A.
Tenripadang Chairan
Sekolah Tin gi Agama Islam Negeri (STAIN)
Pareparae
Abstract: This article unearths
the sexual abuse to women. Using legal approuch, this study reveals that goal
of law in criminal punishment is essenstially to protect the victim from crime,
especially raping. The criminal punishment to the person who commits crime is
the right of the victim who has susfered from psycal aspects. Althought the
goal of the law is very ideal, the implementation of the law is stiil for from
ideal, since the rights of the victims os rapinf are often abandoned. This is
evident if we refer to the regulations in the Criminal Punishment Law that
normatively negles the protection of the vistim’s basic rights. In addition,
the goal of the law in judicial (normative) subtance has not been in harmony
with the substance of Islamic Law and related with the correspondence theory of
truth.
Kata Kunci: Yuridis, kekerasan, sek, perempuan, teori kebenaran
I. PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah
Negara Hukum, hal ini sesuai yang digariskan dalam Undang-undang Dasar 1945, karena-nya
hukum adalah sangat penting bagi kita semua untuk diketahui, hayati, dipakai
dan diamalkan sebagai pedoman bertingkah laku. Hukum mengatur kehidupan kita
supaya kita hidup tertib dan tenteram. Hukum mengatur dan melindungi hak-hak
dan kewajiban setiap orang selaku “Subyek Hukum” (pemangku hak dan kewajiban).
Interaksi
yang terjadi pada masyarakat sebagai komponen
suatu negara dapat menimbulkan sesuatu yang bersifat positif maupun negatif. Interaksi negatif yang mungkin ditimbulkan adalah terjadinya kejahatan.
Kejaha-tan merupakan persoalan yang dialami dari waktu ke waktu, sebagai suatu
kenyataan bahwa kejahatan-kejahatan itu tidak dapat dihindari dan memang
selalau ada, tidak dapat dihilangkan tetapi diupayakan seminimal mungkin
kualitas dan kuantitasnya.
Kejahatan,
khususnya kejahatan ke-kerasan akhir-akhir ini dirasakan makin meningkat.
Kejahatan kekerasan sebagai suatu fenomena yang ada dalam masyarakat merupakan
kejahatan tradisional, yang ada sejak dulu, hanya saja pada saat ini telah
mengalami perkembangan, baik dalam hal motifnya, sifat, bentuk, intensitas
maupun modus operandinya. Terlepas dari hal ter-sebut, yang jelas kejahatan
kekerasan dewasa ini telah meresahkan masyarakat.
Pada
dasarnya setiap individu ber-peluang untuk menjadi korban kejahatan kekerasan
tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu, wanita dan anak-anak lebih cen-derung
menjadi korban, yang perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam kejahatan
kekerasan ini adalah kekerasan seksual yang dalam hal ini sering kita dengar
adalah tindakan perkosaan, penca-bulan, serta
pelecehan seksual.
Kekerasan
seksual terhadap wanita bukan hanya merupakan masalah domestik atau pribadi,
tetapi telah menjadi masalah kemasyarakatan. Saat ini kekerasan terhadap
seksual terhadap wanita bisa saja terjadi dimana saja, dalam bentuk pelecehan
seksual, perkosaan disertai penganiayaan dan pem-bunuhan.dan lain sebagainya.
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah dipaparkan maka yang menjadi permasalahan
adalah bagaimakah upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khusunya dalam penanggulangan
tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dikaitkan dengan teori kebenaran
dalam filsafat ilmu?
II. PEMBAHASAN
A. Perempuan dalam
Tafsir Agama.
Dalam sejarah perkembangan Islam ke-dudukan perempuan dalam struktur sosial kehi-dupan pada masyarakat Arab sangatlah memprihatinkan.
Kedudukan perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial tidak diberi ruang oleh
kaum laki-laki. Perem-puan dipan-dang hanyalah sebagai alat untuk pemuasaan
nafsu seks kaum laki-laki.
Deskripsi mengenai perempuan yang cukup
menonjol pada saat itu adalah apabila suami meninggal dunia, maka saudara
tertua laki-laki atau saudara laki-laki lainnya men-dapat waris jandanya.
Bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah suatu tindakan yang
sangat merendahkan kaum perempuan, hal ini merupakan tindakan yang sangat mudah
dilakukan pada zaman Pra-Islam. Demikian pula pada lapangan perkawinan yang mem-punyai
sifat posesif, yaitu tidak ter-jadinya pembatasan mengenai jumlah perempuan
yang boleh dikawini oleh laki-laki pada masa tersebut.
Alqur’an merupakan rujukan prinsip
masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan
peremnpuan adalah sama. Hal ini dapat dilihat dalam Surat An Nisaa’ Ayat 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz
Terjemahnya:
Dan
jika kamu khawatirkan ada per-sengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari ke-luarga perempuan. jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan per-baikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Merujuk pada ayat tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa Islam meng-anjurkan untuk mengangkat hakim dalam
menyelesaikan perselisihan tersebut dengan semangan untuk mengurangi keke-rasan
terhadap perempuan, dan bukan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi atas kedudukan
perempuan.
Sehingga, sangatlah diperlukan suatu kajian
kritis guna menciptakan suatu kesa-daran kritis mengenai pemahaman yang ber-sifat
global tentang kedudukan perempuan laki-laki adalah sederajat menuju tran-sformasi
gender dalam seluruh aspek kehi-dupan.
B. Perempuan dalam
Penegakan Hukum.
Masyarakat kita dewasa ini hkususnya
perempuan sedang dalam keresahan yang sangat mendalam, sehingga para perempuan diharapkan
berbuat sesuatu untuk mengu-rangi keresahan tersebut.
Harus diakui, dalam masyarakat ada
suara-suara yang menyatakan bahwa se-bagian masyarakat kita kurang atau tidak
peka ter-hadap hukum, dan bahwa karena sudah terlalu biasa terjadi pelanggaran
hukum maka orang sudah acuh tak acuh terhadap pelaksanaan hukum.
Namun demikian, para penegak hukum
perempuan dalam bidangnya masing-masing dan bahkan diluar tugas formal sehari-hari
telah ikut berusaha menegakkan hukum yang adil di negara kita. Apakah mereka
selalu berhasil adalah soal lain, karena untuk itu tergantung pula dari
faktor-faktor lain baik faktor intrern maupun faktor ekstern, ditambah dengan
kenyataan bahwa masih sedikit penegak hukum wanita pada dewasa ini yang
mempunyai wewenang menentukan policy
dalam bidang pekerjaannya. Pada umumnya mereka hanya pelaksana saja. Sedangkan
bagi hakim perempuan hanya terbatas pada perkara-perkara yang diserahkan kepada-nya.
Memang perjuangan menuju ke-adilan
merupakan perjuangan yang lama, berat serta tidak glamorous. Selain itu perjuangan tersebut juga membutuhkan sarjana
hukum yang mau bekerja keras dan teliti serta membutuhkan kekuatan jiwa dan
raga yang besar. Namun yang paling penting ialah membutuhkan keberanian moral
untuk menyatakan keyakinan apabila diperlukan dalam situasi tertentu. Dan
disinilah terutama yang banyak dapat dilakukan oleh penegak hukum perempuan.
Hal ini perlu kita hayati, sebab dari
keluhan-keluhan masyarakat yang dapat kita baca dalam surat-surat kabar,
majalah-majalah dan media-media lain-nya tampak gejala bahwa the rule ofl law makin mundur lagi
dinegara kita. Padahal penegakan the rule
of law merupakan syarat mutlak untuk menca-pai kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Bukan hanya demi tercapainya nilai-nilai luhur seperti keadilan dan
kebenaran saja, tetapi juga untuk men-capai ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat. Sebab ketertiban dan ke-amanan inilah yang sangat dibutuhkan,
apabila kita benar-benar hendak mulai dengan tugas pembangunan di negara kita
untuk menuju kemakmuran dan keadilan sosial.
Seringkalikali terdengar keluhan dalam
masyarakat bahwa hukum yang kita tegakkan kurang dinamis, masih berbau kolonial
dan sebagainya. Keluhan tersebut mencerminkan gejala perubahan dalam proses
yang cepat dalam masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses lawmaking masih mengalami kesulitan
untuk mengimbangi semua proses per-ubahan dalam masyarakat, tetapi kita harus
berpegang pada prinsip bahwa hukum hanya dapat ditegakkan apabila mendapat
dukungan masyarakat luas. Bagaimana hukum dapat kita tegakkan dengan baik, yang
terpenting ialah apakah para penegak hukum adalah pejabat yang baik. Kekua-saan
memerlukan kedewasaan jiwa, karena tanpa kedewasaan jiwa lebih besar kemung-kinan
akan terjadi penyalah-gunaan kekua-saan. Ditangan orang yang memiliki ke-dewasaan
jiwa, kekuasaan memancarkan nilai-nilai moral. Ini perlu karena tanpa
nilai-nilai moral tak mungkin seorang penegak hukum mendidik masyarakat agar
taat kepada hukum.
Pada umumnya penegak hukum wanita bukanlah
pencari nafkah utama bagi ke-luarganya, tetapi pada umumnya hanya berfungsi
sebagai penambah nafkah saja atau bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat
sebagai ungkapan terima kasih dan tanggungjawabnya kepada masyarakat yang telah
memberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Karena itu,
terutama para penegak hukum perempuan diharapkan dapat menjadi para pejabat
tang baik, yang mempunyai ke-dewasaan dan kemerdekaan jiwa dalam menjalankan
tugas-nya.
C. Aspek Sosial
Kekerasan Seksual
Berdasarkan sudut pandang
sosiologi hukum, kekerasan seksual dalam hal ini per-kosaan merupakan suatu
fenomena sosial yang sangat mendasar dan dapat merusak tatanan kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu sosiolog hukum Soerjono Soekanto, mencoba
memper-soalkan per-kosaan dari sudut pandang sosiologi hukum, sebagai berikut: “Kepencingan-ke-pincangan
mana yang dianggap sebagai problem oleh masya-rakat, tergantung dari sistem
nilai-nilai sosial masyarakat ter-sebut. Akan tetapi, ada beberapa persoalan yang
sama yang dihadapi masyarakat pada umumnya, yaitu perkosaan yang mem-punyai
pengaruh besar terhadaap mora-litas”.
Jika pandangan tersebut dihubung-kan
dengan faktor penyebab terjadinya per-kosaan yang merupakan salah satu objek kajian
sosiologi hukum. Memahami kajian sosio-logi hukum atas terjadinya pemer-kosaan
dapat membantu pelaksanaan hukum baik dalam melakukan pencegahan maupun
penindakan sesuai dengan harapan masya-rakat.
D. Aspek Hukum
Kekerasan Seksual
Pandangan hukum Indonesia ter-hadap
kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan berpusat pada tidak adanya hukum
yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi
korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah “kekerasan terhadap perempuan” tidak
dikenal dalam hukum Indonesia, walaupun fakta kasus ini marak terungkap di
Indonesia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH-Pidana) yang ada pada
saat ini, sebagian kasusnya tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat
dijaring dengan pasal-pasal kejahatan, namun terbatas pada tindak pidana umum
(korban laki-laki atau perempuan) seperti kesusilaan atau perkosaan, peng-aniayaan,
pembunuhan dan lain-lain.
Perkosaan diatur dalam KUH-Pidana pasal 285,
yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa sese-orang wanita bersetubuh dengan dia diluar per-kawinan,
diancam karena melakukam perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Perkosaan adalah perbuatan
yang di-lakukan oleh seseorang atau beberapa orang laki-laki memaksa seorang
perempuan yang bukan istrinya untuk melakukan persetubu-han. Wirjono
Prodjodikoro, mengemu-kakan bahwa perkosaan adalah suatu tin-dakan berupa
dengan kekerasan atau anca-man kekerasan memaksa seorang perem-puan ber-setubuh
dengan dia di luar per-kawinan.
Berdasarkan pasal 285
KUH-Pidana maka dapat diketahui unsur-unsur dari tindak pidana perkosaan adalah
sebagai berikut:
1. Barang siapa, hal ini
berarti siapa saja tanpa kecuali.
2. Dengan kekerasan atau
ancaman keke-rasan.
3. Memaksa bersetubuh
dengan dia.
4. Perempuan yang bukan
istrinya.
Menurut pasal 285 KUH-Pidana
yang secara tegas mengatur tentang tindak pidana perkosaan, juga terkait secara
langsung dengan unsur tindak pidana ini adalah pasal 284, pasal 286 serta pasal
287 KUH-Pidana.
E. Jenis, Karakteristik dan Modus Operandi Perkosaan
1. Jenis Perkosaan
Istilah “perkosaan” cukup sering di-gunakan
untuk suatu tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu yang modus-nya
merugikan orang dan melang-gar hak-hak asasi manusia, seperti “perkosaan”
hak-hak sipil. “Perkosaan” ekologis (lingkungan hidup), “perkosaan” terhadap harkat ke-manusiaan dan
lainnya.
Jika ditelusuri, perkosaan memiliki makna
yang tidak harus dipahami secara sempit, sebagai istilah khusus dalam hubungan
seks, tetapi menggambarkan ben-tuk budaya perampasan hak yang berlang-sung
dalam kehidupan manusia.
Perkosaan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan dengan 1)paksa, kekerasan, 2)gagah, kuat, perkasa. Sedang-kan
memeperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan
kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar hukum yang berlaku.
Menurut R. sugandhi, yang dimak-sud dengan
perkosaan adalah “seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya
untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita
yang kemudian mengeluarkan air mani”
Oleh PAF lamintang dan Djisman Samosir
berpendapat, “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang waanita untuk melakukan persetubuhan di luar
ikatan perkawinan dengan dirinya”
Selain itu, kekerasan atau ancaman
kekerasan itu hanya berlaku di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain,
kekerasan atau ancaman kekerasan sehubungan dengan persetubuhan (pemaksaan hubu-ngan
seksual) dalam ikatan perkawinan tidak disebut sebagai kejahatan perkosaan. Artinya
rumu-san itu tidak memasukkan istilah “marital raape” (perkosaan dalam
ikatan perkawinan) di dalamnya.
Dalam hukum Islam pun, tidak dikenal
istilah perkosaan dalam perkawinan. Soal hubungan biologis (seksual) antara suami isteri
diatur mengenai etikanya, seperti ten-tang keharusan (kewajiban) suami mem-berikan
nafkah batin (seks) pada isterinya dengan cara mempergaulinya dengan baik
(tidak peerlu dilakukan dengan kekerasan), sedangkan isteri (perempuan)
berkewajiban melayani kebutuhan seksual tatkala suami-nya membutuhkan.
Kalaupun ada kekerasan seksual yang
dilakukan suami pada isterinya, maka selain hal itu merupakan bentuk
pelanggaran etika berhubungan seksual juga bisa jadi suaminya sedang mengidap
kelainan yang mem-butuhkan kehadiran ahli medis untuk memberikan terapi.
Demikian itu sejalan dengan pen-dapat
Wirdjono Prodjodikoro yang meng-ungkapkan, bahwa perkosaan adalah “seorang
laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh
dengan dia, sehingga sedemi-kian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan
terpaksa ia mau melakukan per-setubuhan itu”
Pendapat Wirdjono itu juga mene-kankan
mengenai pemaksaan hubungan sek-sual (bersetubuh) pada seorang perem-puan yang bukan isterinya. Pemaksaan yang dilaku-kan laki-laki membuat atau meng-akibatkan
perempuan terpaksa melayani persetubuhan.
Meskipun rumusan mengenai per-kosaan itu
cukup jelas, namun seiring per-kembangan zaman dan munculnya berbagai macam
bentuk penyimpangan seksual atau kejahatan kesusilaan, seperti pemaksaan sek-sual
dengan melalui dubur(anus), mulut dan lainnya, maka beberapa pakar cen-derung
memperluas pengertian perkosaan.
Misalnya perumusan demikian itu di-anggap
oleh Steven Box sulit diterap-kan, sebab perkosaan tidak hanya menyangkut
perbuatan bersetubuh yang dilakukan dengan kekerasan tanpa adanya persetujuan
dari salah satu pihak, sebagaimana paparannya,“rape constitue a particular
act sexual acces, namely the penis penetration the vagina, gained without
concent of the female concer-ned”
Pengertian perkosaan seperti itu me-rupakan
pengertian yang mencakup hubungan seksual secara luas yang dilaku-kan secara
paksa (dengan kekerasan), yang tidak semata-mata menekankan pada soal penetrasi
ke dalam vagina, namun juga dapat melalui anus (dubur), mulut dan lainnya, yang
bisa jadi akibatnya jauh lebih fatal dibandingkan me-lalui vagina.
Perkosaan pada visi ini sudah men-jangkau
pengertian hubungan seksual tidak hanya pada soal pemaksaan bersetubuh, namun
juga pemaksaan berhubungan seks dengan organ-organ lain, yang menurut pelaku
dapat memberikan (mendatangkan) kepuasaan. Selain itu, alat-alat berhubungan
seksual tidak hanya terkait dengan alat kelamin laki-laki, namun juga barang-barang
yang digunakan oleh pemerkosa guna men-datangkan kepuasaan.
Sedangkan mengenai jenis-jenis per-kosaan,
menurut Mulyana W. Kusuma menyebutkan (dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,
2001: 46) menyebutkan:
a. Sadistic Rape;
Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas
dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak
menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui
serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korbannya.
b. Anggea Rape;
Yakni penganiayaan seksual yang ber-cirikan
seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geranm
dan maraah yang etrtahan. Di sini tubuh korban seakanakan merupakan objek ter-hadap
siapa pelaku yang mem-proyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan,
kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
c. Dononation Rape;
Yakni suatu perkosaan yang etrjadi ketika
pelaku mencoba untuk gigih atas kekua-saan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah untuk penak-lukan seksual, pelaku menyakiti
korban, namun tetap memiliki keinginan ber-hubungan seksual.
d. Seduktive Rape;
Suatu perkosaan yang terjadi pada
situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada
mulanya korban memutuskan bahwa keintiman persoalan harus dibatasi tidak sampai
sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan pak-saan,
oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim Precipitatied
Rape;
Yakni perkosaan yang terjadi (berlang-sung)
dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation Rape;
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada
setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki
dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang ber-gantung
padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, isteri yang diperkosa majikannya,
sedangkan pembantunya tidak mem-persoalkan mengadukan) kasusnya kepada pihak
yang berwajib.
“Sadistic rape” dengan “victim precipitation rape”merupakan
jenis per-kosaan yang mendapatkan perhatian yang serius belaka-ngan ini.
Keterlibatan, peranan, andil dan pengaruh korban yang secara langsung maupun
tidak langsung sebagai “pencetus” tim-bulnya perkosaan menjadi pembicaraan yang
serius mengenai faktor penyebab terjadinya perkosaan. “Victim precipitation
rape” men-jadi catatan mengenai jenis perkosaan yang melibatkan komponen,
yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap turut bersalah dalam melahirkan
kejahatan kesusi-laan.
“sadistic rape” menjadi salah satu jenis kejahatan yang juga mendepatkan
sorotan sehubungan dengan tidak sedikitnya kasus perkosaan yang dilakukan
secara sadis.
2. Karakteristik
Perkosaan.
Karakteristik utama (khusus)
tindak pidana perkosaan menurut Kadish yaitu bukan ekspresi agresivitas seksual
(the aggressive expression of sexuality) tapi ekspresi seksual
agresivitas (sexual expres-sion of aggression (Atmasasmita 1995: 108).
Artinya, perwujudan ke-inginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat
menyerang atau me-maksa lawan jenis (pihak) lain yang dapat dianggap mampu
memenuhi kepen-tingan nafsunya.
Adapun karakteristik umum
tindak pidana perkosaan yaitu:
a. Agresivitas, merupakan
sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan;
b. Motivasi kekerasan
lebih menonjol diban-dingkan dengan motivasi seksual semata-mata;
c. Secara psikologis,
tindak pidana per-kosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian
diban-dingkan dengan hawa nafsu.
d. Tindak pidana
perkosaan dapat dibeda-kan kedalam tiga jenis bentuk, yaitu: anger rape, power
rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger and violition, control and
domination, erotis;.
e. Ciri pelaku perkosaan:
mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengala-man buruk khususnyaa dalam
hubungan personal (cinta), terasing dalam per-gaulan sosial, rendah riri, ada
ketidak-seimbangan emosional.
f. Korban perkosaan
adalah partisipatif.
g. Tindak pidana
perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.
Diantara karakteristik perkosaan itu, ciri
kekerasan dan sulitnya dilakukan pembuktian tampaknya perlu mendapatkan
perhatian utama. Kekerasan yang menimpa korban bukan hanya berdampak merugikan
keta-hanan fisiknya, namun juga ketahanan psikologisnya. Kondisi buruk yang mem-buat
korban tidak berdaya ini dapat berdampak buruk lebih lanjut pada per-soalan
penegakan hukumnya.
Bukan tidak mungkin, korban akan menjadi
takut melaporkan (mengadukan) kasus yang menimpanya karena khawatir catat fisik
maupun psikologisnya diketahui oleh publik (masyarakat). Hal ini akan
menjadikan data resmi yang dilaporkan pihak berwajib kurang leng-kap, sebab
tidak adanya partisipasi korban untuk mengungkap kasus yang dialaminya sendiri.
Begitupun terhadap masalah pem-buk-tian,
pihak penegak hukum dapat meng-alami kesulitan mencari bukti-bukti untuk
mengungkap kasus perkosaan ynag sudah cukup populer di tengah masyarakat, namun
tidak ada dukungan dari pihak korban. Disamping korban tidak mau mengadukan,
juga korban enggan segera (secepatnya) mengadukan, padahal dalam mengungkap
kasus kejahatan kesusilaan, peranan korban sangat menentukan.
3. Modus operandi
Perkosaan.
Setiap kejahatan yang terjadi atau
dilakukan secara individual maupun kelom-pok, terutama yang direncanakan,
tentulah didahului oleh suatu modus operandi.
Modus operandi perkosaan dapat terdiri
antara lain yaitu:
a. Diancam dan dipaksa;
b. Dirayu;
c. Dibunuh;
d. Diberi obat bius;
e. Diberi obat peransang;
f. Dibohongi atau
diperdaya dan lainnya.
Modus operandi seperti yang di-sebutkan
diatas sangat mungkin dikemu-dian hari dapat berkembang dan dapat bermodus
operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan
posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkem-bangan
sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak di tengah
masyarakat. Hal ini sama dengan adagium yang menyebut-kan “sema-kin maju suatu dengan
per-kembangan yang ada.
F. Perkosaan Sebagai
Pelecehan Hak Asasi Perempuan
Perkosaan tidak bisa dipandang se-bagai
kejahatan yang hanya menjadi urusan privat (individu korban), namun harus
dijadikan sebagai problem publik, karena kejahatan ini jelas-jelas merupakan
bentuk perilaku pri-mitif yang menonjolkan nafsu, dendanm dan superioritas,
yakni siapa yang kuat itulah yang berhak mengorbankan orang lain.
Perkosaan adalah salah satu bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang ter-berat. Dalam Konvensi PBB tentang peng-hapusan
Kekerasan terhadap Perempuan bahkan sudah menjangkau perlindungan perempuan sampai
ke dalam urusan rumah tangga seperti kasus “marital rape” (per-kosaan dalam
perkawinan, tidak sebatas hak perempuan di luar atau rumah atau sektor publik.
Meskipun dalam kasus seperti perkosaan oleh suami kepada isteri ini tidak dikenal
dalam KUHAP kita dan masih menjadi suatu objek diskursus oleh pakar-pakar hukum
Islam, tetapi setidak-tidaknya hal itu dapat dijadikan tolak ukur mengenai
peningkatan kepedulian terhadap HAM perempuan.
Menurut Pasal 1 Deklarasi Pengha-pusan Kekerasan
terhadap Perempuan sudah disebutkan, bahwa kekerasan ter-hadap perem-puan
adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat, atau
mungkin berakibat keseng-saraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan ter-tentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau
dalam kehidupan pribadi. Sedangkan perkosaan (menurut Pasal 2 deklarasi tersebut)
dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perem-puan.
Jelas sekali bahwa berdasarkan dekla-rasi
itu, perempuan seharusnya dijauhkan dari tindakan-tindakan yang bermodus peng-aniayaan,
perampasan hak-haknya dan peno-daan martabat kemanusia-annya. Per-kosaan
termasuk salah satu perbuatan jahat dan keji yang selain melanggar HAM, juga
meng-akibatkan derita fisik, sosial maupun psi-kologis terhadap perempuan.
Artinya ada derita ganda yang ditanggung oleh pihak korban akibat perkosaan
itu.
Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran
HAM yang cukup parah ter-hadap perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan
bukti kesewenangan-kesewe-nangan dan kekejian yang berten-tangan dengan watak
diri manusia yang seharusnya dihormati hak-hak sesamanya, apalagi terha-dap
perempuan yang seharus-nya dilindungi. Potensi dalam dirinya yang seharusnya
ditujukan untuk untuk menga-sihi dan menyayangi sesama ternyata dikalahkan oleh
potensi yang cenderung mengajak pada perbuatan menindas dan menganiaya
sesamanya. Potensi dalam dirinya yang seharusnya difungsikan untuk melindungi
dan membela perempuan dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji, justru dikalahkan
oleh potensi yang meng-hancur-kan.
Pelanggaran HAM yang pertama kali atau
bermula terjadi pada saat perkosaan tidak hanya berhenti saat itu saja, namun
dapat berlangsung dalam kehidupan berikutnya. Pihak korban tidak mendapat-kan
perlakuan yang manusiawi, namun diperlakukan sebaliknya yaitu
diposisikan sebagai objek seperti sebuah barang bekas yang tidak bisa
dimanfaatkan atau ditem-patkan sederajat dalam strata kemanusiaan.
Di tangan laki-laki yang kehilangan
integritas moral dan dikuasai nafsu itulah nasib perempuan terasa tidak
bermakna akibat diperlakukan secara tidak manusiawi, sewenang-wenang dan biadab. Perempuan dijadikan sebagai
barang mati, yang sekadar alat pemuas kepentingan.
G.Faktor-faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan ke-susilaan
yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya
dan tidak berdiri sendiri penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kon-disi yang
mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan
bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Berbagai faktor itu terkait dengan posisi
korban dalam hubungannya dengan pelakunya. Artinya, sudah ada relasi lebih
dahulu (dalam ukuran intensitas tertentu) antara korban dengan pelakunya.
Kalaupun ada diantara korban yang tidak pernah terkait dengan pelakunya, maka
prosen-tasinya cukup kecil. Hubungan horisontal (laki-laki dan perempuan) telah
dimanfaat-kan oleh pihak laki-laki untuk ber-eksperimen melakukan dan
membenarkan perbuatan kontra produktif dan tidak manusiawi.
Selain itu, terjadinya perkosaan juga
didukung oleh pelaku, posisi korban, dan pengaruh lingkungan. Pelaku menjadi
gam-baran sosok manusia yang gagal mengen-dalikan emosi dan naluri seksualnya
yang wajar sementara korban (dalam kasus-kasus tertentu) juga memerankan
dirinya sebagai faktor krimi-nogen, artinya sebagai pen-dorong lang-sung maupun
tidak langsung terhadap terjadinya perkosaan. Posisi pelaku dengan korban ini
pun didukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari keramaian, sepi dan ruang
tertutup) yang memung-kinkan pelaku dapat leluasa memanjalankan aksi-aksi
jahatnya.
Perempuan yang bepergian sendiri di malam
hari (situasi), tanpa didampingu suami, orang tua atau unsur keluarga dekatnya,
sementara bepergiannya terkait dengan kepentingan yang menyita waktu dan banyak
berhubungan dengan lawan jenisnya merupakan sosok perempuan yang berada dalam
ancaman bahaya. Dimensi atau waktu prodktif yang digarap perem-puan tanpa
pendamping akhirnya diposisi-kan sebagai “saat rentan” atau kondisi yang rawan
terjadinya kriminalitas bagi perem-puan.
Jika perempuan itu menjadi perem-puan
karier, maka karier yang dilaku-kannya juga mudah dihadapkan dengan berbagai
macam tantangan yang dapat membahayakan harkaatnya, misalnya pelecehan dan
kekerasan seksual. Banyak-nya perempuan yang terlibat dengan kegiatankegiatan produktif
di luar rumah adalah dapat membuka kesempatan atau mensimulasi iklim kriminogen
terhadap terjadinya tindak kejahatan sekusal, bila-mana aktifitasnya itu lepas
dari perlin-dungan yang menjamin keselamatannya.
Kedekatan hubungan antara lawan jenis
(laki-laki dengan perempuan yang bukan isterinya atau bukan mahramnya)
merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya perkosaan. Pihak
pelaku memang bersalah, namun kesalahan yang diperbuat itu disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban.
Dari uraian diatas, maka dapat dikata-kan
bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya perkosaan setidak-tidaknya adalah
sebagai berikut:
1. Pengaruh perkembangan
budaya yang semakin tidak menghargai etika ber-pakaian yang menutup aurat, yang
dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2. Gaya hidup atau mode
pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau
kurang bisa lagi mem-bedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan
yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
3. Rendahnya pengamalan
dan peng-hayatan terhadap norma-norma ke-agamaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Nilia-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi
horisontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial
untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
4. Tingkat kontrol
masyarakat (social control) yang
rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyim-pangan, melanggar
hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan res-ponsi dan pengawasan dari
unsur-unsur masyarakat.
5. Putusan hakim yang
terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan kepada
pelaku. Hal ini di-mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya
untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak
merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang diterimanya.
6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengen-dalikan emosi dan nafsu
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk
dicarikan kom-pensasi pemuas-nya.
7. Keinginan pelaku untuk
melakukan (melampiaskan) balas dendan terha-dap sikap, ucapan (keputusan) dan
perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.
H. Teori Kebenaran.
1.
Teori Korespondensi
Menurut teori ini dinyatakan bahwa kebenaran
atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti
yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan Kenyataan
atau faktanya.
Jadi berdasarkan teori koespon-densi ini,
kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi
dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut7.
Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (correspond-dence), maka
preposisi ter-sebut dapat di-katakan memenuhi standar kebenaran/ keadaan benar.
2.
Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran ditegak-kan
atas hubungan anatar putusan (judment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta ataau
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Berdasaarkan teori ini, kebenaran di-tegakkan
atas hubungan antara putusan yanag baru dengan putusan-putusan lainnya yang
telah kita ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu
cen-derung untuk benar jika proposisi itu kohoren (saling berhubungan) dengan
pro-posisi yang benar, atau jika arti yanag terkandung oleh proposisi tersebut
koheren dengan pengalaman kita.
3.
Teori Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma,
artinya yang dikerjakan, yang dapat dilak-sanakan, dilakukan, tindakan atau per-buatan.
Dinyatakan sebuah kebenaran jika memiliki
“hasil yang memuaskan (satis-factory
result)”, bila:
a. Sesustu yanag benar
jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
b. Sesuatu yang benar
jika dapat diuji benar dengan eksperimen.
c. Sesuatu yang benar
jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
4.
Teori Kebenaran Sintaksis
Teori kebenaran sintaksisi berpang-kal
tolak pada keteraturan sintaksisi atau gramatika yang dipakai oleh suatu per-nyataan
sdianggap benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sinaksis yang baku atau
apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di-isyaratkan,
proposisi itu tidak mempunyai arti.
5.
Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantis bahwa suatu
proposisi memiliki bilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah
proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mem-punyai pengacu (referent)
yang jelas. Oleh karena itu, teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan
proposisi dalam referen-sinya
Dengan demikian, teori kebenaran semantik
menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran jika proposisi itu
memiliki arti. Arti ini menunjukkana makna yang sesungguhnya dengan menun-juk pada
referensi atau kenyataan. Selain itu juga arti yang dikemukakan itu memiliki
arti yang bersifat defenitive (arti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas
dari sesuatu yang ada).s
6.
Teori Kebenaran Non-
Diskripsi
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya
suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang sangat
tergantung peran dan fungsi pada per-nyataan itu.
7.
Teori Kebenaran Logis yang
ber-lebihan
Pada dasarnya menurut teori
ke-benaran ini adalah bahwa problem kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa
saja, dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan karena pada dasarnya apa,
pernyatakan yang ke-hendak dibuktikan kebenarannya me-miliki derajat logic yang
sama dan masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesung-guhnya
setiap preposisi yang bersifat logic dengan menunjukkan bahwa proposisi itu
mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama, dan semua orang
sepakat sehingga apabila kita membukti-kannya lagi hal yang demikian itu hanya
merupakan bentuk logis yang berlebihan
III. KESIMPULANG
Tujuan hukum pidana ialah untuk memenuhi
rasa keadilan, untuk menakut-nakuti orang jangan samapi melakukan kejahatan,
baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale prevebtie), maupun secara
menakut-nakuti/membuat jera orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan
sehingga mmenjadi orang yang baik tabiat-nya serta bermabfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), maka tujuan pemi-daan adalah sebagai berikut:
1. Mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
men-jadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseim-bangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa
bersalah pada terpi-dana.
Berbagai tujuan hukum pidana yang
dikemukakan oleh para ahli hukum pidana serta yang dirumuskan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
lebih men-deskripsikan mengenai
tujuan yang bersifat pengayoman pada masyarakat dan mengem-balikan (menyembuhkan)
pelaku (pelanggara atau penjahat) pada jalan yang benar (tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku).
Artinya, tujuan hukum pidana di Indonesia juga
melindungi korban suatu tindak kejahatan seperti perkosaan, ter-utama dalam
bentuk pemidanaan ter-hadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku
tindak pidana. Penghukuman yang dijatuh-kan terhadap pelaku ini merupakan salah
satu hak yang dituntut oleh pihak korban. Korban yang sudah dirugikan secara
fisik dan psikologis menuntut gfrpara penegak hukum untuk memberikan hukuman
yang setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meskipin terlihat cukup ideal bagi ke-hidupan
masyarakat dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepen-tingan
pelaku (pelanggar/ penjahat), sedang-kan kepentingan (hak asasi) masyarakat,
seperti pihak-pihak yang menjadi korban kejahatan perkosaan kurang mendapatkana
perhatian yang nyata.
Hal ini dapat terbaca melalui pasal-pasaal
yang terumus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang secara nor-matif
kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban.
Selain itu, tujuan tersebut masih mengalami
kendala pada masalah substan-sial (normatif) yuridisnya, yang belum sesuai dan
sinkron dengan aspek substansial sebagaimana yang dirumuskn dalam hukum Islam
seperti yang diwahyukan oleh Allah Swt.
Kebenaran dalam memperoleh per-lindungan
hukum, khususnya rasa ke-adilan bagi setiap orang adalah meru-pakan hak setiap
individu, tanpa kecuali, demikian juga terhadap perempuan yang menjadi korban
kekerasan seksual se-hingga dengan demikian terdapat suatu kebenaran yang oleh
filsafat ilmu disebut kebenaran kores-pondensi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung, 2001.
Ahmad Tahir, Filsafat Ilmu (Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksio-logi Pengetahuan), PT. Remaja Rosda-kaya, Bandung, 2007
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pus-taka
Sinar Harapan, Jakarta, 2001, cet ke-13, h 57.
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 71.
PAF. Lamintang dan Djasman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Jakarta, 1983.
R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelsan-nya, Usaha
Nasional, Surabaya, 1980.
Soerjono Soekanto dan Sri Sumadji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1955.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Pene-rangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta, 1983.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar