Rabu, 28 Januari 2015

TA’LIK TALAK DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Perbandingan)

TA’LIK TALAK DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
(Analisis Perbandingan)
Muh. Sudirman Sesse
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
E-mail: sumantri123@yahoo.com
Abstract: This paper describes the problem Ta'lik Separations Fiqhi perspective and Compilation of Islamic Law. Discussion of the results obtained by the understanding that: the problem Ta'lik Separations, deviation occurs among the jurists, some of which allow and disallow others. While in Indonesia Ta'lik Separations has existed since the Dutch era, and has undergone many changes even at the time of independence to the present, the formula had been established by the Ministry of Religious Affairs in order to protect his wife from ill-treatment from her husband. In the administrative procedures for the settlement of marriage Indonesia, proof of being part Ta'lik Divorces are very important in order to meet the demands of applicable legislation for citizens, especially Muslims, this is important because it is one evidence in court, in case of contested divorce.
Kata Kunci: Ta’lik Talak, Fiqhi, Kompilasi Hukum Islam

I. PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 38 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan karena ada tiga faktor yaitu, karena kematian, karena perceraian dan karena putusan pengadilan.
Di Indonesia pada umumnya per-kawinan putus lewat perceraian dengan memakai lembaga Ta’lik Talak, walaupun tidak sedikit yang putus karena putusan pengadilan, seperti gugat cerai dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak.
Ta’lik Talak sudah ada sejak dahulu, hal ini dibuktikan bahwa hampir seluruh perkawinan di Indonesia yang dilaksana-kan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan shigat Ta’lik oleh suami. Walaupun shigat-nya harus dengan suka rela, namun di negara kita menjadi seolah-olah sudah kewajiban yang harus di-lakukan oleh suami. Shigat Ta’lik di-rumuskan sedemikian rupa dengan mak-sud agar sang isteri memperoleh per-lakuan yang tidak sewenang-wenang oleh suaminya, sehingga akibatnya jika isteri diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dan dengan keadaan itu, isteri tidak ridha, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak tadi.
Bila kembali dilihat dalam Undang-Undang Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya, maka tidak ada disebut-kan alasan perceraian dengan mendasar-kan pada Ta’lik Talak.1
Sebagai bahan pemikiran dalam kajian ini, berikut dikemukakan beberapa pendapat fuqaha mengenai perjanjian Ta’lik Talak.
Menurut Sulaiman Rasyid2, dalam bukunya “Fiqh Islam” menyebutkan adanya perjanjian Ta’lik Talak yang berlaku di negara kita. Menurut beliau, dalam praktek penyelesaian perkara Ta’lik Talak sekarang ini banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, akibatnya sering menimbulkan mudharat yang besar baik dari pihak suami maupun isteri.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa bila Ta’lik Talak itu dimaksudkan untuk perlindungan isteri dari perbuatan sewenang-wenang oleh suaminya, maka masih ada cara lain dalam Islam yang dapat dipergunakan, karena itu beliau sangat berharap agar perceraian dengan alasan Ta’lik Talak itu ditiadakan.
Sementara itu, Dr. Mahmud Syaltout dalam bukunya Perbandingan Mazhab, menjelaskan bahwa perceraian lewat perjanjian Ta’lik Talak adalah jalan terbaik dalam melindungi wanita atas perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah meng-adakan perjanjian Ta’lik Talak ketika akad nikah akan dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian Ta’lik Talak dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik atau perjanjian, sehingga terjadinya pelang-garan bagi pihak suami, maka isteri dapat meminta cerai kepada pengadilan.3
Mengingat luasnya cakupan dari pada judul ini, maka dibatasi pem-bahasannya pada beberapa masalah hukum acara dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama terutama gugatan cerai dengan alasan Ta’lik Talak. Karena kajiannya bersifat analisis perbandingan, maka pembahasan akan diuraikan berama-sama.
II. PEMBAHASAN
A.  Eksistensi Ta’lik Talak
Pembahasan tentang Ta’lik Talak sebagai alasan perceraian, nampaknya telah dibicarakan oleh para fuqaha dalam berbagai kitab fiqh, dan ternyata mereka berbeda pendapat tentang hal itu. Per-bedaan tersebut hingga sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam. Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat, yakni ada yang mem-bolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat-syarat ter-tentu. Mereka yang membolehkan secara mutlak yakni bahwa mereka memper-bolehkan semua bentuk shigat Ta’lik, baik yang berbentuk syarthi maupun qasamy. Sedangkan yang hanya membolehkan ialah shigat Ta’lik yang bersifat syarthi yang sesuai dengan maksud dan tujuan hukum syara’.4
Secara yuridis mengenai alasan perceraian, sebagaimana dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, keduanya tidak menyinggung mengenai Ta’lik Talak sebagai alasan perceraian, hal ini dimaksudkan kedua pasal itu sudah cukup memadai. Sesuai dengan jiwa Undang-Undang itu, yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.
Dalam hubungan ini, M. Yahya Harahap, SH., menyatakan bahwa UU Perkawinan tidak menutup perceraian dan pada saat yang bersamaan juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. oleh karena itu, apa yang telah diatur dalam aturan-aturan perundangan di-anggap cukup memadai untuk mensejajari kebutuhan masyarakat. apalagi jika dilihat dari keluwesan pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 yang dikaitkan dengan perluasan alasan melalaikan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian yang kita miliki lebih dari cukup dan tidak perlu lagi ditambah.5
Bila dilihat dari segi peraturan per-undangan, maka jelas bahwa dalam alasan perceraian yang berlaku di Indonesia tidak disebut-sebut Ta’lik Talak, demikian halnya jika Ta’lik Talak dikategorikan sebagai perjanjian perkawinan karena ditetapkan secara serta merta pada saat berlangsungnya perkawinan, maka secara tegas UU Perkawinan dalam penjelasan pasal 29 dinyatakan bahwa dalam hal ini tidak termasuk Ta’lik Talak6 yang memberi pengertian bahwa UU Per-kawinan tidak mengenal lembaga Ta’lik Talak.
Dari kondisi obyektif perundangan tersebut di atas, jika diuraikan dengan fakta yang ada bahwa nampaknya tidak sedikit perkara cerai gugat dengan alasan Ta’lik Talak yang masuk di Pengadilan Agama setiap tahunnya, maka apakah yang demikian dapat dikatakan bahwa Pengadilan Agama telah membenarkan alasan perceraian di luar Undang-Undang? Untuk menjawab hal ini, berikut perlu dikemukakan beberapa hal,7 yaitu:
1.    Ta’lik Talak dilihat dari esensinya sebagai perjanjian yang meng-gantungkan kepada syarat dengan tujuan utama melindungi isteri dari kemudharatan atas kesewenangan suami.
2.    Ta’lik Talak sebagai alasan per-ceraian telah melembaga dalam hukum Islam sejak lama, sejak zaman sahabat. Sebahagian besar ulama sepakat tentang sahnya.
3.    Substansi shigat Ta’lik Talak yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dipandang telah cukup memadai dipandang dari asas hukum Islam ataupun jiwa UU Perkawinan.
4.    Di Indonesia, lembaga Ta’lik Talak secara yuridis formal telah berlaku sejak zaman Belanda, berdasarkan Staatblad 1882 No. 152 sampai setelah merdeka. Dan pada saat sekarang, dengan diberlakukannya KHI melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 yang antara lain mengatur tentang Ta’lik Talak, maka Ta’lik Talak dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
Dari keempat hal tersebut, kiranya dapat memberi landasan hukum Ta’lik Talak tetap berlaku di lingkungan Pengadilan Agama, di mana Ta’lik Talak secara substansial dalam KHI dapat dilihat dari dua segi, yakni sebagai perjanjian perkawinan dan sebagai alasan perceraian.
Dan dari dua segi itu, bila dilihat dari sistematika penyusunan KHI, nampaknya KHI lebih menitikberatkan pada esensinya sebagai perjanjian perkawinan. Hal ini nampak pada pemuatannya pada pasal 45 dan 46 diatur lebih rinci dari pada pemuatannya dalam Bab XVI tentang putusnya perkawinan pasal 116.
B.  Tentang Rumusan Ta’lik Talak
Sebagaimana telah disinggung ter-dahulu, bahwa para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai Ta’lik Talak. Bagi ahli hukum Islam yang mem-bolehkan, perbedaan di antara merekapun muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat Ta’lik Talak yang bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm ber-pendapat bahwa dari dua macam bentuk Ta’lik Talak (Qasamy dan Syarthi), keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan Ta’lik Talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah.8 Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Ta’lik Qasamy yang mengandung maksud, tidak mem-punyai akibat jatuhnya Talak.
Sementara itu, jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila sese-orang telah menta’likkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka Ta’lik itu dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik, baik itu mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan Talak itu tidak men-jatuhkan Talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi Talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan Ta’lik itu.9
Pendapat jumhur inilah nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan maksud agar bentuk sighat Ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseim-bangan antara hak Talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari per-buatan kesewenangan suami.
Bila dicermati rumusan Ta’lik Talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya,10 tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat Ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat Ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemer-dekaan (1940) maupun pasca kemer-dekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat Ta’lik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, men-dorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena ter-penuhi syarat Ta’lik dari segi perlin-dungan pada isteri.
Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat Ta’lik tentang membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat Ta’lik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.11
Oleh karena itu sighat Ta’lik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk Ta’lik Talak di luar yang ditetap-kan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
C. Beberapa Permasalahan di Sekitar Ta’lik Talak
1.  Kekuatan Berlakunya Ta’lik Talak
Ta’lik Talak dalam berbagai kitab fiqh dibahas demikian mendetail, ter-masuk tentang kekuatan berlakunya Ta’lik Talak yang telah diucapkan suami. Salah satu hal yang mempengaruhi kekuatan berlakunya Ta’lik Talak adalah lafaz yang digunakan dalam sighat Ta’lik.
Menurut kitab Qawanin al-Syar’iyah, jika Ta’lik Talak itu meng-gunakan kata ان (jika) atau اذا  (apabila) atau  متي (manakala) dan semacamnya, maka sighat Ta’lik itu berlaku sekaligus, artinya jika telah terjadi perceraian, baik karena Talak Raj’i maupun lainnya, maka kekuatan Ta’lik Talak yang diucapkan suami gugur adanya. 12
Lain halnya jika menggunakan kata كلما  (sewaktu-waktu), dan ini yang dipakai dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990, artinya jika sebelum terwujud syarat Ta’lik kemudian suami menjatuhkan Talak Raj’i dan kemudian suami me-rujuknya dalam masa iddah, maka Ta’lik Talak yang diucapkan suami tetap mempunyai kekuatan hukum, sehingga sewaktu-waktu terwujud syarat Ta’lik, maka isteri dapat menggunakan sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak.13
Namun bila terjadi Talak Ba’in atau kawin lagi, setelah lepasnya Talak Raj’i, Ta’lik Talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, sehingga jika suami isteri itu meng-hendaki berlakunya perjanjian Ta’lik Talak, maka harus diulang.14
2.  Bila Suami atau Isteri Tidak Mengetahui Isi Sighat Ta’lik Talak
Jika suami tidak mengetahui isi atau maksud sighat Ta’lik Talak yang diucap-kannya, maka hal itu harus dianggap tidak ada. Itulah sebabnya sehingga dalam surat nikah pada masa sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, selalu ada catatan-catatan untuk mereka yang kurang paham dengan bahasa Indonesia, oleh PPN harus menjelaskannya dalam bahasa daerah yang dipahami oleh para pihak sampai mereka paham, dan disuruhnya mengucapkan Ta’lik itu dalam bahasa daerah yang dipahami. Namun pada tahun 1950 tidak ada lagi catatan demikian, sehingga ada kemungkinan jika PPN  tidak menjelaskan isi sighat Ta’lik, suami atau isteri tidak dapat mengetahuinya. Jika terjadi kondisi demikian, maka perjanjian itu dianggap tidak ada dan batal demi hukum. Hal ini merujuk kepada Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa yang dianggap ada dalam  perjanjian adalah maksud pengertiannya, bukan berdasarkan ucapan dan bentuk kata-katanya.15
3.  Mengucapkan Sighat Ta’lik Talak Karena Terpaksa
Sebagaimana diketahui bahwa ke-beradaan Ta’lik Talak harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, karena perbuatan itu merupakan perbuatan hukum yang akan berakibat hukum pula.
Jika suami mengucapkan Ta’lik Talak karena dipaksa atau ada pemaksaan, maka Talak suami tidak jatuh, karena hal demikian berarti bukan kehendak bebas yang berarti pula bahwa taklif (pem-bebanan) harus dianggap tidak ada pula.
Dalam keadaan seperti itu, maka para ulama sepakat bahwa jika suami berakal, baligh dan berkehendak bebas, maka Talaknya dipandang sah dan sebaliknya jika terjadi hal itu dipandang sebagai perbuatan sia-sia.16 Dalam hubungan ini Nabi bersabda: “Umatku dibebaskan karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa”.17
Dalam praktek, jika terjadi hal demikian (Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan), maka hakim harus menolak gugatan isteri, karena tidak memenuhi syarat Ta’lik, atau tidak terjadi pelanggaran sighat Ta’lik. Pendapat inilah yang populer hingga sekarang.
Satu-satunya pendapat yang meng-anggap sah atas Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan adalah Imam Abu Hanifah, walaupun pendapat ini menyalahi pendapat jumhur.18
4.    Tidak Menandatangani Sighat Ta’lik
Secara yuridis dalam Permenag. No. 2 Tahun 1990 dkatakan bahwa untuk sahnya perjanjian Ta’lik Talak, maka suami harus menandatangani sighat Ta’lik yang diucapkannya sesudah akad nikah. Dari pernyataan ini dipahami bahwa antara pengucapan dan penandatanganan perjanjian Ta’lik Talak, keduanya bersifat kumulatif.
Dari keadaan demikian, bila dikaitkan dengan keadaan riil di lapangan masih sering terjadi, bahwa suami tidak menandatangani kutipan akta nikah, sekalipun dalam akta nikah dijelaskan bahwa suami mengucapkan Ta’lik Talak, kenyataan ini menunjukkan bahwa salah satu dari kedua syarat sahnya perjanjian Ta’lik Talak tidak terpenuhi, sehingga akibatnya perjanjian Ta’lik Talak tadi harus dianggap tidak sah atau batal.
Di pandang dari sudut kekuatan pembuktian, bahwa dalam kutipan akta nikah itu jelas bahwa suami mengucapkan sighat Ta’lik, maka hakim harus terikat terhadap apa yang tertera dalam kutipan akta nikah itu, karena pada dasarnya itu yang merupakan kekuatan pembuktian yang sempurna.19
Akan tetapi jika dilihat dari substansinya, maka Ta’lik Talak merupa-kan perjanjian suami isteri yang bersifat sukarela, yang ada atau tidak hanya ditentukan oleh para pihak (suami isteri) dengan tujuan memberikan keadilan bagi masing-masing pihak. Karena itu dalam kasus demikian, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk menilai bahwa penandatanganan tadi tak ubahnya sebagai suatu tindakan yang sifatnya lebih menunjukkan pada tindakan administratif.
Dari kondisi seperti itu, maka jalan keluar yang dapat dipakai adalah jika suami hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menunjukkan langsung padanya, dan jika suami mengaku, maka ia dipandang sah dan bila menyangkal, maka hakim harus memeriksa ada tidaknya perjanjian Ta’lik Talak sesuai dengan hukum yang berlaku. Sementara itu bila suami tidak hadir, maka isteri harus membuktikan bahwa suami mengucapkan sighat Ta’lik Talak. Dalam hal ini hakim tidak cukup memakai bukti keterangan kutipan akta nikah, tetapi harus dikuatkan oleh bukti lain seperti keterangan dari PPN di mana pernikahan itu dilangsungkan atau dengan keterangan saksi-saksi.
5.    Tanggapan Penulis Tentang Sighat Ta’lik
Walaupun dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya tentang sighat Ta’lik Talak, telah mendapatkan rumusan yang baku dari Departemen Agama sebagaimana adanya sekarang ini, namun nampaknya rumusan itu tidaklah bersifat final untuk selamanya. Hal ini dibuktikan bahwa Ta’lik Talak itu sendiri dalam pem-bahasan para fuqaha, terjadi ikhtilaf, ada yang membolehkan, ada pula yang tidak. Yang tidak membolehkan beralasan bahwa kalau hanya dengan alasan perlindungan isteri dari kesewenangan suami, masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh syari’at Islam.
Sekarang ini ada pemikiran sementara pakar, bahwa bolehlah kita sepakati di Indonesia ada Ta’lik Talak, namun rumusan itu hendaknya tidak bersifat paten dengan alasan, begitu mudahkah seorang perempuan mem-peroleh status mantan isteri dari seseorang (janda) hanya karena persoalan pelang-garan Ta’lik tadi.
Kedua permasalahan yang ber-hubungan dengan sighat Ta’lik dan Ta’lik Talak itu sendiri nampaknya memang masih perlu dikaji lebih jauh. Sebab bila dibaca berbagai pembahasan tentang hal ini dalam berbagai kitab fiqh, nampaknya tidak selamanya ke sepuluh asas dalam sighat Ta’lik yang ada itulah yang harus ada, akan tetapi mungkin dalam bentuk perjanjian yang lain yang lebih mengikat ketenteraman dalam rumah tangga.
Bahkan lebih jauh lagi, terdapat pemikiran bahwa, mengingat pelaksanaa Ta’lik Talak selama ini, tampaknya lebih mengarah kepada hal yang bersifat serimonial belaka, karena pelaksanaannya ditanyakan kepada calon mempelai wanita sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan. Di lain pihak, asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak sudah diramu sedemikian rupa, sehingga kecen-derungannya seolah-olah kasus semua rumah tangga di seluruh Indonesia persis apa yang ada dalam Ta’lik Talak itu. Sementara kekuatan hukumnya tidak terlalu kuat, karena tidak ada data pendukung kecuali pencatatan yang dilakukan oleh PPN belaka.
Berdasarkan dari pemikiran sepertri itu perlu dipikirkan ke depan tentang kemungkinannya diintegrasikan antara Ta’lik Talak dengan perjanjian per-kawinan, dengan pertimbangan bahwa jika Ta’lik Talak disatukan dalam perjanjian perkawinan, maka pemerik-saannya dilakukan jauhjauh sebelum akad nikah dilangsungkan, sehingga kedua belah pihak terbebas dari unsur keter-paksaan dan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan secara matang tentang isi perjanjian yang dilakukan keduanya. Di sisi lain, kekuatan hukumnya lebih kuat, karena jika dalam bentuk perjanjian maka harus ada pihak lain yang terlibat seperti saksi-saksi dan kalau perlu perjanjian itu dikeluarkan oleh Notaris, walau harus menambah sedikit biaya.
Adapaun asas-asas yang terdapat dalam Ta’lik Talak yang ada sekarang ini, bisa dimasukkan dalam kelompok pem-bahasan tentang pashah, sehingga tidak terdapat lagi unsur yang mengenyam-pingkan atau menghilangkan asas urgennya Ta’lik Talak itu sendiri, wallahu a’lam.
III.  KESIMPULAN
Dari uraian yang lalu, berikut dapat dirumuskan kesimpulan-kesimpulan yang sederhana:
1.    Mengenai Ta’lik Talak, terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha, di antaranya ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
2.    Di Indonesia nampaknya, Ta’lik Talak telah ada sejak zaman Belanda, dan telah mengalami banyak perubahan bahkan pada masa kemerdekaan sam-pai sekarang, rumusannya pun telah ditetapkan oleh Departemen Agama dengan maksud untuk melindungi isteri dari perlakuan sewenang-wenang dari suami.
3.    Dalam tata cara penyelesaian adminis-trasi perkawinan Indonesia, pembuk-tian tentang Ta’lik Talak menjadi bahagian yang amat penting demi memenuhi tuntutan perundang-undangan yang berlaku bagi warga negara, terutama yang beragama Islam, hal ini penting karena merupakan salah satu pembuktian di pengadilan, jika terjadi kasus cerai gugat. Wallahu A’lam Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. “Tafsir Al-Azhar”, Panji Masyarakat. Jakarta: t.p., 1981.
Manan, Abdul. “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI. Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
________. Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Cet. I; Jakarta: Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Liberty, 1976.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Al-Suyuthiy. Jami’ al-Saghir, Juz I. t.tp: t.p., t.th.
Syalthout, Mahmoud. Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Uthman, Sayyid. Qawanin al-Syar’iyah. Surabaya: Salin Nabhan, t. th.

Catatan Akhir:
1Lihat Abdul Manan, “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia “ dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h. 68.
2Lihat ibid., h. 69.
3Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet. I; Jakarta: Al-Hikmah, 2000), h. 245-246.
4Lihat Mahmoud Syalthout, Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 218-233.
5Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 71-72.
6Lihat Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar”, Panji Masyarakat (Jakarta: t.p., 1981), h. 71.
7Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 72-73.
8Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 123.
9Lihat Mahmoud Syalthout, op. cit., h. 237.
10Unsur pokok Ta’lik Talak: 1. Suami meninggalkan isteri, 2. Suami tidak memberi nafkah, 3. Suami menyakiti isteri, 4. Suami membiarkan isteri, 5. Isteri tidak ridha, 6. Isteri mengadu, 7. Pengaduan diterima, 8. Isteri membayar iwadh, 9. Jatuh Talak suami satu, 10. Uang iwadh dikuasakan kepada Pengadilan.
11Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 76.
12Lihat Sayyid Uthman, Qawanin al-Syar’iyah (Surabaya: Salin Nabhan, t. th.), h. 80.
13Lihat ibid.
14Lihat ibid.
15Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 87.
16Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
17Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthniy, Hakim dan Thabrani yang di-hasan-kan oleh Imam Nawawi. Selengkapnya lihat Al-Sunnah-Suyuthiy, Jami’ al-Saghir, Juz I (t.tp: t.p., t.th.), h. 600.
19Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
20Lihat Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Jakarta: Liberty, 1976), 105-116.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar