau kawin.14Artinya biaya kehidupan
dan pendidikan tetap menjadi tanggungjawab orangtua utamanya ayah. Namun tidak
jarang terjadi bahwa akibat dari perceraian ini anak-anak menjadi “terlantar”
karena ayah tidak mau memberikan biaya kehidupan termasuk pendidikan.
Akibatnya, perceraian ini akan menimbulkan dampak, baik secara ekonomi maupun
secara emosi/psikologis terhadap anak-anak. Apalagi bila isteri atau ibu tidak
mem-punyai penghasilan
tetap.
Hasil survai angka
cerai gugat banyak diajukan di PA Sidrap dengan alasan sering terjadi
pertengkaran terus menerus karena suami tidak bertanggungjawab memberikan
nafkah untuk keluarganya, artinya isteri tidak menerima nafkah dari suami untuk
membiayai keluarga mulai dari pemenuhan sandang pangan hingga ke pendidikan
anak-anak. Kondisi seperti ini hemat penulis tidak harus dilakukan upaya
gugatan cerai, tapi pengadilan (PA) memberikan nasehat kepada pihak-pihak untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya, atau pasangan yang bermasalah dalam perkawinan
mendatangi lembaga sosial atau pihak ketiga yang netral untuk men-dapatkan
solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi sehingga bukan perceraian yang
dilakukan sebagai penyelesaian per-soalan tetapi kesadaran masing-masing pihak
terhadap status dan perannya dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang sering kurang dipahami oleh pasangan suami isteri
dalam sebuah perkawinan, oleh karenanya penyuluhan tentang hukum perkawinan
hendaknya dilakukan secara terencana dan berkelan-jutan oleh institusi terkait
termasuk per-guruan tinggi.
III. PENUTUP
Angka perceraian yang
meningkat dalam kurung waktu 3 (tiga) tahun di kabupaten Sidrap adalah akibat
adanya pergeseran nilai budaya timur ke arah modernisasi yang merupakan
pengaruh dari budaya barat yang menganggap suatu perkawinan hanyalah salah satu
bentuk perikatan perdata. Selain itu, meningkatnya kesadaran perempuan akan
hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup positif apabila
dihubungkan dengan kesadaran hukum khususnya hukum perkawinan menyangkut status
(hak dan kewajiban antara suami dan istri), hal ini dimungkinkan oleh semakin
meningkatnya pengetahuan perempuan terutama terkait dengan masalah hak dan
kewajibannya dalam rumah tangga. Selain dari pada itu, adanya payung hukum bagi
perempuan dalam mempertahankan hak-haknya yang diatur secara normatif juga
disinyalir memiliki andil dalam peningkatan kesa-daran akan hak Perempuan dalam
kehidu-pan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.3, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005.
H. Helmy Thohir (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), “Perce-raian Menuurut
Undang-Undang Perkawinan”
Sumber:http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=219&tipe=kolom,(
diakses 1 Maret 2010)
Sudirman L., Rahmawati dan Rusnaena, “Peranan Hakin dalam Upaya
Perdamaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap”.
Laporan Penelitian, DIPA STAIN Sidrap, Tahun Anggaran 2011.
Peraturan Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), tahun 1924, LN 556.
Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap, Laporan Tahunan : Tahun 2008 –2012
Pengadilan Agama Sidrap Tentang Perkara Yang Diterima, Lihat Juga Laporan
Tahunan: Tahun 2008-2012 Pengadilan Agama Sidrap
Tentang Perkara Yang Diputus.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Sudarsono, Hukum Perkawina Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan pertama, PT. Rambang: Palembang, 2006.
UU Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang KHI.
Catatan Akhir:
[1] Laporan Tahunan PA Sidrap
2 Hasil wawancara dengan
staf pegawai di Pengadilan Agama Kabupaten
Sidrap, pada tanggal 4 Juni 2013
3 Drs.H. Helmy Thohir
(Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), “Perceraian Menuurut Undang-Undang
Perkawinan”, Sumber:http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=219&tipe=kolom,
diakses 1 Maret 2010
4Sudirman L., Rahmawati
dan Rusnaena, “Peranan Hakin dalam Upaya Perdamaian Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap”. Laporan Penelitian, DIPA STAIN Sidrap, Tahun
Anggaran 2011.
5Ibid.
6Peraturan Republik
Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, Pasal 39
7Wahyu Ernaningsih dan
Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia,cetakan pertama, PT. Rambang: Palembang,
2006, h. 109
8Hasil wawancara dengan Panitera di Pengadilan Agama Kabupaten
Sidrap, pada tanggal 5 Juni 2013
9Sudirman L., Rahmawati
dan Rusnaena, Op. Cit., h. 103.
10Peraturan Republik
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), tahun 1924,
LN 556, Pasal 26 yang menyatakan: Undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata.
11Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan
KHI Pasal 116.
12Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka
Cipta, 1994, h. 185
13UU Perkawinan Pasal 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar