Budiman
Sulaeman
Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: nihlah_budiman@yahoo.co.id
Abtract: Muslim
community is very much dependant upon classic fiqh books,
so that they are fiqh-minded. They assume that the product of fiqh
in classic books is identical with Divine law. It is this phenomenon of
sacralization that that makes Islamic law stagnant in Muslim counties.This
problem must be overcome by inserting the understanding that Islamic law in its
normative level should be present as a solution to actual social problems. In
this regard, the methodology of classic Islamic legal theory (ushûl fiqh)
and fiqh should be considered as a historical response towards their
contemporary situations.
Kata
Kunci:
Reformation, Islamic Law
I. PENDAHULUAN
Kuatnya
tradisi pemikiran fiqh di dunia Islam, sesungguhnya bukan meng-ada-ada. Paling
tidak, hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa esensi masyarakat Islam terletak
pada kesadaran akan pen-tingnya perilaku hidup berdasarkan ajaran wahyu.
Artinya keberagamaan seseorang baru bermakna jika ajaran agama itu
termanifestasi dalam perilaku hidup sehari-hari.
Sementara
itu, proses legislasi tradisi-onal telah meniscayakan tumbuhnya tradisi
pemikiran fiqh secara intensif.1 Itulah
mengapa umat Islam selalu berupaya memformulasikan ajaran wahyu ke dalam
bentuk-bentuk formal sebagai norma hidup. Selanjutnya, praktek ini melahirkan
satu kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ahli hukum atau fuqahâ.
Di
Indonesia, kecenderungan tersebut tampak begitu kental. Ketergantungan pada
kitab-kitab hukum Islam klasik, membawa masyarakat pada pola pikir fiqhî.
Klaim terhadap kaum santri yang “fiqh oriented”, secara jelas menegaskan
fenomena tersebut. Begitu juga terminologi dan dominasi ulama yang berkembang
lebih identik ulama fiqh.2 Puncaknya
ialah ketika sejumlah kitab fiqh Syafi’i (13 kitab) direkomendasikan sebagai
referensi hukum pada Pengadilan Agama, semakin menun-jukkan bahwa pemikiran
hukum Islam yang berkembang lebih terkonsentrasi pada tra-disi fiqh
tradisional.
Hanya
saja, seringkali orang salah mengerti. Fiqh dipandang berharga mati.
Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh dilihat identik dengan aturan
Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu sendiri, bukannya sebagai
bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sakrali-sasi inilah salah satu
faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum Islam.
Karena
itu, reformasi dalam penger-tian pengembangan pemikiran hukum Islam menjadi
sebuah keniscayaan.
II. PEMBAHASAN
1.
Reformasi Hukum
Terdapat
“konsensus” dalam masya-rakat Indonesia bahwa jatuhnya rezim Soeharto menandai
lahirnya sebuah era baru yang disebut era reformasi. Meskipun terminologi ini
masih menjadi perdebatan, khususnya di kalangan ahli hukum. Sebutlah misalnya,
Prof. Ahmad Ali, dalam setiap kesempatan, enggan menyebutnya sebagai era
reformasi, tapi lebih senang menggunakan terminologi “era yang kata-nya
reformasi”. Salah satu tuntutan masyarakat adalah reformasi hukum.
Reformasi
adalah istilah Inggris “reform” atau “reformation” yang berarti “change”
(perubahan). “improvement” (per-baikan), “betterment” (peningkatan),
“correction”3 (pembetulan) atau pengertian lain yang
mirip. Reformasi dalam bidang hukum tidak lepas dari pengertian per-ubahan,
perbaikan, peningkatan dan pem-betulan terhadap sistem hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang berlaku selama ini. Reformasi hukum Indonesia
tidak lepas dari tiga sifat, yaitu spiritual, teologis, dan politikal. Bersifat
spiritual, karena reformasi hukum menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat sebagai warisan spiritual bangsa Indonesia. Ia bersifat teologis,
karena hukum bagi mayoritas bangsa Indonesia yang terdiri dari umat Islam tidak
dapat dipisahkan dari pandangan teologis, yaitu hukum bagi mereka adalah
perintah ilahi yang harus dijalankan dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Ia bersifat politikal, karena gerakan reformasi hukum membutuhkan usaha politik
dan kekuasaan negara.
Dalam
Islam, ada tiga istilah yang berkaitan dengan reformasi; yaitu tajdîd
(pemurnian), taghyîr (perubahan), dan ishlâh (perbaikan). Tajdîd
berarti pemur-nian dengan kembali kepada ajaran asli Islam sebagai termaktub
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang melakukan pe-murnian disebut mujaddid
(pemurni), yaitu orang yang mengembalikan agama yang sudah menyimpang kepada
pengertian aslinya. Penyimpangan tersebut dapat terjadi pada teks agama, atau
pemahaman-nya, atau prakteknya atau pada semuanya.
Taghyîr
adalah perubahan. Allah telah menciptakan alam ini cocok untuk kehidupan bila
manusia mengikuti aturan yang digariskan dalam sunnah kehidupan dan sunnah
Allah. Sunnah kehidupan adalah jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia di
bumi agar manusia dapat hidup dengan aman, makmur dan sentosa. Untuk itu, ia
harus belajar, berpikir, berkreasi, mengatur kehidupan bersama dan membangun
peradaban. Manusia sebagai ciptaan Allah berpotensi untuk itu. Demi memantapkan
kehidupan dunia yang lebih baik dan memastikan keselamatan hidup di akhirat,
Allah me-nurunkan wahyu untuk membimbing manusia. Reformasi dalam pengertian taghyîr
adalah usaha pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum kehidupan
dan hukum Allah dalam diri pribadi, masyarakat dan negara.
Sedangkan
ishlâh berasal dari kata shalâh yang berarti antonim dari kata fasâd
(kerusakan). Reformasi dalam pengertian ishlah adalah usaha perbaikan
yang dilaku-kan terhadap sektor-sektor yang sudah rusak dalam kehidupan
individu, masya-rakat dan negara, khususnya dalam bidang hukum. Bila usaha
perbaikan tidak dilakukan, maka kondisi pribadi akan bertambah buruk dan
masyarakat atau negara akan hancur. Reformasi pemikiran hukum Islam dapat
dilihat dari pengertian reformasi seperti telah dikemukakan.
2.
Hukum Islam
Historisitas
perkembangan hukum Islam di Indonesia merupakan salah satu mata rantai sejarah
perkembangan hukum Islam secara umum. Ia terlahir dari hasil perkawinan antara
hukum Islam normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Untuk
itu, pengertian hukum Islam (fiqh) dalam konteks ini menjadi lebih spesifik. Untuk
menyebut hukum Islam, sering digunakan istilah syari’ah atau fiqh. Penggunaan
kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menyebut hukum Islam, pada level
tertentu memang benar. Tetapi jika dilihat secara lebih konseptual, keduanya
memiliki konotasi yang berbeda. Syari’ah adalah produk dari tasyrî’ ilâhî
yakni penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah produk tasyrî’ wadh’î, yakni
penetapan hukum yang dilakukan oleh mujtahid.4
Pada
umumnya, fiqh seringkali dipan-dang identik dengan hukum Islam dan hukum Islam
identik dengan hukum Tuhan. Dengan cara pandang seperti ini, maka kitab-kitab
fiqh dipandang sebagai kum-pulan hukum-hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan
adalah yang paling benar dan tidak berubah, maka kitab-kitab fiqh bukan lagi
dipandang sebagai produk yang bersifat keagamaan, melainkan dipandang sebagai
buku agama. Implikasinya, selama berabad-abad fiqh menduduki posisi yang sangat
terhormat sebagai bagian dari agama, dan bukan bagian dari produk pemikiran ke-agamaan.
Berdasarkan
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa syari’ah dengan fiqh adalah dua konsep
yang berbeda. Minimal ada empat perbedaan antara keduanya. Pertama,
dilihat dari sudut subyeknya, syari’ah ditetapkan oleh syârî’ (Allah),
sedangkan fiqh ditetapkan oleh manusia, dalam hal ini mujtahid atau fuqaha. Kedua,
syari’ah menempati kualitas wahyî, sedang-kan fiqh, karena di dalamnya
ada intervensi ra’yu (rasio), berkualitas ijtihâdî. Ketiga,
karena diciptakan oleh Tuhan dan ber-kualitas wahyî, maka syari’ah
memiliki tingkat kebenaran absolut, sedangkan fiqh memiliki tingkat kebenaran
relatif. Keempat, syari’ah bersifat eternal dan universal, sedangkan fiqh
bersifat temporal dan lokal (sangat terpengaruh oleh perubahan dimensi ruang
dan waktu).
Meskipun
fiqh merupakan produk pemikiran manusia, tetapi ia tetap dikategorikan sebagai
syari’ah5, sepanjang dikaji dengan
merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, baik melalui qiyâs maupun mashlahah,
sebab dengan qiyâs, seorang mujtahid membawa furû’ kepada nash,
sementara dengan mashlahah, ia berusaha memerhatikan
kepentingan-kepentingan ke-hidupan manusia. Pendekatan seperti ini telah memeroleh
legalitas dari nash.
Memerhatikan
Islam sebagai sumber hukum, maka secara ringkas hukum Islam sebenarnya adalah
ketentuan-ketentuan mengikat yang berasal dari Allah dan dari legislasi manusia
untuk pengaturan hidup individu dan masyarakat.6 Dalam
hubungan ini, hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyânî
semata dan yang bersifat diyânî dan qadhâ’î dalam waktu yang
sama.7 Diyânî adalah
kata sifat yang berasal dari kata dîn
yang antara lain berarti ketaatan dan ketundukan.8 Seluruh hukum Islam pada dasarnya bersifat diyânî
karena ia terserah kepada kesadaran masyarakat secara individu untuk pelaksa-naannya.
Sungguh pun demikian, sebagian hukum Islam, di samping bersifat diyânî juga
bersifat qadhâ’î. Disebut qadhâ’î karena ia berkaitan dengan
permasalahan yuridis. Qadhâ’î adalah kata sifat dari qadhâ yang
antara lain berarti pengadilan atau putusan pengadilan.
3.
Reformasi Pemikiran
Hukum Islam
Dalam
peta pemikiran Islam, kon-tribusi intelektual hukum Islam menempati posisi
cukup signifikan. Bahkan sebagian sarjana menyatakannya sebagai satu subjek
terpenting dalam kajian Islam.9 Oleh karena itu, jika boleh disebut
dengan salah satu produknya, maka peradaban Islam sesung-guhnya lebih identik
dengan “peradaban hukum”. Kesan tersebut sebenarnya tidak terlalu berlebihan,
karena secara kualitatif dan kuantitatif, tampak bahwa hukum Islam (fiqh)
menempati posisi teratas di antara produk-produk intelektual Islam. Harus pula
diakui bahwa karya-karya hukum Islam (fiqh) merupakan khazanah pemi-kiran yang
paling banyak tersebar di dunia Islam, sehingga berpengaruh terhadap perilaku
individu dan sosial serta mem-bentuk pola pikir masyarakat. Pada akhirnya,
secara umum diakui bahwa kecemerlangan pemikiran hukum Islam mempengaruhi
pasang surut peradaban Islam dalam sejarah.
Telah
disebutkan pada bagian pen-dahuluan bahwa, seringkali orang salah mengerti.
Fiqh dipandang berharga mati. Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh
dilihat identik dengan aturan Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu
sendiri, bukannya sebagai bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sacra-lisasi
inilah salah satu faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum
Islam di Indonesia.
Hal
inilah yang segera menuntut elaborasi lebih lanjut, bahwa hukum Islam dalam
pengertian normatif pun hadir sebagai solusi10 terhadap persoalan-per-soalan
(yuridis-moral) kemasyarakatan (baca: kemanusiaan) yang selalu aktual. Demikian
pula metodologi hukum Islam klasik yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh-
maupun produk jadinya, fiqh, harus tetap dibaca sebagai hasil pergumulan dengan
sejarah.11
Sementara
itu, kemajuan iptek tidak dapat disangkal telah memengaruhi semua struktur
lapisan masyarakat. Akibatnya, terjadi pergeseran dan transformasi nilai atau
norma sosial dan budaya dalam berbagai bentuk dan variasinya. Fenomena-fenomena
ekstrinsik keagamaan, seperti, isu-isu kemanusiaan dan peradaban menjadi
tantangan besar terhadap Islam yang selanjutnya mengerucut pada bidang hukum
positifnya. Hal ini cukup menggugah kesadaran intelektual dari banyak kalangan,
dan kesadaran akan perlunya pemikiran kembali berbagai ajaran historis Islam
selama ini.
Reformasi
pemikiran hukum Islam sebagai jawaban terhadap realitas kekinian, dengan
demikian haruslah menjadi satu agenda tersendiri dalam wacana fiqh kontemporer.
Tak terkecuali juga klaim universalitas sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin
dan karenanya sâlihun li kulli zamân wa makân, dalam konteks ini tentu
saja sangat signifikan. Ia akan sia-sia apabila pada saat yang sama tidak
diterjemahkan dan diaplikasikan secara membumi di tengah kompleksitas sosial
yang ada. Bahkan akan muncul gugatan di sana-sini tentang misi Islam, “apakah
ia telah berakhir?”.
Anggapan
bahwa kitab-kitab fiqh plus produk fiqhnya merupakan kumpulan
hukum-hukum Tuhan, hemat penulis, harus direformasi, dalam pengertian diubah,
diperbaiki, ditingkatkan dan dibetulkan.
Jika
dilihat dari perspektif historis-nya, hukum Islam pada awalnya merupakan suatu
kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
sejumlah mazhab yang responsif terhadap tantangan sejarahnya masing-masing dan
memiliki coraknya sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis
tempat mazhab itu tumbuh dan berkembang.
Ciri
khas hukum Islam yang demikian ini terutama disebabkan oleh kuatnya tradisi
ijtihad yang oleh Iqbal disebut sebagai “prinsip gerak dalam struktur Islam”.12 Dengan prinsip ini, generasi muslim awal mengurai
problematika hukum yang mereka hadapi secara dinamis dan kreatif. Diktum-diktum
hukum yang terlahir sebagai produk dari pemikiran hukum Islam (baca: ijtihad)
menjadi benar-benar aktual, karena ia merupakan respons langsung terhadap
problematika hukum yang berkembang saat itu.
Seiring
berlalunya waktu, perkem-bangan hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa
awal kemudian menjelma ke dalam bentuknya yang baru. Hukum Islam menjadi statis
dan kurang apresiatif terhadap laju perkembangan masyarakat, khususnya setelah
terjadi kristalisasi mazhab-mazhab fiqh. Dengan berakhirnya pembentukan keempat
mazhab sunni di abad ke-9 dan ke-10, hukum Islam lambat laun berhasil dibakukan
dan dianggap sebagai hukum ilahi yang tidak boleh diubah dan tidak membutuhkan
tambahan inovasi. Akhirnya tradisi ijtihad menjadi barang langka dan mencapai
anti klimaks-nya ketika merebak doktrin insidâd
bâb al-ijtihâd (tertutupnya pintu ijtihad). Tradisi ijtihad kemudian diambil
alih oleh tradisi taqlid yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi
lâ kayfa (taken for granted) terhadap doktrin mazhab-mazhab.
Namun,
bukan berarti bahwa aktivitas pemikiran hukum Islam telah berhenti sama sekali.
Ia tetap ada meskipun dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda serta laju
perkembangannya yang menurut Atho Mudzhar, agak terlambat. Tugas pemikiran
hukum Islam tetap dilaksanakan oleh sedikitnya dua golongan, yaitu qadhi dan mufti. Golongan yang
disebut pertama melakukan pemikiran hukum Islam melalui keputusan pengadilan (jurisprudensi),
sedang golongan kedua melalui fatwa-fatwa (legal opinion).13 Hanya
saja, produk-produk pemikiran hukum Islam pada qadhi dan mufti
seringkali tidak mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat dan cenderung a-historis,
karena ia tidak didasarkan pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum kontemporer
dengan visi hukum dan visi sosial kontemporer, tetapi sekadar diambil dari produk-produk pemikiran hukum
masa lalu yang jelas tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan hukum kontemporer.
Secara
sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat
sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ini berarti, muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang
sedang tumbuh dan berkembang. Hukum
bukan sekadar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban,
melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasi pemikiran dan
merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Berpijak pada pemi-kiran
seperti ini, tampak bahwa antara upaya ijtihad di satu sisi dan tuntutan
perubahan sosial di sisi lain, terdapat suatu interaksi.
Memang
harus disadari bahwa sifat hubungan yang tumpang tindih antara Islam normatif
dengan formulasi hukum (fiqh) Islam yang historis, menjadikannya mengalami
kesulitan luar biasa. Hal ini pulalah yang menghambat untuk mencapai
rekonstruksi hukum Islam. Ia tidak dapat direformasi jika para ulama dan umat
pada umumnya masih skeptis dan jumud.14 Problem epistemologis inilah yang
harus mendapatkan solusi.
Kekacauan
hubungan yang terjadi antara Islam sebagai agama normatif dengan formulasi
hukum yang historis sesungguhnya tidak terlepas dari bang-krutnya tradisi
intelektualitas dunia Islam pasca a’immah al-madzâhib. Kristalisasi
pemikiran-pemikiran yang maju terhadap Islam yang terlembaga di dalam
mazhab-mazhab fiqh klasik dianggap telah baku dan tidak perlu diijtihadkan
kembali.
Ulama
ushul fiqh misalnya, di-pengaruhi aliran teologi tertentu, mengon-sepsikan hukum
sebagai qadîm, yaitu sudah ada sejak azali. Konsep ini direproduksi oleh
ahli-ahli hukum modern, bahwa “hukum ilahi itu mengontrol dan tidak dikontrol
oleh masyarakat”. Konsepsi semacam inilah yang menggiring fiqh ke dalam bingkai
status quo yang sakral.
Berawal
dari sinilah, fenomena insidâd bâb al-ijtihâd, menandai redupnya pamor
Islam, yang diperparah oleh maraknya polemik dan kontroversi yang cukup tajam
(baca: khilâfiyyah). Umat pada akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang
sulit dibedakan antara yang sakral dan yang tidak sakral. Karena itu, wacana
reformasi pemikiran hukum Islam perlu penegasan. Penegasan dimaksud adalah
bahwa sebenarnya hukum Islam tidaklah bersifat a-historis. Ia hadir tidak dalam
kevakuman sejarah. Sebaliknya, ia hadir di tengah rentetan konteks peradaban
manusia yang kompleks. Pemahaman “tekstual” terhadapnya, menjadi tidak relevan.
Di sinilah kemudian para pembaru umumnya mengajukan pemahaman kontekstual,
yaitu dengan memahami semangatnya, sesuai alur sejarahnya.
Sebagai
konsekuensinya, fiqh yang pada hakikatnya merupakan hasil pema-haman manusia di
bidang hukum, haruslah dilihat sebagai tidak sakral, karena berasal dari
pembacaan dan pergumulan penulisnya dengan aneka ragam aspek kemanusiaan yang
menyejarah. Karakter lokalitas ruang dan waktu adalah sebuah keniscayaan. Ciri
rasionalitas Abu Hanifah misalnya, atau moderatnya Imam Syafi’i dan fundamen-talnya
pemikiran Ahmad Ibn Hanbal serta Imam Malik yang terkenal dengan
ketradisionalannya, jelas menunjukkan ekspresi kultural dan sifat
kesejarahannya masing-masing.
Untuk
kasus di Indonesia, stagnasi pemikiran hukum Islam itu setidaknya berlangsung
sampai dekade 70-an. Meski telah ada upaya pembaruan pemikiran, seperti gagasan
“Fiqh Indonesia” Hasbi Ash-Shiddieqie dan ide Hazairin tentang “Mazhab
Nasional”, tetapi belum mampu menggugah kelesuan pemikiran hukum Islam. Ini terlihat dari lemahnya respon positif
terhadap gagasan kreatif tersebut. Juga dikarenakan belum tersusunnya ide
pembaruan secara sistematis.15
Sebagai
sebuah tradisi yang men-jembatani gap antara law in book dengan law
in action, kehadiran fatwa MUI misalnya, sesungguhnya amat strategis bagi
pengembangan pemikiran hukum Islam. Namun harus diakui adanya kesan lamban
dalam mengantisipasi perkembangan baru, terutama ketika berbenturan dengan
realitas interest politik, dan seringkali terkesan reaktif.
Aktualisasi
dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia mencapai puncaknya dengan kehadiran
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya KHI menandai sejarah baru pemikiran hukum
Islam di Indonesia dan menyambung mata rantai lingkaran ide-ide reformatif.
Lahirnya pemikiran fiqh sosial, seperti “Menggagas Fiqh Sosial” dan “Nuansa
Fiqh Sosial” karya K.H. Ali Yafie dan K.H. Sahal Mahfuzh, dan tawaran Qadri
Azizy yang menggagas cara pandang baru dalam bermazhab dan berijtihad, dan
lain-lain memberi harapan kepada corak reformatif kontekstual yang akan
mewarnai per-ubahan-perubahan hukum Islam di masa depan.
III.
KESIMPULAN
Deskripsi
singkat di atas cukup menegaskan bahwa hukum (fiqh) Islam sebagai pemahaman dan
hukum yang diformulasikan melalui metodologi yang disebut ushul fiqh dapat
berubah sesuai ruang dan waktu. Dari sini dapat dilihat kebutuhan dunia Islam
kepada reformasi dan pembaruan pemikiran hukum Islam. Reformasi tersebut tidak
hanya menyangkut hukum Islam sebagai fatwa, tetapi lebih penting lagi tentang
fiqh sebagai hukum Islam yang dijalankan oleh negara ber-dasarkan
perundang-undangan yang ber-sumber dari hukum ilahi dan legislasi manusia.
Oleh
karena itu, dalam konteks usaha-usaha reformasi, yang segera menuntut elaborasi
lebih lanjut adalah bahwa hukum Islam tidaklah a-historis. Hukum Islam harus
mampu beradaptasi dan dibumikan dalam sistem nilai sosial yang meling-kupinya.
Bukannya hanya bersifat idealistis yang tidak menyentuh realitas. Atau
semestinya pemikiran hukum Islam lebih “berorientasi dan berfalsafah sosial”,
agar normatifitas Islam tidak akan kehilangan konteksnya, karena senantiasa
memperoleh terjemahan dan aplikasinya melalui akti-vitas intelektual secara
kreatif dan dinamis.
Di
sinilah KHI menempati posisi penting dalam era pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Ia mewakili proses pembaruan hukum Islam yang “kontekstual” dengan mengambil
karakter keindonesiaan serta mengakomodasi nilai-nilai kultural dan aktual.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani,
Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t,th.
Fazlur
Rahman, Islam. Bandung: Pustaka, 1994
J.N.D.
Anderson, Islamic Law in the Modern World. New York: New York University
Press, 1956
Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University
Press, 1964
Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
M.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad. t.p.: t.tp., t,th.
M.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996
Mahmud
Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah . t.tp.: Dar al-Qalam, 1966
Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam
al-Wasith. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400 H/1980 M
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The
Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia
1975-1988. Jakarta: INIS, 1993
Mohammad Iqbal, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981
Muhammad
Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islam. Beirut: Dar al-Qalam,
1981
Nouruzzaman
Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997
Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1994
Rifyal
Ka’bah et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis &
Pembaharuan Visi Salaf . Jakarta: Penerbit Minaret, 1978
Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia. t.tp., t.th.
Subhi
Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li
al-Malayin, 1961
Taufiq
Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994
Ziya
Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and Western
Civilization. New York: Columbia Uneversity Press, 1959
Catatan Akhir:
[1]Pada
kenyataannya, pemikiran atau institusi hukum selalu berperan dalam upaya
pengaturan masyarakat; sebagai pedoman praktis dalam ibadah maupun relasi
sosial. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 184. Kitab al-Muwaththa’, misalnya, adalah karya hukum Imam
Malik atas permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur. Subhi Mahmassani, Falsafah
at-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961), h. 82-3.
Tentang peranan hukum Islam dalam organisasi masyarakat , lihat: Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1994), h.
236.
2M. Dawam
Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 695.
3Rifyal Ka’bah
et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis &
Pembaharuan Visi Salaf (Jakarta: Penerbit Minaret, 1978), h. 49-50.
4Lihat Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal
li al-tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Qalam, 1981), h. 11.
5Lihat Mahmud Syaltut, al-Islam
‘Aqidah wa Syari’ah, (t.tp.: Dar al-Qalam, 1966), h. 12.
6Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di
Indonesia, (t.tp., t.th.), h. 21-27.
7Teori ini
dikemukakan secara ringkas oleh sosiolog dan pemikir Turki, Ziya Gokalp. Lihat
Ziya Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and
Western Civilization, (New York: Columbia Uneversity Press, 1959), h. 200.
8Al-Ashfahani, Mu’jam
Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th.), h. 177. Majma
al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400
H/1980 M), h. 307.
9Schacht misalnya,
menyatakan bahwa hukum islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi
paling tipikal dari pola hidup muslim serta merupakan inti dari saripati Islam
itu sendiri. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:
Oxford University Press, 1964), h. 1. Pernyataan senada diungkapkan Anderson,
bahwa ia mencerminkan jiwa bangsa bersangkutan secara lebih jelas dari lembaga
apa pun. J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York:
New York University Press, 1956), h. 96.
10Hal ini dapat
dirujukkan kepada penjelasan bahwa al-Qur’an berposisi sebagai jawaban atau
respon terhadap fenomena-fenomena tertentu. Lihat Taufiq Adnan Amal, Tafsir
Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 43. Sedangkan Rahman
menyatakan bahwa memang sejak awal, tujuan praktis tertentu telah merupakan
bagian dari konsep syari’ah. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka,
1994), h. 141.
11M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang
Ijtihad, (t.p.: t.tp., t,th.), h. 107.
12Mohammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan,
1981), h. 46.
13Lihat Mohammad
Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic
Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 1.
14Nouruzzaman
Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), h. 82.
15Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994), h. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar