Rabu, 28 Januari 2015

HUBUNGAN NILAI KEBENARAN BERDASARKAN FILSAFAT ILMU DENGAN TINDAK KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN



A.      Tenripadang Chairan
Sekolah Tin gi Agama Islam Negeri (STAIN) Pareparae
Abstract: This article unearths the sexual abuse to women. Using legal approuch, this study reveals that goal of law in criminal punishment is essenstially to protect the victim from crime, especially raping. The criminal punishment to the person who commits crime is the right of the victim who has susfered from psycal aspects. Althought the goal of the law is very ideal, the implementation of the law is stiil for from ideal, since the rights of the victims os rapinf are often abandoned. This is evident if we refer to the regulations in the Criminal Punishment Law that normatively negles the protection of the vistim’s basic rights. In addition, the goal of the law in judicial (normative) subtance has not been in harmony with the substance of Islamic Law and related with the correspondence theory of truth.  
Kata Kunci: Yuridis, kekerasan, sek, perempuan, teori kebenaran

I.     PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini sesuai yang digariskan dalam Undang-undang Dasar 1945, karena-nya hukum adalah sangat penting bagi kita semua untuk diketahui, hayati, dipakai dan diamalkan sebagai pedoman bertingkah laku. Hukum mengatur kehidupan kita supaya kita hidup tertib dan tenteram. Hukum mengatur dan melindungi hak-hak dan kewajiban setiap orang selaku “Subyek Hukum” (pemangku hak dan kewajiban).
Interaksi yang terjadi pada masyarakat sebagai komponen suatu negara dapat menimbulkan sesuatu yang bersifat positif maupun negatif. Interaksi negatif yang mungkin ditimbulkan adalah terjadinya kejahatan. Kejaha-tan merupakan persoalan yang dialami dari waktu ke waktu, sebagai suatu kenyataan bahwa kejahatan-kejahatan itu tidak dapat dihindari dan memang selalau ada, tidak dapat dihilangkan tetapi diupayakan seminimal mungkin kualitas dan kuantitasnya.
Kejahatan, khususnya kejahatan ke-kerasan akhir-akhir ini dirasakan makin meningkat. Kejahatan kekerasan sebagai suatu fenomena yang ada dalam masyarakat merupakan kejahatan tradisional, yang ada sejak dulu, hanya saja pada saat ini telah mengalami perkembangan, baik dalam hal motifnya, sifat, bentuk, intensitas maupun modus operandinya. Terlepas dari hal ter-sebut, yang jelas kejahatan kekerasan dewasa ini telah meresahkan masyarakat.
Pada dasarnya setiap individu ber-peluang untuk menjadi korban kejahatan kekerasan tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu, wanita dan anak-anak lebih cen-derung menjadi korban, yang perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam kejahatan kekerasan ini adalah kekerasan seksual yang dalam hal ini sering kita dengar adalah tindakan  perkosaan, penca-bulan, serta pelecehan seksual.
Kekerasan seksual terhadap wanita bukan hanya merupakan masalah domestik atau pribadi, tetapi telah menjadi masalah kemasyarakatan. Saat ini kekerasan terhadap seksual terhadap wanita bisa saja terjadi dimana saja, dalam bentuk pelecehan seksual, perkosaan disertai penganiayaan dan pem-bunuhan.dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimakah upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khusunya dalam penanggulangan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dikaitkan dengan teori kebenaran dalam filsafat ilmu?

II.  PEMBAHASAN

A. Perempuan dalam Tafsir Agama.
Dalam sejarah perkembangan Islam ke-dudukan perempuan dalam struktur sosial kehi-dupan pada masyarakat Arab sangatlah memprihatinkan. Kedudukan perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial tidak diberi ruang oleh kaum laki-laki. Perem-puan dipan-dang hanyalah sebagai alat untuk pemuasaan nafsu seks kaum laki-laki.
Deskripsi mengenai perempuan yang cukup menonjol pada saat itu adalah apabila suami meninggal dunia, maka saudara tertua laki-laki atau saudara laki-laki lainnya men-dapat waris jandanya. Bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah suatu tindakan yang sangat merendahkan kaum perempuan, hal ini merupakan tindakan yang sangat mudah dilakukan pada zaman Pra-Islam. Demikian pula pada lapangan perkawinan yang mem-punyai sifat posesif, yaitu tidak ter-jadinya pembatasan mengenai jumlah perempuan yang boleh dikawini oleh laki-laki pada masa tersebut.
Alqur’an merupakan rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan peremnpuan adalah sama. Hal ini dapat dilihat dalam Surat An Nisaa’ Ayat 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz
Terjemahnya:
Dan jika kamu khawatirkan ada per-sengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari ke-luarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan per-baikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Merujuk pada ayat tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam meng-anjurkan untuk mengangkat hakim dalam menyelesaikan perselisihan tersebut dengan semangan untuk mengurangi keke-rasan terhadap perempuan, dan bukan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi atas kedudukan perempuan.
Sehingga, sangatlah diperlukan suatu kajian kritis guna menciptakan suatu kesa-daran kritis mengenai pemahaman yang ber-sifat global tentang kedudukan perempuan laki-laki adalah sederajat menuju tran-sformasi gender dalam seluruh aspek kehi-dupan.       
B. Perempuan dalam Penegakan Hukum.
Masyarakat kita dewasa ini hkususnya perempuan sedang dalam keresahan yang sangat mendalam, sehingga para perempuan diharapkan berbuat sesuatu untuk mengu-rangi keresahan tersebut.
Harus diakui, dalam masyarakat ada suara-suara yang menyatakan bahwa se-bagian masyarakat kita kurang atau tidak peka ter-hadap hukum, dan bahwa karena sudah terlalu biasa terjadi pelanggaran hukum maka orang sudah acuh tak acuh terhadap pelaksanaan hukum.
Namun demikian, para penegak hukum perempuan dalam bidangnya masing-masing dan bahkan diluar tugas formal sehari-hari telah ikut berusaha menegakkan hukum yang adil di negara kita. Apakah mereka selalu berhasil adalah soal lain, karena untuk itu tergantung pula dari faktor-faktor lain baik faktor intrern maupun faktor ekstern, ditambah dengan kenyataan bahwa masih sedikit penegak hukum wanita pada dewasa ini yang mempunyai wewenang menentukan policy dalam bidang pekerjaannya. Pada umumnya mereka hanya pelaksana saja. Sedangkan bagi hakim perempuan hanya terbatas pada perkara-perkara yang diserahkan kepada-nya.
Memang perjuangan menuju ke-adilan merupakan perjuangan yang lama, berat serta tidak glamorous. Selain itu perjuangan tersebut juga membutuhkan sarjana hukum yang mau bekerja keras dan teliti serta membutuhkan kekuatan jiwa dan raga yang besar. Namun yang paling penting ialah membutuhkan keberanian moral untuk menyatakan keyakinan apabila diperlukan dalam situasi tertentu. Dan disinilah terutama yang banyak dapat dilakukan oleh penegak hukum perempuan.
Hal ini perlu kita hayati, sebab dari keluhan-keluhan masyarakat yang dapat kita baca dalam surat-surat kabar, majalah-majalah dan media-media lain-nya tampak gejala bahwa the rule ofl law makin mundur lagi dinegara kita. Padahal penegakan the rule of law merupakan syarat mutlak untuk menca-pai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Bukan hanya demi tercapainya nilai-nilai luhur seperti keadilan dan kebenaran saja, tetapi juga untuk men-capai ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Sebab ketertiban dan ke-amanan inilah yang sangat dibutuhkan, apabila kita benar-benar hendak mulai dengan tugas pembangunan di negara kita untuk menuju kemakmuran dan keadilan sosial.
Seringkalikali terdengar keluhan dalam masyarakat bahwa hukum yang kita tegakkan kurang dinamis, masih berbau kolonial dan sebagainya. Keluhan tersebut mencerminkan gejala perubahan dalam proses yang cepat dalam masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses lawmaking masih mengalami kesulitan untuk mengimbangi semua proses per-ubahan dalam masyarakat, tetapi kita harus berpegang pada prinsip bahwa hukum hanya dapat ditegakkan apabila mendapat dukungan masyarakat luas. Bagaimana hukum dapat kita tegakkan dengan baik, yang terpenting ialah apakah para penegak hukum adalah pejabat yang baik. Kekua-saan memerlukan kedewasaan jiwa, karena tanpa kedewasaan jiwa lebih besar kemung-kinan akan terjadi penyalah-gunaan kekua-saan. Ditangan orang yang memiliki ke-dewasaan jiwa, kekuasaan memancarkan nilai-nilai moral. Ini perlu karena tanpa nilai-nilai moral tak mungkin seorang penegak hukum mendidik masyarakat agar taat kepada hukum.
Pada umumnya penegak hukum wanita bukanlah pencari nafkah utama bagi ke-luarganya, tetapi pada umumnya hanya berfungsi sebagai penambah nafkah saja atau bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat sebagai ungkapan terima kasih dan tanggungjawabnya kepada masyarakat yang telah memberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Karena itu, terutama para penegak hukum perempuan diharapkan dapat menjadi para pejabat tang baik, yang mempunyai ke-dewasaan dan kemerdekaan jiwa dalam menjalankan tugas-nya.  
C. Aspek Sosial Kekerasan Seksual
Berdasarkan sudut pandang sosiologi hukum, kekerasan seksual dalam hal ini per-kosaan merupakan suatu fenomena sosial yang sangat mendasar dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu sosiolog hukum Soerjono Soekanto, mencoba memper-soalkan per-kosaan dari sudut pandang sosiologi hukum, sebagai berikut: “Kepencingan-ke-pincangan mana yang dianggap sebagai problem oleh masya-rakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat ter-sebut. Akan tetapi, ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi masyarakat pada umumnya, yaitu perkosaan yang mem-punyai pengaruh besar terhadaap mora-litas”.
Jika pandangan tersebut dihubung-kan dengan faktor penyebab terjadinya per-kosaan yang merupakan salah satu objek kajian sosiologi hukum. Memahami kajian sosio-logi hukum atas terjadinya pemer-kosaan dapat membantu pelaksanaan hukum baik dalam melakukan pencegahan maupun penindakan sesuai dengan harapan masya-rakat.
D. Aspek Hukum Kekerasan Seksual
Pandangan hukum Indonesia ter-hadap kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah “kekerasan terhadap perempuan” tidak dikenal dalam hukum Indonesia, walaupun fakta kasus ini marak terungkap di Indonesia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH-Pidana) yang ada pada saat ini, sebagian kasusnya tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan, namun terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti kesusilaan atau perkosaan, peng-aniayaan, pembunuhan dan lain-lain.
Perkosaan diatur dalam KUH-Pidana pasal 285, yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa sese-orang wanita bersetubuh dengan dia diluar per-kawinan, diancam karena melakukam perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Perkosaan adalah perbuatan yang di-lakukan oleh seseorang atau beberapa orang laki-laki memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk melakukan persetubu-han. Wirjono Prodjodikoro, mengemu-kakan bahwa perkosaan adalah suatu tin-dakan berupa dengan kekerasan atau anca-man kekerasan memaksa seorang perem-puan ber-setubuh dengan dia di luar per-kawinan.
Berdasarkan pasal 285 KUH-Pidana maka dapat diketahui unsur-unsur dari tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
1.    Barang siapa, hal ini berarti siapa saja tanpa kecuali.
2.    Dengan kekerasan atau ancaman keke-rasan.
3.    Memaksa bersetubuh dengan dia.
4.    Perempuan yang bukan istrinya.
Menurut pasal 285 KUH-Pidana yang secara tegas mengatur tentang tindak pidana perkosaan, juga terkait secara langsung dengan unsur tindak pidana ini adalah pasal 284, pasal 286 serta pasal 287 KUH-Pidana.  
E. Jenis, Karakteristik dan Modus Operandi Perkosaan
1.    Jenis Perkosaan
Istilah “perkosaan” cukup sering di-gunakan untuk suatu tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu yang modus-nya merugikan orang dan melang-gar hak-hak asasi manusia, seperti “perkosaan” hak-hak sipil. “Perkosaan” ekologis (lingkungan hidup), “perkosaan” terhadap harkat ke-manusiaan dan lainnya.
Jika ditelusuri, perkosaan memiliki makna yang tidak harus dipahami secara sempit, sebagai istilah khusus dalam hubungan seks, tetapi menggambarkan ben-tuk budaya perampasan hak yang berlang-sung dalam kehidupan manusia.
Perkosaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan 1)paksa, kekerasan, 2)gagah, kuat, perkasa. Sedang-kan memeperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar hukum yang berlaku.
Menurut R. sugandhi, yang dimak-sud dengan perkosaan adalah “seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”                            
Oleh PAF lamintang dan Djisman Samosir berpendapat, “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang waanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”
Selain itu, kekerasan atau ancaman kekerasan itu hanya berlaku di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain, kekerasan atau ancaman kekerasan sehubungan dengan persetubuhan (pemaksaan hubu-ngan seksual) dalam ikatan perkawinan tidak disebut sebagai kejahatan perkosaan. Artinya rumu-san itu tidak memasukkan istilah “marital raape” (perkosaan dalam ikatan perkawinan) di dalamnya.
Dalam hukum Islam pun, tidak dikenal istilah perkosaan dalam perkawinan. Soal hubungan biologis (seksual) antara suami isteri diatur mengenai etikanya, seperti ten-tang keharusan (kewajiban) suami mem-berikan nafkah batin (seks) pada isterinya dengan cara mempergaulinya dengan baik (tidak peerlu dilakukan dengan kekerasan), sedangkan isteri (perempuan) berkewajiban melayani kebutuhan seksual tatkala suami-nya membutuhkan.
Kalaupun ada kekerasan seksual yang dilakukan suami pada isterinya, maka selain hal itu merupakan bentuk pelanggaran etika berhubungan seksual juga bisa jadi suaminya sedang mengidap kelainan yang mem-butuhkan kehadiran ahli medis untuk memberikan terapi.
Demikian itu sejalan dengan pen-dapat Wirdjono Prodjodikoro yang meng-ungkapkan, bahwa perkosaan adalah “seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemi-kian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan per-setubuhan itu”
Pendapat Wirdjono itu juga mene-kankan mengenai pemaksaan hubungan sek-sual (bersetubuh) pada seorang perem-puan yang bukan isterinya. Pemaksaan yang dilaku-kan laki-laki membuat atau meng-akibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan.    
Meskipun rumusan mengenai per-kosaan itu cukup jelas, namun seiring per-kembangan zaman dan munculnya berbagai macam bentuk penyimpangan seksual atau kejahatan kesusilaan, seperti pemaksaan sek-sual dengan melalui dubur(anus), mulut dan lainnya, maka beberapa pakar cen-derung memperluas pengertian perkosaan.
Misalnya perumusan demikian itu di-anggap oleh Steven Box sulit diterap-kan, sebab perkosaan tidak hanya menyangkut perbuatan bersetubuh yang dilakukan dengan kekerasan tanpa adanya persetujuan dari salah satu pihak, sebagaimana paparannya,“rape constitue a particular act sexual acces, namely the penis penetration the vagina, gained without concent of the female concer-ned”
Pengertian perkosaan seperti itu me-rupakan pengertian yang mencakup hubungan seksual secara luas yang dilaku-kan secara paksa (dengan kekerasan), yang tidak semata-mata menekankan pada soal penetrasi ke dalam vagina, namun juga dapat melalui anus (dubur), mulut dan lainnya, yang bisa jadi akibatnya jauh lebih fatal dibandingkan me-lalui vagina.
Perkosaan pada visi ini sudah men-jangkau pengertian hubungan seksual tidak hanya pada soal pemaksaan bersetubuh, namun juga pemaksaan berhubungan seks dengan organ-organ lain, yang menurut pelaku dapat memberikan (mendatangkan) kepuasaan. Selain itu, alat-alat berhubungan seksual tidak hanya terkait dengan alat kelamin laki-laki, namun juga barang-barang yang digunakan oleh pemerkosa guna men-datangkan kepuasaan.
Sedangkan mengenai jenis-jenis per-kosaan, menurut Mulyana W. Kusuma menyebutkan (dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 46) menyebutkan:
a.    Sadistic Rape;
Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korbannya.

b.    Anggea Rape;
Yakni penganiayaan seksual yang ber-cirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geranm dan maraah yang etrtahan. Di sini tubuh korban seakanakan merupakan objek ter-hadap siapa pelaku yang mem-proyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
c.    Dononation Rape;
Yakni suatu perkosaan yang etrjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekua-saan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah untuk penak-lukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan ber-hubungan seksual.
d.   Seduktive Rape;
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman persoalan harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan pak-saan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.
e.    Victim Precipitatied Rape;
Yakni perkosaan yang terjadi (berlang-sung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f.     Exploitation Rape;
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang ber-gantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, isteri yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mem-persoalkan mengadukan) kasusnya kepada pihak yang berwajib.
“Sadistic rape” dengan “victim precipitation rape”merupakan jenis per-kosaan yang mendapatkan perhatian yang serius belaka-ngan ini. Keterlibatan, peranan, andil dan pengaruh korban yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai “pencetus” tim-bulnya perkosaan menjadi pembicaraan yang serius mengenai faktor penyebab terjadinya perkosaan. “Victim precipitation rape” men-jadi catatan mengenai jenis perkosaan yang melibatkan komponen, yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap turut bersalah dalam melahirkan kejahatan kesusi-laan.
“sadistic rape” menjadi salah satu jenis kejahatan yang juga mendepatkan sorotan sehubungan dengan tidak sedikitnya kasus perkosaan yang dilakukan secara sadis.
2.    Karakteristik Perkosaan.
Karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan menurut Kadish yaitu bukan ekspresi agresivitas seksual (the aggressive expression of sexuality) tapi ekspresi seksual agresivitas (sexual expres-sion of aggression (Atmasasmita 1995: 108). Artinya, perwujudan ke-inginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat menyerang atau me-maksa lawan jenis (pihak) lain yang dapat dianggap mampu memenuhi kepen-tingan nafsunya.
Adapun karakteristik umum tindak pidana perkosaan yaitu:
a.    Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan;
b.    Motivasi kekerasan lebih menonjol diban-dingkan dengan motivasi seksual semata-mata;
c.    Secara psikologis, tindak pidana per-kosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian diban-dingkan dengan hawa nafsu.
d.   Tindak pidana perkosaan dapat dibeda-kan kedalam tiga jenis bentuk, yaitu: anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger and violition, control and domination, erotis;.
e.    Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengala-man buruk khususnyaa dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam per-gaulan sosial, rendah riri, ada ketidak-seimbangan emosional.
f.     Korban perkosaan adalah partisipatif.
g.    Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.
Diantara karakteristik perkosaan itu, ciri kekerasan dan sulitnya dilakukan pembuktian tampaknya perlu mendapatkan perhatian utama. Kekerasan yang menimpa korban bukan hanya berdampak merugikan keta-hanan fisiknya, namun juga ketahanan psikologisnya. Kondisi buruk yang mem-buat korban tidak berdaya ini dapat berdampak buruk lebih lanjut pada per-soalan penegakan hukumnya.
Bukan tidak mungkin, korban akan menjadi takut melaporkan (mengadukan) kasus yang menimpanya karena khawatir catat fisik maupun psikologisnya diketahui oleh publik (masyarakat). Hal ini akan menjadikan data resmi yang dilaporkan pihak berwajib kurang leng-kap, sebab tidak adanya partisipasi korban untuk mengungkap kasus yang dialaminya sendiri.
Begitupun terhadap masalah pem-buk-tian, pihak penegak hukum dapat meng-alami kesulitan mencari bukti-bukti untuk mengungkap kasus perkosaan ynag sudah cukup populer di tengah masyarakat, namun tidak ada dukungan dari pihak korban. Disamping korban tidak mau mengadukan, juga korban enggan segera (secepatnya) mengadukan, padahal dalam mengungkap kasus kejahatan kesusilaan, peranan korban sangat menentukan.       
3.    Modus operandi Perkosaan.
Setiap kejahatan yang terjadi atau dilakukan secara individual maupun kelom-pok, terutama yang direncanakan, tentulah didahului oleh suatu modus operandi.
Modus operandi perkosaan dapat terdiri antara lain yaitu:
a.    Diancam dan dipaksa;
b.    Dirayu;
c.    Dibunuh;
d.   Diberi obat bius;
e.    Diberi obat peransang;
f.     Dibohongi atau diperdaya dan lainnya.
Modus operandi seperti yang di-sebutkan diatas sangat mungkin dikemu-dian hari dapat berkembang dan dapat bermodus operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkem-bangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak di tengah masyarakat. Hal ini sama dengan adagium yang menyebut-kan “sema-kin maju suatu dengan per-kembangan yang ada.
F.  Perkosaan Sebagai Pelecehan Hak Asasi Perempuan
Perkosaan tidak bisa dipandang se-bagai kejahatan yang hanya menjadi urusan privat (individu korban), namun harus dijadikan sebagai problem publik, karena kejahatan ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku pri-mitif yang menonjolkan nafsu, dendanm dan superioritas, yakni siapa yang kuat itulah yang berhak mengorbankan orang lain.
Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ter-berat. Dalam Konvensi PBB tentang peng-hapusan Kekerasan terhadap Perempuan bahkan sudah menjangkau perlindungan perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga seperti kasus “marital rape” (per-kosaan dalam perkawinan, tidak sebatas hak perempuan di luar atau rumah atau sektor publik. Meskipun dalam kasus seperti perkosaan oleh suami kepada isteri ini tidak dikenal dalam KUHAP kita dan masih menjadi suatu objek diskursus oleh pakar-pakar hukum Islam, tetapi setidak-tidaknya hal itu dapat dijadikan tolak ukur mengenai peningkatan kepedulian terhadap HAM perempuan.
Menurut Pasal 1 Deklarasi Pengha-pusan Kekerasan terhadap Perempuan sudah disebutkan, bahwa kekerasan ter-hadap perem-puan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat, atau mungkin berakibat keseng-saraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan ter-tentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Sedangkan perkosaan (menurut Pasal 2 deklarasi tersebut) dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perem-puan.
Jelas sekali bahwa berdasarkan dekla-rasi itu, perempuan seharusnya dijauhkan dari tindakan-tindakan yang bermodus peng-aniayaan, perampasan hak-haknya dan peno-daan martabat kemanusia-annya. Per-kosaan termasuk salah satu perbuatan jahat dan keji yang selain melanggar HAM, juga meng-akibatkan derita fisik, sosial maupun psi-kologis terhadap perempuan. Artinya ada derita ganda yang ditanggung oleh pihak korban akibat perkosaan itu.
Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran HAM yang cukup parah ter-hadap perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti kesewenangan-kesewe-nangan dan kekejian yang berten-tangan dengan watak diri manusia yang seharusnya dihormati hak-hak sesamanya, apalagi terha-dap perempuan yang seharus-nya dilindungi. Potensi dalam dirinya yang seharusnya ditujukan untuk untuk menga-sihi dan menyayangi sesama ternyata dikalahkan oleh potensi yang cenderung mengajak pada perbuatan menindas dan menganiaya sesamanya. Potensi dalam dirinya yang seharusnya difungsikan untuk melindungi dan membela perempuan dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji, justru dikalahkan oleh potensi yang meng-hancur-kan.
Pelanggaran HAM yang pertama kali atau bermula terjadi pada saat perkosaan tidak hanya berhenti saat itu saja, namun dapat berlangsung dalam kehidupan berikutnya. Pihak korban tidak mendapat-kan perlakuan yang manusiawi, namun diperlakukan sebaliknya yaitu diposisikan sebagai objek seperti sebuah barang bekas yang tidak bisa dimanfaatkan atau ditem-patkan sederajat dalam strata kemanusiaan.
Di tangan laki-laki yang kehilangan integritas moral dan dikuasai nafsu itulah nasib perempuan terasa tidak bermakna akibat diperlakukan secara tidak manusiawi, sewenang-wenang dan biadab. Perempuan dijadikan sebagai barang mati, yang sekadar alat pemuas kepentingan.   
G.Faktor-faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan ke-susilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kon-disi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Berbagai faktor itu terkait dengan posisi korban dalam hubungannya dengan pelakunya. Artinya, sudah ada relasi lebih dahulu (dalam ukuran intensitas tertentu) antara korban dengan pelakunya. Kalaupun ada diantara korban yang tidak pernah terkait dengan pelakunya, maka prosen-tasinya cukup kecil. Hubungan horisontal (laki-laki dan perempuan) telah dimanfaat-kan oleh pihak laki-laki untuk ber-eksperimen melakukan dan membenarkan perbuatan kontra produktif dan tidak manusiawi.
Selain itu, terjadinya perkosaan juga didukung oleh pelaku, posisi korban, dan pengaruh lingkungan. Pelaku menjadi gam-baran sosok manusia yang gagal mengen-dalikan emosi dan naluri seksualnya yang wajar sementara korban (dalam kasus-kasus tertentu) juga memerankan dirinya sebagai faktor krimi-nogen, artinya sebagai pen-dorong lang-sung maupun tidak langsung terhadap terjadinya perkosaan. Posisi pelaku dengan korban ini pun didukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari keramaian, sepi dan ruang tertutup) yang memung-kinkan pelaku dapat leluasa memanjalankan aksi-aksi jahatnya.
Perempuan yang bepergian sendiri di malam hari (situasi), tanpa didampingu suami, orang tua atau unsur keluarga dekatnya, sementara bepergiannya terkait dengan kepentingan yang menyita waktu dan banyak berhubungan dengan lawan jenisnya merupakan sosok perempuan yang berada dalam ancaman bahaya. Dimensi atau waktu prodktif yang digarap perem-puan tanpa pendamping akhirnya diposisi-kan sebagai “saat rentan” atau kondisi yang rawan terjadinya kriminalitas bagi perem-puan.
Jika perempuan itu menjadi perem-puan karier, maka karier yang dilaku-kannya juga mudah dihadapkan dengan berbagai macam tantangan yang dapat membahayakan harkaatnya, misalnya pelecehan dan kekerasan seksual. Banyak-nya perempuan yang terlibat dengan kegiatankegiatan produktif di luar rumah adalah dapat membuka kesempatan atau mensimulasi iklim kriminogen terhadap terjadinya tindak kejahatan sekusal, bila-mana aktifitasnya itu lepas dari perlin-dungan yang menjamin keselamatannya.
Kedekatan hubungan antara lawan jenis (laki-laki dengan perempuan yang bukan isterinya atau bukan mahramnya) merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya perkosaan. Pihak pelaku memang bersalah, namun kesalahan yang diperbuat itu disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban.
Dari uraian diatas, maka dapat dikata-kan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya perkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
1.    Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika ber-pakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2.    Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi mem-bedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
3.    Rendahnya pengamalan dan peng-hayatan terhadap norma-norma ke-agamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilia-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horisontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
4.    Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyim-pangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan res-ponsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.  
5.    Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini di-mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang diterimanya.   
6.    Ketidakmampuan pelaku untuk mengen-dalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kom-pensasi pemuas-nya.
7.    Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendan terha-dap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.
H. Teori Kebenaran.
1.    Teori Korespondensi
Menurut teori ini dinyatakan bahwa kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan Kenyataan atau faktanya.
Jadi berdasarkan teori koespon-densi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut7. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (correspond-dence), maka preposisi ter-sebut dapat di-katakan memenuhi standar kebenaran/ keadaan benar.
2.    Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran ditegak-kan atas hubungan anatar putusan (judment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta ataau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Berdasaarkan teori ini, kebenaran di-tegakkan atas hubungan antara putusan yanag baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cen-derung untuk benar jika proposisi itu kohoren (saling berhubungan) dengan pro-posisi yang benar, atau jika arti yanag terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.
3.    Teori Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilak-sanakan, dilakukan, tindakan atau per-buatan.
Dinyatakan sebuah kebenaran jika memiliki “hasil yang memuaskan (satis-factory result)”, bila:
a.    Sesustu yanag benar jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
b.    Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan eksperimen.
c.    Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada. 
4.    Teori Kebenaran Sintaksis
Teori kebenaran sintaksisi berpang-kal tolak pada keteraturan sintaksisi atau gramatika yang dipakai oleh suatu per-nyataan sdianggap benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sinaksis yang baku atau apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di-isyaratkan, proposisi itu tidak mempunyai arti.
5.    Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantis bahwa suatu proposisi memiliki bilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mem-punyai pengacu (referent) yang jelas. Oleh karena itu, teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan proposisi dalam referen-sinya
Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran jika proposisi itu memiliki arti. Arti ini menunjukkana makna yang sesungguhnya dengan menun-juk pada referensi atau kenyataan. Selain itu juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat defenitive (arti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada).s   
6.    Teori Kebenaran Non- Diskripsi
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang sangat tergantung peran dan fungsi pada per-nyataan itu.
7.    Teori Kebenaran Logis yang ber-lebihan
Pada dasarnya menurut teori ke-benaran ini adalah bahwa problem kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja, dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan karena pada dasarnya apa, pernyatakan yang ke-hendak dibuktikan kebenarannya me-miliki derajat logic yang sama dan masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesung-guhnya setiap preposisi yang bersifat logic dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama, dan semua orang sepakat sehingga apabila kita membukti-kannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan

III.    KESIMPULANG

Tujuan hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, untuk menakut-nakuti orang jangan samapi melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale prevebtie), maupun secara menakut-nakuti/membuat jera orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan sehingga mmenjadi orang yang baik tabiat-nya serta bermabfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), maka tujuan pemi-daan adalah sebagai berikut:
1.    Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2.    Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga men-jadikannya orang yang baik dan berguna.
3.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseim-bangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.  
4.    Membebaskan rasa bersalah pada terpi-dana.
Berbagai tujuan hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum pidana serta yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lebih men-deskripsikan mengenai tujuan yang bersifat pengayoman pada masyarakat dan mengem-balikan (menyembuhkan) pelaku (pelanggara atau penjahat) pada jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku).
Artinya, tujuan hukum pidana di Indonesia juga melindungi korban suatu tindak kejahatan seperti perkosaan, ter-utama dalam bentuk pemidanaan ter-hadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuh-kan terhadap pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh pihak korban. Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut gfrpara penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meskipin terlihat cukup ideal bagi ke-hidupan masyarakat dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepen-tingan pelaku (pelanggar/ penjahat), sedang-kan kepentingan (hak asasi) masyarakat, seperti pihak-pihak yang menjadi korban kejahatan perkosaan kurang mendapatkana perhatian yang nyata.
Hal ini dapat terbaca melalui pasal-pasaal yang terumus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang secara nor-matif kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban.
Selain itu, tujuan tersebut masih mengalami kendala pada masalah substan-sial (normatif) yuridisnya, yang belum sesuai dan sinkron dengan aspek substansial sebagaimana yang dirumuskn dalam hukum Islam seperti yang diwahyukan oleh Allah Swt.
Kebenaran dalam memperoleh per-lindungan hukum, khususnya rasa ke-adilan bagi setiap orang adalah meru-pakan hak setiap individu, tanpa kecuali, demikian juga terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual se-hingga dengan demikian terdapat suatu kebenaran yang oleh filsafat ilmu disebut kebenaran kores-pondensi.  
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung, 2001.
Ahmad Tahir, Filsafat Ilmu (Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksio-logi Pengetahuan), PT. Remaja Rosda-kaya, Bandung, 2007   
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pus-taka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, cet ke-13, h 57.     
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 71.
PAF. Lamintang dan Djasman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Jakarta, 1983.
R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelsan-nya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
Soerjono Soekanto dan Sri Sumadji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1955.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pene-rangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta, 1983.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar