Rahmawati
Abstract: This paper
examines refomulasi Islamic law in the middle of the plurality of phenomena
both in terms of culture and religion in Indonesia. Beginning with a discussion
of basic concepts of multiculturalism and pluralism of society and a general
overview of the phenomenon of plurality (plurality) in Indonesian society. From
these discussions then analyzed how to reformulate the application of Islamic
law in the context of multicultural-plurality in Indonesia. Based on this
analysis, it was concluded that the application of Islamic law in the context
of the Indonesian national diversity leads to a cultural approach, which
emphasizes the principles and values that are universal Islamic teachings
such as fairness, honesty, freedom under the law, the legal protection of the
public is not the same religion, and upholding the rule of God's law. While the
application through the formalization of Islamic law in the national legal
system is still limited to the civil rules.
Kata Kunci: hukum
Islam, multikultural, pluralisme.
I.
PENDAHULUAN
Fakta multikulturalisme bukanlah fenomena khas
Barat. Sejarah telah mencatat bahwa fenomena ini merupakan realita yang pernah
terjadi pada masa silam. Fenomena masyarakat dengan keragaman agama, etnik,
bahasa, dan ras dalam sebuah negara atau kerajaan pernah terjadi di negara
Mughal India, Kerajaan Usmani di Timur Tengah, Kerajaan Afrika Barat, dan
bahkan kerajaan Majapahit di Jawa,1 dan
jauh sebelumnya, sepanjang sejarah Islam realitas masyarakat majemuk (plural)
sudah ada. Jadi, dapat dikatakan multikulturalisme bukanlah fakta yang unik
pada abad modern ini.
Pada awal sejarah Islam, negara Madinah yang
dipimpin oleh Nabi memiliki struktur masyarakat plural karena dihuni oleh kaum
Muslim, Yahudi, Nasrani, dan juga kaum Musyrik.Namun, mereka bisa hidup bersama
dalam naungan Daulah Islamiyyah dan dibawah otoritas hukum
Islam.Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam
atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama
seperti kaum muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang laintanpa ada
intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melin-dungi "kebebasan
mereka" dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat
mereka.Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.2 Realita ini terus berlangsung hingga kekuasaan
Islam meluas hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai
dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah
itu, semakin mempertajam keragaman budaya, keyakinan dan agama yang
sewaktu-waktu bisa menimbulkan konflik. Tetapi, hingga
kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang
mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha
menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk
mencegah adanya konflik. Bahkan, penera-pan syariat Islam saat itu, berhasil
mencip-takan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara,
baik Muslim maupun non Muslim.
Dalam konteks keindonesiaan, kera-gaman
budaya, agama, dan etnik bahkan ribuan suku telah memberikan keunikan ter-sendiri
dalam membangun sistem hukum. Sebagai negara yang multikultur dan berpenduduk
mayoritas Islam, Indonesia tidak hanya menganut sistem hukum yang bersumber
pada hukum Islam tetapi juga hukum Adat, dan hukum Barat.Hal inilah yang
menjadikan permasalahan hukum Islam di tengah multikulturalis-pluralitasdi
Indonesia semakin menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, tulisan ini akan
mengupas persoalan ini dengan beberapa sub masalah. Pertama, bagaimana
konsep dasar multi-kulturalisme dan pluralism masyarakat. Kedua,
bagaimana fenomena kemajemukan (pluralitas) masyarakat di Indonesia?. Ketiga,
Bagaimana reformulasi penerapan hukum Islam di tengah
multikulturalis-pluralitas di Indonesia?
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Multikulturalis-Plu-ralitas Masyarakat
Multikulturalisme adalah suatu kon-sep
yang menunjuk kepada suatu masyara-kat yang mengedepankan pluralisme budaya.4 Sedangkan
pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural,
tetapi multikulturalisme paling kurang pada awalnya tidak sama dengan sekedar
pluralisme masyarakat.5
Pluralisme
sebagai suatu pemahaman lebih menekankan entitas perbedaan suatu masyarakat
yang satu dengan lainnya dan kurang memperhatikan interaksi. Sementara
multikulturalisme sebagai suatu paham yang lebih menekankan pada interaksi
dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki
hak-hak yang setara (sama).6 Artinya
konsep yang menggambarkan relasi
(hubungan) antar kebudayaan. Dari konsep ini muncullah gagasan normatif
mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak
masing-masing kebuda-yaan dalam membangun kehidupan bangsa.
Dalam
masyarakat multikultural kon-sepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat
itu hendak dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap
menghargai, mengedepankan dan mem-banggakan pluralisme masyarakat. Dengan
demikian ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multi-kultural, yaitu: a)
adanya pluralisme masyarakat, b). adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebang-saan sama, c) adanya kebanggaan mengenai pluralisme itu.7
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang multikultur, sehingga multikultu-ralisme dalam
konteks ke-indonesia-an dapat dipahami sebagai suatu konsep yang dipandang
tepat mengakomodir berbagai kepentingan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sebab, konsep ini merupakan sesuatu yang dipahami untuk membangun bangsa yang
terdiri dari berbagai latar belakang etnis,
ras, budaya, bahasa, agama dengan saling menghormati dan menghargai
hak-hak minoritas. Kehidupan bangsa Indonesia yang multikultur hendaknya
memberikan peluang yang sama (tidak
diskriminatif) kepada seluruh warga negara, dengan memberikan penghargaan
terhadap keragaman (etnik, budaya dan agama), untuk tujuan mempererat, merekat-kan
serta memperkuat persatuan dan ke-satuan bangsa. Karena pada hakikatnya dalam
setiap budaya dan agama terdapat nilai-nilai yang mengajarkan kebaikan dan
mendorong manusia untuk berbuat kebaji-kan. Seperti yang terkandung dalam nilai
perdamaian, kasih sayang, persaudaraan, kesetaraan, kesejahteraan, kebersamaan,
menghargai keyakinan, demokrasi, hak asasi, kesempatan berprestasi, mobilitas
sosial, saling menghormati dan saling bekerjasama dalam memecahkan berbagai
permasalahan bersama.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk (multikultur) membutuhkan upaya yang terencana dalam
membangun interaksi sosial positif. Yaitu melalui berbagai prog-ram kegiatan yang dapat mendorong warga
masyarakat melakukan pengamalan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran
budaya dan agama dalamkehidupan sehari-hari. Seperti kejujuran, saling percaya, menghargai, menghormati,
tenggang rasa, tolong menolong, dan bekerjasama dalam menyelaesaikan berbagai
permaslahan dan kepentingan bersama.
1.
Fenomena Pluralitas Masyarakat Indonesia
Bangsa Indonesia sering disebut negeri yang
memiliki masyarakat majemuk (plural). Kemajemukan ini disebabkan ham-pir semua
agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan budha) terwakili
di kawasan ini.8 Selain
itu, ribuan pulau di Indonesia dihuni oleh berbagai macam kelompok etnik, sosial,
keagamaan dan kulturalyang masing-masing selalu mempertahankan adat dan
pandangan hidup mereka. Menerima kenyataan plualisme ini, Republik Indonesia
memegangi semboyan yang resmi; Bhinneka Tunggal Ika”, “kebersatuan dalam
perbedaan”9
Disebutkan Ahmad Hidayatullah, pluralitas di
Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif horizontal dan vertikal.
Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa Indonesia dapat dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya.10 Dari segi etnis di
Indonesia terdiri dari suku Melayu dan suku Melanesia yang selanjutnya mem-bentuk
seratus suku besar dan 1027 suku besar dan kecil. Dari segi bahasa yang digunakan, terdapat ratusan bahasa diguna-kan
di seluruh wilayah nusantara. Dari segi pulau yang dihuni terdapat sekitar
13000 lingkungan kehidupan kepulauan.
Dari segi politik lokal, terdapat puluhan
bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem
stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang.Dari segi mata penca-harian,
terdapat keragaman antara mereka yang berorientasi pada kehidupan daratan dan
lautan dan antara kehidupan pedesaan dan perkotaan.Dari segi agama terdapat
sejumlah agama besar dunia danm sejumlah sistem kepercayaan local yang tersebar
di seluruh wilayah nusantara.11
Sedangkan dalam perspektif vertikal,
kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan,
ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.12
Kemajemukan
secara vertical lebih disebab-kan perbedaan kemampuan, kesempatan, dan
prestasi, misalnya masyarakat terpilah menjadi masyarakat miskin dan kaya,
berpendidikan rendah dan tinggi, meme-gang kekuasaan (memimpin) dan tidak
memegang kekuasaan.13
Sesungguhnya fenomena pluralitas masyarakat
Indonesia tidaklah bersifat unik. Di zaman
modern ini bisa dikatakan tidak ada masyarakat tanpa pluralitas dalam arti
antar umat (terdiri dari para penganut berbagai agama yang berbeda-beda)
kecuali di kota-kota ekslusif tertentu saja seperti Vatican, Makkah dan
Madinah.14 Oleh
karena itu, fenomena pluralitas merupakan hukum alam atau sunnatullah
yang tidak dapat terhindarkan.Persoalannya dampak dari kemajemukan
masyarakatseringkali kali menimbulkan ekses negatif. Ibarat pisau bermata dua,
satu sisi memberi dampak positif bagi Indonesia karena memiliki kekayaan
khasanah budaya yang beragam, akan tetapi sisi lain juga dapat menimbulkan
dampak negatif, karena terkadang justru keragaman ini dapat memicu konflik
antar kelompok masyarakat yang pada gilirannya dapat menimbulkan instabilitas
baik secara keamanan, sosial, politik maupun ekonomi.15
Dalam konteks ini, hal penting yang menjadi
perhatian adalah perlunya mem-bangun
kesadaran masyarakat tentang adanya kesatuan kebenaran atau kebenaran yang
bersifat universal. Kesadaran ini akan melahirkan sikap-sikap umat Islam sosial-keagamaan
yang unik dalam hubungan antar agama yaitu; toleransi, kebebasan, keterbukaan,
kewajaran, keadilan dan kejujuran.16
Untuk membangun kesadaran masya-rakat terhadap
pentingnya memahami kebenaran universal tersebut, setidaknya ada dua sisi yang
perlu dikembangkan: pertama, mendorong para pemuka agama untuk lebih
menekankan sosialisasi ajaran agama yang mempunyai nilai kebenran universal; kedua,
mengurangi seminimal mungkin penggunaan simbol-simbol agama dalam partai
politik.17
Landasan prinsip ini merupakan ajaran dalam
kitab suci bahwa kebenaran universal itu
adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manipestasi lahiriyyahnya beraneka
ragam. Ini juga menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mula-nya umat
manusia adalah tunggal, karena berpegang kepada kebenaran yang tunggal. Adanya
perbedaan penafsiran terhadap kebenaran tersebut yang disebabkan oleh
kepentingan akibat nafsu memenangkan persaingan. Kesatuan asal umat manusia itu
digambarkan dalam firman Ilahi:”Tiadalah manusia itu melainkan semula
merupakan umat yang tunggal kemudian mereka berselisih.18
Dengan
demikian, dalam konteks pluralitas maka prinsip kebenaran universal harus
dipahami bahwa semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu
keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa. Agama-agama itu,
baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama
lain, akan secara berangsur-angsur mene-mukan kebenaran asalnya bahwa semuanya
akan bertumpu dalam suatu “titik per-temuan”, “common platform” yang dalam al-Qur’an diistilahkan dengan “kalimatun
sawa” sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
قل يااهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء
بيننا وبينكم الا نعبد الا الله ولا نشرك به شيآ ولا يتخذ بعضنا بعضا اربابا من
دون الله فإن تولوافقولوا اشهدوا بأنا مسلمون19
Terjemahnya:
Katakanlah
(Muhammad): “Wahai ahl Kitab! Marilah kita menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang samaantara kami dan kamu; yaitu bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apapun. Dan bahwa kita tidak
menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.Jika mereka berpaling maka
katakanlah (kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”20
Apa yang
menjadi maksud dari ayat ini, pada dasarnya, mengandung makna yang sama secara
substansial pada sila pertama pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai
falsafah hidup, bangsa Indonesia telah mampu menjunjung tinggi dan menghargai
pluralitas keberagamaan. Bahkan nilai-nilai hukum Islam mewarnai konsep multikultural-pluralitas
masyarakat di Indonesia. Seberapa jauh
hukum Islam diterapkan dalam realita multikultural-pluralitas masyarakat di
Indonesia ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub judul berikutnya.
2.
Hukum Islam di Tengah Multikultural-pluralitas
di Indonesia
Dalam konteks multikultural-plura-litas
keindonesiaan, hukum Islam dapat diterapkan dengan menuangkan sebanyak mungkin
nilai-nilai ajaran Islam ke dalam hukum Nasional.Penyerapan nilai-nilai Islam
merupakan upaya pembudayaan hukum Islam yang tidak saja terjadi di bidang hukum
perdata, khususnya hukum keluarga, tetapi juga di bidang lain, seperti hukum
pidana, hukum tatanegara, dan hukum adminstrasi negara. Penyerapan nilai ajaran
Islam sesungguhnya telah ada sejak Undang dasar 1945 sebagai dasar konstitusi
bagi Indonesia dirumuskan oleh para penyusun pada masa kemerdekaan RI.
Beberapan rumusan tersebut dapat dilihat pada:
Pertama; rumusan ide bernegara bangsa Indonesia pada
alinea II dan III Pembukaan UUD 1945, yang intinya ialah: “keadaan kehidupan
berkelompok bangsa Indonesia, yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa;
didorong oleh ke-inginan luhur bangsa; untuk berkehidupan kebangsaan yang
bebas; dalam arti merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.21
Kedua, rumusan tentang kedudukan watga negara dalam
hukum dan pemerin-tahan
dalam pasal 27 ayat 1 adalah sama.22
Dalam
pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.23
Ketiga, rumusan dalam pasal 29 UUD 1945 24 yang menjamin kemerdekaan bagi seluruh
penduduk untuk memeluk agama-nya dan beribadat berdasarkan agama dan
kepercayaannya itu.
Keempat, rumusan pada pasal 34 UUD 1945 25 yang memberikan jaminan kehidupan bagi fakir
miskin dan anak-anak terlantar.26
Nilai-nilai ajaran Islam yang terserap dalam
dasar konstitusi negara Indonesia pada dasarnya wujud dari upaya pemerintah
dalam membangun masyarakat madani (civil society) yang sarat dengan
kebera-gaman kultur dan pluralitas keagamaan di Indonesia. Fenomena ini
sesungguhnya juga terjadi pada masa awal Islam, dibawah kepemimpinan Nabi Saw.di
Madinah melalui Piagam Madinah.27
Piagam
ini membuktikan corak masyarakat Islam yang inklusif terhadap keragaman budaya,
agama dan pemikiran. Dalam klausul
13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut:
"Orang
mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga
tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji
perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah akan memperoleh
perlindungan hingga men-jadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong
menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), mereka
memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka tidak akan dimusuhi dan tidak
pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah
merupakan satu kesepakatan. Tidak dibenar - benarkan seorang mukmin mengadakan
perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah,
kecuali telah disepakati dan diterima ber-sama."38
Menurut
Munawir Sjadzali, dasar atau pondasi yang diletakkan dalam Piagam Madinah
sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat yang plural di
Madinah adalah: pertama,
meskipun berasal dari banyak suku, semua pemeluk Islam merupakan satu
komunitas. Kedua, hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas dengan anggota komunitas lain
didasarkan atas prinsip-prinsip; (a) bertetangga baik; (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c)
membela mereka yang teraniaya; (d) saling menasihati; dan (e)menghormati
kebebasan beragama.29 Meskipun piagam Madinah dianggap oleh banyak pakar politik
Islam sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tapi dasar konstitusi ini
tidak menyebutkan agama negara.30
Kelompok yang menganut paham pluralisme
menganggap bahwa masyarakat Madinah sebagai model masyarakat inklusif. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat
Madinah dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penye-padanan
masyarakat Madinah dengan civil society ini tidaklah tepat, hanya
saja, pengakuan kaum pluralis terhadap masyarakat Madinah sebagai
masyarakat yang inklusif justru membuktikan bahwa mereka sebenarnya meyakini
bahwa Daulah Islamiyyahmenjamin dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak
meng-hendaki adanya uniformisasi.31
Oleh karena itu, penerapan hukum Islam di
Indonesia terpilah pada dua kelompok. Pertama, kelompok yag mene-kankan
pada pendekatan normative atau formalism; dan kedua, kelompok yang
menekankan pada pendekatan kultural (budaya). Pendekatan pertama menekankan
bahwa hukum Islam harus diterapkan kepada mereka yang sudah mengucapkan dua
kalimah syahadah atau sudah masuk Islam. Istilah “positivisasi hukum Islam”
tidak akan populer, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama Islam harus
dengan serta merta menjalankan atau dipaksakan untuk menerima hukum Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, proses kehidupan politik, termasuk
partai politik adalah dalam rangka atau sebagai alat untuk menerapkan hukum
Islam secara normatif dan formal ini. Konsekuensinya, pelaksanaan piagam
Jakarta menjadi persoalan besar dan serius yang harus selalu diperjuangkan, oleh
karena merupakan satu-satunya cara untuk penerapan hukum Islam secara formal kalau
perlu dipaksakan di negara Indonesia. Jika ditarik ke atas lagi dari sisi ekstrimitas,
pendekatan ini menjadi skriptualis dan tekstualis yang biasanya kurang
mempertimbangkan kontekstual dan lingkungan sosiologis. Pada dasarnya,
pendekatan normatif saja tidak selalu jelek karena dapat diposisikan sebagai
pengon-trol. Namun, jika berlebihan akan sampai pada skrip-tualis dan pemaksaan
tadi. Sampai batas ini, upaya positivisasi tidak merupakan jawabannya, oleh
karena cenderung pada pemaksaan secara formal ideologis.
Pendekatan yang kedua tidak menekankan pada
formalisme penerapan hukum Islam atau
dengan pendekatan normatif ideologis akan tetapi pada penyerapan nilai-nilai
hukum Islam ke dalam kerangka hukum nasional. Menurut KH. Sahal Mahfudh,
terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat madani dengan demikian harus
dimulai dengan penyerapan nilai-nilai
hukum universal dalam kerangka kemasyarakatan yang proporsional”. Nilai-nilai
hukum universal yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan di muka
hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama, dan menjunjung
tinggi supremasi hukum Allah.Artinya, nilai-nilai universal harus diupayakan
tertanam dan terimplementasi-kan dalam segala unsur masyarakat mulai dari
sistem kelembagaan dan unsur masyarakat pendukungnya. Penyerapan nilai
dimaksudkan sebagai proses yang bersifat kultural, bukan pemaksaan secara
normative. Dengan pendekatan ini akan memperkecil kendala pada tahap implemen-tasi
dan labelisasi yang sering menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan dari
kalangan masyarakat dapat diminimalkan.32
Pendekatan kultural dapat dikatakan sebagai
bagian untuk menerapkan hukum Islam substantif. Ratno Lukito menganggap bahwa
perjuangan Islam substansial pada dasarnya merupakan imbas dari kerangka
berfikir akomodatif yang berangkat dari kesadaran pragmatis bahwa bumi
Indonesia bukanlah tanah yang homogen.Walaupun Islam mayoritas dari sisi
demografisnya, namun tidak berarti harus mengesamping-kan kenyataan
heterogenitas masyarakat di dalamnya.Inilah yang menjadi lahan subur bagi
berkembangnya teori hukum Islam ala Indonesia.33
Hukum
Islam Indonesia harus diderivasikan dari karakteristik masyarakat Indonesia dan
bukan bentuk masyarakat lain yang asing bagi Indonesia.34 Oleh karena itu, titik tolak pengembangan dan
penerapan hukum Islam di tengah pluralitas dan multikultural masyarakat
Indonesia harus dideduksi dari prinsip atau nilai yang bersifat universal.
Nilai-nilai universal hukum Islam dalam sistem
hukum dapat dikategorikan sebagai norma hukum abstrak dalam teori peringkatan
hukum. Oleh karena itu, norma ini menjadi acuan dalam setiap perumusan
peraturan. Dalam teori peringkatan hukum bahwa penerapan suatu hukum harus
dikembalikan pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Dan tingkatan pertama
sekaligus menjadi norma hukum yang paling tinggi adalah adanya cita-cita hukum
yang merupakan norma yang abstrak. Kedua, norma antara yang dipakai
sebagai perantara untuk mencapai cita-cita hukum. Ketiga, norma konkret
yang merupakan hasil penerapan norma anatara atau penegakannya di pengadilan.
Apabila teori peringkatan hukum ini diterapkan pada upaya penegakan hukum Islam
dalam konteks keindonesiaan maka gambaran pertingkatan hukumnya dapat
digambarkan sebagai berikut:35
Norma Abstrak
|
Nilai-nilai di dalam Kitab Suci al-Qur’an
(yang bersifat universal dan abadi dan tidak boleh diubah manusi)
|
Norma Antara
|
Asas-asas serta pengaturan, hasil kreasi
manusia sesuai dengan situasi, kondisi, budaya, dan kurun waktu, yang muncul
sebagai peraturan negara, pendapat ulama, pakar/ilmuwan, atau kebiasaan
|
Norma konkret
|
Semua (hasil) penerapan dan pelayanan hukum
kreasi manusia bukan nabi, serta hasil penegakan hukum di penga-dilan (hukum
positif, living law).
|
Dari gambaran di atas, dapat dirumus-kan
sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai Islam
2.
Asas-asas dan penuangannya ke dalam hukum
nasional
3.
Penerapan serta penegakannya di dalam hukum
positif.36
Berdasarkan peringkatan norma hukum di atas
aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam
dapat diakomodir. Meski-pun dianggap belum memadai karena perwujudan penerapan
hukum Islam dalam yuridis formal masih terbatas, Keterbatasan ini dapat dilihat
misalnya pada UU Per-kawinan, UUPA, PP tentang Perwakafan, UU tentang Haji, UU
tentang Zakat, dan KHI dan lain-lain.
Pada dasarnya, pluralisme agama, sosial dan
budayayang berkonsekuensi trikotomi sistem hukum di Indonesia tidak dapat
dijadikan alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya pada persoalan
perdata.Kontribusi Islam dalam sistem hukum nasional dapat diperluas lagi pada
hukum pidana nasional.Sebab, pen-jalinan hukum Islam dengan hukum pidana adalah
sesuai dengan kebutuhan mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam, yang
memerlukan perlindungan hukum yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Oleh karena itu, unsure hukum Islam dapat
mewarnai hukum pidana positif di Indonesia. Dalam konteks yang demikian, maka
prospekhukum Islam akan semakin mengisi sistem hukum nasional dan mengurangi
trikotomi sistem hukum (Islam, adat, dan Barat). Dengan semakin terwakilinya
nilai-nilai yang dimiliki mayoritas masyarakar dalam sistem hukum nasional maka
stabilitas sosial-ekonomi dan politik akan semakin terpelihara. Pola pikir yang
demikian, sejalan dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, ’Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Penegasan itu mengandung konsekuensi
logis bahwa semua warga negara berhak berperan sertadala mem-bangun sistem
hukum nasionalsebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dengan konsep
khilafah dan ibadah kepada Allah Swt.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan:
1.
Multikulturalisme adalah suatu konsep yang
menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan
pluralisme budaya. Perbedaannya dengan pluralisme adalah suatu pemahaman lebih
menekankan entitas perbedaan suatu masyarakat yang satu dengan lainnya dan
kurang mem-perhatikan interaksi. Sementara multi-kulturalisme sebagai suatu paham yang lebih menekankan pada
interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebu-dayaan sebagai entitas
yang memiliki hak-hak yang setara (sama).
2.
Fenomena pluralitas masyarakat Indonesia dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu sisi horizontal dan vertical. Dari sisi horizontal, kemajemukan bangsa
Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis,
dan budayanya. Sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa
Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat
sosial budayanya.
3.
Penerapan hukum Islam dalam konteks kemajemukan
bangsa Indonesia meng-arah pada pendekatan cultural, yang lebih menekankan pada
prinsip dan nilai ajaran Islam yang bersifat universal seperti keadilan,
kejujuran, kebebasan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak
seagama, dan menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Sementara formalisasi
hukum Islam dalam sistem hukum nasional masih terbatas pada aturan-aturan keper-dataan.
B. Implikasi
Penerapan hukum
Islam pada masyarakat multikulturalis-pluralitas pada dasarnya bukan hal yang
baru. Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa eksis-tensi hukum Islam dan
penegakannya pada masyarkat plural awal sejarah Islam hingga kekuasaannya
mencapai hampir 2/3 dunia semakin menguatkan
pada kita bahwa formalisasi syariat Islam bukanlah ancaman bagi
keberagaman, kebhinnekaan, dan kelompok minoritas. Sepanjang penegakan-nya
masih menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam konsep multikulturalisme
maka seharusnya penerapan hukum Islam dalam yuridis formal tidak hanya terbatas
pada hukum keperdataan tapi juga pada hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Amrullah Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Anwar, Syamsul
Epistemologi Hukum Islam al-Gazzali Dalam
Kitab al-Mus}tasyfa>’,
Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 2001), Disertasi tidak terbit.
Anwar, Syamsul, Pengembangan
Metode Penelitian Hukum Islam dalam Mazhab
Yogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, ed. Dr. Ainurrafiq, MA.
Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002.
Azizy,A.
Qadri Eklektisisme Hukum nasional; Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum
Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah. Bandung:
Dipanegoro, 2005.
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Timtamas,
1974.
Lukito, Ratno, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, Jakarta: INIS, 1995
Madjid,Nurcholish,Islam, Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Cet. II; Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1992.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya.
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997.
Ash-Shiddiqie, Hasbi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.
Jakarta: Bulan Bintang, 1966,
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press, 1993.
Kelompok Jurnal dan Makalah;
Afif HM, Spirit Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Jurnal
Penelitian Agama & Kemasyarakatan, Penamas Vol. XXI Nomor 1 tahun 2008.
Jakarta: Depag Balitbang dan Diklat, 2008.
Baidhawy, Zakiyuddin, Kontestasi Islam dan Budaya Jawa dalam
Ceramah Keagamaan di Surakarta, Jurnal Harmoni Vol. VIII, No. 26
Edisi April-Juni 2008.
Lukito,Ratno, Hukum Islam Indonesia di Tengah Pluralisme Politik
dan Budaya, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Syariah
IAIN Sunana Kalijaga, tanggal 3 April 1999.
Mudzhar,M. Atho, Tantangan Kontribusi Agama dalam Mewujudkan
Multi-kulturalisme di Indonesia, Jurnal Harmoni Vol. III, No.
11, Edisi Juli-September 2004,
Sumber Online (internet)
Ahmad Hidayatullah al-Arifin, Implemen-tasi Pendidikan Multi-kultural
dalam Praksis pendidikan di Indonesia,
http://ulilalbabjong. wordpress.com/2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
Amandemen UUD
1945. http://www.
inoputro. com
http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/ 3384-68-syariat-islam-mengakomo-dasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
Catatan Akhir:
[1]Lihat
Zakiyuddin Baidhawy, Kontestasi Islam dan Budaya Jawa dalam Ceramah Keagamaan
di Surakarta, Jurnal Harmoni Vol. VIII, no. 26 edisi April-Juni 2008, h.
59.
2Lihat http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/ 3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
3M. Atho
Mudzhar, Tantangan Kontribusi Agama dalam Mewujudkan Multikulturalisme di
Indonesia, Jurnal Harmoni Vol. III, No. 11, Edisi Juli-September 2004, h. 11.
4Ibid
5Afif HM, Spirit
Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Jurnal Penelitian Agama &
Kemasyarakatan, Penamas Vol. XXI Nomor 1 tahun 2008, (Jakarta: Depag Balitbang
dan Diklat, 2008).
6Atho’ Mudzhar, op.
cit, h. 12.
7Dr. Nurcholish
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. II; Jakarta: Yayasan
Paramadina, 1992), h. 177
8Ratno Lukito, Pergumulan
antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1995), h. 58
9Ahmad
Hidayatullah al-Arifin, Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis
pendidikan di Indonesia, http://ulilalbabjong.wordpress.com/ 2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
10Lihat M. Atho Mudzhar, op. cit., h. 11
[1]1Ahmad
Hidayatullah al-Arifin, Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis
pendidikan di Indonesia, http://ulilalbabjong.wordpress.com/ 2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
12M. Atho Mudzhar, op. cit, h. 13
13Nurcholish
Madjid, op. cit., h. 177-178
[1]4Ahmad
Hidayatullah, op. cit.
[1]5Nurcholish
Madjid, op. cit., h. 179
[1]6M. Atho.
Mudzhar, op. cit., h, 14
[1]7Lihat QS. Yunus
(10): 19.
[1]8QS. Al-Imran
(3): 64.
19Departemen
Agama, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: Dipanegoro, 2005), h. 58.
20Rumusan ini
sarat dengan nilai ajaran Islam karena tidak bersifat sekuler. Berbeda dengan
rumusan Rousseau (liberal) tentang negara yang beranggapan bahwa negara adalah
hasil perjanjian individu-individu yang bebas. Jadi rumusan Indonesia lebih
integral. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 172.
21Ibid.
22Amandemen UUD
1945 http://www.inoputro. com. Berbeda
dengan rumusan dalam system liberal yang hanya menekankan equality before
the law dalam hal rule of lawnya,
bangsa Indonesia juga menegaskan
kewajiban untuk mematuhinya dan menjamin kesamaan kedudukan di dalam
pemerintahan dan ini juga sarat dengan nilai-nilai Islam,.
23Pasal
29 UUD 1945 (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Amandemen UUD 1945. Lihat http://www.inoputro. com
24Pasal 34 UUD
1945 : Fakir
miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara
25Amrullah Ahmad,
op. cit, h. 173.
26Setidaknya
ada 47 butir perjanjian dalam piagam Madinah yang dibuat Nabi Saw dengan
kelompok masyarakat lain yang hidup dibawah kepemimpinan Nabi. Piagam ini
kemudian dianggap oleh para pakar politik Islam sebagai konstitusi atau
undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan oleh Nabi
di Madinah. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h.
10-15.
27Kaum Yahudi
yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi
bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak
muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari
rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya.
Dalam Piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat
perjanjian dengan Rasulullah SAW (menjadi bagian Daulah Islamiyyah),
yakni Yahudi Bani 'Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya. Lihat Syariat Islam
mengakomodasi Keragaman dan kebhinnekaan.
http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
28Munawir
Sjadzali, op. cit., h. 15-16
29Ibid. h. 16.
30http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
31A. Qadri Azizy,
Eklektisisme Hukum nasional; Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), h. 196
32Ratno Lukito,
Hukum Islam Indonesia di Tengah Pluralisme Politik dan Budaya, Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Syariah IAIN Sunana Kalijaga,
tanggal 3 April 1999, h. 3.
33Teori ini pada
dasarnya sudah dikembangkan oleh tokoh intelektual hukum Islam; yaitu Hasbi ash-Shiddiqie
dengan gagasannya “fiqh Indonesia” dan Hazairin dengan gagasannya “mazhab
Indonesia”. Pikirannya dapat dibaca dalam
karya Hasbi as-Shiddiqie, Syariat Islam menjawab Tantangan Zaman
(Jakarta: Bulan Bintang, 1966), dan Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum
(Jakarta: Timtamas, 1974). Lihat juga
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997).
34Bandingkan
jenjang norma hukum Islam dikemukakan oleh Syamsul Anwar yang membagi 3 lapis: pertama, norma-norma abstrak yang merupa-kan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam
seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, akidah, dan
ajaran-ajaran pokok dalam etika Islam
(akhlak). Kedua, norma-norma tengah, yang terletak antara dan sekaligus
menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan-hukum konkret. Norma-norma tengah ini
merupakan doktrin-doktrin (asas-asas)
umum hukum Islam yang secara konkretnya dibedakan menjadi dua macam: yaitu an-nazariyyat
al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam) dan al-qawa’id al-fiqhiyyat (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga,
peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah).
35Lihat
karya Syamsul
Anwar, Epistemologi Hukum Islam al-Gazzali Dalam Kitab al-Mustasyfa’, (Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 2001),
Disertasi tidak terbit, h. 405. Dan
Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam dalam Mazhab Yogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, ed. Dr.
Ainurrafiq, MA (Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002), h. 157-160.
36Amrullah Ahmad, op. cit, h. 175-176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar