ASPEK
SOSIO-KULTURAL DALAM
KITAB-KITAB FIKIH
Rahman Ambo
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN ) Parepare
Email:
rahman.ambo@yahoo.co.id
Abstract: This article
outlines the aspects of socio-culturan problems in the books fikhi. From the
discussion, it is understood that the concept of Islamic law reform must be
based on the spirit to ground within the framework of the implementation of
Islamic law through legislation and regulation. Therefore, the use of the
methodology and multidisciplinary approach in establishing a very urgent law to
be held. With the elaboration of classical methodologies and modern scientific
approach will produce an objective study of jurisprudence, humane, and
progressive. Due to advances in science and technological and globalization
that swept the world today implicates the changes in social life. Changes that
occur in a variety of fields, so it is certain that the social conditions also
change with the level of thought patterns that develop. Law so that it can be
because it is influenced by, the influence of foreign cultures, saturation of
the system is established, and the level of belief against the law
increasingly. There are many factors that affect birth of fiqh. The aspects
that are directly related to the life of the clergy, so that it has relevance
in shaping their thinking horizons. Aspects that include; a ) Political
Aspects, b ) Cultural Aspects , 3 ) Social Aspects of social
Kata
Kunci: Sosio
Kultural, Kita-kitab Fikih
I.
PENDAHULUAN
Pendekatan sejarah hukum Islam sangat penting dilakukan untuk membaca ulang
produk pemikiran para ulama klasik terutama pada hukum Islam (kajian fikih),
sebab hasil pemikiran manusia tidak terlepas dari aspek sosial-kultural yang
mengitarinya. Imam Syafi’i pernah memunculkan dua
pandangan yang berbeda ketika berada pada dua tempat dan situasi. Produk pemikirannya ketika itu di-pengaruhi
oleh aspek sosial budaya dimana beliau berada. karena produk pemikiran pada
dasarnya adalah hasil pergumulan pemikirnya dengan lingkungan sekitarnya. Maka
dapat dikatakan bahwa literatur-literatur klasik, seperti kitab fikih adalah
hasil pergumulan pemikirnya dengan sosio-kultural lingkungannya. Kajian dengan pendekatan ini bertujuan untuk memahami
dinamikan masyarakat tempat dimana suatu pemikiran itu lahir.
Reaktualisasi hukum Islam dapat dilakukan melalui
pemberdayaan fikih dengan memahami bahwa fikih merupakan hasil produk pemikiran
para ulama yang dipengaruhi oleh aspek sosio-kultural yang menyertainya. Produk
pemikiran itu dijadi-kan sebagai suatu perangkat untuk meng-atasi
persoalan-persoalan keagamaan yang berdimensi ibadah, muamalah. hukum keluarga,
perdata dan pidana. sebab dapat dikatakan bahwa kajian kitab-kitab fikih
berkutat pada aspek-aspek ini. Umumnya kalangan umat muslim cenderung berasumsi
bahwa produk pemikiran fikih dianggap sebagai agama, karena peng-amalan dan
penerapan sebagian besar ajaran agama bersumber dari fikih, seperti bagaimana
tata cara bersuci, salat yang sah, berpuasa, ber-haji, maupun bagaimana
seharusnya seorang muslim bertransaksi sesuai tuntunan syariat.
Reaktualisasi fikih dapat berjalan baik apabilah
aspek-aspek yang me-mengaruhi lahirnya produk
pemikiran itu dapat di-bedakan dan dilepaskan dari isi produk pemikiran itu.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi sehingga terjadi perbedaan dalam penetapan
hukum ter-hadap suatu persoalan dapat disingkap. Kajian ini meskipun disatu sisi
tidak berpretensi untuk membatalkan atau melahirkan hukum baru, namun reali-tasnya,
ketika kajian dengan pendekatan sejarah ini diaplikasikan dalam usaha membaca
ulang produk pemikiran fikih, maka dengan sendirinya dapat mere-konstruksi
ulang produk pemikiran para ulama klasik yang tentunya mengarah pada lahirnya
suatu hukum baru. Contoh qaul qadi>m dan qaul jadi>dnya
Imam Syafi’i menjadi bukti nyata arah dan orientasi kajian dengan pendekatan
sejarah sosiologi itu.
Seiring dengan kemajuan dan per-kembangan zaman, persoalan yang dihadapi umat manusia sangat dinamis dan
kompleks. Situasi dan kondisi senantiasa mengalami perubahan seiring dengan
pergerakan manusia yang semakin intens. Intensitas perubahan itu terjadi pada
berbagai aspek yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi maupun arus globalisasi yang melanda dunia saat ini. Kajian fikih
tidak dapat dilepaskan dari arus globalisasi itu, sehingga tantangan akan terus
dihadapi bagi yang bergelut di bidang fikih (hukum Islam).
Dapat dipastikan bahwa situasi dan kondisi lahirnya fikih klasik sangat jauh
berbeda dengan situasi dan kondisi era high tekhnologi (kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi) seperti sekarang ini.
Dalam konteks hukum Islam, setelah sekian lama mewarisi
pola pemikiran abad pertengahan yang cenderung konservatif, yang menolak adanya
perubahan-perubahan dialektik, maka sejak abad modern para ahli hukum Islam
semakin menyadari bahwa perubahan, baik melalui proses reformasi maupun
pembaruan hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda. Meskipun
reaktualisasi hukum Islam merupakan sesuatu yang urgen, namun para ahli hukum
Islam hanya membolehkan kajian itu pada wilayah penafsiran terhadap teks dan
cara berijtihad sesuai ketentuan nas, yaitu berdasar atas alasan-alasan
berubahnya ilat hukum karena ada kebiasaan baru yang muncul dan adat itu
tidak lepas dari dasar nas dengan prinsip kemaslahatan.1
Tampaknya adagium ”al-taqayyur al-hukmiy bi
al-taqayyur al-amkinah wa al-azminah” (hukum itu dapat berubah karena
dipengaruhi oleh perubahan tempat dan situasi), dapat dijadikan dasar untuk
melihat sejauhmana urgensitas kajian dengan pen-dekatan sejarah ini, meskipun
perubahan hukum yang dihasilkan itu tidak terlepas dari prinsip kemaslahatan
yang mengitarinya dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip keotentikan nas,
sehingga apa yang dibahasakan oleh alquran: “Yuhillunahu ‘aman wa
yuharrimanahu ‘aman”2 tidak menjadi
sebuah justifikasi terhadap inkonsistensi terhadap penerapan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka
masalah berkisar pada beberapa hal berikut; 1) Bagaimana konsep pem-baharuan
hukum Islam?, 2) Bagaimana penga-ruh sosial budaya terhadap perubahan hukum?, 3) Bagaimana aspek sosial budaya lahirnya
kitab fikih?
II.
PEMBAHASAN
1. Konsep Pembaruan
Hukum Islam
Konsep pembaharuan
hukum Islam dalam pengertian pembaharuan fikih telah lama diwacanakan oleh para
pakar hukum Islam. Slogan yang disuarakan juga ber-variasi.
Istilah-isitlah seperti restruk-turisasi, redefinisi, dan modernisasi
adalah gagasan-gagasan yang seringkali diwacana-kan oleh para
pembaharu hukum Islam. Latarbelakang munculnya gagasan itu dipengaruhi oleh
kapasitas fikih dan segala macam produk pemikiran yang termaktub dalam
jilid-jilid buku fikih dianggap tidak kompeten dan kurang mampu menjawab
berbagai persoalan kekinian. Akibatnya muncul wacana pem-baharuan fikih.
Pembaharuan fikih
harus mencakup tiga dimensi:, Pertama, perubahan secara menyeluruh pada
doktrin, nilai-nilai yang terkandung dalam fikih yang tidak sesuai lagi dengan
konsisi zaman. Kedua, Per-ubahan dalam penerapan, adanya kecen-derungan menggunakan kitab fikih sebagai kitab hukum dan
sebagai referensi dalam penyelesaian masalah hukum. Ketiga, Pembaharuan
metodologi. Fikih merupakan produk pemikiran yang dihasilkan melalui
serangkaian penerapan metodologi yang telah dirumuskan para fuqaha.3
Pembaharuan hukum
Islam tidak boleh diadakan secara serampangan, harus di-petakan wilayah
mana yang harus meng-alami restrukturisasi dan mana wilayah
yang tetap harus dipertahankan. Ruang lingkup ibadah merupakan persoalan yang
dilihat dari sumber legitimasinya harus diputuskan melalui dalil qat’iy,
sehingga persoalan ibadah tidak mungkin dipem-baharui, kecuali terhadap teknik
dan cara pelaksanaannya yang mungkin mendapat-kan ruang untuk diperbaharui.
Sedangkan ruang lingkup muamalah berpeluang untuk diperbaharuhi sesuai dengan
tuntutan zaman.
Langkah-langkah
pemaharuan fikih menurut A. Qadri Azizi meliputi beberapa tahapan, yaitu:
a.
Menempatkan fikih secara proporsional, yaitu sebagai
produk ijtihad yang dapat direinterpretasi ulang.
b.
Kontekstualisasi hasil ijtihad para ulama, sebab
bagaimanapun yang namanya pemikiran pasti dipengaruhi oleh subyek-tifitas dan lingkungan pemikirnya.
c.
Reaktualisasi dan reinterpretasi fikh dalam bentuk
praktis.
d.
Mengkaji fikih dalam berbagai pen-dekatan dan
disiplin ilmu, sehingga pengamalan fikih dapat dibumikan dan menjadi bagian dari
produk hukum yang mengikat.4
Langkah-langkah
ini akan berjalan efektif apabilah pembacaan dan pen-dalaman terhadap
karya-karya ulama fikih dapat terus dibaca dan didiskusikan, sebab hasil karya
mereka merupakan warisan yang sangat berharga sebagai sumber pengembangan hukum
Islam dalam bentuk perundang-undangan.
Penggunaan
metodologi dan pen-dekatan berbagai disiplin ilmu dalam
menyelesaikan masalah sangatlah penting. Untuk itu, pendekatan gabungan antara
metodologi Timur dan metodologi Barat sangat diperlukan untuk mengahsilkan
produk fikih yang lebih dinamis, humanis, dan berwawasan lingkungan, sebab
untuk menghasilkan kajian yang obyektif terkait fikih harus didekati dengan
metodologi yang diwariskan oleh para ulama klasik. Metodologi berfikir itu akan
lebih sem-purna, jika disisipkan dengan pendekatan warisan
keilmuawan Barat yang kaya akan metodologi pengembangan. Seperti maz-hab Hanafi
memiliki ciri khas dalam penggunaan metode istihsa>n dan peng-gunaan
logika dalam menghasilkan suatu hukum, mazhab Maliki dengan metode maslahah
dan ‘amal ahlu al-madinah, mazhab Syafi’i dengan qiyas dan istisha>b,
dan mazhab Hanbali dengan metode tekstualitasnya. Konsep-konsep ini jika
diamati secara sepintas, mengindikasikan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat dapat menjadi inspirasi sumber hukum. Artinya bahwa pendekatan
sosiologi, antropologi, ekonomi, medis, dan filsafat ilmu, jika dielaborasi
dengan metodologi para ulama tersebut akan menghasilkan kajian fikih yang lebih
obyektif, humanis, progresif, dan mem-bumi.
2.
Aspek Sosial Budaya dan Lahirnya Kitab
Fikih
Kitab fikih merupakan kumpulan tulisan yang membahas
berbagai persoalan hukum Islam yang mencakup bidang ibadah, muamalah, pidana,
peradilan, jihad, perang, dan perdamaian.5
Kodifikasi kitab fikih dimulai pada awal abad ke II H.
Berdasarkan isi, kitab fikih dapat dibagi dalam beberapa kategori:
a.
Kitab fikih lengkap, yaitu kitab fikih yang membahas
seluruh permasalahan fikih yang mencakup bidang ibadah, muamalah, hukum
keluarga, pidana, aspek-aspek peradilan, politik, jihad, perang, dan
perdamaian.
b.
Kitab fikih tematis, yaitu kitab fikih yang hanya
membahas topik tertentu, seperti kitab fikih membahas tentang kharaj
(pajak), fikih dusturi>y (fikih perundang-undangan).
c.
Kitab fikih berbentuk kumpulan fatwa, yaitu kitab yang
disusun berdasarkan hasil fatwa ulama atau sekelompok ulama tertentu. Seperti
kumpulan fatwa Ibn Taimiyah, Kumpulan fatwa Umar bin Khattab.6
Kitab-kitab fikih yang cakupan pem-bahasannya sangat luas
yang meliputi berbagai aspek yang ditulis dengan berjilid-jilid telah ditulis
para ulama sejak masa klasik, demikian juga dengan fikih bercorak fatwa. Namun
kitab fikih yang hanya membahas topik tertentu, kebanyakan ditulis pada masa
modern, akibat perkem-bangan metodologi dan pendekatan, serta
pembidangan ilmu yang membutuhkan kajian serius dan mendalam. Untuk tidak
melebarkan pemahaman, maka makalah ini hanya terfokus pada melihat kondisi
sosial-budaya terhadap kitab-kitab fikih yang ditulis oleh empat ulama mazhab,
yaitu kitab fikih Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Karakteristik pemahaman teks ke-agamaan telah muncul pada
masa Bani Umayyah, ketika itu telah berkembang dua model pemikiran, yaitu
mazhab ahlu al-ra’yi di Irak dengan tokohnya Imam Abu Hanifah dan mazhab
ahli al-hadis yang berpusat di Madinah dengan tokohnya Imam Malik. Corak
pemikiran ahlu ra’yi dilatarbelakangi oleh warisan pemikiran Abdullah bin
Mas’ud yang terpengaruh dengan cara berfikir Umar bin Khattab yang dikenal
sangat moderat dalam menggunakan logika. Faktor geografis kota Irak yang jauh
dari pusat kebudayaan Islam di Madinah dan kondisi sosial merupakan alasan lain
tumbuh kembangnya corak pemikiran rasional.
Berbagai persoalan keagamaan mun-cul untuk dicarikan
solusinya sementara kapasi-tas nas cendeung terbatas membuat para
ulama menggunakan rasio dan pena-laran untuk menyelesaikan berbagai per-soalan-persoalan itu. Sementara Madinah yang merupakan
pusat kebudayaan Islam dengan segudang ulama yang masih menjaga dan
mengembangkan tradisi keilmuaan berdasarkan teks, serta kondisi geografis dan
sosial budaya yang masih sederhana membuat corak pemikiran ahlu hadis
tetap mempertahankan tradisi teks-tual dalam artian sumber-sumber teks
masih cukup untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul, sehingga pola
penyelesaian masalah masih dalam ker-angka tekstualis argumentatif.7
Fakta historis menunjukkan bahwa, karakteristik corak
pemikiran itu kemudian melahirkan berbagai Imam Mujtahid dan melahirkan
aliran-aliran mazhab yang sangat banyak dan beragam. Dalam sejarah tercatat
lebih kurang 89 mazhab yang berhasil dilacak secara empirik. Dan hanya sebagian
dari 89 mazhab itu yang dapat dibukukan terutama pada era tadwin atau era
kedewasaan hukum. Periode ini berlangsung antara tahun 100-350 H (720-961 M).8
Hampir selama kurang lebih 250 tahun aliran mazhab itu
berevolusi secara periodik yang kemudian hanya tersisa lima aliran mazhab
dengan corak pemikiran yang berbeda. Mazhab-mazhab itu bertahan karena terus
mendapatkan pengikut, juga karena penguasa ketika itu ikut andil dalam
mengembankan aliran mazhab tersebut.
Kedekatan ulama mazhab dengan pemerintah menjadi alasan
mazhab itu diterima, juga tradisi para imam mazhab yang terus mengembangkan
corak pemiki-ran mereka dalam menyelesaikan persoalan umat yang
muncul. Kelima aliran mazhab itu adalah al-Zhahiriyah dengan corak pemikiran
tektualis argumentatif, mazhab Hanafiyah, mazhab Malikiyah, mazhab Syafi’iyah,
dan mazhab Hanbaliyah. Kelima mazhab ini paling sering didapati dalam
kajian-kajian fikih ketika terjadi pro-kontra terhadap sautu persoalan yang
diangkat.
Kontribusi fikih terhadap hukum Islam telah memberikan
corak tersendiri terhadap perkembangan hukum Islam dari masa ke masa. Selama
berabad-abad fikih telah membentuk cakrawala berfikir bagi para praktisi hukum
Islam.9 Sehingga dalam praktiknya muncul isitlah ijtihad intqa’iy atau
ijtihad mazhab (proses berijtihad dengan memilih pendapat yang paling kuat dari
pendapat beberapa mazhab fiqh berdasarkan metode tarjih). Praktek
ijtihadi seperti ini tetap dipertahankan dalam tradisi fatwa Nahdlatul Ulama.
Tradisi merujuk kepada berbagai kitab fikih klasik untuk menyelesaikan
persoalan fikih bahkan persoalan kontamporer sekalipun masih sangat melekat
dikalangan para ulama NU yang tegabung dalam Lajnah Bahtsul Masail.
Fiqh sebagai wujud nyata dari kreatifitas berfikir para
ahli fiqh terhadap syariat sangat memiliki toleransi terhadap kebudayaan yang
berkembang ditengah masyarakat. Ada banyak hal dimana kebudayaan masyarakat itu
dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan sebuah metodologi berfikir yang
terangkum dalam salah satu kaedah fiqhiyah, yaitu al-‘Adat al-Muhakkamah
(bahwa adat kebiasaan dapat menjadi inspirasi lahirnya hukum).10
Kaedah ini dapat
merangkum berbagai macam persoalan fiqh yang bernuansa kedaerahan dan
sosiologis.
Kelihatanya, proses ijtihad di atas cukup memberikan
jawaban yang me-muaskan terhadap sebagian kasus-kasus
keagamaan yang muncul, namun untuk persoalan kontamporer akan menimbulkan
problem serius, seperti adanya pemaksaan pemberlakuan dogma teks atas realitas
yang berkembang, sehingga menimbulkan ke-senjangan
teoritis-empiris dan tekstual-kultural.
Diantara aspek-apek sosial budaya yang melatar belakangi
corak pemikiran para ulama fikih adalah:
1. Faktor Sosial
Dinasti Umayyah memerintah sekitar
tahun 661-750 M dengan pendirinya Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kekhalifaan ini
berdiri tidak terlepas dari konflik politik sebelumnya yang berakhir dengan ter-bunuhnya
Imam Ali ra.11Pemerintahan
bani Umayyah bercorak monarki, sebuah sistem pemerintahan yang bertolak
belakang dengan sistem kekhalifaan sebelumnya, yaitu jabatan khalifah dipilih
melalui proses pemilihan ahlu al-ahli wa al-aqdi (semacam parlemen).
Corak pemerintahan bani Umayyah dipengaruhi oleh kerajaan Persia dan Bizantium.
Pada masa ini perluasan wilayah kekuasaan Islam dilaku-kan hingga ke
Spanyol dan menguasai beberapa kota penting disana. Bani Umayyah berhasil
melakukan perluasan wilayah dan mem-berantas para pem-berontak dan kelompok oposisi dikalangan kaum muslimin
yang tidak sejalan dengan pemerintahan bani Umayyah yang bercorak monarki.12Pusat pemerintahan ditempatkan di Damaskus Syiria.
Sepanjang sejarah pemerintahan bani Umayyah, konflik internal, berupa hubungan
warga Arab dan mawali (non Arab) tidak terlalu harmonis. Mawali (para
budak) dianggap sebagai warga kelas dua. Faktor-faktor ini yang menyebabkan
hubungan antar anggota masyarakat sangat tidak kondusif dan sering terjadi
ketegangan.
Kondisi ini mulai membaik ketika masa
pemerintahan khalifah al-Walid bin Abd. Malik (86-97 H/705715 M), cerminan
kemakmuran dan kesejahteraan mulai tampak, meskipun ketegangan antara dua suku
Arab yang dikenal sebagai Qay dan Kalb tetap mengamcam eksistensi pemetintahan
khalifah ini. Kemudian pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (99-102
H/717-720 M) puncak kemak-muran dan kesejahteraan pemerintahan
bani Umayyah dapat dicapai. Konflik-konflik sosial yang terjadi dikalangan
masyarakat dapat diredam.13Pada
masa pemerintahan al-Walid, Imam Abu Hanifah (80 H /700 M) salah seorang tokoh
penting dalam percaturan mazhab fikih menjalani pase pembentukan karakternya.
Lahir dari keluarga Persia yang merupakan keturunan non Arab (mawali),
yang status sosial keturunan ini dika-tegorikan warga kelas dua, akibatnya Imam
Abu Hanifah juga sering mendapat perlakuan yang kurang baik dari warga Arab.14 Secara sosiologi, kelompok yang
senantiasa tertekan dan terintimidasi, maka rasa militansinya akan berkobar.
Seperti itu juga yang menjiwai pemikiran Abu Hanifah, sehingga kerangka
berfikirnya cenderung rasional kritis. Kerangka berfikir ini selanjutnya yang
menjiwai epistimologi tasyri’nya dalam pengambilan keputusan hukum atas
berbagai persoalan fikih.
2. Faktor Politik
Kondisi politik diduga kuat memiliki
andil signifikan dalam mem-bentuk corak berfikir para fuqaha dengan analogi
bahwa dalam persoalan apapun, politik selalu memiliki andil dan ikut mewarnai
gerakan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum maupun fikih pada khususnya.15
Kondisi politik pemerintahan bani
Umayyah secara internal sangat tidak mendukung terhadap warga non Arab (mawali),
dimana mereka dikasifikasikan sebagai warga kelas dua. Hampir dipasti-kan mereka sulit mendapatkan posisi penting dalam jabatan
pemerintahan, hak-haknya kurang diakui sebagai warga negara, sehingga pola
interaksinya pun sangat terbatas, hubungan yang kurang harmonis ini sangat
mempengaruhi cara pandang para ahli fikih yang berdarah non Arab. Termasuk imam
Abu Hanifah, sehingga tingkat kritisnya terhadap pemerintah saat itu sangat
tajam dan pedas, untuk meredam padangan kritisnya itu, beliau acap kali
ditawari jabatan dan posisi pada pemerintahan bani Umayyah ketika itu. meskipun
beliau juga sering menolak jabatan yang diamanahkan kepadanya, akibat dari
keengganannya itu, beliau sering dijembloskan ke penjara.
Kondisi tersebut sangat berpenga-ruh langsung dalam membentuk cakrawala
berfikir yang tentunya juga ikut andil dalam penyusunan pemikiran fikihnya.
Jabatan Qadhi (hakim) pada masa pemerin-tahan bani Umayyah dijabat oleh
orang yang spesialis dibidangnya, dan masjid-masjid megah juga banyak didirikan
pada saat itu. ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan
hukum Islam (fikih) tetap eksis. Namun pada periode akhir masa pemerintahan
bani Umayyah juga ditandai dengan kehidupan berfoya-foya dan hedonistis,
pejabat negara sangat senang menghamburkan uang negara dan cenderung pada
kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat.
Berbeda dengan corak pemerintahan bani Abbasiyah, terutama pada pemerintahan Harun al-Rasyid, karakteristik
politiknya ketika itu sangat memberikan respon positif dan peng-hargaan tinggi terhadap ulama dan para fuqaha, sehingga
pemerintahannya dikenal memiliki hubungan harmonis dengan para ahli hukum
Islam. hubungan itu dicer-minkan melalui kebiasaan menghaji-kan ratusan para ulama dan para fuqaha.16
Bukti perhatian Harun al-Rasyid
terhadap fuqaha, adalah lahirnya karya kitab al-Kharaj (karya ilmiah
berisikan tentang potensi pajak sebagai salah satu pendapatan fiskal bagi
negara) karya Abu Yusuf salah seorang fuqaha mazhab Hanafi, kitab fikih ini
termasuk kitab tematis membahas tentang tanah dan hak-haknya yang
dipersembahkan khusus kepada khalifah Harun al-Rasyid.17
Kitab tersebut disusun atas per-mintaan khalifah sebagai bahan
referensi para qadhi (hakim) dalam memutuskan persoalan tanah dan pajak
serta yang berkaitan dengannya. Hasil ijtihad dalam penyusunan kitab ini
tentunya juga memiliki nilai subyektifitas dan keter-batasan, karena berangkat
dari sebuah kondisi dan realitas sosio-kultural masya-rakat yang masih
sederhana dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Unsur
pejabat pemerinta-han Abbasiyah yang dominan dikuasai oleh warga Parsia
merupakan penghalang bagi Imam Syafi’i yang keturunan Quraisy Arab untuk
mensosialisasikan ilmunya. Karena kondisi politik yang tidak menguntungkan di
Baghdad, dan keberpihakan khalifah al-Ma’mun atas aliran Mu’tazilah untuk
menentang kelompok ahlu Sunnah dan ulama hadis dalam berpegang pada pen-dapat
bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk, membuat Imam Syafi’i sering mengembara
antara Baghdad dan kota Mekkah, dalam kondisi yang tidak kondusif itu, beliau
tetap melahirkan pemikiran fikih, namun fatwa-fatwanya itu banyak diralat
ketika beliau berdomisili di Mesir, karena kondisi politik, budaya, dan
percaturan pemikiran yang lebih moderat ketika menetap di negeri itu, sehingga
melahirkan fatwa baru yang sedikit berbeda dengan fatwa sebelumnya.
3. Faktor Budaya
Bangsa Arab bukanlah bangsa yang steril
dari berbagai pengaruh budaya luar. Peta geografis menunjukkan bahwa ketika
Islam datang telah ada empat kebudayaan besar yang mengitari jazirah Arab.
Kebudayaan Yunani, Romawi, Persia, dan India, oleh karena itu, dapat dipastikan
bahwa jazirah Arab pada masa awal Islam telah terjadi akulturasi budaya Hindu,
Kristen, dan Yahudi18 namun
karena sikap fanatisme klan yang sangat kental pada masyarakat Arab, sehingga
unsur kearaban masih tetap dapat terjaga dari unsur-unsur luar, hal ini tetap
terjaga sampai masa pemerintahan bani Umayyah, terlihat unsur kearaban sangat
kental mendominasi lapisan elite pemerintahan.
Madinah sebagai kota kedua umat Islam
yang juga tidak terlepas dari proses akulturasi budaya Islam, Kristen dan
Yahudi, proses akulturasi dan asimilasi itu terlihat dari proses interaksi Nabi
dengan beberapa kaum Yahudi, interaksi-interaksi itu sedikit banyak telah
memberikan peluang masuknya unsur-unsur kebudayaan Yahudi-Kristen dalam
kebudayaan Arab. Fakta-fakta tentang hal itu, dapat dilihat dalam beberapa
riwayat yang kadang mengandung unsur israiliyat.\
Imam Malik salah seorang tokoh dalam percaturan mazhab
fikih lahir dan dibesarkan ditengah masyarakat Madinah yang sangat prulal,
kebudayaan masyarakat yang terpola pada unsur Arab dan kecen-derungan kuat pada penghormatan yang tinggi atas ulama
menjadikan tradisi keilmuwan cenderung bernuansa tekstual-normatif.
Kota Madinah menjadi pusat ber-kembangnya corak pemikiran ahli al-hadi>s,
banyak ulama yang masih berpegang teguh pada corak pemikiran tersebut ketika
Imam Malik memulai pengembaraan keilmuaan-nya. Oleh karena itu,
kontruksi episti-mologi keilmuawan Imam Malik didomi-nasi corak pemikiran ahli
hadi>s itu.19 bukti
akan pengaruh pemikiran tersebut dapat dijumpai pada kitab al-muattha’, kitab
fikih yang bernuansa hadis-hadis.
Imam Malik kemudian memosisikan diri sebagai ulama’ ahlu
al-hadi>s, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasuk-kan beberapa konsep amal ahlu Madi>nah serta maslahah
mursalah. Masuknya dua teori itu dalam landasan metodologinya Imam Malik
menunjukkan adanya elaborasi penggunaan teks dengan ketergantungan kepada tradisi yang
hidup, sehingga dalam berbagai hal banyak ditemui hasil ijtihad Imam Malik yang
sumber legitimasinya dari tradisi masyarakat Madinah yang didasari
pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan bani
Abbasiyah telah mem-berikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan
kebudayaan. Pada masa pemerintahan Abbasiyah kota Baghdad menjelma menjadi kota
metropolitan dengan berbagai kemajuan dan pem-bangunan disegala bidang. Arabisasi yang semula
mendominasi pemerintahan bani Umayyah terganti dengan pola non Arab yang
menguasai pemerintahan Abbasiyah. Interaksi antara kebudayaan Arab dan non Arab
tentunya sangat berpengaruh ter-hadap perkembangan kebudayaan di kota Baghdad. Imam
Syafi’i cukup lama tinggal di kota ini dan berinteraksi dengan kebudayaan
setempat, sehingga dalam berbagai fatwa-fatwanya dibidang fikih juga sedikit
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Meskipun fatwa-fatwa itu akan
mengalami perubahan ketika beliau berdomisili di Mesir yang memiliki kebudayaan
yang berbeda dengan Baghdad, yaitu kebudayaan Mesir kuno.
3. Pengaruh Sosial Budaya Lahirnya Perubahan Hukum
Pemikiran hukum Islam mengenal empat
macam jenis produk pemikiran, yaitu kitab-kitab fikih, fatwa ulama, keputusan
pengadilan agama, dan peraturan per-undang-undangan di negeri Muslim. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam
melahirkan dan menetap-kan suatu hukum.20 Kitab fikih merupakan kumpulan produk pemikiran ulama
klasik yang tetap dijadikan referensi dalam memutuskan kasus-kasus modern, mes-kipun terjadi kesenjagan teks dengan realitas empiris,
dan adanya elaborasi pemikiran dengan kondisi sosial budaya tempat penyusunya
melahirkan suatu produk hukum.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi berdampak pada
perkembangan diberbagai bidang dan juga telah memengaruhi
perkembangan sosial-budaya masyarakat. Pertukaran budaya dan percaturan
pemikiran semakin intens terjadi dibelahan dunia. Sehingga akibat-akibat
positif-negatif yang ditimbulkan dari pola interaksi itu sedikit banyak telah
memengaruhi kondisi sosial-budaya suatu masyarakat. Globalisasi telah
memberikan keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan. Dan
setiap negara atau bangsa tidak dapat terlepas dari globalisasi yang telah
melanda dunia saat ini. Arus globalisasi telah meruntuhkan batas-batas dan
sekat-sekat kebangsaan dan kene-garaan. Sehingga negara manapun yang
terbawa arus globalisasi akan berhubungan secara dekat apa yang disebut budaya
lokal, pasar global, famili global, dan sebagainya.
Arus globalisasi dengan segala macam pengaruh yang
ditimbulkan itu akan menim-bulkan berbagai persoalan dan
permasalahan, baik dibidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial-budaya
maupun pola interaksi antara satu orang dengan orang lain. Berbagai macam
persoalan itu tentunya membutuhkan penyelesaian masalah dengan pendekatan
berbagai aspek pula.
Arus globalisasi mengakibatkan perubahan yang terjadi,
baik pada tingkat regional, nasional, maupun internasional. Perubahan-perubahan
itu tentunya mem-bawa kecenderungan baru, baik langsung
maupun tidak langsung terhadap hukum. Hukum harus menjadi suatu legalitas
terhadap segala perubahan yang terjadi agar lalu lintas pergaulan manusia dalam
menghadapi arus globalisasi ini tidak saling bertabrakan dan saling mengganggu.21
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi diberbagai bidang
berimplikasi pada munculnya berbagai macam kasus. Kasus-kasus ini harus mendapatkan
legi-timasi hukum, agar supaya setiap orang yang bersentuhan dengan kasus itu
merasa-kan ketenangan batin dan tidak menim-bulkan problem hukum di kemudian
hari. Kasus-kasus seperti bank sperma dan sel telur, transplantasi organ tubuh,
ataupun kasus dibidang penggunaan elektronik commerce dalam dunia maya dan high
teknologi seperti sekarang ini. Dalam presfektif kajian fikih, kasus ini
relative baru dan mungkin saja tidak memiliki landasan teks yang dapat
dijadikan patokan dalam menentukan legalitas hukumnya.
Imlpikasi yang ditimbulkan oleh
kemajuan dan globalisasi mengarah kepada terjadinya
perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, termasuk aspek social budaya. Oleh
karena itu, aspek-aspek pengubah hukum ditinjau dari aspek budaya dapat dilihat
dari beberapa hal berikut:
1. Pengaruh Budaya Luar
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta
karsa dan rasa manusia mempunyai tingkatan yang berbeda-beda antara suatu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan ini saling
ber-pengaruh dan saling mengisi satu sama lainnya.
Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu
masyarakat dalam sebuah waga Negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa
kehidupannya akan tersentuh dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ketika hubungan itu berlangsung lama dan terus-menerus,
maka tidak mustahil akan terjadi penyerapan antara suatu budaya dengan budaya
lainnya secara alamiah.
Kontak kebudayaan tersebut akan
menimbulkan problem tersendri, sebab mungkin saja ada yang dapat menerima
begitu saja unsur-unsur peradaban asing itu dan juga ada yang tidak dapat
menerima unsur-unsur baru tersebut. Unsur kebu-dayaan berupa tekhnologi mungkin
saja akan diserap dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, akan tetapi
unsur yang berupa ideology, falsafah hidup, dan nilai-nilai luhur mungkin
sesuatu yang sulit diterima begitu saja dan ditelan mentah-mentah.22 Seperti intervensi lembaga IMF
terhadap pemerintah Indonesia berakibat pada perubahan beberapa produk hukum,
misalnya dibidang perminyakan dan ketenagakerjaan.
2. Kejenuhan Terhadap Sistem Yang Mapan
Otorisasi kekuasaan merupakan sesuatu
yang sangat terlarang dalam dunia demokrasi, sebab kekuasaan dan wewenang yang
dipegang oleh seseorang dalam rentan waktu yang cukup lama, maka akan
menimbulkan kejenuhan dalam kehidupan organisasi maupun berbangsa dan ber-negara.
Tumbangnya orde baru, dan tumbangnya rezim-rezim di Timur-tengah adalah bukti bahwa
kepemimpinan otoriter adalah sesuatu yang menjenuhkan. Wujud kejenuhan
masyarakat atas suatu tirani terefleksikan dengan adanya upaya untuk
meruntuhkan nilai-nilai yang sudah mapan dan keinginan untuk mengganti dengan
nilai dan aturan baru. Amandemen UU Dasar dan perubahan beberapa UU atau
peraturan pemerintah adalah bukti bahwa hukum
itu harus senantiasa mengikuti perubahan dan per-kembangan yang terjadi dalam kehidupan
kemasyarakatan.
3. Tingkat Kepercayaan Terhadap Hukum
Semakin Menipis
Masyarakat akan
taat dan patuh ter-hadap hukum, karena dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya, pertama, takut terhadap sanksi yang akan
dikenakan, kedua, patuh kepada hukum karena kepentingannya dijamin oleh
hukum, ketiga, merasa bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai
yang ada pada dirinya.23
Adanya kecenderungan ketidakpatu-han terhadap hukum, karena faktor-faktor ter-sebut di atas tidak terigentrasi dalam kehidupan
masyarakat. Supremasi hukum akan berjalan dengan baik apabilah tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga tinggi, karena hukum telah memihak
kepada kepentingan masyarakat yang berfungsi sebagai obyek dari pemberlakuan
suatu hukum.
III.
KESIMPULAN
1.
Konsep pembaharuan hukum Islam harus dilandasi dengan
semangat untuk membumikan hukum Islam dalam kerangka implementasi dan
pengaturan melalui legislasi. Oleh karena itu, penggunaan metodologi dan
pendekatan multidisipliner dalam menetapkan suatu hukum sangat urgen untuk
diadakan. Dengan elaborasi metodologi klasik dan pendekatan keilmuan modern
akan menghasilkan kajian fikih yang obyektif, humanis, dan progresif.
2.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-nologi serta arus
globalisasi yang melanda dunia dewasa ini berimplikasi terjadinya
perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan itu terjadi dalam
berbagai bidang, sehingga dapat dipastikan bahwa kondisi sosial masyarakat juga
berubah seiring tingkat pola fikir yang berkembang. Sehingga hukum itu dapat
berupa karena dipengaruhi oleh, pengaruh budaya luar, kejenuhan terhadap sistem
yang mapan, dan tingkat kepercayan terhadap hukum semakin menipis.
a.
Ada banyak faktor yang memengaruhi lahirnya kitab fikih.
Aspek-aspek itu berkaitan langsung dengan kehidupan para ulama, sehingga
memiliki keter-kaitan dalam membentuk cakrawala ber-fikir mereka. Aspek itu meliputi; a) Aspek Politik, b) Aspek Budaya, 3)Aspek Sosial kemasyarakatan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Azizy, Qadri A, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar
Menuju Ijtihad Saintifik Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005
Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fikih,
terjemahan al-Hamid al-Husaini, Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2000
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford, Dunia
Islam Modern, Jilid IV, Cet. II; Bandung: Mizan, 2002
Husaini, Syekh, Abd. Al-Fattah, Tarikh Tasyri’
al-Islamiy, Cet. I; Kairo: Daar al-Jailiy Press, 1993
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam, Cet.
I; Bandung: Pustaka Setia, 2011
Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Cet. I; Jakarta:
Prenada Media, 2005
Mudzhar, Atho’, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam,
dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Editor Budhy Munawar
Rachman, Cet. I; Jakarta: Yayasan Paramadina, 2005
Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropogis Penetapan
Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2010
Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Telaah
Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i, Cet. I; Malang: UIN Malang Press,
2008
Team Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Cet.
I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1996
Wikipedia bahasa Indonesia, www.wikipedia.com
Catatan Akhir:
[1]Roibin, Dimensi-dimensi
Sosio-Antropogis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet. I;
Malang: UIN Malang Press, 2010), h. 2
2Q.S. al-Taubah (9): 37
3Ibid., h. 217
4 A. Qadri Azizi, op.cit.,
h. 75-76
5Team Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II
(Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1996), h. 345
6Ibid., h. 345
7Abd. Al-Fattah Husaini Sykeh, Tarikh Tasyri’
al-Islamiy, (Cet. I; Kairo: Daar al-Jailiy Press, 1993), h. 169
8Abdul Wahab Khallaf, Terj. Abdul Aziz Masyhuri, Khulasah
Tarikh Tasyri’ Islam, dalam Roibin, ibid., h. 68
9Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Cet.
I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 55
10Badri Khaeruman, Hukum
Islam dalam Perubahan Sosial (cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 29
11John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford, Dunia Islam Modern, Jilid IV (cet. II; Bandung: Mizan,
2002), h. 57
12Wikipedia bahasa
Indonesia, www.wikipedia.com
13Ensiklopedi Oxford, Dunia
Islam Modern, (cet. II; Bandung: Mizan, 2002), h. 98
14Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat
Sembilan Imam Fikih, terjemahan al-Hamid al-Husaini (cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000), h. 237
15Roibin, Sosiologi Hukum
Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (cet. I; Malang:
UIN Malang Press, 2008), h.179
16Roibin, ibid., h.
182
17Team Penyusun, Ensiklopedi
Hukum Islam, op.cit., h. 345
18Roibin, op.cit., h.
197
19A. Qadri Azizy, Reformasi
Bermazha, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (cet. IV; Jakarta:
PT. Mizan Publika, 2005), h. 47
20Atho’ Mudzhar, Fikih
dan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, Editor Budhy Munawar Rachman (cet. I; Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2005), h.
21Abdul Manan, Aspek-aspek
Pengubah Hukum, (Cet. I; Jakarta:
Prenada Media, 2005), h. 59
22 Ibid., h. 85-86
23R. Otje Salman, Beberapa
Aspek Sosiologi Hukum, dalam Abdul Manan, Ibdi., h. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar