Rabu, 28 Januari 2015

ASPEK SOSIO-KULTURAL DALAM KITAB-KITAB FIKIH



ASPEK SOSIO-KULTURAL DALAM
KITAB-KITAB FIKIH
Rahman Ambo
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN ) Parepare
Email: rahman.ambo@yahoo.co.id
Abstract: This article outlines the aspects of socio-culturan problems in the books fikhi. From the discussion, it is understood that the concept of Islamic law reform must be based on the spirit to ground within the framework of the implementation of Islamic law through legislation and regulation. Therefore, the use of the methodology and multidisciplinary approach in establishing a very urgent law to be held. With the elaboration of classical methodologies and modern scientific approach will produce an objective study of jurisprudence, humane, and progressive. Due to advances in science and technological and globalization that swept the world today implicates the changes in social life. Changes that occur in a variety of fields, so it is certain that the social conditions also change with the level of thought patterns that develop. Law so that it can be because it is influenced by, the influence of foreign cultures, saturation of the system is established, and the level of belief against the law increasingly. There are many factors that affect birth of fiqh. The aspects that are directly related to the life of the clergy, so that it has relevance in shaping their thinking horizons. Aspects that include; a ) Political Aspects, b ) Cultural Aspects , 3 ) Social Aspects of social
Kata Kunci: Sosio Kultural, Kita-kitab Fikih


I.   PENDAHULUAN
Pendekatan sejarah hukum Islam sangat penting dilakukan untuk membaca ulang produk pemikiran para ulama klasik terutama pada hukum Islam (kajian fikih), sebab hasil pemikiran manusia tidak terlepas dari aspek sosial-kultural yang mengitarinya. Imam Syafi’i pernah memunculkan dua pandangan yang berbeda ketika berada pada dua tempat dan situasi. Produk pemikirannya ketika itu di-pengaruhi oleh aspek sosial budaya dimana beliau berada. karena produk pemikiran pada dasarnya adalah hasil pergumulan pemikirnya dengan lingkungan sekitarnya. Maka dapat dikatakan bahwa literatur-literatur klasik, seperti kitab fikih adalah hasil pergumulan pemikirnya dengan sosio-kultural lingkungannya. Kajian dengan pendekatan ini bertujuan untuk memahami dinamikan masyarakat tempat dimana suatu pemikiran itu lahir.
Reaktualisasi hukum Islam dapat dilakukan melalui pemberdayaan fikih dengan memahami bahwa fikih merupakan hasil produk pemikiran para ulama yang dipengaruhi oleh aspek sosio-kultural yang menyertainya. Produk pemikiran itu dijadi-kan sebagai suatu perangkat untuk meng-atasi persoalan-persoalan keagamaan yang berdimensi ibadah, muamalah. hukum keluarga, perdata dan pidana. sebab dapat dikatakan bahwa kajian kitab-kitab fikih berkutat pada aspek-aspek ini. Umumnya kalangan umat muslim cenderung berasumsi bahwa produk pemikiran fikih dianggap sebagai agama, karena peng-amalan dan penerapan sebagian besar ajaran agama bersumber dari fikih, seperti bagaimana tata cara bersuci, salat yang sah, berpuasa, ber-haji, maupun bagaimana seharusnya seorang muslim bertransaksi sesuai tuntunan syariat.
Reaktualisasi fikih dapat berjalan baik apabilah aspek-aspek yang me-mengaruhi lahirnya produk pemikiran itu dapat di-bedakan dan dilepaskan dari isi produk pemikiran itu. Faktor-faktor apa yang memengaruhi sehingga terjadi perbedaan dalam penetapan hukum ter-hadap suatu persoalan dapat disingkap. Kajian ini meskipun disatu sisi tidak berpretensi untuk membatalkan atau melahirkan hukum baru, namun reali-tasnya, ketika kajian dengan pendekatan sejarah ini diaplikasikan dalam usaha membaca ulang produk pemikiran fikih, maka dengan sendirinya dapat mere-konstruksi ulang produk pemikiran para ulama klasik yang tentunya mengarah pada lahirnya suatu hukum baru. Contoh qaul qadi>m dan qaul jadi>dnya Imam Syafi’i menjadi bukti nyata arah dan orientasi kajian dengan pendekatan sejarah sosiologi itu.
Seiring dengan kemajuan dan per-kembangan zaman, persoalan yang dihadapi umat manusia sangat dinamis dan kompleks. Situasi dan kondisi senantiasa mengalami perubahan seiring dengan pergerakan manusia yang semakin intens. Intensitas perubahan itu terjadi pada berbagai aspek yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun arus globalisasi yang melanda dunia saat ini. Kajian fikih tidak dapat dilepaskan dari arus globalisasi itu, sehingga tantangan akan terus dihadapi bagi yang bergelut di bidang fikih (hukum Islam). Dapat dipastikan bahwa situasi dan kondisi lahirnya fikih klasik sangat jauh berbeda dengan situasi dan kondisi era high tekhnologi (kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi) seperti sekarang ini.
Dalam konteks hukum Islam, setelah sekian lama mewarisi pola pemikiran abad pertengahan yang cenderung konservatif, yang menolak adanya perubahan-perubahan dialektik, maka sejak abad modern para ahli hukum Islam semakin menyadari bahwa perubahan, baik melalui proses reformasi maupun pembaruan hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda. Meskipun reaktualisasi hukum Islam merupakan sesuatu yang urgen, namun para ahli hukum Islam hanya membolehkan kajian itu pada wilayah penafsiran terhadap teks dan cara berijtihad sesuai ketentuan nas, yaitu berdasar atas alasan-alasan berubahnya ilat hukum karena ada kebiasaan baru yang muncul dan adat itu tidak lepas dari dasar nas dengan prinsip kemaslahatan.1
Tampaknya adagium ”al-taqayyur al-hukmiy bi al-taqayyur al-amkinah wa al-azminah” (hukum itu dapat berubah karena dipengaruhi oleh perubahan tempat dan situasi), dapat dijadikan dasar untuk melihat sejauhmana urgensitas kajian dengan pen-dekatan sejarah ini, meskipun perubahan hukum yang dihasilkan itu tidak terlepas dari prinsip kemaslahatan yang mengitarinya dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip keotentikan nas, sehingga apa yang dibahasakan oleh alquran: “Yuhillunahu ‘aman wa yuharrimanahu ‘aman2 tidak menjadi sebuah justifikasi terhadap inkonsistensi terhadap penerapan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah berkisar pada beberapa hal berikut; 1) Bagaimana konsep pem-baharuan hukum Islam?, 2) Bagaimana penga-ruh sosial budaya terhadap perubahan hukum?,  3) Bagaimana aspek sosial budaya lahirnya kitab fikih?
II. PEMBAHASAN
1.  Konsep Pembaruan Hukum Islam
Konsep pembaharuan hukum Islam dalam pengertian pembaharuan fikih telah lama diwacanakan oleh para pakar hukum Islam. Slogan yang disuarakan juga ber-variasi. Istilah-isitlah seperti restruk-turisasi, redefinisi, dan modernisasi adalah gagasan-gagasan yang seringkali diwacana-kan oleh para pembaharu hukum Islam. Latarbelakang munculnya gagasan itu dipengaruhi oleh kapasitas fikih dan segala macam produk pemikiran yang termaktub dalam jilid-jilid buku fikih dianggap tidak kompeten dan kurang mampu menjawab berbagai persoalan kekinian. Akibatnya muncul wacana pem-baharuan fikih.
Pembaharuan fikih harus mencakup tiga dimensi:, Pertama, perubahan secara menyeluruh pada doktrin, nilai-nilai yang terkandung dalam fikih yang tidak sesuai lagi dengan konsisi zaman. Kedua, Per-ubahan dalam penerapan, adanya kecen-derungan menggunakan kitab fikih sebagai kitab hukum dan sebagai referensi dalam penyelesaian masalah hukum. Ketiga, Pembaharuan metodologi. Fikih merupakan produk pemikiran yang dihasilkan melalui serangkaian penerapan metodologi yang telah dirumuskan para fuqaha.3
Pembaharuan hukum Islam tidak boleh diadakan secara serampangan, harus di-petakan wilayah mana yang harus meng-alami restrukturisasi dan mana wilayah yang tetap harus dipertahankan. Ruang lingkup ibadah merupakan persoalan yang dilihat dari sumber legitimasinya harus diputuskan melalui dalil qat’iy, sehingga persoalan ibadah tidak mungkin dipem-baharui, kecuali terhadap teknik dan cara pelaksanaannya yang mungkin mendapat-kan ruang untuk diperbaharui. Sedangkan ruang lingkup muamalah berpeluang untuk diperbaharuhi sesuai dengan tuntutan zaman.
Langkah-langkah pemaharuan fikih menurut A. Qadri Azizi meliputi beberapa tahapan, yaitu:
a.    Menempatkan fikih secara proporsional, yaitu sebagai produk ijtihad yang dapat direinterpretasi ulang.
b.    Kontekstualisasi hasil ijtihad para ulama, sebab bagaimanapun yang namanya pemikiran pasti dipengaruhi oleh subyek-tifitas dan lingkungan pemikirnya.
c.    Reaktualisasi dan reinterpretasi fikh dalam bentuk praktis.
d.    Mengkaji fikih dalam berbagai pen-dekatan dan disiplin ilmu, sehingga pengamalan fikih dapat dibumikan dan menjadi bagian dari produk hukum yang mengikat.4
Langkah-langkah ini akan berjalan efektif apabilah pembacaan dan pen-dalaman terhadap karya-karya ulama fikih dapat terus dibaca dan didiskusikan, sebab hasil karya mereka merupakan warisan yang sangat berharga sebagai sumber pengembangan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.
Penggunaan metodologi dan pen-dekatan berbagai disiplin ilmu dalam menyelesaikan masalah sangatlah penting. Untuk itu, pendekatan gabungan antara metodologi Timur dan metodologi Barat sangat diperlukan untuk mengahsilkan produk fikih yang lebih dinamis, humanis, dan berwawasan lingkungan, sebab untuk menghasilkan kajian yang obyektif terkait fikih harus didekati dengan metodologi yang diwariskan oleh para ulama klasik. Metodologi berfikir itu akan lebih sem-purna, jika disisipkan dengan pendekatan warisan keilmuawan Barat yang kaya akan metodologi pengembangan. Seperti maz-hab Hanafi memiliki ciri khas dalam penggunaan metode istihsa>n dan peng-gunaan logika dalam menghasilkan suatu hukum, mazhab Maliki dengan metode maslahah dan ‘amal ahlu al-madinah, mazhab Syafi’i dengan qiyas dan istisha>b, dan mazhab Hanbali dengan metode tekstualitasnya. Konsep-konsep ini jika diamati secara sepintas, mengindikasikan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi inspirasi sumber hukum. Artinya bahwa pendekatan sosiologi, antropologi, ekonomi, medis, dan filsafat ilmu, jika dielaborasi dengan metodologi para ulama tersebut akan menghasilkan kajian fikih yang lebih obyektif, humanis, progresif, dan mem-bumi.
2.    Aspek Sosial Budaya dan Lahirnya Kitab Fikih
Kitab fikih merupakan kumpulan tulisan yang membahas berbagai persoalan hukum Islam yang mencakup bidang ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihad, perang, dan perdamaian.5
Kodifikasi kitab fikih dimulai pada awal abad ke II H. Berdasarkan isi, kitab fikih dapat dibagi dalam beberapa kategori:
a.    Kitab fikih lengkap, yaitu kitab fikih yang membahas seluruh permasalahan fikih yang mencakup bidang ibadah, muamalah, hukum keluarga, pidana, aspek-aspek peradilan, politik, jihad, perang, dan perdamaian.
b.    Kitab fikih tematis, yaitu kitab fikih yang hanya membahas topik tertentu, seperti kitab fikih membahas tentang kharaj (pajak), fikih dusturi>y (fikih perundang-undangan).
c.    Kitab fikih berbentuk kumpulan fatwa, yaitu kitab yang disusun berdasarkan hasil fatwa ulama atau sekelompok ulama tertentu. Seperti kumpulan fatwa Ibn Taimiyah, Kumpulan fatwa Umar bin Khattab.6
Kitab-kitab fikih yang cakupan pem-bahasannya sangat luas yang meliputi berbagai aspek yang ditulis dengan berjilid-jilid telah ditulis para ulama sejak masa klasik, demikian juga dengan fikih bercorak fatwa. Namun kitab fikih yang hanya membahas topik tertentu, kebanyakan ditulis pada masa modern, akibat perkem-bangan metodologi dan pendekatan, serta pembidangan ilmu yang membutuhkan kajian serius dan mendalam. Untuk tidak melebarkan pemahaman, maka makalah ini hanya terfokus pada melihat kondisi sosial-budaya terhadap kitab-kitab fikih yang ditulis oleh empat ulama mazhab, yaitu kitab fikih Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Karakteristik pemahaman teks ke-agamaan telah muncul pada masa Bani Umayyah, ketika itu telah berkembang dua model pemikiran, yaitu mazhab ahlu al-ra’yi di Irak dengan tokohnya Imam Abu Hanifah dan mazhab ahli al-hadis yang berpusat di Madinah dengan tokohnya Imam Malik. Corak pemikiran ahlu ra’yi dilatarbelakangi oleh warisan pemikiran Abdullah bin Mas’ud yang terpengaruh dengan cara berfikir Umar bin Khattab yang dikenal sangat moderat dalam menggunakan logika. Faktor geografis kota Irak yang jauh dari pusat kebudayaan Islam di Madinah dan kondisi sosial merupakan alasan lain tumbuh kembangnya corak pemikiran rasional.
Berbagai persoalan keagamaan mun-cul untuk dicarikan solusinya sementara kapasi-tas nas cendeung terbatas membuat para ulama menggunakan rasio dan pena-laran untuk menyelesaikan berbagai per-soalan-persoalan itu. Sementara Madinah yang merupakan pusat kebudayaan Islam dengan segudang ulama yang masih menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuaan berdasarkan teks, serta kondisi geografis dan sosial budaya yang masih sederhana membuat corak pemikiran ahlu hadis tetap mempertahankan tradisi teks-tual dalam artian sumber-sumber teks masih cukup untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul, sehingga pola penyelesaian masalah masih dalam ker-angka tekstualis argumentatif.7
Fakta historis menunjukkan bahwa, karakteristik corak pemikiran itu kemudian melahirkan berbagai Imam Mujtahid dan melahirkan aliran-aliran mazhab yang sangat banyak dan beragam. Dalam sejarah tercatat lebih kurang 89 mazhab yang berhasil dilacak secara empirik. Dan hanya sebagian dari 89 mazhab itu yang dapat dibukukan terutama pada era tadwin atau era kedewasaan hukum. Periode ini berlangsung antara tahun 100-350 H (720-961 M).8
Hampir selama kurang lebih 250 tahun aliran mazhab itu berevolusi secara periodik yang kemudian hanya tersisa lima aliran mazhab dengan corak pemikiran yang berbeda. Mazhab-mazhab itu bertahan karena terus mendapatkan pengikut, juga karena penguasa ketika itu ikut andil dalam mengembankan aliran mazhab tersebut.
Kedekatan ulama mazhab dengan pemerintah menjadi alasan mazhab itu diterima, juga tradisi para imam mazhab yang terus mengembangkan corak pemiki-ran mereka dalam menyelesaikan persoalan umat yang muncul. Kelima aliran mazhab itu adalah al-Zhahiriyah dengan corak pemikiran tektualis argumentatif, mazhab Hanafiyah, mazhab Malikiyah, mazhab Syafi’iyah, dan mazhab Hanbaliyah. Kelima mazhab ini paling sering didapati dalam kajian-kajian fikih ketika terjadi pro-kontra terhadap sautu persoalan yang diangkat.
Kontribusi fikih terhadap hukum Islam telah memberikan corak tersendiri terhadap perkembangan hukum Islam dari masa ke masa. Selama berabad-abad fikih telah membentuk cakrawala berfikir bagi para praktisi hukum Islam.9 Sehingga dalam praktiknya muncul isitlah ijtihad intqa’iy atau ijtihad mazhab (proses berijtihad dengan memilih pendapat yang paling kuat dari pendapat beberapa mazhab fiqh berdasarkan metode tarjih). Praktek ijtihadi seperti ini tetap dipertahankan dalam tradisi fatwa Nahdlatul Ulama. Tradisi merujuk kepada berbagai kitab fikih klasik untuk menyelesaikan persoalan fikih bahkan persoalan kontamporer sekalipun masih sangat melekat dikalangan para ulama NU yang tegabung dalam Lajnah Bahtsul Masail.
Fiqh sebagai wujud nyata dari kreatifitas berfikir para ahli fiqh terhadap syariat sangat memiliki toleransi terhadap kebudayaan yang berkembang ditengah masyarakat. Ada banyak hal dimana kebudayaan masyarakat itu dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan sebuah metodologi berfikir yang terangkum dalam salah satu kaedah fiqhiyah, yaitu al-‘Adat al-Muhakkamah (bahwa adat kebiasaan dapat menjadi inspirasi lahirnya hukum).10 Kaedah ini dapat merangkum berbagai macam persoalan fiqh yang bernuansa kedaerahan dan sosiologis.
Kelihatanya, proses ijtihad di atas cukup memberikan jawaban yang me-muaskan terhadap sebagian kasus-kasus keagamaan yang muncul, namun untuk persoalan kontamporer akan menimbulkan problem serius, seperti adanya pemaksaan pemberlakuan dogma teks atas realitas yang berkembang, sehingga menimbulkan ke-senjangan teoritis-empiris dan tekstual-kultural.
Diantara aspek-apek sosial budaya yang melatar belakangi corak pemikiran para ulama fikih adalah:
1.  Faktor Sosial
Dinasti Umayyah memerintah sekitar tahun 661-750 M dengan pendirinya Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kekhalifaan ini berdiri tidak terlepas dari konflik politik sebelumnya yang berakhir dengan ter-bunuhnya Imam Ali ra.11Pemerintahan bani Umayyah bercorak monarki, sebuah sistem pemerintahan yang bertolak belakang dengan sistem kekhalifaan sebelumnya, yaitu jabatan khalifah dipilih melalui proses pemilihan ahlu al-ahli wa al-aqdi (semacam parlemen). Corak pemerintahan bani Umayyah dipengaruhi oleh kerajaan Persia dan Bizantium. Pada masa ini perluasan wilayah kekuasaan Islam dilaku-kan hingga ke Spanyol dan menguasai beberapa kota penting disana. Bani Umayyah berhasil melakukan perluasan wilayah dan mem-berantas para pem-berontak dan kelompok oposisi dikalangan kaum muslimin yang tidak sejalan dengan pemerintahan bani Umayyah yang bercorak monarki.12Pusat pemerintahan ditempatkan di Damaskus Syiria. Sepanjang sejarah pemerintahan bani Umayyah, konflik internal, berupa hubungan warga Arab dan mawali (non Arab) tidak terlalu harmonis. Mawali (para budak) dianggap sebagai warga kelas dua. Faktor-faktor ini yang menyebabkan hubungan antar anggota masyarakat sangat tidak kondusif dan sering terjadi ketegangan.
Kondisi ini mulai membaik ketika masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abd. Malik (86-97 H/705715 M), cerminan kemakmuran dan kesejahteraan mulai tampak, meskipun ketegangan antara dua suku Arab yang dikenal sebagai Qay dan Kalb tetap mengamcam eksistensi pemetintahan khalifah ini. Kemudian pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (99-102 H/717-720 M) puncak kemak-muran dan kesejahteraan pemerintahan bani Umayyah dapat dicapai. Konflik-konflik sosial yang terjadi dikalangan masyarakat dapat diredam.13Pada masa pemerintahan al-Walid, Imam Abu Hanifah (80 H /700 M) salah seorang tokoh penting dalam percaturan mazhab fikih menjalani pase pembentukan karakternya. Lahir dari keluarga Persia yang merupakan keturunan non Arab (mawali), yang status sosial keturunan ini dika-tegorikan warga kelas dua, akibatnya Imam Abu Hanifah juga sering mendapat perlakuan yang kurang baik dari warga Arab.14 Secara sosiologi, kelompok yang senantiasa tertekan dan terintimidasi, maka rasa militansinya akan berkobar. Seperti itu juga yang menjiwai pemikiran Abu Hanifah, sehingga kerangka berfikirnya cenderung rasional kritis. Kerangka berfikir ini selanjutnya yang menjiwai epistimologi tasyri’nya dalam pengambilan keputusan hukum atas berbagai persoalan fikih.
2.  Faktor Politik
Kondisi politik diduga kuat memiliki andil signifikan dalam mem-bentuk corak berfikir para fuqaha dengan analogi bahwa dalam persoalan apapun, politik selalu memiliki andil dan ikut mewarnai gerakan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum maupun fikih pada khususnya.15
Kondisi politik pemerintahan bani Umayyah secara internal sangat tidak mendukung terhadap warga non Arab (mawali), dimana mereka dikasifikasikan sebagai warga kelas dua. Hampir dipasti-kan mereka sulit mendapatkan posisi penting dalam jabatan pemerintahan, hak-haknya kurang diakui sebagai warga negara, sehingga pola interaksinya pun sangat terbatas, hubungan yang kurang harmonis ini sangat mempengaruhi cara pandang para ahli fikih yang berdarah non Arab. Termasuk imam Abu Hanifah, sehingga tingkat kritisnya terhadap pemerintah saat itu sangat tajam dan pedas, untuk meredam padangan kritisnya itu, beliau acap kali ditawari jabatan dan posisi pada pemerintahan bani Umayyah ketika itu. meskipun beliau juga sering menolak jabatan yang diamanahkan kepadanya, akibat dari keengganannya itu, beliau sering dijembloskan ke penjara.
Kondisi tersebut sangat berpenga-ruh langsung dalam membentuk cakrawala berfikir yang tentunya juga ikut andil dalam penyusunan pemikiran fikihnya. Jabatan Qadhi (hakim) pada masa pemerin-tahan bani Umayyah dijabat oleh orang yang spesialis dibidangnya, dan masjid-masjid megah juga banyak didirikan pada saat itu. ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan hukum Islam (fikih) tetap eksis. Namun pada periode akhir masa pemerintahan bani Umayyah juga ditandai dengan kehidupan berfoya-foya dan hedonistis, pejabat negara sangat senang menghamburkan uang negara dan cenderung pada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat.
Berbeda dengan corak pemerintahan bani Abbasiyah, terutama pada pemerintahan Harun al-Rasyid, karakteristik politiknya ketika itu sangat memberikan respon positif dan peng-hargaan tinggi terhadap ulama dan para fuqaha, sehingga pemerintahannya dikenal memiliki hubungan harmonis dengan para ahli hukum Islam. hubungan itu dicer-minkan melalui kebiasaan menghaji-kan ratusan para ulama dan para fuqaha.16
Bukti perhatian Harun al-Rasyid terhadap fuqaha, adalah lahirnya karya kitab al-Kharaj (karya ilmiah berisikan tentang potensi pajak sebagai salah satu pendapatan fiskal bagi negara) karya Abu Yusuf salah seorang fuqaha mazhab Hanafi, kitab fikih ini termasuk kitab tematis membahas tentang tanah dan hak-haknya yang dipersembahkan khusus kepada khalifah Harun al-Rasyid.17
Kitab tersebut disusun atas per-mintaan khalifah sebagai bahan referensi para qadhi (hakim) dalam memutuskan persoalan tanah dan pajak serta yang berkaitan dengannya. Hasil ijtihad dalam penyusunan kitab ini tentunya juga memiliki nilai subyektifitas dan keter-batasan, karena berangkat dari sebuah kondisi dan realitas sosio-kultural masya-rakat yang masih sederhana dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Unsur pejabat pemerinta-han Abbasiyah yang dominan dikuasai oleh warga Parsia merupakan penghalang bagi Imam Syafi’i yang keturunan Quraisy Arab untuk mensosialisasikan ilmunya. Karena kondisi politik yang tidak menguntungkan di Baghdad, dan keberpihakan khalifah al-Ma’mun atas aliran Mu’tazilah untuk menentang kelompok ahlu Sunnah dan ulama hadis dalam berpegang pada pen-dapat bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk, membuat Imam Syafi’i sering mengembara antara Baghdad dan kota Mekkah, dalam kondisi yang tidak kondusif itu, beliau tetap melahirkan pemikiran fikih, namun fatwa-fatwanya itu banyak diralat ketika beliau berdomisili di Mesir, karena kondisi politik, budaya, dan percaturan pemikiran yang lebih moderat ketika menetap di negeri itu, sehingga melahirkan fatwa baru yang sedikit berbeda dengan fatwa sebelumnya.
3.  Faktor Budaya
Bangsa Arab bukanlah bangsa yang steril dari berbagai pengaruh budaya luar. Peta geografis menunjukkan bahwa ketika Islam datang telah ada empat kebudayaan besar yang mengitari jazirah Arab. Kebudayaan Yunani, Romawi, Persia, dan India, oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa jazirah Arab pada masa awal Islam telah terjadi akulturasi budaya Hindu, Kristen, dan Yahudi18 namun karena sikap fanatisme klan yang sangat kental pada masyarakat Arab, sehingga unsur kearaban masih tetap dapat terjaga dari unsur-unsur luar, hal ini tetap terjaga sampai masa pemerintahan bani Umayyah, terlihat unsur kearaban sangat kental mendominasi lapisan elite pemerintahan.
Madinah sebagai kota kedua umat Islam yang juga tidak terlepas dari proses akulturasi budaya Islam, Kristen dan Yahudi, proses akulturasi dan asimilasi itu terlihat dari proses interaksi Nabi dengan beberapa kaum Yahudi, interaksi-interaksi itu sedikit banyak telah memberikan peluang masuknya unsur-unsur kebudayaan Yahudi-Kristen dalam kebudayaan Arab. Fakta-fakta tentang hal itu, dapat dilihat dalam beberapa riwayat yang kadang mengandung unsur israiliyat.\
Imam Malik salah seorang tokoh dalam percaturan mazhab fikih lahir dan dibesarkan ditengah masyarakat Madinah yang sangat prulal, kebudayaan masyarakat yang terpola pada unsur Arab dan kecen-derungan kuat pada penghormatan yang tinggi atas ulama menjadikan tradisi keilmuwan cenderung bernuansa tekstual-normatif.
Kota Madinah menjadi pusat ber-kembangnya corak pemikiran ahli al-hadi>s, banyak ulama yang masih berpegang teguh pada corak pemikiran tersebut ketika Imam Malik memulai pengembaraan keilmuaan-nya. Oleh karena itu, kontruksi episti-mologi keilmuawan Imam Malik didomi-nasi corak pemikiran ahli hadi>s itu.19 bukti akan pengaruh pemikiran tersebut dapat dijumpai pada kitab al-muattha’, kitab fikih yang bernuansa hadis-hadis.
Imam Malik kemudian memosisikan diri sebagai ulama’ ahlu al-hadi>s, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasuk-kan beberapa konsep amal ahlu Madi>nah serta maslahah mursalah. Masuknya dua teori itu dalam landasan metodologinya Imam Malik menunjukkan adanya elaborasi penggunaan teks dengan ketergantungan kepada tradisi yang hidup, sehingga dalam berbagai hal banyak ditemui hasil ijtihad Imam Malik yang sumber legitimasinya dari tradisi masyarakat Madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan bani Abbasiyah telah mem-berikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kebudayaan. Pada masa pemerintahan Abbasiyah kota Baghdad menjelma menjadi kota metropolitan dengan berbagai kemajuan dan pem-bangunan disegala bidang. Arabisasi yang semula mendominasi pemerintahan bani Umayyah terganti dengan pola non Arab yang menguasai pemerintahan Abbasiyah. Interaksi antara kebudayaan Arab dan non Arab tentunya sangat berpengaruh ter-hadap perkembangan kebudayaan di kota Baghdad. Imam Syafi’i cukup lama tinggal di kota ini dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat, sehingga dalam berbagai fatwa-fatwanya dibidang fikih juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Meskipun fatwa-fatwa itu akan mengalami perubahan ketika beliau berdomisili di Mesir yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Baghdad, yaitu kebudayaan Mesir kuno.
3.  Pengaruh Sosial Budaya Lahirnya Perubahan Hukum
Pemikiran hukum Islam mengenal empat macam jenis produk pemikiran, yaitu kitab-kitab fikih, fatwa ulama, keputusan pengadilan agama, dan peraturan per-undang-undangan di negeri Muslim. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam melahirkan dan menetap-kan suatu hukum.20 Kitab fikih merupakan kumpulan produk pemikiran ulama klasik yang tetap dijadikan referensi dalam memutuskan kasus-kasus modern, mes-kipun terjadi kesenjagan teks dengan realitas empiris, dan adanya elaborasi pemikiran dengan kondisi sosial budaya tempat penyusunya melahirkan suatu produk hukum.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi berdampak pada perkembangan diberbagai bidang dan juga telah memengaruhi perkembangan sosial-budaya masyarakat. Pertukaran budaya dan percaturan pemikiran semakin intens terjadi dibelahan dunia. Sehingga akibat-akibat positif-negatif yang ditimbulkan dari pola interaksi itu sedikit banyak telah memengaruhi kondisi sosial-budaya suatu masyarakat. Globalisasi telah memberikan keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan. Dan setiap negara atau bangsa tidak dapat terlepas dari globalisasi yang telah melanda dunia saat ini. Arus globalisasi telah meruntuhkan batas-batas dan sekat-sekat kebangsaan dan kene-garaan. Sehingga negara manapun yang terbawa arus globalisasi akan berhubungan secara dekat apa yang disebut budaya lokal, pasar global, famili global, dan sebagainya.
Arus globalisasi dengan segala macam pengaruh yang ditimbulkan itu akan menim-bulkan berbagai persoalan dan permasalahan, baik dibidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial-budaya maupun pola interaksi antara satu orang dengan orang lain. Berbagai macam persoalan itu tentunya membutuhkan penyelesaian masalah dengan pendekatan berbagai aspek pula.
Arus globalisasi mengakibatkan perubahan yang terjadi, baik pada tingkat regional, nasional, maupun internasional. Perubahan-perubahan itu tentunya mem-bawa kecenderungan baru, baik langsung maupun tidak langsung terhadap hukum. Hukum harus menjadi suatu legalitas terhadap segala perubahan yang terjadi agar lalu lintas pergaulan manusia dalam menghadapi arus globalisasi ini tidak saling bertabrakan dan saling mengganggu.21
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi diberbagai bidang berimplikasi pada munculnya berbagai macam kasus. Kasus-kasus ini harus mendapatkan legi-timasi hukum, agar supaya setiap orang yang bersentuhan dengan kasus itu merasa-kan ketenangan batin dan tidak menim-bulkan problem hukum di kemudian hari. Kasus-kasus seperti bank sperma dan sel telur, transplantasi organ tubuh, ataupun kasus dibidang penggunaan elektronik commerce dalam dunia maya dan high teknologi seperti sekarang ini. Dalam presfektif kajian fikih, kasus ini relative baru dan mungkin saja tidak memiliki landasan teks yang dapat dijadikan patokan dalam menentukan legalitas hukumnya.
Imlpikasi yang ditimbulkan oleh kemajuan dan globalisasi mengarah kepada terjadinya perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, termasuk aspek social budaya. Oleh karena itu, aspek-aspek pengubah hukum ditinjau dari aspek budaya dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
1.  Pengaruh Budaya Luar
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai tingkatan yang berbeda-beda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan ini saling ber-pengaruh dan saling mengisi satu sama lainnya.
Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu masyarakat dalam sebuah waga Negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya akan tersentuh dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketika hubungan itu berlangsung lama dan terus-menerus, maka tidak mustahil akan terjadi penyerapan antara suatu budaya dengan budaya lainnya secara alamiah.
Kontak kebudayaan tersebut akan menimbulkan problem tersendri, sebab mungkin saja ada yang dapat menerima begitu saja unsur-unsur peradaban asing itu dan juga ada yang tidak dapat menerima unsur-unsur baru tersebut. Unsur kebu-dayaan berupa tekhnologi mungkin saja akan diserap dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, akan tetapi unsur yang berupa ideology, falsafah hidup, dan nilai-nilai luhur mungkin sesuatu yang sulit diterima begitu saja dan ditelan mentah-mentah.22 Seperti intervensi lembaga IMF terhadap pemerintah Indonesia berakibat pada perubahan beberapa produk hukum, misalnya dibidang perminyakan dan ketenagakerjaan.
2.  Kejenuhan Terhadap Sistem Yang Mapan
Otorisasi kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat terlarang dalam dunia demokrasi, sebab kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh seseorang dalam rentan waktu yang cukup lama, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam kehidupan organisasi maupun berbangsa dan ber-negara. Tumbangnya orde baru, dan tumbangnya rezim-rezim di Timur-tengah adalah bukti bahwa kepemimpinan otoriter adalah sesuatu yang menjenuhkan. Wujud kejenuhan masyarakat atas suatu tirani terefleksikan dengan adanya upaya untuk meruntuhkan nilai-nilai yang sudah mapan dan keinginan untuk mengganti dengan nilai dan aturan baru. Amandemen UU Dasar dan perubahan beberapa UU atau peraturan pemerintah adalah bukti bahwa hukum itu harus senantiasa mengikuti perubahan dan per-kembangan yang terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan.
3.  Tingkat Kepercayaan Terhadap Hukum Semakin Menipis
Masyarakat akan taat dan patuh ter-hadap hukum, karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya, pertama, takut terhadap sanksi yang akan dikenakan, kedua, patuh kepada hukum karena kepentingannya dijamin oleh hukum, ketiga, merasa bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya.23
Adanya kecenderungan ketidakpatu-han terhadap hukum, karena faktor-faktor ter-sebut di atas tidak terigentrasi dalam kehidupan masyarakat. Supremasi hukum akan berjalan dengan baik apabilah tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga tinggi, karena hukum telah memihak kepada kepentingan masyarakat yang berfungsi sebagai obyek dari pemberlakuan suatu hukum.
III.  KESIMPULAN
1.    Konsep pembaharuan hukum Islam harus dilandasi dengan semangat untuk membumikan hukum Islam dalam kerangka implementasi dan pengaturan melalui legislasi. Oleh karena itu, penggunaan metodologi dan pendekatan multidisipliner dalam menetapkan suatu hukum sangat urgen untuk diadakan. Dengan elaborasi metodologi klasik dan pendekatan keilmuan modern akan menghasilkan kajian fikih yang obyektif, humanis, dan progresif.
2.    Kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-nologi serta arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini berimplikasi terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan itu terjadi dalam berbagai bidang, sehingga dapat dipastikan bahwa kondisi sosial masyarakat juga berubah seiring tingkat pola fikir yang berkembang. Sehingga hukum itu dapat berupa karena dipengaruhi oleh, pengaruh budaya luar, kejenuhan terhadap sistem yang mapan, dan tingkat kepercayan terhadap hukum semakin menipis.
a.    Ada banyak faktor yang memengaruhi lahirnya kitab fikih. Aspek-aspek itu berkaitan langsung dengan kehidupan para ulama, sehingga memiliki keter-kaitan dalam membentuk cakrawala ber-fikir mereka. Aspek itu meliputi;             a) Aspek Politik, b) Aspek Budaya, 3)Aspek Sosial kemasyarakatan

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Azizy, Qadri A, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005
Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fikih, terjemahan al-Hamid al-Husaini, Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2000
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Jilid IV, Cet. II; Bandung: Mizan, 2002
Husaini, Syekh, Abd. Al-Fattah, Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, Cet. I; Kairo: Daar al-Jailiy Press, 1993
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005
Mudzhar, Atho’, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Editor Budhy Munawar Rachman, Cet. I; Jakarta: Yayasan Paramadina, 2005
Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropogis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2010
Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i, Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008
Team Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1996
Wikipedia bahasa Indonesia, www.wikipedia.com

Catatan Akhir:
[1]Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropogis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2010), h. 2
2Q.S. al-Taubah (9): 37
3Ibid., h. 217
4 A. Qadri Azizi, op.cit., h. 75-76
5Team Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1996), h. 345
6Ibid., h. 345
7Abd. Al-Fattah Husaini Sykeh, Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, (Cet. I; Kairo: Daar al-Jailiy Press, 1993), h. 169
8Abdul Wahab Khallaf, Terj. Abdul Aziz Masyhuri, Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, dalam Roibin, ibid., h. 68
9Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 55
10Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial (cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 29
11John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Jilid IV (cet. II; Bandung: Mizan, 2002), h. 57
12Wikipedia bahasa Indonesia, www.wikipedia.com
13Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (cet. II; Bandung: Mizan, 2002), h. 98
14Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih, terjemahan al-Hamid al-Husaini (cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 237
15Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008), h.179
16Roibin, ibid., h. 182
17Team Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., h. 345
18Roibin, op.cit., h. 197
19A. Qadri Azizy, Reformasi Bermazha, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (cet. IV; Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005), h. 47
20Atho’ Mudzhar, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Editor Budhy Munawar Rachman (cet. I; Jakarta: Yayasan Paramadina, 2005), h.
21Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 59
22 Ibid., h. 85-86
23R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, dalam Abdul Manan, Ibdi., h. 91


Tidak ada komentar:

Posting Komentar