Rabu, 28 Januari 2015

REFORMULASI HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS MULTIKULTURALIS-PLURALITAS DI INDONESIA



Rahmawati
Abstract: This paper examines refomulasi Islamic law in the middle of the plurality of phenomena both in terms of culture and religion in Indonesia. Beginning with a discussion of basic concepts of multiculturalism and pluralism of society and a general overview of the phenomenon of plurality (plurality) in Indonesian society. From these discussions then analyzed how to reformulate the application of Islamic law in the context of multicultural-plurality in Indonesia. Based on this analysis, it was concluded that the application of Islamic law in the context of the Indonesian national diversity leads to a cultural approach, which emphasizes the principles and values ​​that are universal Islamic teachings such as fairness, honesty, freedom under the law, the legal protection of the public is not the same religion, and upholding the rule of God's law. While the application through the formalization of Islamic law in the national legal system is still limited to the civil rules.

Kata Kunci: hukum Islam, multikultural, pluralisme.

I.     PENDAHULUAN
Fakta multikulturalisme bukanlah fenomena khas Barat. Sejarah telah mencatat bahwa fenomena ini merupakan realita yang pernah terjadi pada masa silam. Fenomena masyarakat dengan keragaman agama, etnik, bahasa, dan ras dalam sebuah negara atau kerajaan pernah terjadi di negara Mughal India, Kerajaan Usmani di Timur Tengah, Kerajaan Afrika Barat, dan bahkan kerajaan Majapahit di Jawa,1 dan jauh sebelumnya, sepanjang sejarah Islam realitas masyarakat majemuk (plural) sudah ada. Jadi, dapat dikatakan multikulturalisme bukanlah fakta yang unik pada abad modern ini.
Pada awal sejarah Islam, negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi memiliki struktur masyarakat plural karena dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nasrani, dan juga kaum Musyrik.Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan dibawah otoritas hukum Islam.Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang laintanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melin-dungi "kebebasan mereka" dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka.Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.2 Realita ini terus berlangsung hingga kekuasaan Islam meluas hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia,  Balkan, dan Asia Tengah itu, semakin mempertajam keragaman budaya, keyakinan dan agama yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan konflik. Tetapi,  hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik. Bahkan, penera-pan syariat Islam saat itu, berhasil mencip-takan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim. 
Dalam konteks keindonesiaan, kera-gaman budaya, agama, dan etnik bahkan ribuan suku telah memberikan keunikan ter-sendiri dalam membangun sistem hukum. Sebagai negara yang multikultur dan berpenduduk mayoritas Islam, Indonesia tidak hanya menganut sistem hukum yang bersumber pada hukum Islam tetapi juga hukum Adat, dan hukum Barat.Hal inilah yang menjadikan permasalahan hukum Islam di tengah multikulturalis-pluralitasdi Indonesia semakin menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas persoalan ini dengan beberapa sub masalah. Pertama, bagaimana konsep dasar multi-kulturalisme dan pluralism masyarakat. Kedua, bagaimana fenomena kemajemukan (pluralitas) masyarakat di Indonesia?. Ketiga, Bagaimana reformulasi penerapan hukum Islam di tengah multikulturalis-pluralitas di Indonesia?
II.  PEMBAHASAN
A.  Konsep Dasar Multikulturalis-Plu-ralitas Masyarakat
Multikulturalisme adalah suatu kon-sep yang menunjuk kepada suatu masyara-kat yang mengedepankan pluralisme budaya.4 Sedangkan pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural, tetapi multikulturalisme paling kurang pada awalnya tidak sama dengan sekedar pluralisme masyarakat.5
Pluralisme sebagai suatu pemahaman lebih menekankan entitas perbedaan suatu masyarakat yang satu dengan lainnya dan kurang memperhatikan interaksi. Sementara multikulturalisme sebagai suatu paham yang lebih menekankan pada interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara (sama).6 Artinya konsep yang menggambarkan relasi  (hubungan) antar kebudayaan. Dari konsep ini muncullah gagasan normatif mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak masing-masing kebuda-yaan dalam membangun kehidupan bangsa.
Dalam masyarakat multikultural kon-sepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendak dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan dan mem-banggakan pluralisme masyarakat. Dengan demikian ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multi-kultural, yaitu: a) adanya pluralisme masyarakat, b). adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebang-saan sama, c) adanya kebanggaan mengenai pluralisme itu.7
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur, sehingga multikultu-ralisme dalam konteks ke-indonesia-an dapat dipahami sebagai suatu konsep yang dipandang tepat mengakomodir berbagai kepentingan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, konsep ini merupakan sesuatu yang dipahami untuk membangun bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis,  ras, budaya, bahasa, agama dengan saling menghormati dan menghargai hak-hak minoritas. Kehidupan bangsa Indonesia yang multikultur hendaknya memberikan peluang yang sama  (tidak diskriminatif) kepada seluruh warga negara, dengan memberikan penghargaan terhadap keragaman (etnik, budaya dan agama), untuk tujuan mempererat, merekat-kan serta memperkuat persatuan dan ke-satuan bangsa. Karena pada hakikatnya dalam setiap budaya dan agama terdapat nilai-nilai yang mengajarkan kebaikan dan mendorong manusia untuk berbuat kebaji-kan. Seperti yang terkandung dalam nilai perdamaian, kasih sayang, persaudaraan, kesetaraan, kesejahteraan, kebersamaan, menghargai keyakinan, demokrasi, hak asasi, kesempatan berprestasi, mobilitas sosial, saling menghormati dan saling bekerjasama dalam memecahkan berbagai permasalahan bersama.
Masyarakat Indonesia yang majemuk (multikultur) membutuhkan upaya yang terencana dalam membangun interaksi sosial positif. Yaitu melalui berbagai prog-ram kegiatan yang dapat mendorong warga masyarakat melakukan pengamalan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran budaya dan agama dalamkehidupan sehari-hari. Seperti kejujuran, saling percaya, menghargai, menghormati, tenggang rasa, tolong menolong, dan bekerjasama dalam menyelaesaikan berbagai permaslahan dan kepentingan bersama.
1.    Fenomena Pluralitas Masyarakat Indonesia
Bangsa Indonesia sering disebut negeri yang memiliki masyarakat majemuk (plural). Kemajemukan ini disebabkan ham-pir semua agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan budha) terwakili di kawasan ini.8 Selain itu, ribuan pulau di Indonesia dihuni oleh berbagai macam kelompok etnik, sosial, keagamaan dan kulturalyang masing-masing selalu mempertahankan adat dan pandangan hidup mereka. Menerima kenyataan plualisme ini, Republik Indonesia memegangi semboyan yang resmi; Bhinneka Tunggal Ika”, “kebersatuan dalam perbedaan”9
Disebutkan Ahmad Hidayatullah, pluralitas di Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya.10 Dari segi etnis di Indonesia terdiri dari suku Melayu dan suku Melanesia yang selanjutnya mem-bentuk seratus suku besar dan 1027 suku besar dan kecil. Dari segi bahasa yang digunakan, terdapat ratusan bahasa diguna-kan di seluruh wilayah nusantara. Dari segi pulau yang dihuni terdapat sekitar 13000 lingkungan kehidupan kepulauan.
Dari segi politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang.Dari segi mata penca-harian, terdapat keragaman antara mereka yang berorientasi pada kehidupan daratan dan lautan dan antara kehidupan pedesaan dan perkotaan.Dari segi agama terdapat sejumlah agama besar dunia danm sejumlah sistem kepercayaan local yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.11
Sedangkan  dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.12 Kemajemukan secara vertical lebih disebab-kan perbedaan kemampuan, kesempatan, dan prestasi, misalnya masyarakat terpilah menjadi masyarakat miskin dan kaya, berpendidikan rendah dan tinggi, meme-gang kekuasaan (memimpin) dan tidak memegang kekuasaan.13
Sesungguhnya fenomena pluralitas masyarakat Indonesia tidaklah bersifat unik. Di zaman modern ini bisa dikatakan tidak ada masyarakat tanpa pluralitas dalam arti antar umat (terdiri dari para penganut berbagai agama yang berbeda-beda) kecuali di kota-kota ekslusif tertentu saja seperti Vatican, Makkah dan Madinah.14 Oleh karena itu, fenomena pluralitas merupakan hukum alam atau sunnatullah yang tidak dapat terhindarkan.Persoalannya dampak dari kemajemukan masyarakatseringkali kali menimbulkan ekses negatif. Ibarat pisau bermata dua, satu sisi memberi dampak positif bagi Indonesia karena memiliki kekayaan khasanah budaya yang beragam, akan tetapi sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena terkadang justru keragaman ini dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat yang pada gilirannya dapat menimbulkan instabilitas baik secara keamanan, sosial, politik maupun ekonomi.15
Dalam konteks ini, hal penting yang menjadi perhatian adalah perlunya mem-bangun kesadaran masyarakat tentang adanya kesatuan kebenaran atau kebenaran yang bersifat universal. Kesadaran ini akan melahirkan sikap-sikap umat Islam sosial-keagamaan yang unik dalam hubungan antar agama yaitu; toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran.16
Untuk membangun kesadaran masya-rakat terhadap pentingnya memahami kebenaran universal tersebut, setidaknya ada dua sisi yang perlu dikembangkan: pertama, mendorong para pemuka agama untuk lebih menekankan sosialisasi ajaran agama yang mempunyai nilai kebenran universal; kedua, mengurangi seminimal mungkin penggunaan simbol-simbol agama dalam partai politik.17
Landasan prinsip ini merupakan ajaran dalam kitab suci  bahwa kebenaran universal itu adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manipestasi lahiriyyahnya beraneka ragam. Ini juga menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mula-nya umat manusia adalah tunggal, karena berpegang kepada kebenaran yang tunggal. Adanya perbedaan penafsiran terhadap kebenaran tersebut yang disebabkan oleh kepentingan akibat nafsu memenangkan persaingan. Kesatuan asal umat manusia itu digambarkan dalam firman Ilahi:”Tiadalah manusia itu melainkan semula merupakan umat yang tunggal kemudian mereka berselisih.18
Dengan demikian, dalam konteks pluralitas maka prinsip kebenaran universal harus dipahami bahwa semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa. Agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain, akan secara berangsur-angsur mene-mukan kebenaran asalnya bahwa semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik per-temuan”, “common platform  yang dalam al-Qur’an diistilahkan dengan “kalimatun sawa” sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
قل يااهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم الا نعبد الا الله ولا نشرك به شيآ ولا يتخذ بعضنا بعضا اربابا من دون الله فإن تولوافقولوا اشهدوا بأنا مسلمون19
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahl Kitab! Marilah kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang samaantara kami dan kamu; yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apapun. Dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”20
Apa yang menjadi maksud dari ayat ini, pada dasarnya, mengandung makna yang sama secara substansial pada sila pertama pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai falsafah hidup, bangsa Indonesia telah mampu menjunjung tinggi dan menghargai pluralitas keberagamaan. Bahkan nilai-nilai hukum Islam mewarnai konsep multikultural-pluralitas masyarakat di  Indonesia. Seberapa jauh hukum Islam diterapkan dalam realita multikultural-pluralitas masyarakat di Indonesia ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub judul berikutnya.
2.    Hukum Islam di Tengah Multikultural-pluralitas di Indonesia
Dalam konteks multikultural-plura-litas keindonesiaan, hukum Islam dapat diterapkan dengan menuangkan sebanyak mungkin nilai-nilai ajaran Islam ke dalam hukum Nasional.Penyerapan nilai-nilai Islam merupakan upaya pembudayaan hukum Islam yang tidak saja terjadi di bidang hukum perdata, khususnya hukum keluarga, tetapi juga di bidang lain, seperti hukum pidana, hukum tatanegara, dan hukum adminstrasi negara. Penyerapan nilai ajaran Islam sesungguhnya telah ada sejak Undang dasar 1945 sebagai dasar konstitusi bagi Indonesia dirumuskan oleh para penyusun pada masa kemerdekaan RI. Beberapan rumusan tersebut dapat dilihat pada:
Pertama; rumusan ide bernegara bangsa Indonesia pada alinea II dan III Pembukaan UUD 1945, yang intinya ialah: “keadaan kehidupan berkelompok bangsa Indonesia, yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa; didorong oleh ke-inginan luhur bangsa; untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas; dalam arti merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.21
Kedua, rumusan tentang kedudukan watga negara dalam hukum dan pemerin-tahan dalam pasal 27 ayat 1 adalah sama.22 Dalam pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.23
Ketiga, rumusan dalam pasal 29 UUD 1945 24 yang menjamin kemerdekaan bagi seluruh penduduk untuk memeluk agama-nya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya itu.
Keempat, rumusan pada pasal 34 UUD 1945 25 yang memberikan jaminan kehidupan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.26
Nilai-nilai ajaran Islam yang terserap dalam dasar konstitusi negara Indonesia pada dasarnya wujud dari upaya pemerintah dalam membangun masyarakat madani (civil society) yang sarat dengan kebera-gaman kultur dan pluralitas keagamaan di Indonesia. Fenomena ini sesungguhnya juga terjadi pada masa awal Islam, dibawah kepemimpinan Nabi Saw.di Madinah melalui Piagam Madinah.27 Piagam ini membuktikan corak masyarakat Islam yang inklusif terhadap keragaman budaya, agama dan pemikiran. Dalam klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut:
"Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah akan memperoleh perlindungan hingga men-jadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan. Tidak dibenar - benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima ber-sama."38
Menurut Munawir Sjadzali, dasar atau pondasi yang diletakkan dalam Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat yang plural di Madinah adalah: pertama, meskipun berasal dari banyak suku, semua pemeluk Islam merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota  komunitas dengan anggota komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip; (a) bertetangga baik; (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) membela mereka yang teraniaya; (d) saling menasihati; dan (e)menghormati kebebasan beragama.29 Meskipun piagam Madinah dianggap oleh banyak pakar politik Islam sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tapi dasar konstitusi ini tidak menyebutkan agama negara.30
Kelompok yang menganut paham pluralisme menganggap bahwa masyarakat Madinah sebagai model masyarakat inklusif. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat Madinah dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penye-padanan masyarakat Madinah dengan civil society ini tidaklah tepat, hanya saja, pengakuan kaum pluralis terhadap masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang inklusif justru membuktikan bahwa mereka sebenarnya meyakini bahwa Daulah Islamiyyahmenjamin dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak meng-hendaki adanya uniformisasi.31
Oleh karena itu, penerapan hukum Islam di Indonesia terpilah pada dua kelompok. Pertama, kelompok yag mene-kankan pada pendekatan normative atau formalism; dan kedua, kelompok yang menekankan pada pendekatan kultural (budaya). Pendekatan pertama menekankan bahwa hukum Islam harus diterapkan kepada mereka yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadah atau sudah masuk Islam. Istilah “positivisasi hukum Islam” tidak akan populer, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama Islam harus dengan serta merta menjalankan atau dipaksakan untuk menerima hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, proses kehidupan politik, termasuk partai politik adalah dalam rangka atau sebagai alat untuk menerapkan hukum Islam secara normatif dan formal ini. Konsekuensinya, pelaksanaan piagam Jakarta menjadi persoalan besar dan serius yang harus selalu diperjuangkan, oleh karena merupakan satu-satunya cara untuk penerapan hukum Islam secara formal kalau perlu dipaksakan di negara Indonesia. Jika ditarik ke atas lagi dari sisi ekstrimitas, pendekatan ini menjadi skriptualis dan tekstualis yang biasanya kurang mempertimbangkan kontekstual dan lingkungan sosiologis. Pada dasarnya, pendekatan normatif saja tidak selalu jelek karena dapat diposisikan sebagai pengon-trol. Namun, jika berlebihan akan sampai pada skrip-tualis dan pemaksaan tadi. Sampai batas ini, upaya positivisasi tidak merupakan jawabannya, oleh karena cenderung pada pemaksaan secara formal ideologis.
Pendekatan yang kedua tidak menekankan pada formalisme  penerapan hukum Islam atau dengan pendekatan normatif ideologis akan tetapi pada penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam kerangka hukum nasional. Menurut KH. Sahal Mahfudh, terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat madani dengan demikian harus dimulai  dengan penyerapan nilai-nilai hukum universal dalam kerangka kemasyarakatan yang proporsional”. Nilai-nilai hukum universal yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama, dan menjunjung tinggi supremasi hukum Allah.Artinya, nilai-nilai universal harus diupayakan tertanam dan terimplementasi-kan dalam segala unsur masyarakat mulai dari sistem kelembagaan dan unsur masyarakat pendukungnya. Penyerapan nilai dimaksudkan sebagai proses yang bersifat kultural, bukan pemaksaan secara normative. Dengan pendekatan ini akan memperkecil kendala pada tahap implemen-tasi dan labelisasi yang sering menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan dari kalangan masyarakat dapat diminimalkan.32
Pendekatan kultural dapat dikatakan sebagai bagian untuk menerapkan hukum Islam substantif. Ratno Lukito menganggap bahwa perjuangan Islam substansial pada dasarnya merupakan imbas dari kerangka berfikir akomodatif yang berangkat dari kesadaran pragmatis bahwa bumi Indonesia bukanlah tanah yang homogen.Walaupun Islam mayoritas dari sisi demografisnya, namun tidak berarti harus mengesamping-kan kenyataan heterogenitas masyarakat di dalamnya.Inilah yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya teori hukum Islam ala Indonesia.33 Hukum Islam Indonesia harus diderivasikan dari karakteristik masyarakat Indonesia dan bukan bentuk masyarakat lain yang asing bagi Indonesia.34 Oleh karena itu, titik tolak pengembangan dan penerapan hukum Islam di tengah pluralitas dan multikultural masyarakat Indonesia harus dideduksi dari prinsip atau nilai yang bersifat universal.
Nilai-nilai universal hukum Islam dalam sistem hukum dapat dikategorikan sebagai norma hukum abstrak dalam teori peringkatan hukum. Oleh karena itu, norma ini menjadi acuan dalam setiap perumusan peraturan. Dalam teori peringkatan hukum bahwa penerapan suatu hukum harus dikembalikan pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Dan tingkatan pertama sekaligus menjadi norma hukum yang paling tinggi adalah adanya cita-cita hukum yang merupakan norma yang abstrak. Kedua, norma antara yang dipakai sebagai perantara untuk mencapai cita-cita hukum. Ketiga, norma konkret yang merupakan hasil penerapan norma anatara atau penegakannya di pengadilan. Apabila teori peringkatan hukum ini diterapkan pada upaya penegakan hukum Islam dalam konteks keindonesiaan maka gambaran pertingkatan hukumnya dapat digambarkan sebagai berikut:35

Norma Abstrak
Nilai-nilai di dalam Kitab Suci al-Qur’an (yang bersifat universal dan abadi dan tidak boleh diubah manusi)
Norma Antara
Asas-asas serta pengaturan, hasil kreasi manusia sesuai dengan situasi, kondisi, budaya, dan kurun waktu, yang muncul sebagai peraturan negara, pendapat ulama, pakar/ilmuwan, atau kebiasaan
Norma konkret
Semua (hasil) penerapan dan pelayanan hukum kreasi manusia bukan nabi, serta hasil penegakan hukum di penga-dilan (hukum positif, living law).
Dari gambaran di atas, dapat dirumus-kan sebagai berikut:
1.    Nilai-nilai Islam
2.    Asas-asas dan penuangannya ke dalam hukum nasional
3.    Penerapan serta penegakannya di dalam hukum positif.36
Berdasarkan peringkatan norma hukum di atas aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam dapat diakomodir. Meski-pun dianggap belum memadai karena perwujudan penerapan hukum Islam dalam yuridis formal masih terbatas, Keterbatasan ini dapat dilihat misalnya pada UU Per-kawinan, UUPA, PP tentang Perwakafan, UU tentang Haji, UU tentang Zakat, dan KHI dan lain-lain.
Pada dasarnya, pluralisme agama, sosial dan budayayang berkonsekuensi trikotomi sistem hukum di Indonesia tidak dapat dijadikan alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya pada persoalan perdata.Kontribusi Islam dalam sistem hukum nasional dapat diperluas lagi pada hukum pidana nasional.Sebab, pen-jalinan hukum Islam dengan hukum pidana adalah sesuai dengan kebutuhan mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam, yang memerlukan perlindungan hukum yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Oleh karena itu, unsure hukum Islam dapat mewarnai hukum pidana positif di Indonesia. Dalam konteks yang demikian, maka prospekhukum Islam akan semakin mengisi sistem hukum nasional dan mengurangi trikotomi sistem hukum (Islam, adat, dan Barat). Dengan semakin terwakilinya nilai-nilai yang dimiliki mayoritas masyarakar dalam sistem hukum nasional maka stabilitas sosial-ekonomi dan politik akan semakin terpelihara. Pola pikir yang demikian, sejalan dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, ’Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Penegasan itu mengandung konsekuensi logis bahwa semua warga negara berhak berperan sertadala mem-bangun sistem hukum nasionalsebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dengan konsep khilafah dan ibadah kepada Allah Swt.
III.   PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan:
1.    Multikulturalisme adalah suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Perbedaannya dengan pluralisme adalah suatu pemahaman lebih menekankan entitas perbedaan suatu masyarakat yang satu dengan lainnya dan kurang mem-perhatikan interaksi. Sementara multi-kulturalisme sebagai  suatu paham yang lebih menekankan pada interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebu-dayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara (sama).
2.    Fenomena pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi horizontal dan vertical.  Dari sisi horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya. Sedangkan  dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.
3.    Penerapan hukum Islam dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia meng-arah pada pendekatan cultural, yang lebih menekankan pada prinsip dan nilai ajaran Islam yang bersifat universal seperti keadilan, kejujuran, kebebasan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama, dan menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Sementara formalisasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional masih terbatas pada aturan-aturan keper-dataan.
B.  Implikasi
Penerapan hukum Islam pada masyarakat multikulturalis-pluralitas pada dasarnya bukan hal yang baru. Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa eksis-tensi hukum Islam dan penegakannya pada masyarkat plural awal sejarah Islam hingga kekuasaannya mencapai hampir 2/3 dunia semakin menguatkan  pada kita bahwa formalisasi syariat Islam bukanlah ancaman bagi keberagaman, kebhinnekaan, dan kelompok minoritas. Sepanjang penegakan-nya masih menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam konsep multikulturalisme maka seharusnya penerapan hukum Islam dalam yuridis formal tidak hanya terbatas pada hukum keperdataan tapi juga pada hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Amrullah Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Anwar, Syamsul Epistemologi Hukum Islam al-Gazzali Dalam Kitab al-Mus}tasyfa>’, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 2001), Disertasi tidak terbit.
Anwar, Syamsul, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam dalam Mazhab Yogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, ed. Dr. Ainurrafiq, MA. Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002.
Azizy,A. Qadri Eklektisisme Hukum nasional; Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Dipanegoro, 2005.
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Timtamas, 1974.
Lukito, Ratno, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1995
Madjid,Nurcholish,Islam, Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Cet. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997. 
Ash-Shiddiqie, Hasbi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang, 1966,
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
Kelompok Jurnal dan Makalah;
Afif HM, Spirit Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Jurnal Penelitian Agama & Kemasyarakatan, Penamas Vol. XXI Nomor 1 tahun 2008. Jakarta: Depag Balitbang dan Diklat, 2008.
Baidhawy, Zakiyuddin, Kontestasi Islam dan Budaya Jawa dalam Ceramah Keagamaan di Surakarta, Jurnal Harmoni Vol. VIII, No. 26 Edisi April-Juni 2008.
Lukito,Ratno, Hukum Islam Indonesia di Tengah Pluralisme Politik dan Budaya, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Syariah IAIN Sunana Kalijaga, tanggal 3 April 1999.
Mudzhar,M. Atho, Tantangan Kontribusi Agama dalam Mewujudkan Multi-kulturalisme di Indonesia, Jurnal Harmoni Vol. III, No. 11,  Edisi Juli-September 2004,
Sumber Online (internet)
Ahmad Hidayatullah al-Arifin, Implemen-tasi Pendidikan Multi-kultural dalam Praksis pendidikan di Indonesia,  http://ulilalbabjong. wordpress.com/2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
Amandemen UUD 1945. http://www. inoputro. com
http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/ 3384-68-syariat-islam-mengakomo-dasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html

Catatan Akhir:
[1]Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Kontestasi Islam dan Budaya Jawa dalam Ceramah Keagamaan di Surakarta, Jurnal Harmoni Vol. VIII, no. 26 edisi April-Juni 2008, h. 59.
2Lihat http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/ 3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
3M. Atho Mudzhar, Tantangan Kontribusi Agama dalam Mewujudkan Multikulturalisme di Indonesia, Jurnal Harmoni Vol. III, No. 11,  Edisi Juli-September 2004, h. 11.
4Ibid
5Afif HM, Spirit Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Jurnal Penelitian Agama & Kemasyarakatan, Penamas Vol. XXI Nomor 1 tahun 2008, (Jakarta: Depag Balitbang dan Diklat, 2008).
6Atho’ Mudzhar, op. cit, h. 12.
7Dr. Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), h. 177
8Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1995), h. 58
9Ahmad Hidayatullah al-Arifin, Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis pendidikan di Indonesia,  http://ulilalbabjong.wordpress.com/ 2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
10Lihat M. Atho Mudzhar, op. cit., h. 11
[1]1Ahmad Hidayatullah al-Arifin, Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis pendidikan di Indonesia,  http://ulilalbabjong.wordpress.com/ 2012/01/23/implementasi-pendidikan-multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
12M. Atho Mudzhar, op. cit, h. 13
13Nurcholish Madjid, op. cit., h. 177-178
[1]4Ahmad Hidayatullah, op. cit.
[1]5Nurcholish Madjid, op. cit.,  h. 179
[1]6M. Atho. Mudzhar, op. cit., h, 14
[1]7Lihat QS. Yunus (10): 19.
[1]8QS. Al-Imran (3): 64.
19Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: Dipanegoro, 2005), h. 58.
20Rumusan ini sarat dengan nilai ajaran Islam karena tidak bersifat sekuler. Berbeda dengan rumusan Rousseau (liberal) tentang negara yang beranggapan bahwa negara adalah hasil perjanjian individu-individu yang bebas. Jadi rumusan Indonesia lebih integral. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 172. 
21Ibid.
22Amandemen UUD 1945 http://www.inoputro. com. Berbeda dengan rumusan dalam system liberal yang hanya menekankan equality before the law dalam hal rule of  lawnya, bangsa Indonesia  juga menegaskan kewajiban untuk mematuhinya dan menjamin kesamaan kedudukan di dalam pemerintahan dan ini juga sarat dengan nilai-nilai Islam,.
23Pasal 29 UUD 1945 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Amandemen UUD 1945. Lihat http://www.inoputro. com
24Pasal 34 UUD 1945 : Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara
25Amrullah Ahmad, op. cit, h. 173.
26Setidaknya ada 47 butir perjanjian dalam piagam Madinah yang dibuat Nabi Saw dengan kelompok masyarakat lain yang hidup dibawah kepemimpinan Nabi. Piagam ini kemudian dianggap oleh para pakar politik Islam sebagai konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan oleh Nabi di Madinah. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata  Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 10-15.
27Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam Piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian  dengan Rasulullah SAW (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani 'Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya. Lihat Syariat Islam mengakomodasi Keragaman dan kebhinnekaan. http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
28Munawir Sjadzali, op. cit.,  h. 15-16
29Ibid. h. 16.
30http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
31A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum nasional; Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 196
32Ratno Lukito, Hukum Islam Indonesia di Tengah Pluralisme Politik dan Budaya, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Syariah IAIN Sunana Kalijaga, tanggal 3 April 1999,  h. 3.
33Teori ini pada dasarnya sudah dikembangkan oleh tokoh intelektual hukum Islam; yaitu Hasbi ash-Shiddiqie dengan gagasannya “fiqh Indonesia” dan Hazairin dengan gagasannya “mazhab Indonesia”. Pikirannya dapat dibaca dalam  karya Hasbi as-Shiddiqie, Syariat Islam menjawab Tantangan Zaman (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), dan Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: Timtamas, 1974).  Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997). 
34Bandingkan jenjang norma hukum Islam dikemukakan oleh Syamsul Anwar yang membagi 3 lapis: pertama, norma-norma abstrak yang merupa-kan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, akidah, dan ajaran-ajaran pokok dalam etika  Islam (akhlak). Kedua, norma-norma tengah, yang terletak antara dan sekaligus menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan-hukum konkret. Norma-norma tengah ini merupakan doktrin-doktrin  (asas-asas) umum hukum Islam yang secara konkretnya dibedakan menjadi dua macam: yaitu an-nazariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam) dan al-qawa’id al-fiqhiyyat (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga, peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah).
35Lihat karya Syamsul Anwar,  Epistemologi Hukum Islam al-Gazzali Dalam Kitab al-Mustasyfa’, (Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 2001), Disertasi tidak terbit, h. 405. Dan  Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam dalam Mazhab Yogya: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, ed. Dr. Ainurrafiq, MA (Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002), h. 157-160.
36Amrullah Ahmad, op. cit, h. 175-176


Tidak ada komentar:

Posting Komentar