Firdaus
Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar
DPK
STAI Al-Forqan Makassar
Abstract: The
basic principle of
democracy that is aimed
at establishing guidelines and a system
of government that protect
the interests of the people-oriented
and to fight
for the rights of the
people, without being partial,
in the sense mendominankan one group from the
other groups in all aspects
of life. Terlaksanaya a good
legal system and moral will give
birth to a
democratic system that
is authoritative,
then the proper creation
of the bureaucratic system of
government in the
sense that a good democracy,
the implementation
of the application must berekses legal value that
is consistent with the
will of the
meaning of
democracy. The law has a high
enough benefit in the struggle of
human life.
To that end, the
rules that are in
it to make a
change or transformation
of the legal value
of a democracy on any order of
statehood
Kata Kunci: Demokrasi dan Penegakan Hukum
I. PENDAHULUAN
Dalam sistem hukum dan pene-rapannya di masa Orde Lama maupun Orde
Baru pada semua aspek kehidupan, hasilnya dengan jelas bukan masyarakat yang
sadar hukum’ akan tetapi sebaliknya menimbul-kan penghianatan hukum yang telah
meraja-lela di dalamnya. Hal ini terjadi disebabkan adanya kepentingan politik
disertai alasan sikap patriotisme yang tidak jelas dalam membela kepentingan
bangsa, yang ada bukan kepentingan bangsa yang diper-juangkan akan tetapi
kepentingan kelom-pok, ras, agama dan golongan.
Hal disebutkan di atas memiliki relevansi dengan pendekatan Ernest
Gellner tentang primordialisme yang cenderung ke sektarianisme yang melihat
transformasi sosial yang ada merupakan perubahan transisi dari dunia lama penuh
keragaman budaya secara tidak langsung terikat pada tatanan politik tertentu ke
dunia baru yang ditandai dengan masyarakat anonim, sangat dinamis, tetapi
keluar tertutup karena sangat diwarnai kultus kekerabatan1.
Dalam Pemikiran Ernest tersebut, sejalan dengan sistem Caturtunggal
Demok-rasi Terpimpin di tahun 1960-an masa kepemimpinan Presiden Soekarno, di
zaman orde lama, saat dimunculkan hakim, jaksa, dan polisi bekerjasama dengan
birokrasi lokal dan militer untuk menjamin kontrol negara, yang dengan mudah
menjelma menjadi negara intelejen besar-besaran pada lingkup terdekat di
sekeliling Soekarno, saat itu dibentuk kopkamtib, intelejen keadaan perang,
yang mendapatkan kekuasaan dan membinasakan aliran kiri pada pertengahan tahun
1960-an, dan sistem administrasi saat itu, secara resmi pada pengadilan didasarkan
Undang-undang No.14/1970. Keadaan ini men-cerminkan penurunan status pengadilan
sejak masa itu, yang menetapkan kembalinya para hakim sebagai fungsionaris negara
pada awal tahun 1960-an2, tidak terelakan hal ini membuat
peradilan tunduk hampir mutlak pada kebijakan eksekutif. Dengan demikian hukum
dianggap lemah dan tak berdaya ketimbang eksekutif, padahal seharusnya hukum
yang semestinya menguasai dan mengatur eksekutif, dalam arti eksekutif bekerja
berdasarkan atas hukum yang ber-laku.
Dengan demikian, sederetan keputu-san pengadilan di masa Orde
Soeharto yang menonjol pada tahun 1990-an, sejauh itu menunjukan pengadilan
tidak mampu bertindak melawan kehendak para eksekutif (kroni Soeharto/mereka
yang ada di se-keliling lingkungan Soeharto atau orang terdekatnya), dengan
kepiawaiannya, keputusan-keputusan yang ditempuh ter-hadap kasus seperti kedung
Ombo, majalah tempo, dan kasus Marsinah, tidak meng-hasilkan tanggapan yang
berarti bagi suatu proses hukum, dengan demikian upaya yang ditempuh oleh pihak
pemerintah saat itu membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM)
untuk menun-taskan kasus-kasus tersebut, akan tetapi pada setiap penyelesaian
kasus tersebut, hasil akhirnya tetap tidak berdampak per-ubahan, walaupun terdapat
kritik yang tersebar luas, baik secara domestik maupun internasional,
pemerintahan saat itu dengan angkuh tetap mematahkan proses hukum-nya,
politisasi hukum berjalan, bahkan sampai tidak dimunculkan ke permukaan sebagai
suatu legitimasi pembenaran hukum terhadap hal-hal tersebut.
Disamping itu, pengadilan secara politis telah ditundukan oleh
eksekutif, akibatnya kedudukan hakim saat itu tidak berperan secara maksimal,
dan mereka hanya dijadikan sebagai alat politik.3
Pernyataan Adi Andoyo di atas me-rupakan fenomena kehidupan sistem
hukum yang disalahgunakan oleh pemerintahan masa orde baru, atau masa Soeharto,
merupakan fenomena kehidupan berdemok-rasi, yang menciptakan birokrasi pemerin-tahan
yang rapuh dalam pengelolaan sistem berdemokrasi di Indonesia. Dengan demi-kian
dianggap merupakan praktek penyala-gunaan wewenang berdemokrasi yang baik dan
berkeadilan bagi bangsa ini, termasuk penyalagunaan wewenang hukum terhadap
masyarakat.
II.
PEMBAHASAN
A. Moral Hukum Penguasa
Era pasca orde baru, masa reformasi saat ini muncul model kehidupan
hukum yang dipraktekkan hampir sejalan dengan masa Orde lama dan orde baru,
dalam rangka memberdayakan prangkat dan institusi hukum itu secara transparan
serta legitimasi hukum itu secara menyeluruh dan terbuka ke semua strata
kehidupan birokrasi pemerintahan daerah, dimunculkan sistem pemerintahan daerah
melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai
jawaban dalam memberikan legitimasi penuh kepada daerah, guna pengelolaan
pemerin-tahan secara baik dan menunjang kepentingan pembangunan secara nasional
dan menye-luruh, termasuk memberikan legitimasi khusus kepada daerah untuk
member-dayakan potensi wilayahnya bagi kelang-sungan pembangunan di daerah
secara berkesinambungan, sebagaimana yang di-atur berdasarkan kepada Bab I
pasal 1 ayat 2 bahwa:
Pemerintah daerah
adalah penyeleng-gara urusan pemerintahan di daerah, dan bersama DPRD
berdasarkan atas asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Dasar negara RI tahun 19454.
Berdasarkan ayat 2, pada pasal 1 di atas menjadi sumber hukum bagi
pemerin-tah daerah menyelenggarakan roda peme-rintahan daerah. Lebih jauh
dijelaskan pada ayat 3, bahwa pemerintahan yang dimaksud adalah Gubernur selaku
kepala daerah provinsi, Bupati atau Walikota selaku kepala daerah pada tingkat
Kabupaten dan kota, disertai perangkatnya selaku unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Disamping itu, unsur yang dimaksud pada pasal tersebut yakni yang
didasarkan kepada ayat 4, bahwa DPRD disebutkan sebagai lembaga perwakilan
rakyat daerah, sekaligus sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah.5
Acuan hukum tersebut, menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, dan atas legitimasi hukum tersebut kewenangan dimaksud dilaksanakan
sesuai prosedur dan mekanisme yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang
diberlaku-kan secara tekhnis mengenai pengelolaan roda organisasi pemerintahan
tersebut, dan kiranya tidak akan terjadi pelanggaran yang dapat merugikan
masyarakat secara umum dan Negara secara khusus termasuk daerah itu sendiri.
Oleh karenanya sistem manajemen yang menjadi penopang
terselenggaranya sistem birokrasi yang tertata secara baik itu, didasarkan atas
mekanisme yang ditempuh dengan pertimbangan, dapat memberikan kontribusi
positif kepada semua pihak, dan diharapkan terarah sesuai aturan-aturan ter-sebut,
termasuk tidak mengabaikan aturan yang berlaku secara nasional, karena pada
prinsipnya akan berdampak kepada kelang-sungan hidup masyarakat secara umum.
Polemik sekitar kasus PILKADA pada Kabupaten SBB, yang dilansir
berbagai media cetak dan elektronik, akibat pemalsuan ijazah oleh salah seorang
kandidat calon Bupati telah berakibat hukum dalam penyelesaiannya, hal mana
format hukum yang digunakan adalah Undang-undang No. 32 tahun 2004, pada
pasal-pasalnya tidak mengatur tentang persoalan tersebut dan dianggap
undang-undang tersebut tidak mengakomodir suatu prangkat hukum yang jelas untuk
mengatur penyelesaiannya, dengan demikian, ter-hadap kasus ini dianggap terjadi
kekoso-ngan hukum, akibat-nya mengundang berbagai polemik dalam penafsiran hukum
terhadap penyelesaian masalah tersebut. Kondisi ini mengundang berbagai
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk penye-lesaian
kasus dimaksud, termasuk negosiasi Gubernur selaku yang mewakili pemerintah
pusat di daerah, telah bersama KPUD di daerah berkoordinasi dengan pihak
Mendagri dan merumuskan beberapa opsi penyelesaian-nya, akan tetapi
penyelesaian dimaksud menimbulkan tanggapan yang bervariasi, sehingga muncul
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatas namakan kelompok
Aliansi Peduli PILKADA Bersih yang dimotori oleh Abd. Hamid Rahayaan, lewat
tabloid Ekspresi edisi 89 tahun 2006, telah menyampaikan sepuluh butir
tuntutan, dimana tuntutannya sengaja memprovakasi masyarakat ikut terlibat
dalam gerakan tersebut.
Hal ini mengundang tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Ketua
Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejah-tera (PKS) Sulsel, untuk bersikap
tegas dan berani memberikan pernyataan bahwa tidak ada lagi pelantikan pasangan
Syahrul dan Arifin dan meminta pemerintah pusat memutuskan salah satu dari dua
opsi yang pernah ditawarkan gubernur kepada Mendagri sebelumnya. Lebih jauh Syahrul
mengemukakan, jika gubernur Sulel tidak bersikap tegas dan adil dalam
penyelesaian kasus ini, dikuatirkan akan memicu terjadinya instabilitas sosial
baru di tengah masyarakat Sulel, dan jika tidak ada ketegasannya, dikuatirkan
akan terjadi instabilitas sosial khususnya di kabupaten SBB, termasuk membuka
ruang opini yang lebih besar di tengah masyarakat6
Sehubungan dengan kasus di atas, Keputusan KPUD MTB yang mensahkan
dukungan dewan pimpinan Cabang Patriot Pancasila versi Timotius Futwembun, yang
telah demisionir kepengurusannya sejak tanggal 15 Desember 2003, membuktikan
betapa lembaga penyelenggara PILKADA itu tidak professional, dalam melaksanakan
proses demokrasi di MTB, kepengurusan saudara Futwembun dinyatakan demisioner
menyusul SK No.1.16/DPW/PATRIOT/SI/ IX/2005 jo SK NO.1.003/DPW/PATRIOT/ SIII/2006,
dengan demikian tidak ada ke-putusan ganda dalam tubuh patriot pancasila
kabupaten MTB. Ditambahkan bahwa pengurus yang sah adalah berdasarkan
SK.NO.1.003/2006, tidak pernah member-kan rekomendasi maupun menandatangani
segala surat yang berhubungan dengan pengusungan calon bupati dan calon Wakil
bupati dari partai Patriot. Demikian dikemukakan oleh DPC. Partai Patriot
Pancasila MTB.
Ketua DPC. terkait dengan itu pihak mereka telah menyampaikan somasi
kepada KPUD MTB, tanggal 24-8-2006, menuntut ketua KPUD MTB, karena dengan
sengaja melanggar undang-undang No. 32 tahun 2004 dan PP. No. 6 tahun 2005
serta aturan-aturan dalam proses PILKADA, dan telah melapor-kan kepada KPUD Sulel
untuk segerah membatalkan hasil penetapan KPUD Sulsel7
Kasus yang dikemukakan di atas , menjadi asumsi bagi kita bahwa saat
ini pada daerah Sulel, masih terdapat sikap-sikap yang tidak menghargai etika
hukum yang berdemokrasi, dan bila dikaji lebih jauh, kasus tersebut menunjukan
kelemahan aparatur hukum yang ada di daerah, kasus tersebut sengaja menciptakan
kesen-jangan sosial di tengah masyarakat, dimana tentunya kondisi ini sangat
memberi dampak negatif bagi percepatan proses demokrasi di daerah tersebut.
Mungkin saja terdapat indikasi kolusi dan nepotisme yang dipraktekkan oleh
pihak terkait dengan kepentingan di antara pihak-pihak yang saling memiliki keberpiha-kan
terhadap kelompok yang didukung, untuk itu bagi penulis, terciptanya suatu
demokrasi yang baik adalah demokrasi yang didasarkan atas aturan-aturan hukum
yang diberlakukan bagi mekanisme PILKADA tersebut, tanpa disertai kesengajaan
yang sifatnya adminis-tratif belaka, tetapi dicipta-kan untuk saling melemahkan
diantara para kandidat yang ikut dalam PILKADA tersebut.
Terkait dengan kedua kasus yang penulis kemukakan di atas, menurut Rahmat
bahwa jika terdapat perbedaan pendapat di antara dua orang atau lebih terhadap
suatu kepentingan yang sama, akan melahirkan sikap antipati di antara mereka,
dan sikap itu akan dijadikan sebagai landasan awal sebuah konflik, selanjutnya
jika ada hal lain yang dimun-culkan sebagai pemicunya, bisa saja akan terakumulasi
dalam berbagai bentuk sikap antipati yang termanifesi dalam bentuk kekerasan
terbuka.8
Pemikiran yang dikemukakan oleh Rahmat tersebut merupakan sebuah
analisis yang menjadi perhatian kita, terkait dengan persoalan demokrasi yang
dijalankan, baik menyangkut PILKADA, maupun aspek lain-nya dalam wacana
demokrasi. Untuk itu semestinya dihindari munculnya konflik diantara stekholder
atau masyarakat, dan antara masyarakat dengan pihak pemerin-tah, termasuk institusi
lainnya seperti KPUD, dalam menjalankan kewenangan dimaksud, agar tidak
menimbulkan krisis demokrasi di tengah masyarakat secara umum.
B. Transformasi Demokrasi Bagi Penega-kan
Hukum
Keinginan kita sebagai masyarakat hanyalah model kepemimpinan yang
demok-ratis dan berwibawa, yang berarti keber-adaannya akan membentuk suatu
mekanisme kepemimpinan yang meng-ayomi semua pihak, serta mengedepankan
kepentingan bersama ketimbang kepenti-ngan individu. Jika sebuah demokrasi
dimainkan hanya untuk menggulingkan sebuah kelompok kekuatan demokrasi yang
bermoral ataupun yang elegan, akan melahirkan sebuah konfigurasi demokrasi
bangsa yang tidak elegan pula. Sebaliknya berdemokrasi dengan menghargai
nilai-nilai luhur demokrasi, berarti mengandung nilai-nilai etika dalam
berdemokrasi.
Demokrasi itu juga memerlukan etika, dan etika yang
dilandasi pada norma kepribadian sebagai bangsa yang religius, karenanya
demokrasi juga tidak boleh menghianati kebenaran, karena kepenti-ngan sesaat.9 Selanjutnya Paul Ricoeur termasuk
Eric Weil berpendapat, etika berdemokrasi adalah kehendak membidik kehidupan
yang baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup
kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yang lebih adil. Lebih jauh
dikemukakan Eric Weil bahwa ‘mengikut sertakan sekaligus dimensi moral perilaku
dan institusi serta memperhitungkan kedua demensi etika dimaksud, merupakan
faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan
institusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku, maka etika
berdemokrasi dapat merefleksi-kan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi
yang adil10
Dalam teori Etis, dikemukakan oleh Van Kan, disebutkan bahwa hukum
itu dibuat untuk menjaga kepentingan tiap-tiap individu (manusia), agar
kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu dan mencegah agar setiap orang
tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden)
dengan kata lain hukum dibuat untuk menjaga dan sekaligus memulihkan
keseimbangan sosial, untuk hal-hal yang merusak dan merawankan struktur sosial
harus diberantas dengan kekuatan hukum. Hukum harus mengendalikan elit struktural,
hukum tidak boleh teralienasikan dan dimarjinalkan dari kehidupan masyarakat
dan pembangunan, sebab bilamana hukum sampai di luar pergulatan hidup manusia,
maka akibatnya masyarakat akan menjadi fulgar dan arogan, masing-masing
individu ingin tampil menjadi yang terkuat dan tak terkalahkan, serba bisa dan
bangga men-jadikan orang lain sebagai ’bemper’ (kor-ban), sementara kita
menginginkan kehidu-pan masyarakat selalu terjaga kehar-monisan, kesejahteraan
dan hak-haknya.11
Sehubungan dengan hal yang di-kemukakan di atas, oleh Paul Ricoeur
juga mengemukakan bahwa “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki moral
atau etika yang dilandasi oleh aturan hukum, dan untuk menghubungkan ke-duanya12, oleh Jean Ladriere berpendapat’
ada tiga pola yang menjadi landasan kepemimpinan tersebut, yakni:
1.
Moral
dipahami sebagai yang meng-hubungkan hukum dengan ideal kehidupan
sosial-politik, kesejahteraan bersama dan keadilan sosial, yang berarti
upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apapun
usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal tersebut.
2.
Perwujudan
cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai
eksistensi atau dalam ben-tuk gagasan semata, tetapi dalam per-juangan di
tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, dengan begitu dapat dibangun
realitas moral.
3.
Moral
dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke
dalam hukum dan politik, dan satu-satunya cara untuk menjamin ke-sinambungan
antara moral dan hukum atau kehidupan konkrit adalah menerap-kan pemahaman
kehendak sebagai kehendak murni, seakan-akan kehendak adalah identik dengan
tindakan13.
Bila dikaitkan dengan landasan negara kita yang ada, Ketiga pola sebagai-mana
yang dikemukakan oleh Jean ter-sebut, seharusnya diberlakukan manajemen ke-pemimpinan
yang disenerjikan sesuai nilai-nilai moral yang pancasilais serta dinamis,
bukan format manajemen kepemimpinan lembaga yang rapuh dan bersifat statis,
manajemen yang dimaksud-kan itu adalah sistem lembaga birokrasi yang penuh
nuansa pluralis dan bernilaikan demokratis, berwibawa penuh santun dan elegan,
sehingga dapat menjadi kekuatan hukum bagi tegaknya keadilan.
Paul Recor juga telah menekankan bahwa moralitas seorang pemimpin
dalam kepemimpinannya dibutuhkan bagi ter-selenggaranya suatu pemerintahan yang
baik dan ideal, karena dengan modal moral tersebut, menjadi dasar melakukan
tinda-kan atau kebijakan yang akan dilakukan.
Kehendak berdemokrasi di Indonesia adalah kebutuhan penting bagi
terlak-sananya sistem dan tata pemerintahan yang baik, yang selanjutnya dapat
berekses kepada mekanis-me penyelenggaraan peme-rintahan yang demokratis dan
berdasarkan pancasila sebagai landasan idiologi dan UUD 45 sebagai landasan
konstitusi Negara.
Kelembagaan negara yang baik adalah lembaga yang lepas dari kepentingan-kepentingan
sepihak. Sebaliknya, kelem-bagaan itu diarahkan untuk melaku-kan
kebijakan-kebijakan yang bermuara kepada keberpihakannya terhadap rakyat, agar
se-jalan dengan makna demokrasi, dimana prinsip dasar demokrasi itu bertujuan
mem-bangun ta laksana sistem pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat
banyak dan berorientasi kepada memper-juangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap
parsial, dalam arti (mendominankan satu kelompok dari kelom-pok yang lain)
dalam segala aspek kehidupan, selanjutnya prinsip mendasar yang dianut oleh
demokrasi tersebut adalah mengedepankan keber-samaan, dimana mengandung unsur
musya-warah dalam bertindak maupun me-lakukan suatu kebijakan termasuk putusan
yang hendak ditempuh.
Meskipun hak otoritas kekuasaan yang ada pada pemerintah bersama
kelembagaan Negara yang lain, seperti DPR, MPR dan MA, bersama prangkat di bawahnya,
akan tetapi seharusnya kebijakan itu selamnya ditempuh dengan mem-pertimbangkan
hak-hak suara rakyat selaku stik holder sekaligus sebagai warga negara, yang
perlu dilindungi oleh hukum atas hak-hak tersebut, dan dalam kaitan itulah, menurut
Notohamidjojo bahwa, ada empat norma bagi penegakan hukum tersebut, yaitu:
1.
Norma kemanusiaan,
menuntut agar penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia
sebab ia memiliki keluhuran pribad.
2.
Norma
keadilan, adalah kehendak yang langgeng dan kekal untuk memberikan kepada orang
lain apa saja yang menjadi haknya
3.
Norma
kepatutan, atau equity, adalah hal yang wajib dipelihara dalam pem-berlakuan undang-undang dengan maksud untuk
menghilangkan ketaja-mannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan ter-utama dalam
pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
4.
Norma
kejujuran, pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam
mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani ‘justitiable’ yang berupaya
untuk mencari hukum dan keadilan atau dengan kata lain, setiap yurits
diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara. 14
Keempat norma sebagaimana yang dikemukakan oleh Notohamidjojo di
atas menjadi aturan-aturan dasar bagi manusia, yang mana norma itu dapat
digunakan sebagai pertimbangan hukum yang diper-lukan bagi penegakan hukum,
sehingga hukum itu dapat dianggap melindungi masyarakat secara menyeluruh.
Dikatakan demikian karena empat norma hukum tersebut mengandung empat makna
yang mendasar bagi manusia, sesuai landasan hukum yang dianut oleh Negara kita,
bahwa dalam perlakuan suatu hukum dibutuhkan adanya keadilan, kejujuran,
kepatutan, atau equity, yang berasaskan kemanusiaan, dalam arti segala
hal yang dilakukan harus sesuai norma-norma hukum tersebut.
Pemikiran Notohamidjojo yang dise-butkan di atas mestinya menjadi
landasan prilaku kita selaku warga Negara yang baik, terlepas dari
pemikirannya, oleh Sulastomo mengemukakan bahwa demokrasi,
ternyata mempunyai esensi yang bermakna luhur dan bernilai positif, bagaimana
tidak, semua Negara merasa tidak nyaman jika Negaranya dikatakan sebagai Negara
yang tidak ber-demokratis, untuk itu Negara yang tidak demokratis dan bahkan
otoriterpun menyebut dirinya sebagai Negara demok-rasi, padahal Negara tersebut
tidak ada demokrasi dalam arti yang sebenar-benar-nya, bagaimana dikatakan
sebagai Negara yang demokratis, sementara tidak mem-punyai akses infor-masi yang
berbeda dan bahkan kontrol terhadap informasi yang berjalan begitu ketat15
Sehubungan dengan pernyataan Sulastomo tersebut oleh Pendapat J.E
Sahetapy, menyatakan bahwa kondisi penyelenggaraan hukum di Indonesia sedang
menyidik “pembusukan hukum” artinya hukum tidak lagi berlaku sebagai-mana yang
terumus dalam pasal-pasal perundang-undangan. Dimana-mana terjadi pengebiran,
pemolitisiran atau ‘pemanipu-lasian penegakan hukum yang mencita-citakan
terwujudnya pengayoman terhadap para pencari keadilan (Justiabelen), antara
hukum yang tertulis (law inbook) dengan hukum dalam prakteknya (law inaction),
terjadi ketidak pastian dan sarat oleh ke-bijakan yang menyimpang dan tidak
bijak (impolicy), suatu hal yang dalam konstelasi kehidupan bangsa
Indonesia dan pem-bangunan memiliki tempat dan peran strategis sungguh menjadi
mem-perhatin-kan.
Siapapun mengakui bahwa kaedah hukum itu memiliki daya manfaat cukup
tinggi dalam pergumulan hidup manusia, seperti pola interaksi sosial,
kepentingan yang diperjuangkan, peradaban yang di-bangun, orientasi politik,
target kebutuhan perekonomian yang dikejar dan lainnya, dapat memperoleh
pengayoman yuridis, bisa berkompetisi secara sehat, tidak terseret melakukan
tindak kriminalitas atau tidak menkontruksi pola hidup yang semau gue, atau
homo-homini lopus (siap mengor-bankan siapa atau menerkam siapa/ manusia
menjadi serigala antar sesamenya.16
Terkait dengan proses PILKADA yang bermasalah, dari sisi lain
pelayanan public yang dipraktekkan oleh sejumlah kalangan birokrasi pemerintahan
di daerah, menimbulkan berbagai kasus penyala-gunaan wewenang yang dilakukan
oleh pihak aparaturnya, seperti yang terjadi pada kantor kecamatan Baguala,
beras khusus (raskin) yang semestinya diperuntukan kepada masyarakat berekonomi
lemah disalah-gunakan dengan dijual tidak sesuai harga patokan pemerintah, dari
seribu rupiah dijual seharga Rp. 4.200 perkilo gram, adalah perbuatan yang
tidak bermoral. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh L. Kajobo, warga
masyarakat miskin RT.001 RW.06 Desa Batumerah17, pada Harian Makassar Ekspres
tertanggal 1 Maret 2006, menun-jukan sikap aparatur pemerintah yang tidak jujur
dan berwibawa, karena tinda-kannya merupakan penyalagunaan wewenang yang
dilimpahkan kepadanya selaku aparatur pemerintah, sementara warga yang ber-sangkutan
adalah salah satu anggota masyarakat yang dikategori sebagai keluarga miskin
dan berhak menerima bantuan ter-sebut.
Hal yang demikian telah mencer-minkan moral aparatur negara yang
bersikap elegal dan tidak memberi kesem-patan kepada masyarakat untuk mendapat-kan
kehidupan yang layak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Recour, bahwa
kepemimpinan yang baik adalah kepemim-pinan yang dapat memberikan kesejahteraan
bagi rakyat, sesuai kapasitas yang dimiliki selaku aparatur negara.
Dengan demikian, untuk dapat ter-laksananya suatu sistem hukum yang
baik dan bermoral sehingga terbentuk sistem demokrasi yang berwibawa, maka
selayak-nya diciptakan sistem birokrasi pemerinta-han yang baik, mengacu kepada
prinsip-prinsip birokrasi yang bermoral, bukan yang elegan, seperti yang dimaknai
dengan manipulasi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh suatu birokrasi. Praktik kenegaraan
dalam suatu birokrasi yang diselimuti oleh sikap yang demikian, akan melahirkan
ketidakadilan dalam suatu kehidupan berdemokrasi ter-masuk terbentuknya sistem
hukum yang baik, dan selamanya mengedepankan kejujuran, ke-adilan dalam segala
aktifitas keseharian-nya.
Pemikiran yang dikemukakan oleh J.E Sahetapy tersebut sangat relevan
dengan apa yang dikemukakan oleh Laurence M. Friedman yang mengemu-kakan bahwa agar hukum
(undang-undang) dapat bekerja dengan baik di tengah kehidupan masyara-kat, maka
harus didukung dengan terapli-kasikannya hukum di tengah komonitas sosial yang
tidak terlepas dari pengaruh struktur, substansi dan kondisi kultural
masyarakat.18 Dengan demikian, dapat dikatakan hukum itu
dibutuhkan oleh manusia dan berfungsi bagi kelangsungan hidupnya, seperti yang
dikemu-kakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa, hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia, agar kentingan manusia ter-lindungi, hukum
harus dilaksanakan. Pelak-sanaan hukum dapat berlangsung secara tentram, damai,
tetapi dapat terjadi juga pelanggaran terhadap hukum, dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar harus ditegakkan, melalui penegakan hukum. Lebih jauh menurut
Sudikno Mertokusumo, dalam mene-gakkan hukum ada tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu kepastian hukum (reachts-sichherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)19.
Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Sudikno merupakan syarat bagi
perlakuan suatu hukum, karena untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri ketiga
unsur tersebut menjadi tolak ukur bagi penilaian atas berhasil tidaknya
penerapan hukum di tengah masyarakat, lebih jelasnya, penera-pan suatu hukum
jika tidak memberi kepastian hukum terhadap suatu persoalan yang disengketakan,
juga tidak memberi rasa keadilan terhadap mereka yang berperkara, itu berarti
hukum tersebut tidak memberi manfaat kepada manusia.
Atas dasar pemikiran di atas, sebagai warga Negara yang baik
semestinya dalam keseharian kita, selamanya dituntut untuk berprilaku dengan
mempertimbangkan segala akibat hukum yang akan terjadi, baik terkait dengan
urusan birokrasi yang kita jalani, maupun praktek berdemokrasi, seperti yang
dipraktekkan melalui pelaksa-naan PIL-KADA, mapun pelayanan birok-rasi oleh
pegawai kantor Kecamatan Baguala terhadap masyarakat, hendaknya tidak
menyepelekan aspek-aspek hukum yang menjadi dasar hukumnya, agar tidak mudah
terdapat penyalagunaan hukum di dalamnya, sehingga masyarakat dapat menganggap
bahwa hukum itu bermanfaat bagi dirinya, dan melindungi hak-haknya. Dengan
demikian dapat dikata-kan bahwa, hukum memberi dampak positif bagi kehidupan
manusia secara menyeluruh.
III. KESIMPULAN
1.
Prinsip
dasar demokrasi itu adalah bertujuan membangun tata laksana dan sistem
pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan ber-orientasi kepada
memperjuangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap parsial, dalam arti mendominankan
satu kelom-pok dari kelompok yang lain dalam segala aspek kehidupan.
2.
Terlaksanya
suatu sistem hukum yang baik dan bermoral akan melahirkan sistem demokrasi yang
berwibawa, maka selayaknya penciptaan sistem birokrasi pemerintahan dalam arti
berdemokrasi yang baik, harus berekses kepada terlaksananya aplikasi nilai
hukum yang selaras dengan kehendak dari makna demokrasi.
3.
Hukum itu
memiliki daya manfaat yang cukup tinggi dalam pergumulan hidup manusia. Untuk itu,
aturan-aturan yang ada di dalamnya dapat memberi perubahan atau tranformasi
nilai hukum kepada kehidupan demokrasi pada setiap tatanan hidup bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Gubernur
diminta tegas soal kelanjutan pilkada di SBB, dalam Makassar
Ekspres, 28 Agustus 2006
“KPUD
MTB disomasi” dalam Makassar Ekspres, tanggal 28 Agustus 2006
Abdul
Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia,
(Bandung: Tarsiti, 1997
Fisher,
Simon, Manajemen Pengelolaan Konflik, (tampa data)
Hariatmoko,
Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
Kilwouw,
Menyetujui Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Makassar Ekspres,
tanggal 1 Maret 2006
Manning,
Chris dan Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi
Dan Krisis, cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000
Republik
Indonesia, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Sumartana,
Th. dan Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002
Sumaryono,
E. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Yuliyanto,
Arif. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002
Catatan Akhir:
2Chris Manning dan
Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan
Krisis, (cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 348
3Arif Yuliyanto, Hubungan
Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 604
6“Gubernur diminta
tegas soal kelanjutan pilkada di SBB”, dalam Makassar Ekspres,
28 Agustus 2006, h. 16
9Th. Sumartana dan
Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 48-49
11 Abdul Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi
Hukum Di Indonesia, (Bandung: Tarsiti, 1997), h. 158- 159
14E. Sumaryono, Etika
Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), h. 115
17 Kilwouw, Menyetujui
Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Makassar Ekspres, tanggal
1 Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar