Rabu, 28 Januari 2015

DOMINASI CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN SIDRAP (Polemik dan isu Gender dalam Kasus Perceraian di PA Sidrap)



H. Sudirman L.
Abstract: The number of divorce that occurred in the district increased Sidrap based on data from the Religious Court Sidrap in 2013 recorded 708 divorce cases filed with the Court of Religion, 80.5% were contested divorce. This condition is developing new polemic in the life of society and raises new issues related to gender issues. Issues arising start growing awareness of women of their rights in a marriage that demands sameness and equality. Gender issues was often misunderstood issue, as if it was a form of resistance to women, when in fact the concept of gender is socially constructed between women and men that accommodates the problems and issues them to seek justice and equality.

Kata Kunci: Polemik, Isu Gender, Perceraian, Kabupaten Sidrap


I.     PENDAHULUAN
Masyarakat yang menuntut pencitraan dalam pergaulan hidup sehari-hari di lingkungannya, memposisikan setiap orang harus mampu menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga yang mereka bina. Perkawinan ideal menjadi harapan dari setiap pasangan yang berumah tangga, pemerintah pun berupaya menciptakan aturan yang bertujuan untuk menjamin pasangan yang tunduk pada aturan Negara Indonesia untuk dilindungi hak-haknya dari peristiwa perkawinan ini. Pengaturan yang dimaksud dituangkan dalam bentuk Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa Per-kawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menjadi hal yang penting dan menempati posisi yang sakral dalam suatu hubungan antar manusia, karena dalam perkawinan melibatkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyatu dan pemberi rahmat. Perkawinan selalu diharapkan dalam kondisi langgeng hingga maut memisahkan, tetapi dalam perjalanannya tidak sedikit yang mengalami rintangan-rintangan yang berakhir pada proses perceraian, baik yang dilakukan atas dasar inisiatif suami (permohonan Talak) maupun atas dasar inisiatif isteri (gugat cerai).
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara hukum terbilang cukup siknifikan dengan jumlah yang semakin bertambah tiap tahunnya. Sebagai ilustrasi dipenghujung tahun 2011 total perceraian yang diajukan di Peng-adilan Agama Kabupaten Sidrap mencapai 547 kasus dengan jumlah kasus terbanyak gugat cerai hingga 76,2%; Tahun 2012 total perceraian 609 kasus, 79,3% gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan berbagai alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk kembali, suami berzina, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.1
Upaya para istri yang menggugat cerai ke Pengadilan ditanggapi oleh bebe-rapa orang sebagai bentuk keberanian wanita menuntut haknya. Isu gender juga melekat disini, mulai dari pemikiran dan prasangka yang positif hingga yang negative. Apapun bentuknya, yang jelas ada suatu persoalan dalam proses perkawinan yang sakral, dan ini menyentuh ranah wanita sebagai subjek yang mengajukan gugatan cerai, tentu saja akan menimbulkan isu gender yang marak dibincang saat ini. Persoalan ini pula yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.
II.  PEMBAHASAN
A.  Kondisi Perceraian di Kabupaten Sidrap
Kenyataan yang tidak dapat dipung-kiri bahwa dalam mengarungi rumah tangga  “badai” yang terjadi dapat mengakibatkan putusnya perkawinan atau perceraian. Di Kabupaten Sidrap angka perceraian yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) dari waktu ke waktu semakin meningkat, tercatat di tahun 2012 ada 547 perkara cerai yang masuk ke PA Sidrap, 130 perkara talak dan 417 perkara cerai gugat.2 Dulu secara umum masyarakat kabupaten Sidrap hanya mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Dalam perkembangan hukum kemudian Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak, sedangkan talak yang dimohonkan oleh istri dinamakan cerai gugat.3
Pergeseran nilai di dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas, dahulu isteri paling “khawatir” atau “takut” jika dicerai oleh suaminya, bahkan dahulu isteri tidak punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan hak prerogatif suami, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebagaian besar istri-lah yang mengajukan permohonan cerai ke PA.4 Pergeseran nilai ini merupakan fenomena sosial yang menyangkut budaya (culture) di masyarakat yang mengangap lebih modern dan mapan. Keberanian isteri dalam mengajukan gugat cerai satu sisi meng-indikasikan perkembangan positif kesa-daran perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat, tetapi yang menjadi tidak kalah pentingnya adalah apakah nilai yang terkandung didalam budaya yang ada di masyarakat saat ini juga merupakan per-kembangan positif, dan benarkah pema-haman akan hukum utamanya tentang hak dan kewajiban, perkawinan serta paradigma gender telah dipahami secara benar.
Dalam perkembangannya, budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.6 Tujuan suatu perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat tercapai. Walaupun undang-undang maupun hukum agama menginginkan agar suatu perkawinan yang telah dibentuk dapat terjalin bahagia dan kekal, tidak menutup kemungkinan aturan yang ideal tersebut tidak dapat terlaksana dalam kenyataan hidup, adanya perselisihan yang terus menerus meruncing antara pasangan suami istri dapat menyebabkan perkawinan menjadi putus.7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUPerkawinan) tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian dapat, dilihat dari putusnya perkawinan. Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena: (1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Perceraian yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan “talaq”, sementara cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut dengan “cerai gugat”.8
Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir jumlah cerai gugat pada Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap cenderung meningkat dan lebih banyak dibandingkan talaq. Padahal secara antropologis masyara-kat kita cenderung hidup dalam sistem patrilinear, dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki dengan implikasi bahwa semua keputusan di dalam keluarga ditentukan oleh laki-laki (suami/ayah). Selain itu pandangan masyarakat terhadap perempuan yang bercerai atau status janda khususnya di masyarakat bugis Sidrap dianggap “negative” dan posisi keter-gantungan secara ekonomi terhadap suami.
Berdasarkan hasil survai yang dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap, diperoleh data sebagai berikut; Tahun 2010 jumlah perkara perceraian yang masuk adalah 547 perkara, 130 (23,76%) perkara gugat talak dan 417 (76,23%) perkara gugat cerai. Pada tahun 2011 meningkat menjadi 609 perkara, 126 (20,68%) perkara gugat talak dan 483 (79,31%) perkara cerai gugat, bahkan berdasarkan penjelasan Panitera PA Sidrap tahun 2013 perkara cerai yang masuk meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 708 perkara.9 Angka perceraian yang inisiatifnya dari isteri (gugat cerai) jauh lebih banyak dibandingkan “talaq” yang diajukan oleh suami.
Secara lengkap jumlah perkara perceraian yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap dalam kurun 2011 hingga 2013 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel. 1: Jumlah Perkara Cerai Yang Diterima Pengadilan Agama SidrapTahun 2011-2013
No.
Jenis Perkara 
2011
2012
2013
1
Cerai Talak
130
126
138
2
Cerai Gugat
417
483
570

JUMLAH
547
609
708
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama  Sidrap Tahun 2011-2013
Data tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat berkaitan dengan masalah perkawinan khususnya perceraian. Perem-puan mulai berani memposisikan dirinya sama seperti laki-laki, menyadari haknya dan berani menunjukkan eksistensinya, perempuan tidak lagi mau diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki sehingga apabila perempuan menerima perlakuan dari suami dan sudah tidak dapat ditolerir olehnya maka istri akan melakukan tindakan untuk mempertahankan hak-haknya, salah satunya dengan melakukan gugataan perceraian ke pengadilan. Pada masa lalu perempuan sangat “malu” menyandang status janda khususnya janda cerai apalagi dalam usia relatif muda (produktif) karena label janda sering dianggap negatif dalam masyarakat, selain itu ketergantungan ekonomi dengan suami menambah kekhawatiran mereka apabila bercerai nasib anak-anak mereka akan menjadi taruhannya.10
Meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup positif apabila dihubungkan dengan kesadaran hukum khususnya hukum perkawinan menyangkut status (hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan), hal ini dimungkinkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan perem-puan terutama terkait dengan masalah hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Selain dari pada itu, adanya payung hukum bagi perempuan dalam mempertahankan hak-haknya yang diatur secara normatif juga disinyalir memiliki andil dalam peningkatan kesadaran akan hak perempuan ini. Analisis lain yang dapat diinventarisir adalah mulai adanya pergeseran nilai budaya timur ke arah modernisasi yang merupakan pengaruh dari budaya barat yang menganggap suatu perkawinan hanya-lah salah satu bentuk perikatan perdata11 dengan mengenyampingkan nilai sakral suatu perkawinan berupa ikatan suci lahir batin berlandaskan kasih sayang dan cinta yang dipersatukan oleh Allah swt.
Perceraian dapat dilakukan dengan syarat utama harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Jo Pasal 14 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Jumlah Angka perceraian yang terdaftar di Pengadilan Agama kabupaten Sidrap terus naik dari tahun ketahun. Keseluruhan data perceraian dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 Pengadilan Agama kabupaten Sidrap menerima perkara cerai gugat sebesar 1470 perkara, dan perkara cerai talak sebesar 394 perkara. Data tersebut dapat dimaknai bahwa  bagi sebagian masyarakat perceraian merupakan solusi yang paling tepat pada saat ini. Alasan yang paling banyak seperti yang di jelaskan dalam laporan tahunan pengadilan Agama Sidrap tahun 2013 adalah karena faktor tidak keharmonisan dalam berumah tangga dominan perkara yang beralasan untuk bercerai dengan alasan tersebut, dan juga dengan alasan tidak bertanggung jawab dari suami menjadi alasan yang juga banyak menjadi faktor perceraian setelah faktor tidak keharmonisan.
Secara lengkap alasan cerai yang dapat diajukan adalah sebagai berikut;12
1. Salah satu berzina, pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.  Salah satu pihak dipenjara 5 (lima) tahun atau lebih
4.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang memba-hayakan.
5.  Salah satu pihak cacat badan atau penyakit yang sulit disembuhkan
6.  Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus
7.  Suami menlanggar taklik talak
8.  Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Akibat dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, hak pemeliharaan anak. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah. Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampai masa iddhahnya selesai. Tetapi jika isteri yang mengajukan gugatan cerai, maka isteri tidak berhak atas bagian dari penghasilan suami.13
B.Akibat dari Perceraian
Bubarnya perkawinan, khususnya karena perceraian tidak menghapuskan hak dan kewajiban orangtua kepada anak-anak, artinya orangtua tetap bertanggungjawab untuk membiayai kehidupan anak-anak tersebut hingga anak-anak dewasa atau kawin.14Artinya biaya kehidupan dan pendidikan tetap menjadi tanggungjawab orangtua utamanya ayah. Namun tidak jarang terjadi bahwa akibat dari perceraian ini anak-anak menjadi “terlantar” karena ayah tidak mau memberikan biaya kehidupan termasuk pendidikan. Akibatnya, perceraian ini akan menimbulkan dampak, baik secara ekonomi maupun secara emosi/psikologis terhadap anak-anak. Apalagi bila isteri atau ibu tidak mem-punyai penghasilan tetap.
Hasil survai angka cerai gugat banyak diajukan di PA Sidrap dengan alasan sering terjadi pertengkaran terus menerus karena suami tidak bertanggungjawab memberikan nafkah untuk keluarganya, artinya isteri tidak menerima nafkah dari suami untuk membiayai keluarga mulai dari pemenuhan sandang pangan hingga ke pendidikan anak-anak. Kondisi seperti ini hemat penulis tidak harus dilakukan upaya gugatan cerai, tapi pengadilan (PA) memberikan nasehat kepada pihak-pihak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, atau pasangan yang bermasalah dalam perkawinan mendatangi lembaga sosial atau pihak ketiga yang netral untuk men-dapatkan solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi sehingga bukan perceraian yang dilakukan sebagai penyelesaian per-soalan tetapi kesadaran masing-masing pihak terhadap status dan perannya dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban masing-masing pihak yang sering kurang dipahami oleh pasangan suami isteri dalam sebuah perkawinan, oleh karenanya penyuluhan tentang hukum perkawinan hendaknya dilakukan secara terencana dan berkelan-jutan oleh institusi terkait termasuk per-guruan tinggi.
III.   PENUTUP
Angka perceraian yang meningkat dalam kurung waktu 3 (tiga) tahun di kabupaten Sidrap adalah akibat adanya pergeseran nilai budaya timur ke arah modernisasi yang merupakan pengaruh dari budaya barat yang menganggap suatu perkawinan hanyalah salah satu bentuk perikatan perdata. Selain itu, meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup positif apabila dihubungkan dengan kesadaran hukum khususnya hukum perkawinan menyangkut status (hak dan kewajiban antara suami dan istri), hal ini dimungkinkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan perempuan terutama terkait dengan masalah hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Selain dari pada itu, adanya payung hukum bagi perempuan dalam mempertahankan hak-haknya yang diatur secara normatif juga disinyalir memiliki andil dalam peningkatan kesa-daran akan hak Perempuan dalam kehidu-pan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
H. Helmy Thohir (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), “Perce-raian Menuurut Undang-Undang Perkawinan”
Sumber:http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=219&tipe=kolom,( diakses 1 Maret 2010)
Sudirman L., Rahmawati dan Rusnaena, “Peranan Hakin dalam Upaya Perdamaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap”. Laporan Penelitian, DIPA STAIN Sidrap, Tahun Anggaran 2011.
Peraturan Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), tahun 1924, LN 556.
Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap, Laporan Tahunan : Tahun 2008 –2012 Pengadilan Agama Sidrap Tentang Perkara Yang Diterima, Lihat Juga Laporan Tahunan: Tahun 2008-2012 Pengadilan Agama Sidrap Tentang Perkara Yang Diputus.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Sudarsono, Hukum Perkawina Nasional, Jakarta:  Rineka Cipta, 1994.
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan pertama, PT. Rambang: Palembang, 2006.
UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang KHI.

Catatan Akhir:
[1] Laporan Tahunan PA Sidrap
2 Hasil wawancara dengan staf pegawai di Pengadilan Agama  Kabupaten Sidrap, pada tanggal  4 Juni 2013
3 Drs.H. Helmy Thohir (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), “Perceraian Menuurut Undang-Undang Perkawinan”, Sumber:http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=219&tipe=kolom, diakses 1 Maret 2010
4Sudirman L., Rahmawati dan Rusnaena, “Peranan Hakin dalam Upaya Perdamaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap”.  Laporan Penelitian, DIPA STAIN Sidrap, Tahun Anggaran 2011.
5Ibid.
6Peraturan Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1974  Tentang Perkawinan,  Pasal 39
7Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia,cetakan pertama, PT. Rambang: Palembang, 2006, h. 109
8Hasil wawancara dengan Panitera di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap, pada tanggal 5 Juni 2013
9Sudirman L., Rahmawati dan Rusnaena, Op. Cit., h. 103.
10Peraturan Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), tahun 1924, LN 556, Pasal 26 yang menyatakan: Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
11Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19  dan  KHI Pasal 116.
12Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:  Rineka Cipta, 1994, h. 185
13UU Perkawinan Pasal 39


 



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar