PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI
SUMBER HUKUM
Aris Rauf
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Parepare
Email: aris_stainpare@yahoo.co.id
Abstract: This paper studies regarding one aspect of the discussion about the science of motion fikhi beneficiaries mursalah position as a source of law in the view of Imam Shafi'i. The issue is how thinking about the position of Imam Shafi'i maslahah mursalah as a source of law. In the discussion of its principles Fiqhi, one of the sources of law that is often disputed among scholars of usul use is maslahah mursalah. Imam Shafi'i firmly rejected mursalah maslahah use as a source of law to argue that Islamic law has come with all the laws that realize the benefit of all human beings, either through the Koran and Hadith or qiyas manner to the existing case law.
Kata Kunci: Maslahah Mursalah, Imam Syafi’i
I.
PENDAHULUAN
Dalam kajian hukum
Islam, sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum suatu
masalah pada dasarnya terdiri dari dua macam, yaitu nash dan ra’yu
(rasio). Termasuk dalam kategori nash
ialah Alquran dan Hadis, sedang yang tergolong dalam kategori ra’yu
ialah selain dari keduanya. Adapun jika ditinjau dari kekuatannya, sumber
tersebut dapat digolongkan atas sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum
yang tidak disepakati oleh ulama.
Salah satu sumber
hukum yang termasuk dalam kategori ra’yu dan tidak disepakati oleh ulama
adalah maslahah mursalah. Maslahah mursalah ialah penetapan hukum
berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan
hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus. Maksud dari
pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak
kemudharatan dan menghilangkan kesusahan manusia.1
Di antara ulama
yang menolak maslahah mursalah sebagai salah satu sumber dalam
menetapkan hukum adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i menganggap bahwa ketetapan
syariat telah cukup, baik ketetapan itu berupa nash Alquran dan Hadis, maupun
berupa ketetapan hukum lainnya seperti ijma’ dan qiyas.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang bagaimana
pemikiran Imam Syafi’i tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum.
II.
PEMBAHASAN
A. Imam Syafi’i
1.
Kehidupannya
Imam Syafi’i
dilahirkan di Gaza,2 Palestina pada tahun 150 Hijriah (767 Masehi). Nama lengkap beliau adalah
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin
Ubaid bin Abdul Yasid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah
binti Abdullah bin al Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.3
Dengan riwayat ini,
maka teranglah bahwa silsilah Imam Syafi’i, baik dari ayahnya maupun dari
ibunya bertalian dengan silsilah Nabi Muhammad saw. Dari garis keturunan
ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad saw. pada Abdul
Manaf, kakek Nabi Muhammad saw. yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia
adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya
berasal dari bangsawan Arab Quraisyh.
Kedua orang tuanya
meninggalkan Mekah menuju Gaza ketika ia masih dalam kandungan. Tidak berapa
lama setelah tiba di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia
dilahirkan beberapa bulan kemudian dalam keadaan yatim. Setelah Imam Syafi’i
berumur dua tahun, ibunya membawanya pulang ke kampung asalnya, Mekah. Di
sinilah Imam Syafi’i tumbuh dan dibesarkan.
Pendidikan Imam
Syafi’i dimulai dari belajar membaca Alquran. Dalam usia 9 tahun ia sudah
menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Setelah menghafal Alquran, ia
berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli
dan fasih.
Imam Syafi’i
kembali ke Mekah dan belajar ilmu fiqhi, sampai memperoleh ijazah berhak
mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i juga mempelajari berbagai
cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu Alquran.
Di samping cerdas,
Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia
10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam
Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki mufti di Mekah. Setelah menghafal seluruh isi kitab al Muwaththa’,
Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, sekaligus memperdalam
ilmu fiqhi yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di
Mekah, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik.
Imam Syafi’i adalah
profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia
menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak tidak diketahuinya. Ia kemudian
meninggalkan Madinah menuju Irak untuk untuk berguru pada ulama besar di sana,
antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya adalah sahabat
Imam Abu Hanifah. Setelah dua tahun di Iraq, Imam Syafi’i melanjutkan
perjalanannya ke Persia, lalu ke Hirah, Palestina dan Ramlah.4 Dari Ramlah
ia kembali ke Madinah dan tinggal di sana bersama Imam Malik kurang lebih 4
tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Imam Syafi’i
kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman.
Di sana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping
sebagai seorang guru. Di Yaman Imam Syafi’i dituduh terlibat dalam aktivitas
Syiah dan atas tuduhan tersebut dia ditangkap dan di bawa ke Baghdad menghadap
Khalifah Harun al Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan,
bahkan khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i
diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar
kepadanya.
Selanjutnya Imam
Syafi’i ke Mesir atas permintaan wali Mesir, Abbas bin Musa. Di Mesir Imam
Syafi’i menye-lesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya
selama tinggal di Mesir inilah yang dikenal sebagai qaul al jadid (pendapat-pendapat
Imam Syafi’i yang baru).
2.
Pengetahuannya
Imam Syafi’i adalah
profil ulama yang memiliki pengetahuan yang sangat luas. Di usia 9 tahun ia
sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Kemudian di usia 10 tahun ia
sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam Malik.
Imam Syafi’i
mendalam bahasa Arab, dia mengetahui makna-makna Alquran, rahasia-rahasianya
dan maksud-maksudnya. Kalau Imam Syafi’i menafsirkan Alquran, seolah-olah dia
hidup di waktu Alquran sedang diturunkan dan disaksikannya. Beliau juga
mengetahui nasikh mansukh.
Dalam bidang fiqhi
Imam Syafi’i juga mendalaminya, sehingga pada usia 15 tahun ia telah
menduduki kursi mufti di Mekah. Imam
Syafi’i adalah ulama mujtahid di bidang fiqhi dan salah seorang dari empat imam
mazhab yang terkenal dalam Islam.5
3.
Dasar-Dasar Istimbath Hukumnya
Imam Syafi’i dalam
bukunya al Risalah menjelaskan bahwa dalam mengambil dan menetapkan
suatu hukum ia memakai empat dasar, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma dan Istidlal.
Dasar pertama dan
utama dalam menetapkan hukum adalah Alquran. Imam Syafi’i terlebih dahulu
melihat makna lafzi Alquran. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna
lafzi barulah ia mengambil makna majazi. Kalau dalam Alquran
tidak ditemukan hukumnya, ia beralih ke Sunnah Nabi. Dalam hal sunnah, ia juga
memakai hadis ahad di samping yang mutawatir, selama hadis ahad
itu mencukupi syarat-syaratnya. Jika di dalam Sunnah pun belum dijumpai
nashnya, ia mengambil ijma sahabat. Setelah mencari dalam ijma’ sahabat
dan tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan qiyas.
Apabila ia tidak menjumpai dalil dari ijma dan qiyas, ia memilih
jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum
agama islam.
B.
Maslahah dan Pembagiannya
Secara etimologi, maslahah
sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Selanjutnya secara terminologi, terdapat beberapa defenisi
yang dikemukakan ulama ushul fiqhi, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung
esensi yang sama. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah
adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.6
Suatu kemaslahatan
harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun berten-tangan dengan tujuan-tujuan
manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak
syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya, di zaman
jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut
mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat
mereka. Akan tetapi, pan-dangan ini tidak
sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mas-lahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan
itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.7
Dilihat dari segi
keberadaannya maslahah menurut syara’, maka para ahli ushul fiqhi
membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1. Al Maslahah al Mu’tabarah (المصلحة
المعتبرة)
Maslahah golongan ini ialah maslahah yang
sejalan dengan maksud-maksud umum dari syara’ dan menjadi pedoman adanya
perintah dan larangan syara’.8
Maslahah ini memiliki tiga tingkatan yaitu:
a. Al Maslahah al Dharuriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan
yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memlihara jiwa,
memelihara akal dan meme-lihara keturunan dan memelihara harta benda.
b. Al Maslahah al Hajiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan
yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslaha-tan pokok (mendasar) yang sebe-lumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan meme-lihara kebutuhan
mendasar manusia.
c. Al Maslahah al Tahsiniyyah (المصلحة
التحسنية), kemaslahatan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelum-nya.9
2.
Al Maslahah
al Mulqah (المصلحة الملغاة)
Maslahah al Mulqah adalah kemasla-hatan yang tidak bisa dipakai atau ditolak oleh syara’
sebagai alasan penentuan suatu hukum. Hal yang menyebabkan tidak dipakainya masla-hah tersebut ialah
karena adanya maslahah lain yang lebih kuat.
Sebagai contoh
ketentuan yang mempersamakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam
menerima warisan dengan alasan keduanya sama dekatnya hubungan terhadap orang
tuanya. Kemaslahatan tersebut tidak bisa dipakai karena bertentangan dengan
ketentuan syariat sebagaimana yang terdapat dal Alquran surah al Nisaa’(4) ayat
11 yang berbunyi:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكرمثل حط الانثيين
Terjemahnya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu bahagian anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”10
3. Al Maslahah al Mursalah (المصلحةالمرسلة)
Maslahah Mursalah adalah kemas-lahatan yang tidak ada ketegasan untuk memakainya atau
menolaknya. Oleh karena itu, maslahah ini juga dinamakan mutlak karena tidak
dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Contoh kemaslahatan ini
seperti mensyariatkan pengadaan penjara, mencetak mata uang, pengumpulan
Alquran dan yang lainnya.
Kemaslahatan dalam
bentuk ini terbagi dua, yaitu:
Pertama, al Maslahah al Garibah (المصلحة الغريبة), yaitu
kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan
dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqhi tidak
dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al Syatibi menga-takan bahwa
kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam
teori.
Kedua, al maslahah al mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung
oleh dalil syara atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna
nash.11
C.
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah
imam mazhab yang menolak menggunakan dalil maslahah mursalah. Untuk
memperkuat pendapat tersebut, beliau mengemukakan alasan-alasan atas penolakan
beliau terhadap penggunaan dalil maslahah mursalah sebagai berikut:
1. Bahwa syariat telah datang dengan segala hukum yang
merealisir semua kemaslahatn manusia. Kadang-kadang dengan nash, dan
kadang-kadang dengan cara qiyas terhadap perkara yang sudah ada hukumnya
dalam nash. Oleh karena itu, tidak ada maslahah mutlaqah (yang terlepas)
yang tidak dibenarkan Allah. Dan setiap maslahah yang ada pasti sudah
ada dalil yang didatangkan12
Pendapat yang tidak demikian berarti mengingkari akan kesempurnaan dan
kelengkapan syariat Islam yang telah dikuatkan Allah dalam Alquran surah al
Maidah (5) ayat 3 yang berbunyi:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضينت لكم الاسلام دينا
Terjemahnya
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku
lengkapkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku telah rela Islam sebagai agama-mu.”13
Oleh karena itu apabila timbul maslahah yang tidak
didatangkan oleh dalil syariat untuk membenarkannya, maka maslahah tersebut
bukanlah maslahah hakiki. Karenanya tidak boleh dipakai sebagai
dasar hukum.
2. Bahwa berpegang kepada maslahah mursalah dalam tasryri’,
akan mem-bukakan pintu bagi pengikut hawa nafsu dan syahwat dari berbagai ahli
fiqhi. Kemudian mereka memasukkan ke dalam syariat sesuatu yang bukan syariat.
Dan mereka akan membentuk hukum dengan alasan maslahah, padahal ia
sebenarnya adalah sesuatu yang mengandung kerusakan. Dengan demi-kian
tersia-sialah syariat dan rusaklah manusia.14
Dalam kaitannya dengan ini Imam al Ghazali mengatakan bahwa kita semua tahu dan
yakin bahwa seorang alim tidak akan menetapkan hukum tanpa memandang indikasi
dari beberapa dalil. Istihsan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’
adalah hukum yang didasarkan pada hawa nafsu semata. Mengenai maslahah
mursalah beliau mengatakan jika tidak ditopang oleh adanya dalil syara’
kedudukannya sama dengan istihsan.15
3. Maslahah andaikata dapat
diterima (mu’tabarah), ia termasuk ke dalam kategori qiyas dalam
arti luas (umum). Andaikata tidak mu’tabarah, maka ia tidak tergolong qiyas.
Tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah
terdapat maslahah mu’tabarah sementara maslahah itu tidak termasuk
ke dalam nash atau qiyas, sebab pandangan semacam itu akan membawa
kepada suatu kesimpulan tentang terbatasnya
nash-nash Alquran dan hadis dalam menjelaskan syariat.16
4. Mengambil dalil maslahah tanpa berpegang pada nash
terkadang akan mengakibatkan kepada suatu penyimpangan dari hukum syariat dan
tindakan kedhaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahah sebagaimana yang dilakukan oleh
raja-raja yang dhalim.17
5. Berpegang pada maslahah dalam pembentukan hukum
dapat mengakibat-kan terjadinya perselisihan pendapat dan perbedaan penyimpulan
hukum. Hal terjadi diakibatkan perbedaan masa dan tempat yang melatarbelakangi
adanya pandangan maslahah tersebut. Karena-nya, kadang-kadang suatu
masalah hukumnya halal pada suatu masa, atau pada suatu negara, sementara di
masa yang lain atau di negara lain tergolong haram karena mengandung mafsad.
Demikian ini dapat mengingkari adanya kesatuan syariat, kesatuan hukum.
Demikian juga mengenai keumuman dan kekekalannya.18
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam
Syafi’i dan pengikut-pengikutnya sebagai dalil untuk menolak maslahah
mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
III.
PENUTUP
Berdasarkan dari
uraian-urain tersebut di atas, di akhir dari pembahasan tulisan ini tentang pemikiran
Imam Syafi’i tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum
maka penulis mengemuka-kan bahwa Imam Syafi’i sebagai ulama yang menentang
pemakaian maslahah mursalah pada dasarnya juga memakai maslahah
sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan hawa nafsu dan
tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat.
Imam Syafi’i sangat
memperketat ketentuan maslahah. Imam Syafi’i men-syaratkan maslahah
hendaknya dimasukkan di bawa qiyas, yaitu sekiranya terdapat hukum ashal
yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mundhabith (tepat).
Oleh karena itu, Imam Syafi’i tidak menjadikan maslahah mursalah sebagai
sumber hukum yang berdiri sendiri, akan tetapi memasukkannya ke dalam
pembahasan qiyas.
KEPUSTAKAAN
Al Bary, Zakariyah Mashadir al Ahkam al Islamiyyah. t.t.:
t.p., 1975.Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.
Semarang: Dina utama Semarang, t.th.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab.
Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Departemen Agama RI. al Qur’an dan Terjemahnya.
Semarang: Toha Putra, 1989.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam.
Jilid IV. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Al Ghazali, Abu Hamid.
al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul. jilid I. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah,
1983.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al Fiqhi. Cet.
XII; Kuwait: al Nasyr, 1978.
Muhammad, Abu Zahrah. Ushul al Fiqh (Cairo: Dar al
Fikr al ‘Arabiy, t.th.
Nasrun Haroen. Ushul Fiqhi I. Cet. II; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asy Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam
Mazhab. diterjemahkan oleh Drs. Sabil Huda dan Drs. H.A. Ahmadi. Cet. II;
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993.
Catatan Akhir:
[1] Lihat Umar Syihab,
Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Dina utama Semarang,
t.th.), h. 29-30.
2 Menurut Ahmad Asy Surbasi, bahwa terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ahli sejarah mengenai tempat kelahiran Imam Syafi’i, ada
yang mengatakan ia dilahirkan di Asqalan, ada juga yang mengatakan ia
dilahirkan di Yaman, akan tetapi pendapat yang termasyhur adalah ia dilahirkan
di Gaza. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Sejarah dan Biografi Empat Imam
Mazhab, diterjemahkan oleh Drs. Sabil Huda dan Drs. H.A. Ahmadi (Cet. II;
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), h. 141-142,
3Lihat Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam
Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 150.
4Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam,
Jilid IV (Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.327
5Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan
Imam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 485, dan Moenawar
Chalil, op.cit., h. 152-153.
6Lihat Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm al
Ushul , jilid I (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983), h. 286.
7Ibid.
8Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh (Cairo:
Dar al Fikr al ‘Arabiy, t.th.), h. 364-366.
9Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqhi I (Cet. II;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 115-116.
10Departemen Agama RI., al Qur’an dan Terjemahnya
(Semarang: Toha Putra, 1989), h. 116.
11Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al Fiqhi (Cet. XII; Kuwait: al
Nasyr, 1978), h. 84
12Zakariyah al Bary, Mashadir al Ahkam al Islamiyyah (t.t.:
t.p., 1975), h. 132.
13Departemen Agama RI., op.cit., h. 157.
14Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 282.
15Lihat Abu Hamid al Ghazali, op.cit., h. 194.
16Ibid.
17Ibid.,
h. 283.
18Zakariyah al Bary, loc.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar