Rabu, 28 Januari 2015

REFORMASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM



Budiman Sulaeman
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: nihlah_budiman@yahoo.co.id
Abtract: Muslim community is very much dependant upon classic fiqh books, so that they are fiqh-minded. They assume that the product of fiqh in classic books is identical with Divine law. It is this phenomenon of sacralization that that makes Islamic law stagnant in Muslim counties.This problem must be overcome by inserting the understanding that Islamic law in its normative level should be present as a solution to actual social problems. In this regard, the methodology of classic Islamic legal theory (ushûl fiqh) and fiqh should be considered as a historical response towards their contemporary situations.
Kata Kunci: Reformation, Islamic Law

I.     PENDAHULUAN
Kuatnya tradisi pemikiran fiqh di dunia Islam, sesungguhnya bukan meng-ada-ada. Paling tidak, hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa esensi masyarakat Islam terletak pada kesadaran akan pen-tingnya perilaku hidup berdasarkan ajaran wahyu. Artinya keberagamaan seseorang baru bermakna jika ajaran agama itu termanifestasi dalam perilaku hidup sehari-hari.
Sementara itu, proses legislasi tradisi-onal telah meniscayakan tumbuhnya tradisi pemikiran fiqh secara intensif.1 Itulah mengapa umat Islam selalu berupaya memformulasikan ajaran wahyu ke dalam bentuk-bentuk formal sebagai norma hidup. Selanjutnya, praktek ini melahirkan satu kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ahli hukum atau fuqahâ.
Di Indonesia, kecenderungan tersebut tampak begitu kental. Ketergantungan pada kitab-kitab hukum Islam klasik, membawa masyarakat pada pola pikir fiqhî. Klaim terhadap kaum santri yang “fiqh oriented”, secara jelas menegaskan fenomena tersebut. Begitu juga terminologi dan dominasi ulama yang berkembang lebih identik ulama fiqh.2 Puncaknya ialah ketika sejumlah kitab fiqh Syafi’i (13 kitab) direkomendasikan sebagai referensi hukum pada Pengadilan Agama, semakin menun-jukkan bahwa pemikiran hukum Islam yang berkembang lebih terkonsentrasi pada tra-disi fiqh tradisional.
Hanya saja, seringkali orang salah mengerti. Fiqh dipandang berharga mati. Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh dilihat identik dengan aturan Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu sendiri, bukannya sebagai bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sakrali-sasi inilah salah satu faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum Islam.
Karena itu, reformasi dalam penger-tian pengembangan pemikiran hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan.
II.  PEMBAHASAN
1.    Reformasi Hukum
Terdapat “konsensus” dalam masya-rakat Indonesia bahwa jatuhnya rezim Soeharto menandai lahirnya sebuah era baru yang disebut era reformasi. Meskipun terminologi ini masih menjadi perdebatan, khususnya di kalangan ahli hukum. Sebutlah misalnya, Prof. Ahmad Ali, dalam setiap kesempatan, enggan menyebutnya sebagai era reformasi, tapi lebih senang menggunakan terminologi “era yang kata-nya reformasi”. Salah satu tuntutan masyarakat adalah reformasi hukum.
Reformasi adalah istilah Inggris “reform” atau “reformation” yang berarti “change” (perubahan). “improvement” (per-baikan), “betterment” (peningkatan), “correction3 (pembetulan) atau pengertian lain yang mirip. Reformasi dalam bidang hukum tidak lepas dari pengertian per-ubahan, perbaikan, peningkatan dan pem-betulan terhadap sistem hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berlaku selama ini. Reformasi hukum Indonesia tidak lepas dari tiga sifat, yaitu spiritual, teologis, dan politikal. Bersifat spiritual, karena reformasi hukum menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai warisan spiritual bangsa Indonesia. Ia bersifat teologis, karena hukum bagi mayoritas bangsa Indonesia yang terdiri dari umat Islam tidak dapat dipisahkan dari pandangan teologis, yaitu hukum bagi mereka adalah perintah ilahi yang harus dijalankan dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ia bersifat politikal, karena gerakan reformasi hukum membutuhkan usaha politik dan kekuasaan negara.
Dalam Islam, ada tiga istilah yang berkaitan dengan reformasi; yaitu tajdîd (pemurnian), taghyîr (perubahan), dan ishlâh (perbaikan). Tajdîd berarti pemur-nian dengan kembali kepada ajaran asli Islam sebagai termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang melakukan pe-murnian disebut mujaddid (pemurni), yaitu orang yang mengembalikan agama yang sudah menyimpang kepada pengertian aslinya. Penyimpangan tersebut dapat terjadi pada teks agama, atau pemahaman-nya, atau prakteknya atau pada semuanya.
Taghyîr adalah perubahan. Allah telah menciptakan alam ini cocok untuk kehidupan bila manusia mengikuti aturan yang digariskan dalam sunnah kehidupan dan sunnah Allah. Sunnah kehidupan adalah jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia di bumi agar manusia dapat hidup dengan aman, makmur dan sentosa. Untuk itu, ia harus belajar, berpikir, berkreasi, mengatur kehidupan bersama dan membangun peradaban. Manusia sebagai ciptaan Allah berpotensi untuk itu. Demi memantapkan kehidupan dunia yang lebih baik dan memastikan keselamatan hidup di akhirat, Allah me-nurunkan wahyu untuk membimbing manusia. Reformasi dalam pengertian taghyîr adalah usaha pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum kehidupan dan hukum Allah dalam diri pribadi, masyarakat dan negara.
Sedangkan ishlâh berasal dari kata shalâh yang berarti antonim dari kata fasâd (kerusakan). Reformasi dalam pengertian ishlah adalah usaha perbaikan yang dilaku-kan terhadap sektor-sektor yang sudah rusak dalam kehidupan individu, masya-rakat dan negara, khususnya dalam bidang hukum. Bila usaha perbaikan tidak dilakukan, maka kondisi pribadi akan bertambah buruk dan masyarakat atau negara akan hancur. Reformasi pemikiran hukum Islam dapat dilihat dari pengertian reformasi seperti telah dikemukakan. 
2.    Hukum Islam
Historisitas perkembangan hukum Islam di Indonesia merupakan salah satu mata rantai sejarah perkembangan hukum Islam secara umum. Ia terlahir dari hasil perkawinan antara hukum Islam normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Untuk itu, pengertian hukum Islam (fiqh) dalam konteks ini menjadi lebih spesifik. Untuk menyebut hukum Islam, sering digunakan istilah syari’ah atau fiqh. Penggunaan kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menyebut hukum Islam, pada level tertentu memang benar. Tetapi jika dilihat secara lebih konseptual, keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Syari’ah adalah produk dari tasyrî’ ilâhî yakni penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah produk tasyrî’ wadh’î, yakni penetapan hukum yang dilakukan oleh mujtahid.4
Pada umumnya, fiqh seringkali dipan-dang identik dengan hukum Islam dan hukum Islam identik dengan hukum Tuhan. Dengan cara pandang seperti ini, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kum-pulan hukum-hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah yang paling benar dan tidak berubah, maka kitab-kitab fiqh bukan lagi dipandang sebagai produk yang bersifat keagamaan, melainkan dipandang sebagai buku agama. Implikasinya, selama berabad-abad fiqh menduduki posisi yang sangat terhormat sebagai bagian dari agama, dan bukan bagian dari produk pemikiran ke-agamaan.
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa syari’ah dengan fiqh adalah dua konsep yang berbeda. Minimal ada empat perbedaan antara keduanya. Pertama, dilihat dari sudut subyeknya, syari’ah ditetapkan oleh syârî’ (Allah), sedangkan fiqh ditetapkan oleh manusia, dalam hal ini mujtahid atau fuqaha. Kedua, syari’ah menempati kualitas wahyî, sedang-kan fiqh, karena di dalamnya ada intervensi ra’yu (rasio), berkualitas ijtihâdî. Ketiga, karena diciptakan oleh Tuhan dan ber-kualitas wahyî, maka syari’ah memiliki tingkat kebenaran absolut, sedangkan fiqh memiliki tingkat kebenaran relatif. Keempat, syari’ah bersifat eternal dan universal, sedangkan fiqh bersifat temporal dan lokal (sangat terpengaruh oleh perubahan dimensi ruang dan waktu).
Meskipun fiqh merupakan produk pemikiran manusia, tetapi ia tetap dikategorikan sebagai syari’ah5, sepanjang dikaji dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, baik melalui qiyâs maupun mashlahah, sebab dengan qiyâs, seorang mujtahid membawa furû’ kepada nash, sementara dengan mashlahah, ia berusaha memerhatikan kepentingan-kepentingan ke-hidupan manusia. Pendekatan seperti ini telah memeroleh legalitas dari nash.
Memerhatikan Islam sebagai sumber hukum, maka secara ringkas hukum Islam sebenarnya adalah ketentuan-ketentuan mengikat yang berasal dari Allah dan dari legislasi manusia untuk pengaturan hidup individu dan masyarakat.6 Dalam hubungan ini, hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyânî semata dan yang bersifat diyânî dan qadhâ’î dalam waktu yang sama.7 Diyânî adalah kata sifat yang berasal dari kata  dîn yang antara lain berarti ketaatan dan ketundukan.8 Seluruh hukum Islam pada dasarnya bersifat diyânî karena ia terserah kepada kesadaran masyarakat secara individu untuk pelaksa-naannya. Sungguh pun demikian, sebagian hukum Islam, di samping bersifat diyânî juga bersifat qadhâ’î. Disebut qadhâ’î karena ia berkaitan dengan permasalahan yuridis. Qadhâ’î adalah kata sifat dari qadhâ yang antara lain berarti pengadilan atau putusan pengadilan. 
3.    Reformasi Pemikiran Hukum Islam
Dalam peta pemikiran Islam, kon-tribusi intelektual hukum Islam menempati posisi cukup signifikan. Bahkan sebagian sarjana menyatakannya sebagai satu subjek terpenting dalam kajian Islam.9 Oleh karena itu, jika boleh disebut dengan salah satu produknya, maka peradaban Islam sesung-guhnya lebih identik dengan “peradaban hukum”. Kesan tersebut sebenarnya tidak terlalu berlebihan, karena secara kualitatif dan kuantitatif, tampak bahwa hukum Islam (fiqh) menempati posisi teratas di antara produk-produk intelektual Islam. Harus pula diakui bahwa karya-karya hukum Islam (fiqh) merupakan khazanah pemi-kiran yang paling banyak tersebar di dunia Islam, sehingga berpengaruh terhadap perilaku individu dan sosial serta mem-bentuk pola pikir masyarakat. Pada akhirnya, secara umum diakui bahwa kecemerlangan pemikiran hukum Islam mempengaruhi pasang surut peradaban Islam dalam sejarah.
Telah disebutkan pada bagian pen-dahuluan bahwa, seringkali orang salah mengerti. Fiqh dipandang berharga mati. Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh dilihat identik dengan aturan Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu sendiri, bukannya sebagai bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sacra-lisasi inilah salah satu faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum Islam di Indonesia.
Hal inilah yang segera menuntut elaborasi lebih lanjut, bahwa hukum Islam dalam pengertian normatif pun hadir sebagai solusi10 terhadap persoalan-per-soalan (yuridis-moral) kemasyarakatan (baca: kemanusiaan) yang selalu aktual. Demikian pula metodologi hukum Islam klasik yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh- maupun produk jadinya, fiqh, harus tetap dibaca sebagai hasil pergumulan dengan sejarah.11
Sementara itu, kemajuan iptek tidak dapat disangkal telah memengaruhi semua struktur lapisan masyarakat. Akibatnya, terjadi pergeseran dan transformasi nilai atau norma sosial dan budaya dalam berbagai bentuk dan variasinya. Fenomena-fenomena ekstrinsik keagamaan, seperti, isu-isu kemanusiaan dan peradaban menjadi tantangan besar terhadap Islam yang selanjutnya mengerucut pada bidang hukum positifnya. Hal ini cukup menggugah kesadaran intelektual dari banyak kalangan, dan kesadaran akan perlunya pemikiran kembali berbagai ajaran historis Islam selama ini.
Reformasi pemikiran hukum Islam sebagai jawaban terhadap realitas kekinian, dengan demikian haruslah menjadi satu agenda tersendiri dalam wacana fiqh kontemporer. Tak terkecuali juga klaim universalitas sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin dan karenanya sâlihun li kulli zamân wa makân, dalam konteks ini tentu saja sangat signifikan. Ia akan sia-sia apabila pada saat yang sama tidak diterjemahkan dan diaplikasikan secara membumi di tengah kompleksitas sosial yang ada. Bahkan akan muncul gugatan di sana-sini tentang misi Islam, “apakah ia telah berakhir?”.
Anggapan bahwa kitab-kitab fiqh plus produk fiqhnya merupakan kumpulan hukum-hukum Tuhan, hemat penulis, harus direformasi, dalam pengertian diubah, diperbaiki, ditingkatkan dan dibetulkan.
Jika dilihat dari perspektif historis-nya, hukum Islam pada awalnya merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab yang responsif terhadap tantangan sejarahnya masing-masing dan memiliki coraknya sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis tempat mazhab itu tumbuh dan berkembang.
Ciri khas hukum Islam yang demikian ini terutama disebabkan oleh kuatnya tradisi ijtihad yang oleh Iqbal disebut sebagai “prinsip gerak dalam struktur Islam”.12 Dengan prinsip ini, generasi muslim awal mengurai problematika hukum yang mereka hadapi secara dinamis dan kreatif. Diktum-diktum hukum yang terlahir sebagai produk dari pemikiran hukum Islam (baca: ijtihad) menjadi benar-benar aktual, karena ia merupakan respons langsung terhadap problematika hukum yang berkembang saat itu.
Seiring berlalunya waktu, perkem-bangan hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma ke dalam bentuknya yang baru. Hukum Islam menjadi statis dan kurang apresiatif terhadap laju perkembangan masyarakat, khususnya setelah terjadi kristalisasi mazhab-mazhab fiqh. Dengan berakhirnya pembentukan keempat mazhab sunni di abad ke-9 dan ke-10, hukum Islam lambat laun berhasil dibakukan dan dianggap sebagai hukum ilahi yang tidak boleh diubah dan tidak membutuhkan tambahan inovasi. Akhirnya tradisi ijtihad menjadi barang langka dan mencapai anti klimaks-nya  ketika merebak doktrin insidâd bâb al-ijtihâd (tertutupnya pintu ijtihad). Tradisi ijtihad kemudian diambil alih oleh tradisi taqlid yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi lâ kayfa (taken for granted) terhadap doktrin mazhab-mazhab.
Namun, bukan berarti bahwa aktivitas pemikiran hukum Islam telah berhenti sama sekali. Ia tetap ada meskipun dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda serta laju perkembangannya yang menurut Atho Mudzhar, agak terlambat. Tugas pemikiran hukum Islam tetap dilaksanakan oleh sedikitnya dua golongan, yaitu  qadhi dan mufti. Golongan yang disebut pertama melakukan pemikiran hukum Islam melalui keputusan pengadilan (jurisprudensi), sedang golongan kedua melalui fatwa-fatwa (legal opinion).13 Hanya saja, produk-produk pemikiran hukum Islam pada qadhi dan mufti seringkali tidak mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat dan cenderung a-historis, karena ia tidak didasarkan pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum kontemporer dengan visi hukum dan visi sosial kontemporer, tetapi sekadar  diambil dari produk-produk pemikiran hukum masa lalu yang jelas tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan hukum kontemporer.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti, muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang.  Hukum bukan sekadar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasi pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Berpijak pada pemi-kiran seperti ini, tampak bahwa antara upaya ijtihad di satu sisi dan tuntutan perubahan sosial di sisi lain, terdapat suatu interaksi.
Memang harus disadari bahwa sifat hubungan yang tumpang tindih antara Islam normatif dengan formulasi hukum (fiqh) Islam yang historis, menjadikannya mengalami kesulitan luar biasa. Hal ini pulalah yang menghambat untuk mencapai rekonstruksi hukum Islam. Ia tidak dapat direformasi jika para ulama dan umat pada umumnya masih skeptis dan jumud.14 Problem epistemologis inilah yang harus mendapatkan solusi.
Kekacauan hubungan yang terjadi antara Islam sebagai agama normatif dengan formulasi hukum yang historis sesungguhnya tidak terlepas dari bang-krutnya tradisi intelektualitas dunia Islam pasca a’immah al-madzâhib. Kristalisasi pemikiran-pemikiran yang maju terhadap Islam yang terlembaga di dalam mazhab-mazhab fiqh klasik dianggap telah baku dan tidak perlu diijtihadkan kembali.
Ulama ushul fiqh misalnya, di-pengaruhi aliran teologi tertentu, mengon-sepsikan hukum sebagai qadîm, yaitu sudah ada sejak azali. Konsep ini direproduksi oleh ahli-ahli hukum modern, bahwa “hukum ilahi itu mengontrol dan tidak dikontrol oleh masyarakat”. Konsepsi semacam inilah yang menggiring fiqh ke dalam bingkai status quo yang sakral.  
Berawal dari sinilah, fenomena insidâd bâb al-ijtihâd, menandai redupnya pamor Islam, yang diperparah oleh maraknya polemik dan kontroversi yang cukup tajam (baca: khilâfiyyah). Umat pada akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang sulit dibedakan antara yang sakral dan yang tidak sakral. Karena itu, wacana reformasi pemikiran hukum Islam perlu penegasan. Penegasan dimaksud adalah bahwa sebenarnya hukum Islam tidaklah bersifat a-historis. Ia hadir tidak dalam kevakuman sejarah. Sebaliknya, ia hadir di tengah rentetan konteks peradaban manusia yang kompleks. Pemahaman “tekstual” terhadapnya, menjadi tidak relevan. Di sinilah kemudian para pembaru umumnya mengajukan pemahaman kontekstual, yaitu dengan memahami semangatnya, sesuai alur sejarahnya.
Sebagai konsekuensinya, fiqh yang pada hakikatnya merupakan hasil pema-haman manusia di bidang hukum, haruslah dilihat sebagai tidak sakral, karena berasal dari pembacaan dan pergumulan penulisnya dengan aneka ragam aspek kemanusiaan yang menyejarah. Karakter lokalitas ruang dan waktu adalah sebuah keniscayaan. Ciri rasionalitas Abu Hanifah misalnya, atau moderatnya Imam Syafi’i dan fundamen-talnya pemikiran Ahmad Ibn Hanbal serta Imam Malik yang terkenal dengan ketradisionalannya, jelas menunjukkan ekspresi kultural dan sifat kesejarahannya masing-masing.
Untuk kasus di Indonesia, stagnasi pemikiran hukum Islam itu setidaknya berlangsung sampai dekade 70-an. Meski telah ada upaya pembaruan pemikiran, seperti gagasan “Fiqh Indonesia” Hasbi Ash-Shiddieqie dan ide Hazairin tentang “Mazhab Nasional”, tetapi belum mampu menggugah kelesuan pemikiran hukum Islam.  Ini terlihat dari lemahnya respon positif terhadap gagasan kreatif tersebut. Juga dikarenakan belum tersusunnya ide pembaruan secara sistematis.15
Sebagai sebuah tradisi yang men-jembatani gap antara law in book dengan law in action, kehadiran fatwa MUI misalnya, sesungguhnya amat strategis bagi pengembangan pemikiran hukum Islam. Namun harus diakui adanya kesan lamban dalam mengantisipasi perkembangan baru, terutama ketika berbenturan dengan realitas interest politik, dan seringkali terkesan reaktif.
Aktualisasi dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia mencapai puncaknya dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya KHI menandai sejarah baru pemikiran hukum Islam di Indonesia dan menyambung mata rantai lingkaran ide-ide reformatif. Lahirnya pemikiran fiqh sosial, seperti “Menggagas Fiqh Sosial” dan “Nuansa Fiqh Sosial” karya K.H. Ali Yafie dan K.H. Sahal Mahfuzh, dan tawaran Qadri Azizy yang menggagas cara pandang baru dalam bermazhab dan berijtihad, dan lain-lain memberi harapan kepada corak reformatif kontekstual yang akan mewarnai per-ubahan-perubahan hukum Islam di masa depan.
III.   KESIMPULAN
Deskripsi singkat di atas cukup menegaskan bahwa hukum (fiqh) Islam sebagai pemahaman dan hukum yang diformulasikan melalui metodologi yang disebut ushul fiqh dapat berubah sesuai ruang dan waktu. Dari sini dapat dilihat kebutuhan dunia Islam kepada reformasi dan pembaruan pemikiran hukum Islam. Reformasi tersebut tidak hanya menyangkut hukum Islam sebagai fatwa, tetapi lebih penting lagi tentang fiqh sebagai hukum Islam yang dijalankan oleh negara ber-dasarkan perundang-undangan yang ber-sumber dari hukum ilahi dan legislasi manusia.
Oleh karena itu, dalam konteks usaha-usaha reformasi, yang segera menuntut elaborasi lebih lanjut adalah bahwa hukum Islam tidaklah a-historis. Hukum Islam harus mampu beradaptasi dan dibumikan dalam sistem nilai sosial yang meling-kupinya. Bukannya hanya bersifat idealistis yang tidak menyentuh realitas. Atau semestinya pemikiran hukum Islam lebih “berorientasi dan berfalsafah sosial”, agar normatifitas Islam tidak akan kehilangan konteksnya, karena senantiasa memperoleh terjemahan dan aplikasinya melalui akti-vitas intelektual secara kreatif dan dinamis.
Di sinilah KHI menempati posisi penting dalam era pemikiran hukum Islam di Indonesia. Ia mewakili proses pembaruan hukum Islam yang “kontekstual” dengan mengambil karakter keindonesiaan serta mengakomodasi nilai-nilai kultural dan aktual.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t,th.
Fazlur Rahman, Islam. Bandung: Pustaka, 1994
J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World. New York: New York University Press, 1956
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press, 1964
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad. t.p.: t.tp., t,th.
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996
Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah . t.tp.: Dar al-Qalam, 1966
 Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400 H/1980 M
 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993
 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981
Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islam. Beirut: Dar al-Qalam, 1981
Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1994
Rifyal Ka’bah et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis & Pembaharuan Visi Salaf . Jakarta: Penerbit Minaret, 1978
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia. t.tp., t.th.
Subhi Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961
Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994
Ziya Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and Western Civilization. New York: Columbia Uneversity Press, 1959

Catatan Akhir:
[1]Pada kenyataannya, pemikiran atau institusi hukum selalu berperan dalam upaya pengaturan masyarakat; sebagai pedoman praktis dalam ibadah maupun relasi sosial. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 184. Kitab al-Muwaththa’, misalnya, adalah karya hukum Imam Malik atas permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur. Subhi Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961), h. 82-3. Tentang peranan hukum Islam dalam organisasi masyarakat , lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 236.
2M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 695.
3Rifyal Ka’bah et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis & Pembaharuan Visi Salaf (Jakarta: Penerbit Minaret, 1978), h. 49-50.
4Lihat Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Qalam, 1981), h. 11.
5Lihat Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (t.tp.: Dar al-Qalam, 1966), h. 12.
6Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (t.tp., t.th.), h. 21-27.
7Teori ini dikemukakan secara ringkas oleh sosiolog dan pemikir Turki, Ziya Gokalp. Lihat Ziya Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and Western Civilization, (New York: Columbia Uneversity Press, 1959), h. 200.
8Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th.), h. 177. Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400 H/1980 M), h. 307.
9Schacht misalnya, menyatakan bahwa hukum islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari pola hidup muslim serta merupakan inti dari saripati Islam itu sendiri. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University Press, 1964), h. 1. Pernyataan senada diungkapkan Anderson, bahwa ia mencerminkan jiwa bangsa bersangkutan secara lebih jelas dari lembaga apa pun. J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1956), h. 96.
10Hal ini dapat dirujukkan kepada penjelasan bahwa al-Qur’an berposisi sebagai jawaban atau respon terhadap fenomena-fenomena tertentu. Lihat Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 43. Sedangkan Rahman menyatakan bahwa memang sejak awal, tujuan praktis tertentu telah merupakan bagian dari konsep syari’ah. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141.
11M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (t.p.: t.tp., t,th.), h. 107.
12Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 46.
13Lihat Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 1.
14Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 82.
15Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 78.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar