Rabu, 28 Januari 2015

PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM



PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Aris Rauf
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: aris_stainpare@yahoo.co.id


Abstract: This paper studies regarding one aspect of the discussion about the science of motion fikhi beneficiaries mursalah position as a source of law in the view of Imam Shafi'i. The issue is how thinking about the position of Imam Shafi'i maslahah mursalah as a source of law. In the discussion of its principles Fiqhi, one of the sources of law that is often disputed among scholars of usul use is maslahah mursalah. Imam Shafi'i firmly rejected mursalah maslahah use as a source of law to argue that Islamic law has come with all the laws that realize the benefit of all human beings, either through the Koran and Hadith or qiyas manner to the existing case law.

Kata Kunci: Maslahah Mursalah, Imam Syafi’i


I.         PENDAHULUAN
Dalam kajian hukum Islam, sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum suatu masalah pada dasarnya terdiri dari dua macam, yaitu nash dan ra’yu (rasio).  Termasuk dalam kategori nash ialah Alquran dan Hadis, sedang yang tergolong dalam kategori ra’yu ialah selain dari keduanya. Adapun jika ditinjau dari kekuatannya, sumber tersebut dapat digolongkan atas sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama.
Salah satu sumber hukum yang termasuk dalam kategori ra’yu dan tidak disepakati oleh ulama adalah maslahah mursalah. Maslahah mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus. Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak kemudharatan dan menghilangkan kesusahan manusia.1
Di antara ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai salah satu sumber dalam menetapkan hukum adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i menganggap bahwa ketetapan syariat telah cukup, baik ketetapan itu berupa nash Alquran dan Hadis, maupun berupa ketetapan hukum lainnya seperti ijma’ dan qiyas.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang bagaimana pemikiran Imam Syafi’i tentang kedudukan maslahah mursalah  sebagai sumber hukum. 
II.  PEMBAHASAN
A.  Imam Syafi’i
1.    Kehidupannya
Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza,2 Palestina pada tahun 150 Hijriah (767 Masehi). Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Abdul Yasid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.3
Dengan riwayat ini, maka teranglah bahwa silsilah Imam Syafi’i, baik dari ayahnya maupun dari ibunya bertalian dengan silsilah Nabi Muhammad saw. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad saw. pada Abdul Manaf, kakek Nabi Muhammad saw. yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisyh.
Kedua orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza ketika ia masih dalam kandungan. Tidak berapa lama setelah tiba di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia dilahirkan beberapa bulan kemudian dalam keadaan yatim. Setelah Imam Syafi’i berumur dua tahun, ibunya membawanya pulang ke kampung asalnya, Mekah. Di sinilah Imam Syafi’i tumbuh dan dibesarkan.
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai dari belajar membaca Alquran. Dalam usia 9 tahun ia sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Setelah menghafal Alquran, ia berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih.
Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fiqhi, sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu Alquran.
Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki mufti di Mekah. Setelah  menghafal seluruh isi kitab al Muwaththa’, Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, sekaligus memperdalam ilmu fiqhi yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik.
Imam Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak tidak diketahuinya. Ia kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk untuk berguru pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah. Setelah dua tahun di Iraq, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Persia, lalu ke Hirah, Palestina dan Ramlah.4 Dari Ramlah ia kembali ke Madinah dan tinggal di sana bersama Imam Malik kurang lebih 4 tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Imam Syafi’i kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Di sana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping sebagai seorang guru. Di Yaman Imam Syafi’i dituduh terlibat dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan tersebut dia ditangkap dan di bawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun al Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan, bahkan khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar kepadanya.
Selanjutnya Imam Syafi’i ke Mesir atas permintaan wali Mesir, Abbas bin Musa. Di Mesir Imam Syafi’i menye-lesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di Mesir inilah yang dikenal sebagai qaul al jadid (pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru).
2.    Pengetahuannya
Imam Syafi’i adalah profil ulama yang memiliki pengetahuan yang sangat luas. Di usia 9 tahun ia sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Kemudian di usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam Malik.
Imam Syafi’i mendalam bahasa Arab, dia mengetahui makna-makna Alquran, rahasia-rahasianya dan maksud-maksudnya. Kalau Imam Syafi’i menafsirkan Alquran, seolah-olah dia hidup di waktu Alquran sedang diturunkan dan disaksikannya. Beliau juga mengetahui nasikh mansukh.
Dalam bidang fiqhi Imam Syafi’i juga mendalaminya, sehingga pada usia 15 tahun ia telah menduduki  kursi mufti di Mekah. Imam Syafi’i adalah ulama mujtahid di bidang fiqhi dan salah seorang dari empat imam mazhab yang terkenal dalam Islam.5
3.    Dasar-Dasar Istimbath Hukumnya
Imam Syafi’i dalam bukunya al Risalah menjelaskan bahwa dalam mengambil dan menetapkan suatu hukum ia memakai empat dasar, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma dan Istidlal.
Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah Alquran. Imam Syafi’i terlebih dahulu melihat makna lafzi Alquran. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi. Kalau dalam Alquran tidak ditemukan hukumnya, ia beralih ke Sunnah Nabi. Dalam hal sunnah, ia juga memakai hadis ahad di samping yang mutawatir, selama hadis ahad itu mencukupi syarat-syaratnya. Jika di dalam Sunnah pun belum dijumpai nashnya, ia mengambil ijma sahabat. Setelah mencari dalam ijma’ sahabat dan tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan qiyas. Apabila ia tidak menjumpai dalil dari ijma dan qiyas, ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama islam.
B.  Maslahah dan Pembagiannya
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah  juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Selanjutnya secara terminologi, terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan ulama ushul fiqhi, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah  adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.6
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun berten-tangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka. Akan tetapi, pan-dangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mas-lahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.7
Dilihat dari segi keberadaannya maslahah menurut syara’, maka para ahli ushul fiqhi membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.    Al Maslahah al Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة)
Maslahah  golongan ini ialah maslahah yang sejalan dengan maksud-maksud umum dari syara’ dan menjadi pedoman adanya perintah dan larangan syara’.8
Maslahah ini memiliki tiga tingkatan yaitu:
a.    Al Maslahah al Dharuriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memlihara jiwa, memelihara akal dan meme-lihara keturunan dan memelihara harta benda.
b.    Al Maslahah al Hajiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslaha-tan pokok (mendasar) yang sebe-lumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan meme-lihara kebutuhan mendasar manusia.
c.    Al Maslahah al Tahsiniyyah (المصلحة التحسنية), kemaslahatan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelum-nya.9

2.    Al Maslahah al Mulqah (المصلحة الملغاة)
Maslahah al Mulqah adalah kemasla-hatan yang tidak bisa dipakai atau ditolak oleh syara’ sebagai alasan penentuan suatu hukum. Hal yang menyebabkan tidak dipakainya masla-hah  tersebut ialah karena adanya maslahah lain yang lebih kuat.
Sebagai contoh ketentuan yang mempersamakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam menerima warisan dengan alasan keduanya sama dekatnya hubungan terhadap orang tuanya. Kemaslahatan tersebut tidak bisa dipakai karena bertentangan dengan ketentuan syariat sebagaimana yang terdapat dal Alquran surah al Nisaa’(4) ayat 11 yang berbunyi:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكرمثل حط الانثيين
Terjemahnya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”10

3.    Al Maslahah al Mursalah (المصلحةالمرسلة)
Maslahah Mursalah adalah kemas-lahatan yang tidak ada ketegasan untuk memakainya atau menolaknya. Oleh karena itu, maslahah  ini juga dinamakan mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Contoh kemaslahatan ini seperti mensyariatkan pengadaan penjara, mencetak mata uang, pengumpulan Alquran dan yang lainnya.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
Pertama, al Maslahah al Garibah (المصلحة الغريبة), yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqhi tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al Syatibi menga-takan bahwa kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.
Kedua, al maslahah al mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syara atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash.11
C.  Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah imam mazhab yang menolak menggunakan dalil maslahah mursalah. Untuk memperkuat pendapat tersebut, beliau mengemukakan alasan-alasan atas penolakan beliau terhadap penggunaan dalil maslahah mursalah sebagai berikut:
1.    Bahwa syariat telah datang dengan segala hukum yang merealisir semua kemaslahatn manusia. Kadang-kadang dengan nash, dan kadang-kadang dengan cara qiyas terhadap perkara yang sudah ada hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, tidak ada maslahah mutlaqah (yang terlepas) yang tidak dibenarkan Allah. Dan setiap maslahah yang ada pasti sudah ada dalil yang didatangkan12
Pendapat yang tidak demikian berarti mengingkari akan kesempurnaan dan kelengkapan syariat Islam yang telah dikuatkan Allah dalam Alquran surah al Maidah (5) ayat 3 yang berbunyi:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضينت لكم الاسلام دينا
Terjemahnya
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku lengkapkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku telah rela Islam sebagai agama-mu.”13
Oleh karena itu apabila timbul maslahah yang tidak didatangkan oleh dalil syariat untuk membenarkannya, maka maslahah tersebut bukanlah maslahah hakiki. Karenanya tidak boleh dipakai sebagai dasar hukum.
2.    Bahwa berpegang kepada maslahah mursalah dalam tasryri’, akan mem-bukakan pintu bagi pengikut hawa nafsu dan syahwat dari berbagai ahli fiqhi. Kemudian mereka memasukkan ke dalam syariat sesuatu yang bukan syariat. Dan mereka akan membentuk hukum dengan alasan maslahah, padahal ia sebenarnya adalah sesuatu yang mengandung kerusakan. Dengan demi-kian tersia-sialah syariat dan rusaklah manusia.14 Dalam kaitannya dengan ini Imam al Ghazali mengatakan bahwa kita semua tahu dan yakin bahwa seorang alim tidak akan menetapkan hukum tanpa memandang indikasi dari beberapa dalil. Istihsan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang didasarkan pada hawa nafsu semata. Mengenai maslahah mursalah beliau mengatakan jika tidak ditopang oleh adanya dalil syara’ kedudukannya sama dengan istihsan.15
3.    Maslahah andaikata dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk ke dalam kategori qiyas dalam arti luas (umum). Andaikata tidak mu’tabarah, maka ia tidak tergolong qiyas. Tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah terdapat maslahah mu’tabarah sementara maslahah itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas, sebab pandangan semacam itu akan membawa kepada suatu kesimpulan tentang terbatasnya  nash-nash Alquran dan hadis dalam menjelaskan syariat.16
4.    Mengambil dalil maslahah tanpa berpegang pada nash terkadang akan mengakibatkan kepada suatu penyimpangan dari hukum syariat dan tindakan kedhaliman terhadap rakyat dengan dalil  maslahah sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja yang dhalim.17
5.    Berpegang pada maslahah dalam pembentukan hukum dapat mengakibat-kan terjadinya perselisihan pendapat dan perbedaan penyimpulan hukum. Hal terjadi diakibatkan perbedaan masa dan tempat yang melatarbelakangi adanya pandangan maslahah tersebut. Karena-nya, kadang-kadang suatu masalah hukumnya halal pada suatu masa, atau pada suatu negara, sementara di masa yang lain atau di negara lain tergolong haram karena mengandung mafsad. Demikian ini dapat mengingkari adanya kesatuan syariat, kesatuan hukum. Demikian juga mengenai keumuman dan kekekalannya.18
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya sebagai dalil untuk menolak maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
III.   PENUTUP
Berdasarkan dari uraian-urain tersebut di atas, di akhir dari pembahasan tulisan ini tentang pemikiran Imam Syafi’i tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum maka penulis mengemuka-kan bahwa Imam Syafi’i sebagai ulama yang menentang pemakaian maslahah mursalah pada dasarnya juga memakai maslahah sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat.
Imam Syafi’i sangat memperketat ketentuan maslahah. Imam Syafi’i men-syaratkan maslahah hendaknya dimasukkan di bawa qiyas, yaitu sekiranya terdapat hukum ashal yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mundhabith (tepat). Oleh karena itu, Imam Syafi’i tidak menjadikan maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, akan tetapi memasukkannya ke dalam pembahasan qiyas.


KEPUSTAKAAN

Al Bary, Zakariyah Mashadir al Ahkam al Islamiyyah. t.t.: t.p., 1975.Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina utama Semarang, t.th.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Departemen Agama RI. al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jilid IV. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Al Ghazali, Abu Hamid.  al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul.  jilid I. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al Fiqhi. Cet. XII; Kuwait: al Nasyr, 1978.
Muhammad, Abu Zahrah. Ushul al Fiqh (Cairo: Dar al Fikr al ‘Arabiy, t.th.
Nasrun Haroen. Ushul Fiqhi I. Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asy Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. diterjemahkan oleh Drs. Sabil Huda dan Drs. H.A. Ahmadi. Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993.

Catatan Akhir:
[1] Lihat Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Dina utama Semarang, t.th.), h. 29-30.
2 Menurut Ahmad Asy Surbasi, bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah mengenai tempat kelahiran Imam Syafi’i, ada yang mengatakan ia dilahirkan di Asqalan, ada juga yang mengatakan ia dilahirkan di Yaman, akan tetapi pendapat yang termasyhur adalah ia dilahirkan di Gaza. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, diterjemahkan oleh Drs. Sabil Huda dan Drs. H.A. Ahmadi (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), h. 141-142,
3Lihat Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 150.
4Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid IV (Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.327
5Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 485, dan Moenawar Chalil, op.cit., h. 152-153.
6Lihat Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul , jilid I (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983), h. 286.
7Ibid.
8Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Cairo: Dar al Fikr al ‘Arabiy, t.th.), h. 364-366.
9Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqhi I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 115-116.
10Departemen Agama RI., al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 116.
11Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al Fiqhi (Cet. XII; Kuwait: al Nasyr, 1978), h. 84
12Zakariyah al Bary, Mashadir al Ahkam al Islamiyyah (t.t.: t.p., 1975), h. 132.
13Departemen Agama RI., op.cit., h. 157.
14Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 282.
15Lihat Abu Hamid al Ghazali, op.cit., h. 194.
16Ibid.
17Ibid., h. 283.
18Zakariyah al Bary, loc.cit






Tidak ada komentar:

Posting Komentar