Rabu, 28 Januari 2015

URGENSI DEMOKRASI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA



Firdaus
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
DPK STAI Al-Forqan Makassar
Abstract: The basic principle of democracy that is aimed at establishing guidelines and a system of government that protect the interests of the people-oriented and to fight for the rights of the people, without being partial, in the sense mendominankan one group from the other groups in all aspects of life. Terlaksanaya a good legal system and moral will give birth to a democratic system that is authoritative, then the proper creation of the bureaucratic system of government in the sense that a good democracy, the implementation of the application must berekses legal value that is consistent with the will of the meaning of democracy. The law has a high enough benefit in the struggle of human life. To that end, the rules that are in it to make a change or transformation of the legal value of a democracy on any order of statehood

Kata Kunci: Demokrasi dan Penegakan Hukum



I.     PENDAHULUAN
Dalam sistem hukum dan pene-rapannya di masa Orde Lama maupun Orde Baru pada semua aspek kehidupan, hasilnya dengan jelas bukan masyarakat yang sadar hukum’ akan tetapi sebaliknya menimbul-kan penghianatan hukum yang telah meraja-lela di dalamnya. Hal ini terjadi disebabkan adanya kepentingan politik disertai alasan sikap patriotisme yang tidak jelas dalam membela kepentingan bangsa, yang ada bukan kepentingan bangsa yang diper-juangkan akan tetapi kepentingan kelom-pok, ras, agama dan golongan.
Hal disebutkan di atas memiliki relevansi dengan pendekatan Ernest Gellner tentang primordialisme yang cenderung ke sektarianisme yang melihat transformasi sosial yang ada merupakan perubahan transisi dari dunia lama penuh keragaman budaya secara tidak langsung terikat pada tatanan politik tertentu ke dunia baru yang ditandai dengan masyarakat anonim, sangat dinamis, tetapi keluar tertutup karena sangat diwarnai kultus kekerabatan1.
Dalam Pemikiran Ernest tersebut, sejalan dengan sistem Caturtunggal Demok-rasi Terpimpin di tahun 1960-an masa kepemimpinan Presiden Soekarno, di zaman orde lama, saat dimunculkan hakim, jaksa, dan polisi bekerjasama dengan birokrasi lokal dan militer untuk menjamin kontrol negara, yang dengan mudah menjelma menjadi negara intelejen besar-besaran pada lingkup terdekat di sekeliling Soekarno, saat itu dibentuk kopkamtib, intelejen keadaan perang, yang mendapatkan kekuasaan dan membinasakan aliran kiri pada pertengahan tahun 1960-an, dan sistem administrasi saat itu, secara resmi pada pengadilan didasarkan Undang-undang No.14/1970. Keadaan ini men-cerminkan penurunan status pengadilan sejak masa itu, yang menetapkan kembalinya para hakim sebagai fungsionaris negara pada awal tahun 1960-an2, tidak terelakan hal ini membuat peradilan tunduk hampir mutlak pada kebijakan eksekutif. Dengan demikian hukum dianggap lemah dan tak berdaya ketimbang eksekutif, padahal seharusnya hukum yang semestinya menguasai dan mengatur eksekutif, dalam arti eksekutif bekerja berdasarkan atas hukum yang ber-laku.
Dengan demikian, sederetan keputu-san pengadilan di masa Orde Soeharto yang menonjol pada tahun 1990-an, sejauh itu menunjukan pengadilan tidak mampu bertindak melawan kehendak para eksekutif (kroni Soeharto/mereka yang ada di se-keliling lingkungan Soeharto atau orang terdekatnya), dengan kepiawaiannya, keputusan-keputusan yang ditempuh ter-hadap kasus seperti kedung Ombo, majalah tempo, dan kasus Marsinah, tidak meng-hasilkan tanggapan yang berarti bagi suatu proses hukum, dengan demikian upaya yang ditempuh oleh pihak pemerintah saat itu membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) untuk menun-taskan kasus-kasus tersebut, akan tetapi pada setiap penyelesaian kasus tersebut, hasil akhirnya tetap tidak berdampak per-ubahan, walaupun terdapat kritik yang tersebar luas, baik secara domestik maupun internasional, pemerintahan saat itu dengan angkuh tetap mematahkan proses hukum-nya, politisasi hukum berjalan, bahkan sampai tidak dimunculkan ke permukaan sebagai suatu legitimasi pembenaran hukum terhadap hal-hal tersebut.
Disamping itu, pengadilan secara politis telah ditundukan oleh eksekutif, akibatnya kedudukan hakim saat itu tidak berperan secara maksimal, dan mereka hanya dijadikan sebagai alat politik.3
Pernyataan Adi Andoyo di atas me-rupakan fenomena kehidupan sistem hukum yang disalahgunakan oleh pemerintahan masa orde baru, atau masa Soeharto, merupakan fenomena kehidupan berdemok-rasi, yang menciptakan birokrasi pemerin-tahan yang rapuh dalam pengelolaan sistem berdemokrasi di Indonesia. Dengan demi-kian dianggap merupakan praktek penyala-gunaan wewenang berdemokrasi yang baik dan berkeadilan bagi bangsa ini, termasuk penyalagunaan wewenang hukum terhadap masyarakat.
II.      PEMBAHASAN
A.  Moral Hukum Penguasa
Era pasca orde baru, masa reformasi saat ini muncul model kehidupan hukum yang dipraktekkan hampir sejalan dengan masa Orde lama dan orde baru, dalam rangka memberdayakan prangkat dan institusi hukum itu secara transparan serta legitimasi hukum itu secara menyeluruh dan terbuka ke semua strata kehidupan birokrasi pemerintahan daerah, dimunculkan sistem pemerintahan daerah melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai jawaban dalam memberikan legitimasi penuh kepada daerah, guna pengelolaan pemerin-tahan secara baik dan menunjang kepentingan pembangunan secara nasional dan menye-luruh, termasuk memberikan legitimasi khusus kepada daerah untuk member-dayakan potensi wilayahnya bagi kelang-sungan pembangunan di daerah secara berkesinambungan, sebagaimana yang di-atur berdasarkan kepada Bab I pasal 1 ayat 2 bahwa:
Pemerintah daerah adalah penyeleng-gara urusan pemerintahan di daerah, dan bersama DPRD berdasarkan atas asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar negara RI tahun 19454.
Berdasarkan ayat 2, pada pasal 1 di atas menjadi sumber hukum bagi pemerin-tah daerah menyelenggarakan roda peme-rintahan daerah. Lebih jauh dijelaskan pada ayat 3, bahwa pemerintahan yang dimaksud adalah Gubernur selaku kepala daerah provinsi, Bupati atau Walikota selaku kepala daerah pada tingkat Kabupaten dan kota, disertai perangkatnya selaku unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Disamping itu, unsur yang dimaksud pada pasal tersebut yakni yang didasarkan kepada ayat 4, bahwa DPRD disebutkan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah, sekaligus sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah.5
Acuan hukum tersebut, menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan atas legitimasi hukum tersebut kewenangan dimaksud dilaksanakan sesuai prosedur dan mekanisme yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang diberlaku-kan secara tekhnis mengenai pengelolaan roda organisasi pemerintahan tersebut, dan kiranya tidak akan terjadi pelanggaran yang dapat merugikan masyarakat secara umum dan Negara secara khusus termasuk daerah itu sendiri.
Oleh karenanya sistem manajemen yang menjadi penopang terselenggaranya sistem birokrasi yang tertata secara baik itu, didasarkan atas mekanisme yang ditempuh dengan pertimbangan, dapat memberikan kontribusi positif kepada semua pihak, dan diharapkan terarah sesuai aturan-aturan ter-sebut, termasuk tidak mengabaikan aturan yang berlaku secara nasional, karena pada prinsipnya akan berdampak kepada kelang-sungan hidup masyarakat secara umum.
Polemik sekitar kasus PILKADA pada Kabupaten SBB, yang dilansir berbagai media cetak dan elektronik, akibat pemalsuan ijazah oleh salah seorang kandidat calon Bupati telah berakibat hukum dalam penyelesaiannya, hal mana format hukum yang digunakan adalah Undang-undang No. 32 tahun 2004, pada pasal-pasalnya tidak mengatur tentang persoalan tersebut dan dianggap undang-undang tersebut tidak mengakomodir suatu prangkat hukum yang jelas untuk mengatur penyelesaiannya, dengan demikian, ter-hadap kasus ini dianggap terjadi kekoso-ngan hukum, akibat-nya mengundang berbagai polemik dalam penafsiran hukum terhadap penyelesaian masalah tersebut. Kondisi ini mengundang berbagai kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk penye-lesaian kasus dimaksud, termasuk negosiasi Gubernur selaku yang mewakili pemerintah pusat di daerah, telah bersama KPUD di daerah berkoordinasi dengan pihak Mendagri dan merumuskan beberapa opsi penyelesaian-nya, akan tetapi penyelesaian dimaksud menimbulkan tanggapan yang bervariasi, sehingga muncul gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatas namakan kelompok Aliansi Peduli PILKADA Bersih yang dimotori oleh Abd. Hamid Rahayaan, lewat tabloid Ekspresi edisi 89 tahun 2006, telah menyampaikan sepuluh butir tuntutan, dimana tuntutannya sengaja memprovakasi masyarakat ikut terlibat dalam gerakan tersebut.
Hal ini mengundang tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejah-tera (PKS) Sulsel, untuk bersikap tegas dan berani memberikan pernyataan bahwa tidak ada lagi pelantikan pasangan Syahrul dan Arifin dan meminta pemerintah pusat memutuskan salah satu dari dua opsi yang pernah ditawarkan gubernur kepada Mendagri sebelumnya. Lebih jauh Syahrul mengemukakan, jika gubernur Sulel tidak bersikap tegas dan adil dalam penyelesaian kasus ini, dikuatirkan akan memicu terjadinya instabilitas sosial baru di tengah masyarakat Sulel, dan jika tidak ada ketegasannya, dikuatirkan akan terjadi instabilitas sosial khususnya di kabupaten SBB, termasuk membuka ruang opini yang lebih besar di tengah masyarakat6
Sehubungan dengan kasus di atas, Keputusan KPUD MTB yang mensahkan dukungan dewan pimpinan Cabang Patriot Pancasila versi Timotius Futwembun, yang telah demisionir kepengurusannya sejak tanggal 15 Desember 2003, membuktikan betapa lembaga penyelenggara PILKADA itu tidak professional, dalam melaksanakan proses demokrasi di MTB, kepengurusan saudara Futwembun dinyatakan demisioner menyusul SK No.1.16/DPW/PATRIOT/SI/ IX/2005 jo SK NO.1.003/DPW/PATRIOT/ SIII/2006, dengan demikian tidak ada ke-putusan ganda dalam tubuh patriot pancasila kabupaten MTB. Ditambahkan bahwa pengurus yang sah adalah berdasarkan SK.NO.1.003/2006, tidak pernah member-kan rekomendasi maupun menandatangani segala surat yang berhubungan dengan pengusungan calon bupati dan calon Wakil bupati dari partai Patriot. Demikian dikemukakan oleh DPC. Partai Patriot Pancasila MTB.
Ketua DPC. terkait dengan itu pihak mereka telah menyampaikan somasi kepada KPUD MTB, tanggal 24-8-2006, menuntut ketua KPUD MTB, karena dengan sengaja melanggar undang-undang No. 32 tahun 2004 dan PP. No. 6 tahun 2005 serta aturan-aturan dalam proses PILKADA, dan telah melapor-kan kepada KPUD Sulel untuk segerah membatalkan hasil penetapan KPUD Sulsel7
Kasus yang dikemukakan di atas , menjadi asumsi bagi kita bahwa saat ini pada daerah Sulel, masih terdapat sikap-sikap yang tidak menghargai etika hukum yang berdemokrasi, dan bila dikaji lebih jauh, kasus tersebut menunjukan kelemahan aparatur hukum yang ada di daerah, kasus tersebut sengaja menciptakan kesen-jangan sosial di tengah masyarakat, dimana tentunya kondisi ini sangat memberi dampak negatif bagi percepatan proses demokrasi di daerah tersebut. Mungkin saja terdapat indikasi kolusi dan nepotisme yang dipraktekkan oleh pihak terkait dengan kepentingan di antara pihak-pihak yang saling memiliki keberpiha-kan terhadap kelompok yang didukung, untuk itu bagi penulis, terciptanya suatu demokrasi yang baik adalah demokrasi yang didasarkan atas aturan-aturan hukum yang diberlakukan bagi mekanisme PILKADA tersebut, tanpa disertai kesengajaan yang sifatnya adminis-tratif belaka, tetapi dicipta-kan untuk saling melemahkan diantara para kandidat yang ikut dalam PILKADA tersebut.
Terkait dengan kedua kasus yang penulis kemukakan di atas, menurut Rahmat bahwa jika terdapat perbedaan pendapat di antara dua orang atau lebih terhadap suatu kepentingan yang sama, akan melahirkan sikap antipati di antara mereka, dan sikap itu akan dijadikan sebagai landasan awal sebuah konflik, selanjutnya jika ada hal lain yang dimun-culkan sebagai pemicunya, bisa saja akan terakumulasi dalam berbagai bentuk sikap antipati yang termanifesi dalam bentuk kekerasan terbuka.8
Pemikiran yang dikemukakan oleh Rahmat tersebut merupakan sebuah analisis yang menjadi perhatian kita, terkait dengan persoalan demokrasi yang dijalankan, baik menyangkut PILKADA, maupun aspek lain-nya dalam wacana demokrasi. Untuk itu semestinya dihindari munculnya konflik diantara stekholder atau masyarakat, dan antara masyarakat dengan pihak pemerin-tah, termasuk institusi lainnya seperti KPUD, dalam menjalankan kewenangan dimaksud, agar tidak menimbulkan krisis demokrasi di tengah masyarakat secara umum.
B.  Transformasi Demokrasi Bagi Penega-kan Hukum
Keinginan kita sebagai masyarakat hanyalah model kepemimpinan yang demok-ratis dan berwibawa, yang berarti keber-adaannya akan membentuk suatu mekanisme kepemimpinan yang meng-ayomi semua pihak, serta mengedepankan kepentingan bersama ketimbang kepenti-ngan individu. Jika sebuah demokrasi dimainkan hanya untuk menggulingkan sebuah kelompok kekuatan demokrasi yang bermoral ataupun yang elegan, akan melahirkan sebuah konfigurasi demokrasi bangsa yang tidak elegan pula. Sebaliknya berdemokrasi dengan menghargai nilai-nilai luhur demokrasi, berarti mengandung nilai-nilai etika dalam berdemokrasi.
Demokrasi itu juga memerlukan etika, dan etika yang dilandasi pada norma kepribadian sebagai bangsa yang religius, karenanya demokrasi juga tidak boleh menghianati kebenaran, karena kepenti-ngan sesaat.9 Selanjutnya Paul Ricoeur termasuk Eric Weil berpendapat, etika berdemokrasi adalah kehendak membidik kehidupan yang baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yang lebih adil. Lebih jauh dikemukakan Eric Weil bahwa ‘mengikut sertakan sekaligus dimensi moral perilaku dan institusi serta memperhitungkan kedua demensi etika dimaksud, merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan institusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku, maka etika berdemokrasi dapat merefleksi-kan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil10
Dalam teori Etis, dikemukakan oleh Van Kan, disebutkan bahwa hukum itu dibuat untuk menjaga kepentingan tiap-tiap individu (manusia), agar kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden) dengan kata lain hukum dibuat untuk menjaga dan sekaligus memulihkan keseimbangan sosial, untuk hal-hal yang merusak dan merawankan struktur sosial harus diberantas dengan kekuatan hukum. Hukum harus mengendalikan elit struktural, hukum tidak boleh teralienasikan dan dimarjinalkan dari kehidupan masyarakat dan pembangunan, sebab bilamana hukum sampai di luar pergulatan hidup manusia, maka akibatnya masyarakat akan menjadi fulgar dan arogan, masing-masing individu ingin tampil menjadi yang terkuat dan tak terkalahkan, serba bisa dan bangga men-jadikan orang lain sebagai ’bemper’ (kor-ban), sementara kita menginginkan kehidu-pan masyarakat selalu terjaga kehar-monisan, kesejahteraan dan hak-haknya.11
Sehubungan dengan hal yang di-kemukakan di atas, oleh Paul Ricoeur juga mengemukakan bahwa “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki moral atau etika yang dilandasi oleh aturan hukum, dan untuk menghubungkan ke-duanya12, oleh Jean Ladriere berpendapat’ ada tiga pola yang menjadi landasan kepemimpinan tersebut, yakni:
1.    Moral dipahami sebagai yang meng-hubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama dan keadilan sosial, yang berarti upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apapun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal tersebut.
2.    Perwujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi atau dalam ben-tuk gagasan semata, tetapi dalam per-juangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, dengan begitu dapat dibangun realitas moral.
3.    Moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik, dan satu-satunya cara untuk menjamin ke-sinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkrit adalah menerap-kan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni, seakan-akan kehendak adalah identik dengan tindakan13.
Bila dikaitkan dengan landasan negara kita yang ada, Ketiga pola sebagai-mana yang dikemukakan oleh Jean ter-sebut, seharusnya diberlakukan manajemen ke-pemimpinan yang disenerjikan sesuai nilai-nilai moral yang pancasilais serta dinamis, bukan format manajemen kepemimpinan lembaga yang rapuh dan bersifat statis, manajemen yang dimaksud-kan itu adalah sistem lembaga birokrasi yang penuh nuansa pluralis dan bernilaikan demokratis, berwibawa penuh santun dan elegan, sehingga dapat menjadi kekuatan hukum bagi tegaknya keadilan.
Paul Recor juga telah menekankan bahwa moralitas seorang pemimpin dalam kepemimpinannya dibutuhkan bagi ter-selenggaranya suatu pemerintahan yang baik dan ideal, karena dengan modal moral tersebut, menjadi dasar melakukan tinda-kan atau kebijakan yang akan dilakukan.
Kehendak berdemokrasi di Indonesia adalah kebutuhan penting bagi terlak-sananya sistem dan tata pemerintahan yang baik, yang selanjutnya dapat berekses kepada mekanis-me penyelenggaraan peme-rintahan yang demokratis dan berdasarkan pancasila sebagai landasan idiologi dan UUD 45 sebagai landasan konstitusi Negara.
Kelembagaan negara yang baik adalah lembaga yang lepas dari kepentingan-kepentingan sepihak. Sebaliknya, kelem-bagaan itu diarahkan untuk melaku-kan kebijakan-kebijakan yang bermuara kepada keberpihakannya terhadap rakyat, agar se-jalan dengan makna demokrasi, dimana prinsip dasar demokrasi itu bertujuan mem-bangun ta laksana sistem pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan berorientasi kepada memper-juangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap parsial, dalam arti (mendominankan satu kelompok dari kelom-pok yang lain) dalam segala aspek kehidupan, selanjutnya prinsip mendasar yang dianut oleh demokrasi tersebut adalah mengedepankan keber-samaan, dimana mengandung unsur musya-warah dalam bertindak maupun me-lakukan suatu kebijakan termasuk putusan yang hendak ditempuh.
Meskipun hak otoritas kekuasaan yang ada pada pemerintah bersama kelembagaan Negara yang lain, seperti DPR, MPR dan MA, bersama prangkat di bawahnya, akan tetapi seharusnya kebijakan itu selamnya ditempuh dengan mem-pertimbangkan hak-hak suara rakyat selaku stik holder sekaligus sebagai warga negara, yang perlu dilindungi oleh hukum atas hak-hak tersebut, dan dalam kaitan itulah, menurut Notohamidjojo bahwa, ada empat norma bagi penegakan hukum tersebut, yaitu:
1.    Norma kemanusiaan, menuntut agar penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia sebab ia memiliki keluhuran pribad.
2.    Norma keadilan, adalah kehendak yang langgeng dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya
3.    Norma kepatutan, atau equity, adalah hal yang wajib dipelihara dalam pem-berlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketaja-mannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan ter-utama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
4.    Norma kejujuran, pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani ‘justitiable’ yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan atau dengan kata lain, setiap yurits diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara. 14
Keempat norma sebagaimana yang dikemukakan oleh Notohamidjojo di atas menjadi aturan-aturan dasar bagi manusia, yang mana norma itu dapat digunakan sebagai pertimbangan hukum yang diper-lukan bagi penegakan hukum, sehingga hukum itu dapat dianggap melindungi masyarakat secara menyeluruh. Dikatakan demikian karena empat norma hukum tersebut mengandung empat makna yang mendasar bagi manusia, sesuai landasan hukum yang dianut oleh Negara kita, bahwa dalam perlakuan suatu hukum dibutuhkan adanya keadilan, kejujuran, kepatutan, atau equity, yang berasaskan kemanusiaan, dalam arti segala hal yang dilakukan harus sesuai norma-norma hukum tersebut.
Pemikiran Notohamidjojo yang dise-butkan di atas mestinya menjadi landasan prilaku kita selaku warga Negara yang baik, terlepas dari pemikirannya, oleh Sulastomo mengemukakan bahwa demokrasi, ternyata mempunyai esensi yang bermakna luhur dan bernilai positif, bagaimana tidak, semua Negara merasa tidak nyaman jika Negaranya dikatakan sebagai Negara yang tidak ber-demokratis, untuk itu Negara yang tidak demokratis dan bahkan otoriterpun menyebut dirinya sebagai Negara demok-rasi, padahal Negara tersebut tidak ada demokrasi dalam arti yang sebenar-benar-nya, bagaimana dikatakan sebagai Negara yang demokratis, sementara tidak mem-punyai akses infor-masi yang berbeda dan bahkan kontrol terhadap informasi yang berjalan begitu ketat15
Sehubungan dengan pernyataan Sulastomo tersebut oleh Pendapat J.E Sahetapy, menyatakan bahwa kondisi penyelenggaraan hukum di Indonesia sedang menyidik “pembusukan hukum” artinya hukum tidak lagi berlaku sebagai-mana yang terumus dalam pasal-pasal perundang-undangan. Dimana-mana terjadi pengebiran, pemolitisiran atau ‘pemanipu-lasian penegakan hukum yang mencita-citakan terwujudnya pengayoman terhadap para pencari keadilan (Justiabelen), antara hukum yang tertulis (law inbook) dengan hukum dalam prakteknya (law inaction), terjadi ketidak pastian dan sarat oleh ke-bijakan yang menyimpang dan tidak bijak (impolicy), suatu hal yang dalam konstelasi kehidupan bangsa Indonesia dan pem-bangunan memiliki tempat dan peran strategis sungguh menjadi mem-perhatin-kan.
Siapapun mengakui bahwa kaedah hukum itu memiliki daya manfaat cukup tinggi dalam pergumulan hidup manusia, seperti pola interaksi sosial, kepentingan yang diperjuangkan, peradaban yang di-bangun, orientasi politik, target kebutuhan perekonomian yang dikejar dan lainnya, dapat memperoleh pengayoman yuridis, bisa berkompetisi secara sehat, tidak terseret melakukan tindak kriminalitas atau tidak menkontruksi pola hidup yang semau gue, atau homo-homini lopus (siap mengor-bankan siapa atau menerkam siapa/ manusia menjadi serigala antar sesamenya.16
Terkait dengan proses PILKADA yang bermasalah, dari sisi lain pelayanan public yang dipraktekkan oleh sejumlah kalangan birokrasi pemerintahan di daerah, menimbulkan berbagai kasus penyala-gunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak aparaturnya, seperti yang terjadi pada kantor kecamatan Baguala, beras khusus (raskin) yang semestinya diperuntukan kepada masyarakat berekonomi lemah disalah-gunakan dengan dijual tidak sesuai harga patokan pemerintah, dari seribu rupiah dijual seharga Rp. 4.200 perkilo gram, adalah perbuatan yang tidak bermoral. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh L. Kajobo, warga masyarakat miskin RT.001 RW.06 Desa Batumerah17, pada Harian Makassar Ekspres tertanggal 1 Maret 2006, menun-jukan sikap aparatur pemerintah yang tidak jujur dan berwibawa, karena tinda-kannya merupakan penyalagunaan wewenang yang dilimpahkan kepadanya selaku aparatur pemerintah, sementara warga yang ber-sangkutan adalah salah satu anggota masyarakat yang dikategori sebagai keluarga miskin dan berhak menerima bantuan ter-sebut.
Hal yang demikian telah mencer-minkan moral aparatur negara yang bersikap elegal dan tidak memberi kesem-patan kepada masyarakat untuk mendapat-kan kehidupan yang layak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Recour, bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemim-pinan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat, sesuai kapasitas yang dimiliki selaku aparatur negara.
Dengan demikian, untuk dapat ter-laksananya suatu sistem hukum yang baik dan bermoral sehingga terbentuk sistem demokrasi yang berwibawa, maka selayak-nya diciptakan sistem birokrasi pemerinta-han yang baik, mengacu kepada prinsip-prinsip birokrasi yang bermoral, bukan yang elegan, seperti yang dimaknai dengan manipulasi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh suatu birokrasi. Praktik kenegaraan dalam suatu birokrasi yang diselimuti oleh sikap yang demikian, akan melahirkan ketidakadilan dalam suatu kehidupan berdemokrasi ter-masuk terbentuknya sistem hukum yang baik, dan selamanya mengedepankan kejujuran, ke-adilan dalam segala aktifitas keseharian-nya.
Pemikiran yang dikemukakan oleh J.E Sahetapy tersebut sangat relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Laurence M. Friedman yang  mengemu-kakan bahwa agar hukum (undang-undang) dapat bekerja dengan baik di tengah kehidupan masyara-kat, maka harus didukung dengan terapli-kasikannya hukum di tengah komonitas sosial yang tidak terlepas dari pengaruh struktur, substansi dan kondisi kultural masyarakat.18  Dengan demikian, dapat dikatakan hukum itu dibutuhkan oleh manusia dan berfungsi bagi kelangsungan hidupnya, seperti yang dikemu-kakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kentingan manusia ter-lindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelak-sanaan hukum dapat berlangsung secara tentram, damai, tetapi dapat terjadi juga pelanggaran terhadap hukum, dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan, melalui penegakan hukum. Lebih jauh menurut Sudikno Mertokusumo, dalam mene-gakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (reachts-sichherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)19.
Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Sudikno merupakan syarat bagi perlakuan suatu hukum, karena untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri ketiga unsur tersebut menjadi tolak ukur bagi penilaian atas berhasil tidaknya penerapan hukum di tengah masyarakat, lebih jelasnya, penera-pan suatu hukum jika tidak memberi kepastian hukum terhadap suatu persoalan yang disengketakan, juga tidak memberi rasa keadilan terhadap mereka yang berperkara, itu berarti hukum tersebut tidak memberi manfaat kepada manusia.
Atas dasar pemikiran di atas, sebagai warga Negara yang baik semestinya dalam keseharian kita, selamanya dituntut untuk berprilaku dengan mempertimbangkan segala akibat hukum yang akan terjadi, baik terkait dengan urusan birokrasi yang kita jalani, maupun praktek berdemokrasi, seperti yang dipraktekkan melalui pelaksa-naan PIL-KADA, mapun pelayanan birok-rasi oleh pegawai kantor Kecamatan Baguala terhadap masyarakat, hendaknya tidak menyepelekan aspek-aspek hukum yang menjadi dasar hukumnya, agar tidak mudah terdapat penyalagunaan hukum di dalamnya, sehingga masyarakat dapat menganggap bahwa hukum itu bermanfaat bagi dirinya, dan melindungi hak-haknya. Dengan demikian dapat dikata-kan bahwa, hukum memberi dampak positif bagi kehidupan manusia secara menyeluruh.
III.    KESIMPULAN
1.    Prinsip dasar demokrasi itu adalah bertujuan membangun tata laksana dan sistem pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan ber-orientasi kepada memperjuangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap parsial, dalam arti mendominankan satu kelom-pok dari kelompok yang lain dalam segala aspek kehidupan.
2.    Terlaksanya suatu sistem hukum yang baik dan bermoral akan melahirkan sistem demokrasi yang berwibawa, maka selayaknya penciptaan sistem birokrasi pemerintahan dalam arti berdemokrasi yang baik, harus berekses kepada terlaksananya aplikasi nilai hukum yang selaras dengan kehendak dari makna demokrasi.
3.    Hukum itu memiliki daya manfaat yang cukup tinggi dalam pergumulan hidup manusia. Untuk itu, aturan-aturan yang ada di dalamnya dapat memberi perubahan atau tranformasi nilai hukum kepada kehidupan demokrasi pada setiap tatanan hidup bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Gubernur diminta tegas soal kelanjutan pilkada di SBB, dalam Makassar Ekspres, 28 Agustus 2006
“KPUD MTB disomasi” dalam Makassar Ekspres, tanggal 28 Agustus 2006
Abdul Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, (Bandung: Tarsiti, 1997
Fisher, Simon, Manajemen Pengelolaan Konflik, (tampa data)
Hariatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
Kilwouw, Menyetujui Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Makassar Ekspres, tanggal 1 Maret 2006
Manning, Chris dan Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan Krisis, cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000
Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Sumartana, Th. dan Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Yuliyanto, Arif. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Catatan Akhir:

1Hariatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 168
2Chris Manning dan Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan Krisis, (cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 348
3Arif Yuliyanto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 604
4Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
5 Ibid.
6“Gubernur diminta tegas soal kelanjutan pilkada di SBB”, dalam Makassar Ekspres, 28 Agustus 2006, h. 16
7“KPUD MTB disomasi” dalam Makassar Ekspres, tanggal 28 Agustus 2006, h. 3
8Rahmat, Manajemen Pengelolaan Konflik, (tampa data), h. 8
9Th. Sumartana dan Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 48-49
10 Hariatmoko, op. cit., h. 240
11 Abdul Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, (Bandung: Tarsiti, 1997), h. 158- 159
12 Hariatmoko, loc. cit.
13 Ibid., h. 192-193
14E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 115
15Th. Sumartana dan Elga Sarapung, op. cit., h. 48-49
16 Ibid., h. 143-144
17 Kilwouw, Menyetujui Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Makassar Ekspres, tanggal 1 Maret 2006
18 Ibid. h. 163
19 Abd wahid, op. cit., h. 183-184



Tidak ada komentar:

Posting Komentar