Rabu, 28 Januari 2015

REFORMASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM



Budiman Sulaeman
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: nihlah_budiman@yahoo.co.id
Abtract: Muslim community is very much dependant upon classic fiqh books, so that they are fiqh-minded. They assume that the product of fiqh in classic books is identical with Divine law. It is this phenomenon of sacralization that that makes Islamic law stagnant in Muslim counties.This problem must be overcome by inserting the understanding that Islamic law in its normative level should be present as a solution to actual social problems. In this regard, the methodology of classic Islamic legal theory (ushûl fiqh) and fiqh should be considered as a historical response towards their contemporary situations.
Kata Kunci: Reformation, Islamic Law

I.     PENDAHULUAN
Kuatnya tradisi pemikiran fiqh di dunia Islam, sesungguhnya bukan meng-ada-ada. Paling tidak, hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa esensi masyarakat Islam terletak pada kesadaran akan pen-tingnya perilaku hidup berdasarkan ajaran wahyu. Artinya keberagamaan seseorang baru bermakna jika ajaran agama itu termanifestasi dalam perilaku hidup sehari-hari.
Sementara itu, proses legislasi tradisi-onal telah meniscayakan tumbuhnya tradisi pemikiran fiqh secara intensif.1 Itulah mengapa umat Islam selalu berupaya memformulasikan ajaran wahyu ke dalam bentuk-bentuk formal sebagai norma hidup. Selanjutnya, praktek ini melahirkan satu kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ahli hukum atau fuqahâ.
Di Indonesia, kecenderungan tersebut tampak begitu kental. Ketergantungan pada kitab-kitab hukum Islam klasik, membawa masyarakat pada pola pikir fiqhî. Klaim terhadap kaum santri yang “fiqh oriented”, secara jelas menegaskan fenomena tersebut. Begitu juga terminologi dan dominasi ulama yang berkembang lebih identik ulama fiqh.2 Puncaknya ialah ketika sejumlah kitab fiqh Syafi’i (13 kitab) direkomendasikan sebagai referensi hukum pada Pengadilan Agama, semakin menun-jukkan bahwa pemikiran hukum Islam yang berkembang lebih terkonsentrasi pada tra-disi fiqh tradisional.
Hanya saja, seringkali orang salah mengerti. Fiqh dipandang berharga mati. Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh dilihat identik dengan aturan Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu sendiri, bukannya sebagai bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sakrali-sasi inilah salah satu faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum Islam.
Karena itu, reformasi dalam penger-tian pengembangan pemikiran hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan.
II.  PEMBAHASAN
1.    Reformasi Hukum
Terdapat “konsensus” dalam masya-rakat Indonesia bahwa jatuhnya rezim Soeharto menandai lahirnya sebuah era baru yang disebut era reformasi. Meskipun terminologi ini masih menjadi perdebatan, khususnya di kalangan ahli hukum. Sebutlah misalnya, Prof. Ahmad Ali, dalam setiap kesempatan, enggan menyebutnya sebagai era reformasi, tapi lebih senang menggunakan terminologi “era yang kata-nya reformasi”. Salah satu tuntutan masyarakat adalah reformasi hukum.
Reformasi adalah istilah Inggris “reform” atau “reformation” yang berarti “change” (perubahan). “improvement” (per-baikan), “betterment” (peningkatan), “correction3 (pembetulan) atau pengertian lain yang mirip. Reformasi dalam bidang hukum tidak lepas dari pengertian per-ubahan, perbaikan, peningkatan dan pem-betulan terhadap sistem hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berlaku selama ini. Reformasi hukum Indonesia tidak lepas dari tiga sifat, yaitu spiritual, teologis, dan politikal. Bersifat spiritual, karena reformasi hukum menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai warisan spiritual bangsa Indonesia. Ia bersifat teologis, karena hukum bagi mayoritas bangsa Indonesia yang terdiri dari umat Islam tidak dapat dipisahkan dari pandangan teologis, yaitu hukum bagi mereka adalah perintah ilahi yang harus dijalankan dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ia bersifat politikal, karena gerakan reformasi hukum membutuhkan usaha politik dan kekuasaan negara.
Dalam Islam, ada tiga istilah yang berkaitan dengan reformasi; yaitu tajdîd (pemurnian), taghyîr (perubahan), dan ishlâh (perbaikan). Tajdîd berarti pemur-nian dengan kembali kepada ajaran asli Islam sebagai termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang melakukan pe-murnian disebut mujaddid (pemurni), yaitu orang yang mengembalikan agama yang sudah menyimpang kepada pengertian aslinya. Penyimpangan tersebut dapat terjadi pada teks agama, atau pemahaman-nya, atau prakteknya atau pada semuanya.
Taghyîr adalah perubahan. Allah telah menciptakan alam ini cocok untuk kehidupan bila manusia mengikuti aturan yang digariskan dalam sunnah kehidupan dan sunnah Allah. Sunnah kehidupan adalah jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia di bumi agar manusia dapat hidup dengan aman, makmur dan sentosa. Untuk itu, ia harus belajar, berpikir, berkreasi, mengatur kehidupan bersama dan membangun peradaban. Manusia sebagai ciptaan Allah berpotensi untuk itu. Demi memantapkan kehidupan dunia yang lebih baik dan memastikan keselamatan hidup di akhirat, Allah me-nurunkan wahyu untuk membimbing manusia. Reformasi dalam pengertian taghyîr adalah usaha pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum kehidupan dan hukum Allah dalam diri pribadi, masyarakat dan negara.
Sedangkan ishlâh berasal dari kata shalâh yang berarti antonim dari kata fasâd (kerusakan). Reformasi dalam pengertian ishlah adalah usaha perbaikan yang dilaku-kan terhadap sektor-sektor yang sudah rusak dalam kehidupan individu, masya-rakat dan negara, khususnya dalam bidang hukum. Bila usaha perbaikan tidak dilakukan, maka kondisi pribadi akan bertambah buruk dan masyarakat atau negara akan hancur. Reformasi pemikiran hukum Islam dapat dilihat dari pengertian reformasi seperti telah dikemukakan. 
2.    Hukum Islam
Historisitas perkembangan hukum Islam di Indonesia merupakan salah satu mata rantai sejarah perkembangan hukum Islam secara umum. Ia terlahir dari hasil perkawinan antara hukum Islam normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Untuk itu, pengertian hukum Islam (fiqh) dalam konteks ini menjadi lebih spesifik. Untuk menyebut hukum Islam, sering digunakan istilah syari’ah atau fiqh. Penggunaan kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menyebut hukum Islam, pada level tertentu memang benar. Tetapi jika dilihat secara lebih konseptual, keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Syari’ah adalah produk dari tasyrî’ ilâhî yakni penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah produk tasyrî’ wadh’î, yakni penetapan hukum yang dilakukan oleh mujtahid.4
Pada umumnya, fiqh seringkali dipan-dang identik dengan hukum Islam dan hukum Islam identik dengan hukum Tuhan. Dengan cara pandang seperti ini, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kum-pulan hukum-hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah yang paling benar dan tidak berubah, maka kitab-kitab fiqh bukan lagi dipandang sebagai produk yang bersifat keagamaan, melainkan dipandang sebagai buku agama. Implikasinya, selama berabad-abad fiqh menduduki posisi yang sangat terhormat sebagai bagian dari agama, dan bukan bagian dari produk pemikiran ke-agamaan.
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa syari’ah dengan fiqh adalah dua konsep yang berbeda. Minimal ada empat perbedaan antara keduanya. Pertama, dilihat dari sudut subyeknya, syari’ah ditetapkan oleh syârî’ (Allah), sedangkan fiqh ditetapkan oleh manusia, dalam hal ini mujtahid atau fuqaha. Kedua, syari’ah menempati kualitas wahyî, sedang-kan fiqh, karena di dalamnya ada intervensi ra’yu (rasio), berkualitas ijtihâdî. Ketiga, karena diciptakan oleh Tuhan dan ber-kualitas wahyî, maka syari’ah memiliki tingkat kebenaran absolut, sedangkan fiqh memiliki tingkat kebenaran relatif. Keempat, syari’ah bersifat eternal dan universal, sedangkan fiqh bersifat temporal dan lokal (sangat terpengaruh oleh perubahan dimensi ruang dan waktu).
Meskipun fiqh merupakan produk pemikiran manusia, tetapi ia tetap dikategorikan sebagai syari’ah5, sepanjang dikaji dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, baik melalui qiyâs maupun mashlahah, sebab dengan qiyâs, seorang mujtahid membawa furû’ kepada nash, sementara dengan mashlahah, ia berusaha memerhatikan kepentingan-kepentingan ke-hidupan manusia. Pendekatan seperti ini telah memeroleh legalitas dari nash.
Memerhatikan Islam sebagai sumber hukum, maka secara ringkas hukum Islam sebenarnya adalah ketentuan-ketentuan mengikat yang berasal dari Allah dan dari legislasi manusia untuk pengaturan hidup individu dan masyarakat.6 Dalam hubungan ini, hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyânî semata dan yang bersifat diyânî dan qadhâ’î dalam waktu yang sama.7 Diyânî adalah kata sifat yang berasal dari kata  dîn yang antara lain berarti ketaatan dan ketundukan.8 Seluruh hukum Islam pada dasarnya bersifat diyânî karena ia terserah kepada kesadaran masyarakat secara individu untuk pelaksa-naannya. Sungguh pun demikian, sebagian hukum Islam, di samping bersifat diyânî juga bersifat qadhâ’î. Disebut qadhâ’î karena ia berkaitan dengan permasalahan yuridis. Qadhâ’î adalah kata sifat dari qadhâ yang antara lain berarti pengadilan atau putusan pengadilan. 
3.    Reformasi Pemikiran Hukum Islam
Dalam peta pemikiran Islam, kon-tribusi intelektual hukum Islam menempati posisi cukup signifikan. Bahkan sebagian sarjana menyatakannya sebagai satu subjek terpenting dalam kajian Islam.9 Oleh karena itu, jika boleh disebut dengan salah satu produknya, maka peradaban Islam sesung-guhnya lebih identik dengan “peradaban hukum”. Kesan tersebut sebenarnya tidak terlalu berlebihan, karena secara kualitatif dan kuantitatif, tampak bahwa hukum Islam (fiqh) menempati posisi teratas di antara produk-produk intelektual Islam. Harus pula diakui bahwa karya-karya hukum Islam (fiqh) merupakan khazanah pemi-kiran yang paling banyak tersebar di dunia Islam, sehingga berpengaruh terhadap perilaku individu dan sosial serta mem-bentuk pola pikir masyarakat. Pada akhirnya, secara umum diakui bahwa kecemerlangan pemikiran hukum Islam mempengaruhi pasang surut peradaban Islam dalam sejarah.
Telah disebutkan pada bagian pen-dahuluan bahwa, seringkali orang salah mengerti. Fiqh dipandang berharga mati. Kehadirannya begitu saja, a-historis. Fiqh dilihat identik dengan aturan Tuhan, sehingga merupakan bagian utama agama itu sendiri, bukannya sebagai bagian produk pemikiran keagamaan. Fenomena sacra-lisasi inilah salah satu faktor kemandegan pemikiran hukum Islam dan inovasi hukum Islam di Indonesia.
Hal inilah yang segera menuntut elaborasi lebih lanjut, bahwa hukum Islam dalam pengertian normatif pun hadir sebagai solusi10 terhadap persoalan-per-soalan (yuridis-moral) kemasyarakatan (baca: kemanusiaan) yang selalu aktual. Demikian pula metodologi hukum Islam klasik yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh- maupun produk jadinya, fiqh, harus tetap dibaca sebagai hasil pergumulan dengan sejarah.11
Sementara itu, kemajuan iptek tidak dapat disangkal telah memengaruhi semua struktur lapisan masyarakat. Akibatnya, terjadi pergeseran dan transformasi nilai atau norma sosial dan budaya dalam berbagai bentuk dan variasinya. Fenomena-fenomena ekstrinsik keagamaan, seperti, isu-isu kemanusiaan dan peradaban menjadi tantangan besar terhadap Islam yang selanjutnya mengerucut pada bidang hukum positifnya. Hal ini cukup menggugah kesadaran intelektual dari banyak kalangan, dan kesadaran akan perlunya pemikiran kembali berbagai ajaran historis Islam selama ini.
Reformasi pemikiran hukum Islam sebagai jawaban terhadap realitas kekinian, dengan demikian haruslah menjadi satu agenda tersendiri dalam wacana fiqh kontemporer. Tak terkecuali juga klaim universalitas sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin dan karenanya sâlihun li kulli zamân wa makân, dalam konteks ini tentu saja sangat signifikan. Ia akan sia-sia apabila pada saat yang sama tidak diterjemahkan dan diaplikasikan secara membumi di tengah kompleksitas sosial yang ada. Bahkan akan muncul gugatan di sana-sini tentang misi Islam, “apakah ia telah berakhir?”.
Anggapan bahwa kitab-kitab fiqh plus produk fiqhnya merupakan kumpulan hukum-hukum Tuhan, hemat penulis, harus direformasi, dalam pengertian diubah, diperbaiki, ditingkatkan dan dibetulkan.
Jika dilihat dari perspektif historis-nya, hukum Islam pada awalnya merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab yang responsif terhadap tantangan sejarahnya masing-masing dan memiliki coraknya sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis tempat mazhab itu tumbuh dan berkembang.
Ciri khas hukum Islam yang demikian ini terutama disebabkan oleh kuatnya tradisi ijtihad yang oleh Iqbal disebut sebagai “prinsip gerak dalam struktur Islam”.12 Dengan prinsip ini, generasi muslim awal mengurai problematika hukum yang mereka hadapi secara dinamis dan kreatif. Diktum-diktum hukum yang terlahir sebagai produk dari pemikiran hukum Islam (baca: ijtihad) menjadi benar-benar aktual, karena ia merupakan respons langsung terhadap problematika hukum yang berkembang saat itu.
Seiring berlalunya waktu, perkem-bangan hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma ke dalam bentuknya yang baru. Hukum Islam menjadi statis dan kurang apresiatif terhadap laju perkembangan masyarakat, khususnya setelah terjadi kristalisasi mazhab-mazhab fiqh. Dengan berakhirnya pembentukan keempat mazhab sunni di abad ke-9 dan ke-10, hukum Islam lambat laun berhasil dibakukan dan dianggap sebagai hukum ilahi yang tidak boleh diubah dan tidak membutuhkan tambahan inovasi. Akhirnya tradisi ijtihad menjadi barang langka dan mencapai anti klimaks-nya  ketika merebak doktrin insidâd bâb al-ijtihâd (tertutupnya pintu ijtihad). Tradisi ijtihad kemudian diambil alih oleh tradisi taqlid yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi lâ kayfa (taken for granted) terhadap doktrin mazhab-mazhab.
Namun, bukan berarti bahwa aktivitas pemikiran hukum Islam telah berhenti sama sekali. Ia tetap ada meskipun dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda serta laju perkembangannya yang menurut Atho Mudzhar, agak terlambat. Tugas pemikiran hukum Islam tetap dilaksanakan oleh sedikitnya dua golongan, yaitu  qadhi dan mufti. Golongan yang disebut pertama melakukan pemikiran hukum Islam melalui keputusan pengadilan (jurisprudensi), sedang golongan kedua melalui fatwa-fatwa (legal opinion).13 Hanya saja, produk-produk pemikiran hukum Islam pada qadhi dan mufti seringkali tidak mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat dan cenderung a-historis, karena ia tidak didasarkan pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum kontemporer dengan visi hukum dan visi sosial kontemporer, tetapi sekadar  diambil dari produk-produk pemikiran hukum masa lalu yang jelas tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan hukum kontemporer.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti, muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang.  Hukum bukan sekadar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasi pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Berpijak pada pemi-kiran seperti ini, tampak bahwa antara upaya ijtihad di satu sisi dan tuntutan perubahan sosial di sisi lain, terdapat suatu interaksi.
Memang harus disadari bahwa sifat hubungan yang tumpang tindih antara Islam normatif dengan formulasi hukum (fiqh) Islam yang historis, menjadikannya mengalami kesulitan luar biasa. Hal ini pulalah yang menghambat untuk mencapai rekonstruksi hukum Islam. Ia tidak dapat direformasi jika para ulama dan umat pada umumnya masih skeptis dan jumud.14 Problem epistemologis inilah yang harus mendapatkan solusi.
Kekacauan hubungan yang terjadi antara Islam sebagai agama normatif dengan formulasi hukum yang historis sesungguhnya tidak terlepas dari bang-krutnya tradisi intelektualitas dunia Islam pasca a’immah al-madzâhib. Kristalisasi pemikiran-pemikiran yang maju terhadap Islam yang terlembaga di dalam mazhab-mazhab fiqh klasik dianggap telah baku dan tidak perlu diijtihadkan kembali.
Ulama ushul fiqh misalnya, di-pengaruhi aliran teologi tertentu, mengon-sepsikan hukum sebagai qadîm, yaitu sudah ada sejak azali. Konsep ini direproduksi oleh ahli-ahli hukum modern, bahwa “hukum ilahi itu mengontrol dan tidak dikontrol oleh masyarakat”. Konsepsi semacam inilah yang menggiring fiqh ke dalam bingkai status quo yang sakral.  
Berawal dari sinilah, fenomena insidâd bâb al-ijtihâd, menandai redupnya pamor Islam, yang diperparah oleh maraknya polemik dan kontroversi yang cukup tajam (baca: khilâfiyyah). Umat pada akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang sulit dibedakan antara yang sakral dan yang tidak sakral. Karena itu, wacana reformasi pemikiran hukum Islam perlu penegasan. Penegasan dimaksud adalah bahwa sebenarnya hukum Islam tidaklah bersifat a-historis. Ia hadir tidak dalam kevakuman sejarah. Sebaliknya, ia hadir di tengah rentetan konteks peradaban manusia yang kompleks. Pemahaman “tekstual” terhadapnya, menjadi tidak relevan. Di sinilah kemudian para pembaru umumnya mengajukan pemahaman kontekstual, yaitu dengan memahami semangatnya, sesuai alur sejarahnya.
Sebagai konsekuensinya, fiqh yang pada hakikatnya merupakan hasil pema-haman manusia di bidang hukum, haruslah dilihat sebagai tidak sakral, karena berasal dari pembacaan dan pergumulan penulisnya dengan aneka ragam aspek kemanusiaan yang menyejarah. Karakter lokalitas ruang dan waktu adalah sebuah keniscayaan. Ciri rasionalitas Abu Hanifah misalnya, atau moderatnya Imam Syafi’i dan fundamen-talnya pemikiran Ahmad Ibn Hanbal serta Imam Malik yang terkenal dengan ketradisionalannya, jelas menunjukkan ekspresi kultural dan sifat kesejarahannya masing-masing.
Untuk kasus di Indonesia, stagnasi pemikiran hukum Islam itu setidaknya berlangsung sampai dekade 70-an. Meski telah ada upaya pembaruan pemikiran, seperti gagasan “Fiqh Indonesia” Hasbi Ash-Shiddieqie dan ide Hazairin tentang “Mazhab Nasional”, tetapi belum mampu menggugah kelesuan pemikiran hukum Islam.  Ini terlihat dari lemahnya respon positif terhadap gagasan kreatif tersebut. Juga dikarenakan belum tersusunnya ide pembaruan secara sistematis.15
Sebagai sebuah tradisi yang men-jembatani gap antara law in book dengan law in action, kehadiran fatwa MUI misalnya, sesungguhnya amat strategis bagi pengembangan pemikiran hukum Islam. Namun harus diakui adanya kesan lamban dalam mengantisipasi perkembangan baru, terutama ketika berbenturan dengan realitas interest politik, dan seringkali terkesan reaktif.
Aktualisasi dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia mencapai puncaknya dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya KHI menandai sejarah baru pemikiran hukum Islam di Indonesia dan menyambung mata rantai lingkaran ide-ide reformatif. Lahirnya pemikiran fiqh sosial, seperti “Menggagas Fiqh Sosial” dan “Nuansa Fiqh Sosial” karya K.H. Ali Yafie dan K.H. Sahal Mahfuzh, dan tawaran Qadri Azizy yang menggagas cara pandang baru dalam bermazhab dan berijtihad, dan lain-lain memberi harapan kepada corak reformatif kontekstual yang akan mewarnai per-ubahan-perubahan hukum Islam di masa depan.
III.   KESIMPULAN
Deskripsi singkat di atas cukup menegaskan bahwa hukum (fiqh) Islam sebagai pemahaman dan hukum yang diformulasikan melalui metodologi yang disebut ushul fiqh dapat berubah sesuai ruang dan waktu. Dari sini dapat dilihat kebutuhan dunia Islam kepada reformasi dan pembaruan pemikiran hukum Islam. Reformasi tersebut tidak hanya menyangkut hukum Islam sebagai fatwa, tetapi lebih penting lagi tentang fiqh sebagai hukum Islam yang dijalankan oleh negara ber-dasarkan perundang-undangan yang ber-sumber dari hukum ilahi dan legislasi manusia.
Oleh karena itu, dalam konteks usaha-usaha reformasi, yang segera menuntut elaborasi lebih lanjut adalah bahwa hukum Islam tidaklah a-historis. Hukum Islam harus mampu beradaptasi dan dibumikan dalam sistem nilai sosial yang meling-kupinya. Bukannya hanya bersifat idealistis yang tidak menyentuh realitas. Atau semestinya pemikiran hukum Islam lebih “berorientasi dan berfalsafah sosial”, agar normatifitas Islam tidak akan kehilangan konteksnya, karena senantiasa memperoleh terjemahan dan aplikasinya melalui akti-vitas intelektual secara kreatif dan dinamis.
Di sinilah KHI menempati posisi penting dalam era pemikiran hukum Islam di Indonesia. Ia mewakili proses pembaruan hukum Islam yang “kontekstual” dengan mengambil karakter keindonesiaan serta mengakomodasi nilai-nilai kultural dan aktual.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t,th.
Fazlur Rahman, Islam. Bandung: Pustaka, 1994
J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World. New York: New York University Press, 1956
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press, 1964
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad. t.p.: t.tp., t,th.
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996
Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah . t.tp.: Dar al-Qalam, 1966
 Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400 H/1980 M
 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993
 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981
Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islam. Beirut: Dar al-Qalam, 1981
Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1994
Rifyal Ka’bah et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis & Pembaharuan Visi Salaf . Jakarta: Penerbit Minaret, 1978
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia. t.tp., t.th.
Subhi Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961
Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994
Ziya Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and Western Civilization. New York: Columbia Uneversity Press, 1959

Catatan Akhir:
[1]Pada kenyataannya, pemikiran atau institusi hukum selalu berperan dalam upaya pengaturan masyarakat; sebagai pedoman praktis dalam ibadah maupun relasi sosial. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 184. Kitab al-Muwaththa’, misalnya, adalah karya hukum Imam Malik atas permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur. Subhi Mahmassani, Falsafah at-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961), h. 82-3. Tentang peranan hukum Islam dalam organisasi masyarakat , lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 236.
2M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 695.
3Rifyal Ka’bah et.al., Reaktualisasi Ajaran Islam: Pembaharuan Visi Modernis & Pembaharuan Visi Salaf (Jakarta: Penerbit Minaret, 1978), h. 49-50.
4Lihat Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islam, (Beirut: Dar al-Qalam, 1981), h. 11.
5Lihat Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (t.tp.: Dar al-Qalam, 1966), h. 12.
6Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (t.tp., t.th.), h. 21-27.
7Teori ini dikemukakan secara ringkas oleh sosiolog dan pemikir Turki, Ziya Gokalp. Lihat Ziya Gokalp, diterjemahkan oleh Niyazi Berkes, Turkish Nationalism and Western Civilization, (New York: Columbia Uneversity Press, 1959), h. 200.
8Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th.), h. 177. Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1400 H/1980 M), h. 307.
9Schacht misalnya, menyatakan bahwa hukum islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari pola hidup muslim serta merupakan inti dari saripati Islam itu sendiri. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University Press, 1964), h. 1. Pernyataan senada diungkapkan Anderson, bahwa ia mencerminkan jiwa bangsa bersangkutan secara lebih jelas dari lembaga apa pun. J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1956), h. 96.
10Hal ini dapat dirujukkan kepada penjelasan bahwa al-Qur’an berposisi sebagai jawaban atau respon terhadap fenomena-fenomena tertentu. Lihat Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 43. Sedangkan Rahman menyatakan bahwa memang sejak awal, tujuan praktis tertentu telah merupakan bagian dari konsep syari’ah. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141.
11M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (t.p.: t.tp., t,th.), h. 107.
12Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 46.
13Lihat Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 1.
14Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 82.
15Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 78.



DISTRIBUSI ZAKAT FITRAH DI KELURAHAN BENTENG KEC. BARANTI KABUPATEN SIDRAP (Tinjauan Hukum Islam)



Rusdaya Basri dan Amelia Wahid
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: rusdaya-basri@yahoo.com
Abstract: This study is a survey research conducted in urban Fort Subdistrict Baranti Sidrap. This study aims to determine how the distribution of tithes in the Village of Fort Subdistrict Baranti Sidrap and how the distribution of tithes in the Village of Fort Subdistrict Baranti Sidrap and review its Islamic law. This research is qualitative with a phenomenological approach to data collection and juridical using interview techniques, observation, documentation and library research. The data analysis technique that is both inductive and deductive. The results of this study indicate that 1) Distribution of tithes in the Village of Fort Subdistrict Baranti Sidrap still follow traditional customs of local communities by distributing zakat fitrah directly to the beneficiary as poor neighbor , imam of the mosque, an employee of Personality', tutor children and shamans , 2) the distribution of tithes directly Fortress Village society is legitimate in terms of Islamic law , but distribution through zakat management institutions will be much more effective .
Kata Kunci: Zakat fitrah, Distribusi, Sidrap.

I.     PENDAHULUAN
Masalah ekonomi dari hari ke hari semakin parah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kemiskinan yang semakin mem-bengkak dan bukannya berkurang. Umat sebagai obejek dan subjek kesejahteraan hidup dalam perekonomian memiliki peranan penting. Sebagai objek, umat diharapkan dapat mencapai kesejahteraan lahir dan batin dalam hidupnya. Sebagai subjek, umat pululah yang harus memikir-kan sistem yang akan diaplikasikan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa lembaga perekonomian umat yang ada pada zaman Rasulullah Saw. sebaiknya diterap-kan kembali meskipun dengan sistem yang berbeda. Salah satu lembaga yang pernah ada pada zaman Rasulullah Saw. adalah Baitul Maal, yang fungsinya disamping pengumpulan dan pengelolaan, juga pen-distribusian zakat. Pada zaman Rasulullah, pelaksanaan fungsi zakat di baitul maal dalam bentuk distribusi zakat ini, berhasil mengurangi tingkat kemiskinan. Setelah melalui beberapa dekade, lembaga di atas mengalami perkembangan. Saat ini, lem-bangan khusus yang menangani pengum-pulan, pengelolaan, dan distribusi zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ).
BAZ menangani zakat maal (harta) dan zakat fitrah. Posisi amil zakat di kelurahan-kelurahan biasanya diambil alih oleh pegawai syara’ masjid kelurahan setempat. Pengelola zakat fitrah, dalam hal ini oleh pegawai syara’ masjid adalah mulai dari tahap pengumpulan, pengelolaan sampai pendistribusian zakat fitrah. Dengan adanya pengurus masjid ini, diharapkan pengelolaan zakat fitrah dapat maksimal dan pendistribusiannya dapat tepat sasaran. Pemahaman parsial mengenai zakat fitrah dalam masyarakat, dapat berakibat kurang tepatnya pendistribusian zakat fitrah ter-sebut. Dalam al-Qur’an telah disebutkan siapa saja yang berhak menerima zakat “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu'alaf), untuk (membebaskan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewaji-ban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)1
Pendistribusian zakat fitrah kepada pihak yang tidak termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, mungkin saja terjadi. Jika hal ini sampai terjadi, maka fungsi dan tujuan zakat fitrah tidak akan tepat sasaran. Hal inilah yang terjadi di masyarakat. Masyarakat cenderung men-distribusikan sendiri zakat fitrahnya kepada kalangan yang mereka anggap berhak menerima zakat fitrah tersebut. Padahal dari beberapa kalangan tersebut, ada yang tidak memenuhi persyaratan. Di lain pihak, masyarakat miskin lainnya hanya mem-peroleh sebagian kecil zakat fitrah yang sempat terkumpul pada amil zakat di masjid setempat, sehingga fungsi utama zakat fitrah yakni untuk menghindari adanya fakir miskin yang kelaparan pada hari raya idul fitri, tidak optimal.
Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap sebagai sebuah kelurahan yang penduduknya dominan muslim, di setiap tahunnya yaitu tepatnya pada bulan ramadhan, mereka membayar zakat fitrah. Zakat fitrah yang mereka bayarkan diharapkan mampu didistri-busikan tepat sasaran dalam memenuhi kebutuhan mustahik zakat fitrah di hari raya idul fitri, sehingga zakat fitrah tersebut dapat memperlihatkan bukti yang signify-kan.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah:
1.    Bagaimana pendistribusian zakat fitrah di Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap?
2.    Bagaimana cara distribusi zakat fitrah di Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap?
3.    Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pendistribusian zakat dan cara distribusi zakat fitrah di Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap?
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan yuridis. Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap  propinsi Sulawesi Selatan.
Sumber Data dari penelitian ini adalah data primer yaitu masyarakat Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap. Pada penelitian ini, data primer diperoleh dari responden secara langsung melalui wawancara untuk menun-jang keakuratan data. Sedangkan sumber data sekunder Peneliti memperoleh data ini dari buku/literatur, situs internet serta informasi dari beberapa instansi yang terkait.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data terbagi dua yaitu Penelitian Kepusta-kaan (Library Research) dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari beberapa literatur kepustakan, menelaah bacaan-bacaan, karya tulis ilmiah dan media cetak yang terkait dengan masalah yang diteliti. Penulis menempuh dua cara dalam penelitian kepustakaan ini yaitu kutipan Langsung dan kutipan tidak langsung.
Sedangkan Penelitian Lapangan (Field Risearch) Peneliti terlibat langsung di lokasi penelitian untuk mengadakan penelitian dan memperoleh data-data konkret yang ada hubungannya dengan pembahasan ini. Teknik perolehan data yang digunakan peneliti adalah: Interview (Wawancara), Observasi dan Dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data dengan menggunakan teknik analisis induktif dan deduktif.

III. PEMBAHASAN
A.  Pengertian Zakat Fitrah
Ditinjau dari aspek bahasa, kata zakat berarti: tazkiyah artinya suci, tathirun artinya bersih, namuww artinya tumbuh atau berkembang, barakah artinya berkah. Nama-nama lain zakat dalam al-Qur’an yaitu shodaqoh (QS.At-Taubah: 103-104), Infaq (QS.Al-Baqarah: 267), al-Haaq (QS. Al-An’am: 141) dan al-‘afwu (al-A’raf: 199). Menurut Yusuf Qardhawi sebagaiman dikutip oleh Ahmad Azharuddin, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang yang berhak, di samping berarti mengeluar-kan jumlah tertentu itu sendiri.2
Karena nilainya yang sangat penting di dalam agama Islam, maka zakat sangat ditekankan dalam al-Qur’an. Ada 82 ayat yang menyandingkan kata zakat dengan kata shalat.3 Kewajiban zakat ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Hadis, dan ijma’. Dalil yang berasal dari al-Qur’an antara lain firman Allah Swt.:
Terjemahnya:
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesung-guhnya doamu itu (menum-buhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103).4
Sedangkan dalil dari al-hadis antara lain sabda Nabi Saw.:
بُنِيَ الْاِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلاَّ اِللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامَ الصَّلَاةِ وَاِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجَّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَا نَ .5
Artinya:
Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, medirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa ramadhan.6 Zakat badan yang disebut juga zakat fitrah merupakan ciri khas umat Islam. Zakat fitrah menurut syara’ adalah zakat yang dikeluarkan oleh muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan untuk mensucikan jiwanya serta menambal kekurangan yang terdapat pada puasanya seperti perkataan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya.7
Zakat fitrah ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan Ramadhan. Jumhur ulama sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra.:
عن ابنِ عمرَ رضيىَ الله عنهما قال : فَرَ ضَ رَ سُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زَ كَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّ كَرِ وَالْاُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمرَبها اَنْتُوَدِّيَ قَبْلَ, خُرُوْجُ النَّاسَ اِلَى الصَّلَاةِ .8
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra., dia berkata: Rasulullah Saw. mewajibkan  zakat fitrah sebanyak satu gentang kurma atau satu gentang gandum atas hamba dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kalangan kaum muslim. Beliau memerintahkan supaya menge-luarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan salat.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada dua hikmah zakat fitrah. Pertama, berkenaan dengan orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Seringkali orang yang berpuasa itu terjerumus pada perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya padahal puasa yang sempurna adalah puasa lidah dan anggota tubuh. Orang yang berpuasa anggota tubuhnya tidak diizinkan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi manusia mempunyai kelemahan, kadang-kadang ia tidak bisa melepaskan diri dari hal-hal tersebut sehingga datanglah kewajiban zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan untuk membersihkan kotoran puasanya atau menambah kesempurnaan puasanya.9
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ, قَالَ: فَرَ ضَ رّ سُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّا ئِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.10
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor serta untuk memberi makan bagi orang miskin. Barangsiapa yang menunaikan zakat sebelum salat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah salat maka dia merupakan suatu sedekah dari beberapa macam sedekah.          
Kedua, hikmah zakat fitrah yang berkenaan dengan masyarakat. Zakat fitrah dapat menumbuhkan rasa kecintaan orang miskin dan orang yang membutuhkannya.11 Karena mereka merasa bahwa orang kaya masih mempedulikan nasib mereka. Oleh karena itu, menunaikan kewajiban zakat fitrah bukan hanya memberi bantuan kepada fakir miskin dan orang lemah namun juga memberi dampak positif bagi diri pemberi zakat berupa penyucian nilai puasa ramadhannya.
Undang-undang terbaru mengenai pengelolaan zakat adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut Undang-undang ini, untuk membantu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistri-busian, dan pendayagunaan zakat, masya-rakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Karena fungsinya yang begitu urgen, pengelolaan zakat berupa kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkor-dinasian dalam pengumpulan, pendistri-busian, dan pendayagunaan zakat, hanya akan berjalan optimal jika dikelola oleh lembaga amil zakat yang professional dan mampu mengelola zakat secara tepat sasaran.
Menurut Didin Hafidudhin sebagai-mana dikupit oleh Andri Soemitra, pengelolaan zakat melalui lembaga amil didasarkan beberapa pertimbangan, yaitu:
1.    Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
2.    Menjaga perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari muzakki.
3.    Untuk mencapai efisiensi, efektivitas dan sasaran yang tepat dalam menggunakan harta menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat.
4.    Untuk memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang islami.12
Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan kepada para muzakki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahik lainnya terhadap muzakki tidak memperoleh jaminan yang pasti. Tujuan zakat yang menyeluruh dan mewujudkan keadilan sosial akan sulit terwujud. Ini dikarenakan distribusi zakat akan tidak merata di kalangan mustahik.
Distribusi hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan persyaratan:
1.    Hasil pendataan dan penelitian keber-adaan mustahik delapan asnaf.
2.    Mendahulukan orang-orang yang paling tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
3.    Mendahulukan mustahik dalam wilayah-nya masing-masing.13
Hal di atas sesuai dengan UU RI No. 23/2011 Pasal 26: “Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 (Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dgn al-Quran surah at Taubah ayat: 60), dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilaya-han”. Zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada salah seorang yang termasuk dalam golongan yang terhalang untuk mendapat-kan zakat maal dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya.
B.  Distribusi Zakat Fitrah di Kelurahan Benteng Kec. Baranti Kab. Sidrap
Pengelolaan zakat fitrah, termasuk distribusi zakat fitrah, sangat erat kaitannya dengan keberadaan badan atau lembaga pengelola zakat. Maka dari itu, sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai distribusi zakat fitrah, terlebih dahulu peneliti memaparkan keadaan Badan Amil Zakat yang ada di lokasi penelitian.
1.    Badan Amil Zakat Kelurahan Benteng Kecamatan Baranti
Kecamatan Baranti sebagai salah satu kecamatan yang ada di Kab. Sidenreng Rappang  propinsi Sulawesi Selatan juga mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) sebagaimana Surat Keputusan Camat Baranti Nomor 15 Tahun 2010 tanggal 15 Januari 2010 tentang Pengurus Badan Pelaksanaan Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas dan Pengelolaan Zakat Tingkat Kecamatan Periode 2010-2013. BAZ Kecamatan Baranti ini bernama BAZCAM Baranti.
BAZCAM Baranti ini mengelola zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS). BAZCAM Baranti ini terbatas wilayah pengelolaan zakatnya. Mereka tidak mengelola zakat fitrah. Pengelolaan zakat fitrah diserahkan kepada pegawai syara’ di setiap masjid yang ada di wilayahnya. Sebagaimana wawancara peneliti dengan sekretasris BAZCAM Baranti yang juga menjabat sebagai Kepala KUA Kecamatan Baranti: “Wewenang pengelolaan zakat fitrah diserahkan saja kepada pegawai syara’ masjid di wilayah kelurahan/desa setempat. Ini dikarenakan masyarakat berpendapat bahwa BAZCAM tidak usah mencampuri urusan zakat fitrah masyarakat mau didistribusikan ke mana karena masyarakat memiliki kebiasaan tersendiri mengenai pendistribusian zakat fitrah ini. Karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk mendistribusikan zakat fitrahnya , maka BAZCAM Baranti juga merasa tidak ingin menyinggung perasaan pegawai syara’ masjid setempat (menghalangi rezeki pegawai syara’ dari zakat fitrah).”14
Hal ini dibenarkan oleh Imam masjid Nurul Hidayah yang berada di Lingkungan Benteng ia menuturkan: “Mengenai ke-pengurusan zakat di Lingkungan Benteng ini, khususnya di masjid Nurul Hidayah, amil zakat belum ada. BAZCAM Baranti juga tidak pernah menerbitkan Surat Keputusan mengenai siapa yang menjadi amil zakat. Sehingga beberapa periode imam sebelum saya, menerima dan mendistribusikan sendiri zakat fitrah yang mereka peroleh dari masyarakat. Begitu pula dengan periode sekarang, imam masjid serta pegawai syara’lah yang menjadi pengelola zakat fitrah masyarakat.”15
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang pegawai syara’ masjid Nurul Ilmi di Lingkungan Callaccu. “Jika diminta data struktur amil zakat untuk masjid Nurul Ilmi, itu tidak ada. Sampai saat ini tidak pernah ada penetapan amil zakat dari kecamatan maupun kelurahan untuk amil zakat di masjid ini. Jadi dua tahun terakhir ini, yang mengurusi penerimaan zakat fitrah dan pendistribusiannya itu adalah imam masjid, pegawai syara’ serta panitia pembangunan masjid ini.”16
Dari hasil wawancara diatas, maka diketahui bahwa selama ini pihak-pihak yang menangani zakat fitrah masyarakat Kelurahan Benteng merupakan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat ataupun kurang pengeta-huannya di bidang pengelolaan zakat. Hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada langkah untuk mem-perbaikinya.
Keterlibatan masjid dalam pengelo-laan zakat fitrah sangat dibutuhkan. Hanya saja diperlukan adanya jaringan kerjasama antara BAZCAM dengan masjid. Jika amil zakat di setiap masjid tidak tertstruktur dengan baik karena tidak adanya Surat Keputusan atau Surat Penugasan dari BAZCAM, pengelolaan zakat fitrah juga akan sulit ditangani dengan baik.
Oleh karena itu, sebagaimana yang tercamtum dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan pada Pasal 16 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat mem-bentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, per-usahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya, maka peneliti berpendapat bahwa dengan adanya undang-undang ini, sudah cukup menjadi modal untuk bisa mengorganisir pelaksanaan zakat fitrah, dengan membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) di setiap masjid di kelurahan/ desa, termasuk di Kelurahan Benteng.
Penyerahan kewenangan dengan jalur koordinasi yang baik anatara BAZCAM kepada masjid-masjid dalam hal pengu-rusan zakat fitrah merupakan bentuk kelembagaan masjid lainnya yang sangat baik, mengingat organisasi kelembagaan masjid dapat menjadi corong pengeras suara sistem komunikasi massa untuk sosialisasi pelaksanaan kewajiban zakat fitrah. Apalagi masjid merupakan kelem-bagaan umat yang paling dekat dengan komunitas muslim.
Dengan susunan yang sedemikian rupa, masjid akan menjadi tulang punggung pendataan, pengumpulan dan pendistri-busian zakat fitrah, untuk kemudian ditransfer ke BAZ Kecamatan, kemudian ditransfer lagi ke BAZ Daerah dan begitu seterusnya sampai ke BAZ Nasional. Dengan begitu, BAZ Kecamatan akan dengan mudah memetakan kecamatannya sendiri, kemudian propinsi dan terakhir nasional. Jika jaringan organisasi yang mentrasfer data pihak surplus dan defisit muslim secara baik maka tentunya paling tidak Pemerintah Indonesia akan dengan mudah melihat peta kantong-kantong kemiskinan di Indonesia berikut potensi kelompok surplus.
a.    Pendayagunaan dana zakat yang terkum-pul bisa dilakukan dengan lembaga amil terdekat yang berkoordinasi dengan masjid sebagai institusi peribadatan resmi umat Islam.
b.    Karena zakat fitrah terlaksana tiap tahun, maka data yang ditransfer berikut pendanaannya akan mengalami per-ubahan (up-dating) setiap tahunnya. Dengan begitu pemantauan dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pusat.17
2.    Distribusi Zakat Fitrah di Kelurahan Benteng
Distribusi zakat fitrah di Kelurahan Benteng erat kaitannya dengan keberadaan masjid di wilayah ini. Setiap masjid memiliki imam dan pegawai syara’ ter-sendiri. untuk wilayah Kelurahan Benteng ada lima masjid, yaitu:
a.    Masjid Nurul Hidayah di Lingkungan Benteng.
b.    Masjid Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqa di Ponpes Lingkungan Benteng.
c.    Masjid Nurul Ilmi di Lingkungan Callaccu.
d.   Masjid al-Amin Muhammadiyah di Lingkungan Callaccu.
e.    Masjid an-Nur di Lingkungan Callaccu.
Selanjutnya peneliti akan membahas mengenai masjid-masjid yang menjadi pusat pendataan, pengumpulan dan pen-distribusian zakat fitrah di Kelurahan Benteng. ada dua masjid yang menjadi pusat pengelolaan zakat fitrah yaitu masjid Nurul Hidayah di Lingkungan Benteng dan masjid Nurul Ilmi di Lingkungan Callaccu.
a.    Masjid Nurul Hidayah di Lingkungan Benteng.
Masjid Nurul Hidayah merupakan satu-satunya masjid yang ada di wilayah Lingkungan Benteng. Masjid ini memiliki cakupan jama’ah yang cukup luas. Masjid ini memiliki seorang imam dan empat orang pegawai syara’. Mereka adalah: M. Hasbi (Imam Masjid), M. Tahir, Bahar Bennu, Drs. H. Lakalebbi,dan La Sulle’
Mengenai pengurusan zakat fitrah di masjid ini, sebagimana penuturan imam masjid: “Karena Surat Tugas dari BAZCAM Baranti maupun dari Kantor Kelurahan belum ada maka pembayaran zakat fitrah masyarakat masih mengikuti kebiasaan-kebiasaan lama seperti mem-bayar zakat fitrah lagsung kepada imam dan pegawai syara’ masjid, sejak saya menjadi imam masjid Nurul Hidayah, saya sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tersebut harus ditindaklanjuti. Berangkat dari kesa-daran itu, maka saya berinisiatif untuk menghimbau masyarakat agar mengumpul dan membayar zakat fitrahnya di masjid ini.”18
Menanggapi inisiatif imam masjid tadi yang menjadikan masjid sebagai pusat pengelolaan zakat fitrah masyarakat, sekretaris BAZCAM Baranti memberikan apresiasi yang tinggi. “Alhamdulillah jika ada masjid di wilayah Kecamatan Baranti ini yang memberlakukan masjid sebagai pusat pengelolaan zakat fitrah. Semoga imam dan pegawai syara’ lainnya dapat meneladani apa yang diaplikasikan di masjid Nurul Hidayah Benteng ini.”19
Mengenai tata cara pelaksanaan pengumpulan zakat fitrah masyarakat di bulan Ramadhan di masjid Nurul Hidayah Benteng, imam masjid dan pegawai syara’ menginformasikan pada malam salat sunnah tarwih dilaksanakan agar masyara-kat membayar zakat fitrah pada satu minggu terakhir bulan Ramadhan di masjid. Hal ini untuk memudahkan pengelolaan dan pendataan zakat fitrah sebelum didistri-busikan. Sekalipun imam dan pegawai syara’ masjid telah meng-informasikan bahwa pengumpulan zakat fitrah berpusat di masjid, namun beberapa masyarakat memilih untuk membayar zakat fitrahnya sebagaimana kebiasaan-kebiasaan mereka dahulu. Mereka membayar zakat fitrahnya dengan mendistribusikan sendiri zakat fitrah tersebut kepada orang-orang yang mereka anggap lebih berhak menerimanya.
Ini tidak dapat dipungkiri dan sangat sulit berubah di dalam tatanan masyarakat karena ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Hal ini disebabkan karena dulu, pengelolaan zakat fitrah tidak ada yang mengorganisir. Jadi sepenuhnya dibebaskan kepada masyarakat, kepada siapa zakat fitrahnya akan didistribusikan. Menanggapi hal ini, imam masjid hanya memaklumi cara pembayaran zakat fitrah masyarakat tersebut. “Kami hanya menghimbau masyarakat untuk mengumpulkan zakat fitrahnya di masjid ini. Adapun jika masih ada masyarakat yang mendistribusikan zakat fitrahnya tidak di masjid, kami tidak dapat memaksakan kepada mereka karena masyarakat di sini hanya mengikuti kebiasaan masyarakat dahulu.”20
Ada beberapa kalangan yang menjadi sasaran distribusi langsung zakat fitrah masyarakat ini, anataranya:
1). Tetangga yang Fakir Miskin. Tingkat kepekaan sosial masyarakat Kelurahan Benteng masih tinggi kepada tetangga yang fakir miskin. Jadi ketika melihat ada tetangga fakir miskin, beberapa masyarakat lebih memilih mendistribusi-kan langsung zakat fitrahnya ke sana. Namun sebelumnya, mereka membawa zakat fitrahnya itu ke imam masjid untuk didoakan agar zakat fitrahnya itu diterima di sisi Allah Swt.
2). Imam Masjid dan Pegawai Syara’. Imam masjid dan pegawai syara’ juga menjadi sasaran distribusi langsung zakat fitrah masyarakat. Cara pendistribusiannya yaitu masyarakat ke rumah imam masjid dan pegawai syara’untuk membayar zakat fitrahnya. Imam masjid dan pegawai syara’menerima zakat fitrah itu. Cara ini juga merupakan kebiasaan masyarakat sebelum dijadikannya masjid sebagai pusat pengelolaan zakat fitrah.
Ada beberapa macam imam masjid dan pegawai syara’ masjid bila dipandang dari segi ini. Ada imam masjid dan pegawai syara’ yang mengumpulkan ke masjid zakat fitrah yang diperolehnya dari pembayaran zakat fitrah masyarakat di rumahnya. Hal ini dilakukan karena mereka tetap memegang komitmen atas apa yang telah mereka instrusikan kepada masyarakat. Dan mereka juga menyadari sepenuhnya bahwa zakat fitrah itu diperuntukkan bukan hanya untuk mereka sebagai amil zakat.
Ada juga pegawai syara’ yang tidak mengumpulkan ke masjid zakat fitrah hasil distribusi langsung masyarakat yang ter-kumpul di rumahnya. Mereka beranggapan bahwa zakat fitrah itu memang diperuntuk-kan buat mereka oleh karena itu zakat fitrah tersebut adalah haknya. Zakat fitrah hasil distribusi langsung masyarakat mereka timbun saja di rumah mereka.
Ada kalanya pegawai syara’ ini mendistribusikan kumpulan hasil zakat fitrah tersebut namun hanya pada tataran keluarga dekat mereka seperti anak, saudara, dan keluarga dekat lainnya baik tergolong mampu atau kurang mampu. Itupun zakat fitrah yang didistribusikan-nya sangat terbatas jumlahnya. Sedang-kan tetangga yang lebih membutuhkan, mereka tidak mendistribusikan zakat fitrah itu kepada mereka. Jadi unsur nepotisme dalam pendistribusian zakat fitrah masih berlaku.
3). Guru Ngaji. Masyarakat juga mendistri-busikan langsung zakat fitrahnya kepada guru ngaji. Ini dilakukan oleh masyara-kat yang anaknya sedang mengaji di guru ngajinya. Pendistribusian langsung zakat fitrah kepada guru ngaji dilakukan masyarakat sejak anaknya mulai mengaji hingga tamat. Adapula beberapa masya-rakat yang masih tetap mendistribusikan langsung zakat fitrahnya kepada guru ngaji anak tersebut meski anak tersebut sudah tamat ngaji namun belum menikah. Diantara guru ngaji ini, ada beberapa yang tergolong mampu.
4). Dukun Anak. Dukun anak juga menjadi sasaran distribusi langsung zakat fitrah masyarakat Lingkungan Benteng. Masyarakat berangggapan bahwa anak yang baru lahir itu belum lunas fitrahnya (leppe’ pittara) sehingga anak ini zakta fitrahnya mesti diberikan kepada dukun anaknya. Sama halnya dengan masyara-kat yang memiliki anak dan belum mengaji. Zakat fitrah anak mereka akan didistribusikan langsung kepada dukun anak yang bersangkutan. Ada beberapa dukun anak yang menjadi sasaran distri-busi langsung zakat fitrah masyarakat memiliki tarap kehidupan yang mapan, bahkan lebih mapan kehidupannya dibandingkan masyarakat yang men-distribusikan langsung zakat fitrah kepadanya.
5). Menyerahkan di Pesantren. Kelurahan Benteng merupakan satu-satunya ke-lurahan/desa di Kecamatan Baranti yang memiliki pondok pesantren. Jumlah santrinya pun cukup banyak. Santrinya bukan hanya dari siswa Kelurahan Benteng namun juga dari berbagai daerah. Salah seorang pegawai syara’ masjid Nurul Hidayah juga menjadi pengelola dan guru di pondok pesantren ini. Menanggapi cara masyarakat Kelurahan Benteng dalam mendistri-busikan zakat fitrahnya, beliau juga menambahkan informasi: “Sekalipun masyarakat telah dihimbau untuk mengumpulkan zakat fitrahnya di masjid, namun beberapa masyarakat Lingkungan Benteng datang ke pondok pesantren ini untuk mendistribusikan zakat fitrahnya. Banyak juga masyarakat luar daerah yang datang membayar zaakat fitrahnya di pondok pesantren ini. Santri-santri di sini juga membayar zakat fitrahnya di sini. Adapun pengelolaan zakat fitrah yang terkumpul yaitu dikelola oleh dapur umum pondok pesantren.”21
Dari penuturan salah seorang pegawai syara’ di atas, diketahui pula bahwa masyarakat Lingkungan Benteng selain mendistribusikan langsung zakat fitrahnya kepada tetangga yang fakir miskin, imam masjid, pegawai syara’, guru ngaji, dan dukun anak, mereka juga mendistribusikan langsung zakat fitrahnya di pondok pesantren untuk dikelola oleh pihak pondok pesantren.
b.    Masjid Nurul Ilmi di Lingkungan Callaccu.
Pengelolaan zakat fitrah di masjid ini tidak jauh berbeda dengan pengelolaan zakat fitrah di masjid Nurul Hidayah Benteng. Perbedaan itu sebagaimana dijelaskan oleh pegawai syara’masjid di sana. “Amil Zakat untuk masjid ini belum ada yang ditunjuk oleh BAZCAM Baranti ataupun pihak Kelurahan. Jadi selama dua tahun terkahir ini, yang bertugas untuk mengumpulkan, mendata dan mendistri-busikan zakat fitrah adalah panitia pem-bangunan masjid bekerjasama dengan imam masjid dan pegawai syara’. Termsuk saya dan Pak Fuad selaku imam senior saya.”22
Jadi perbedaan pengelolaan zakat fitrah di masjid Nurul Hidayah Benteng dengan masjid Nurul Ilmi Callaccu yaitu dari segi pengelolanya. Jika di mesjdi Nurul Hidayah Benteng pengelola zakat fitrahnya dari kalangan imam masjid dan pegawai syara’saja, maka untuk masjid Nurul Ilmi Callaccu, pegelola zakat fitrahnya adalah dari kalangan panitia pembangunan masjid, imam masjid dan pegawai syara’.
Sama halnya di masjid Nurul Hidayah Benteng, sekalipun masyarakat telah dihimbau untuk mengumpulkan zakat fitrahnya ke masjid, namun masih banyak masyarakat memilih mendistribusikan langsung zakat fitrahnya kepada orang-orang yang mereka anggap berhak menerimanya. Ada juga masyarakat yang membawa ke masjid dulu zakat fitahnya untuk didoakan oleh imam masjid. Setelah itu dia ke rumah guru ngaji anaknya untuk mendistribusikannya kepada guru ngaji. Meskipun ini terjadi di depan mata pengelola zakat fitrah di masjid, namun mereka tidak mampu untuk mencegahnya karena mereka juga sadar bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Pengumpulan zakat fitrah di masjid Nurul Ilmi Callaccu biasanya diinformasi-kan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Data nama-nama muzakki zakat fitrah tidak dicatat oleh pengelola zakat fitrah. Hanya data nama-nama mustahik saja yang dicatat. Itu pun dicatat dalam catatan kecil saja dan setelah zakat fitrah didistribusikan kepada mustahik tersebut, catatan itu tidak diarsipkan.
Mengenai jenis zakat fitrah yang terkumpul, ada masyarakat yang mengum-pulkan zakat fitrah berupa beras dan ada yang dalam bentuk uang tunai. Hal ini sesuai dengan keterangan pegawai syara’ masjid: “Kebanyakan masyarakat di sini membayar zakat fitrahnya dengan beras dari pada uang. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat bugis, mengumpulkan beras sebagai zakat fitrah sudah menjadi tradisi. Apalagi mereka beranggapan zakat fitrah itu merupakan makanan. Kadang pula masyarakat mencampurkan zakat fitrah mereka antara beras dan uang.”23 Untuk bulan Ramadhan tahun ini jumlah zakat fitrah yang terkumpul dalam bentuk beras sebanyak enam kuintal. Sedangkan zakat fitrah berupa uang tunai yang terkumpul kurang lebih Rp 2.000.000.
C. Tatacara distribusi zakt fitrah di kelurahan Benteng
1. Mesjid Nurul hidayah Benteng
Setelah membahas mengenai berbagai cara distribusi langsung zakat fitrah masyarakat Lingkungan Benteng selain di masjid, peneliti akan membahas megenai tata cara distribusi zakat fitrah masyarakat yang sempat terkumpul di masjid Nurul Hidayah Benteng. Adapun zakat fitrah yang terkumpul di masjid akan didistribusikan kepada muztahik yang terdata oleh imam masjid. Jenis zakat fitrah masyarakat yang terkumpul berupa beras dan uang.
Peneliti tidak mampu memaparkan jumlah muzakki dan muztahik zakat fitrah di masjid Nurul Hidayah Benteng karena imam masjid dan pegawai syara’ di sana tidak menyimpan catatan data muzakki dan mustahik zakat fitrah. Bahkan jumlah zakat yang berupa beras dan uang pun tidak diarsipkan datanya. Hal ini dikarenakan tidak adanya struktur organisasi resmi pengelola zakat fitrah di masjid ini, jadi imam masjid dan pegawai syara’yang selaku pengelola hanya membuat catatan yang bersifat sementara mengenai data-data pengelolaan zakat fitrah ini.
Beberapa golongan masyarakat yang menjadi mustahik zakat fitrah di masyarakat Lingkungan Benteng adalah fakir, miskin, janda-janda, anak yatim serta imam masjid dan pegawai syara’ selaku amil. Data yang diperoleh mengenai jumlah total zakat fitrah masyarakat Lingkungan Benteng yang terkumpul dimasjid Nurul Hidayah Benteng bulan Ramadhan 1433 Hijriah lalu adalah beras sebanyak lima kuintal dan uang tunai sebesar Rp 2.300.000. Zakat fitrah ini kemudian didistribusikan kepada muztahik yang telah terdata. Pendistribusian ini berlangsung satu hari sebelum hari raya idul fitri.
Tata cara pendistribusian zakat fitrah oleh imam masjid yaitu dengan membagi rata zakat fitrah berupa beras kepada setiap mustahik. Untuk zakat fitrah berupa beras, setiap mutahik diberi lima liter per kepala keluarga. Imam masjid dan pegawai syara’ bersama-sama membungkus dalam kantong plastik zakat fitrah yang akan diserahkan kepada mustahik dengan jumlah takaran yang sama. Setelah itu, imam masjid dan pegawai syara’mendistribusikan zakat fitrah ini ke rumah mustahik dengan bantuan anak-anak sekolah. Jadi bukanlah mustahik ini yang diminta datang ke masjid untuk mengambil jatah zakat fitrahnya. Anak-anak sekolah inilah yang nantinya akan membawa zakat fitrah ini ke rumah mustahik yang terdata. Jadi bukan imam masjid dan pegawai syara’ yang langsung mendistribusikan zakat fitrah ke rumah-rumah mustahik dan bukan pula mustahik ini yang dimohon datang ke masjid untuk mengambil jatah zakat fitrahnya.
Adapun zakat fitrah yang terkumpul berupa uang, seluruhnya dibagi rata pada antara imam masjid dengan pegawai syara’. Jadi bagi pegawai syara’ yang telah menerima distribusi langsung zakat fitrah dari masyarakat di rumanya, masih juga mendapat jatah distribusi zakat fitrah berupa uang yang terkumpul di masjid tempat dia sebagai pegawai syara’. Hal ini karena mereka ikut membantu pengelolaan zakat fitrah di masjid dan merasa bahwa uang itu adalah uang kesejahteraan mereka.
1.    Masjid Nurul Ilmi di Lingkungan Callaccu.
Untuk takaran jatah zakat fitrah bagi setiap mustahik, pengelola mengikuti aturan bahwa pendistribusian zakat fitrah kepada mustahik tergantung dari tingkat kebutuhan dan kondisi ekonomi mustahik tersebut. Takaran zakat fitrah berupa beras biasanya didistribusika mulai dari lima liter, tujuh liter hingga sepuluh liter per kepala keluarga. Untuk pendistribusian zakat fitrah yang berupa uang, dibagikan sebanyak Rp 50.000 per kepala keluarga.
Jika masyarakat tidak terlambat membayar zakat fitrahnya di masjid, maka pengelola zakat fitrah akan mendistri-busikannya kepada mustahik yang telah terdata satu hari sebelum hari raya idul fitri. Namun jika ada mustahik yang baru diketahui setelah salat idul fitri bahwa dia belum mendapat pembagian zakat fitrah dari masjid, maka zakat fitrah itu baru didistribusikan kepada mereka setelah salat idul fitri. Namun jika tidak ada kendala seperti di atas, pengelola zakat fitrah mengupayakan pendistribusian kepada masyarakat dapat selesai sebelum hari raya idul fitri.
Cara pendistribusian zakat fitrah yang terkumpul di masjid ini adalah dengan cara memanggil mustahik tersebut melalui tetangganya agar mereka mengambil jatah zakat fitrahnya di masjid. Namun jika ada mustahik yang tidak sempat datang, maka panitia pembangunan masjidlah yang juga selaku pengelolan zakat fitrah yang mengantarkan zakat fitrah itu ke rumah mustahik.
Untuk pengelola zakat fitrah juga diberi bagian zakat fitrah karena mereka tidak digaji oleh pemerintah. Oleh karena itu zakat fitrah inilah yang dijadikan sebagai upah mereka. Zakat fitrah ini juga didistribusikan sebelum hari raya idul fitri. Jadi zakat fitrah yang tersisa setelah didistribusikan kepada mustahik selain pengelola zakat tadi, maka itulah yang dibagi rata kepada pengelola zakat fitrah ini.
D. Distribusi Zakat Fitrah dan tatacara distribusi zakat fitrah di Kelurahan Benteng Kec. Baranti Kabupaten Sidrap dalam Tinjauan Hukum Islam
Sebagaimana penjelasan pada pem-bahasan sebelumnya mengenai tata cara pendistribusian zakat fitrah di Kelurahan Benteng yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Distribusi langsung masyarakat terhadap zakat fitrahnya kepada orang-orang yang mereka anggap berhak menerimanya.
2. Distribusi zakat fitrah kepada mustahik oleh amil zakat dalam hal ini imam masjid dan panitia pembangunan masjid.
Untuk lebih memahami mengenai kedua bentuk pendistribusian zakat di atas, maka berikut ini akan dipaparkan tinjauan hukum Islam terhadap tata cara tersebut.
1.    Distribusi langsung masyarakat terhadap zakat fitrahnya kepada orang-orang yang mereka anggap berhak menerimanya.
Masyarakat mendistribusikan lang-sung zakat fitrahnya kepada tetangga yang fakir miskin, guru ngaji, dukun anak, imam masjid, pegawai syara’dan di pesantren. sekalipun telah ada himbauan untuk mengumpulkan zakat fitrah di masjid. Kebiasaan inilah yang diterapkan masyara-kat sejak dulu. Ditambah lagi karena pengelola zakat beberapa dekade ini tidak memberikan arahan atau penjelasan kepada masya-rakat mengenai kepada siapa seharusnya zakat fitrah itu didistribusikan serta urgensi zakat fitrah diserahkan kepada amil zakat. Sosialisasi mengenai zakat fitrah melalui media dakwah sangat jarang dilakukan bahkan jika pernah pun, belum dikaji hingga ke akar-akarnya. Pengawasan terhadap pengelo-laannya pun tidak ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurang berpengaruhnya himbauan dari amil zakat dipengaruhi oleh ketidak-jelasan struktur amil zakat yang ada di Kelurahan Benteng. Padahal telah nyata dalam al-Qur’an: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)24
Surah at-Taubah: 103 ini menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Karena itu, Rasulullah Saw. pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah Saw. pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh khulafaur rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan bahwa zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal kedermawanan, tetapi juga 25
Terlebih lagi pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat telah memiliki kekuatan hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Semua landasan hukum ini sudah sangat cukup untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di Kelurahan Benteng.
Menyalurkan zakat fitrah secara langsung memang sah ditinjau dari hukum syari’ah, tetapi menyalurkan zakat fitrah melalui lembaga pengelola zakat akan jauh lebih efektif dari pada menyalurkannya secara orang perorang. Sebagaimana pendapat fuqaha, antaranya mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Ahmad yang ber-pendapat bahwa sah-sah saja mengeluarkan sendiri zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, akan tetapi mazhab-mazhab ini juga tidak menyanggah bahwa pemerintah memiliki hak untuk mengambil zakat, berdasarkan Surah at-Taubah ayat 103. Karena mengingat bahwa membayar-kan secara langsung zakat fitrah oleh muzakki kepada mustahik dapat menim-bulkan beberepa kemungkinan yang bisa terjadi jika dibandingkan dengan menyalur-kan zakat kepada lembaga pengelola zakat, yaitu antaranya:
1.    Berkurangnya jumlah zakat fitrah yang terkumpul.
2.    Resiko tidak tepat sasarannya zakat fitrah ini kemungkinan besar terjadi karena masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai perihal zakat fitrah.
3.    Bertumpuknya pembayaran zakat fitrah pada beberapa golongan saja. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmerataan dan keadilan pemanfaatan zakat fitrah. Hal ini dikarenakan tidak ada pengelolaan yang memadai.
4.    Munculnya rasa rendah diri segelintir orang yang menjadi sasaran distribusi langsung zakat fitrah.
5.    Kecemburuan sosial antar masyarakat mustahik yang satu dengan mustahik yang lain.
6.    Memberi peluang amil zakat untuk berlaku tidak jujur dan amanah, karena ada masyarakat yang mendistribusikan langsung zakat fitrahnya di rumah amil.
Jika zakat fitrah diserahkan secara langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi disamping akan munculnya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan keadilan distributif dan kesejah-teraan umat secara umum, akan sulit diwujudkan.
Sosialisasi yang dilakukan baik pemerintah ataupun UPZ sangat dibutuh-kan. Sosialisasi ini dapat dalam bentuk kerjasama dengan imam masjid dan pegawai syara’. Karena memang masjid merupakan corong informasi yang sangat dekat dengan umat Islam terutama di wilayah kelurahan/desa. Ada indikasi dalam masyarakat bahwa masyarakat tidak mengumpulkan zakat fitrahnya di masjid sebagaimana himbauan imam masjid karena tidak adanya transparansi pengelolaan zakat fitrah dari amil zakat yang saat ini bertugas. Hal ini juga dipacu oleh tidak adanya wadah yang dapat dijadikan tempat untuk mempertanggungjawabkan dana zakat fitrah yang terkumpul. Jadi dengan diben-tuknya UPZ di setiap kelurahan atau masjid oleh pemerintah Kecamatan atau Kelurahan, diharapkan proses pelaporan penggunaan dana zakat fitrah dapat terarah dan terlaksana dengan baik. Catatan tentang pemasukan dan pengeluaran zakat fitrah harus bersifat terbuka, malah perlu dipasang di papan tulis sehingga setiap orang dapat segera mengetahuinya.
Dengan pengorganisasian dan admi-nistrasi zakat yang teratur dan transparan, diharapkan dapat memacu tumbuhnya kepercayaan umat terhadap lembaga atau kepengurusan zakat fitrah yang bersang-kutan. Dan pada gilirannya hal itu akan meningkatkan gairah umat untuk menu-naikan ibadah zakat fitrah. Dengan demikian jumlah masyarakat yang mem-bayarkan zakat fitrahnya di masjid dapat bertambah, ini berarti jatah zakat fitrah untuk mustahik dapat bertambah pula. Diharapkan dengan terbentuknya UPZ dengan sosialisasinya kedepan akan meminimalkan cara distribusi langsung zakat fitrah masyarakat kepada mustahik. Begitupun sebaliknya, diharapkan mustahik yang selama ini menerima distribusi zakat fitrah masyarakat juga ikut tersadarkan untuk tidak lagi menerima distribusi zakat fitrah, ataupun menerimanya namun tetap mengumpulkannya kembali UPZ yang telah dibentuk.
Jadi jika selama ini masyarakat banyak yang mendistribusikan langsung zakat fitrahnya bukanlah sepenuhnya salah mereka, karena memang selama ini belum ada himbauan yang sifatnya memaksa, mengikat dan berkekuatan hukum dari pemerintah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa distribusi zakat fitrah oleh masya-rakat langsung secara pribadi kepada dukun anak dan guru ngaji yang memiliki kehi-dupan sejahtera bahkan sangat sejahterah adalah bertentangan dengan hukum Islam. Sekiranya dukun anak dan guru ngaji yang menjadi sasaran disrtibusi langsung zakat fitrah memiliki tingkat kehidupan yang tidak atau kurang sejahterah, hal ini bisa saja dibenarkan dalam hukum Islam. Mengenai tinjauan hukum Islam terhadap imam masjid dan pegawai syara’ yang menerima distribusi langsung zakat fitrah masyarakat di rumahnya dan mendistri-busikan zakat fitrah yang terkumpul di rumanya hanya sebatas pada keluarganya saja dengan jumlah zakat fitrah yang didistribusikannya sangat sedikit, padahal mereka selaku imam pastilah memahami dengan baik perihal zakat fitrah dan seharusnya menjadi contoh teladan bagi masyarakat, kita kembalikan kepada syarat-syarat amil zakat.
2.    Tatacara distribusi zakat fitrah kepada mustahik oleh amil zakat dalam hal ini imam masjid, pegawai syara’ dan panitia pembangunan masjid.
Tatacara distribusi zakat fitrah masyarakat Kelurahan Benteng ditinjau dari cara penyalurannya kepada mustahik, yaitu:
a.    Amil zakat yang mendistribusikan zakat fitrah ke rumah-rumah mustahik yang terdata.
b.    Amil zakat meminta tolong orang lain (kepada anak sekolah) untuk mengantar jatah zakat fitrah mustahik ke rumah setiap mustahik.
c.    Amil zakat mengundang mustahik untuk datang ke masjid mengambil jatah zakat fitrahnya.
d.   Amil zakat langsung menambahkan jumlah zakat fitrah muzakki yang terdata sebagai mustahik saat mereka membayar zakat fitrahnya di masjid.
Distribusi zakat fitrah lebih baik dengan terang-terangan sekiranya hal ini dapat menjadi contoh yang menarik, sehingga akan banyak orang atau lembaga zakat di wilayah lain yang ikut mendistri-busikan zakatnya. Distribusi dengan terang-terangan ini juga bisa menghindari ketidak-percayaan masyarakat terhadap pelaksanaan amanah pengumpulan zakat fitrah masya-rakat. Akan tetapi jika distribusi itu dirahasiakan atau disembunyikan agar tidak nampak bagi masyarakat ramai maka akan lebih baik juga agar si mustahik tidak merasa direndahkan derajatnya. Sebagai-mana Allah Swt. berfirman: Terjemahnya:
Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan mem-berikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan. (QS al-Baqarah: 271)26
Ayat lain juga menjelaskan hal tersebut, yaitu: Terjemahnya:Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)….(QS al-Baqarah: 264)27 Jadi yang ditekankan di sini adalah menjaga muzakki dari sifat riya sekaligus menjaga perasaan rendah diri mustahik.
Adapun cara distribusi zakat fitrah masyarakat Kelurahan Benteng ditinjau dari waktu pelaksanaan distribusinya, yaitu:
a.    Zakat fitrah yang terkumpul diusahakan didistribusikan sebelum hari raya idul fitri, pendistribusian ini dilakukan sehari sebelum hari raya Idul Fitri.
b.    Bagi mustahik yang terlambat didata, bagian zakat fitrah untuknya diserahkan sesegera mungkin setelah salat idul fitri dilaksanakan.
Waktu pendistribusian zakat fitrah sesuai dengan ketentuan waktu yang telah disepakati pengelola zakat merupakan hal yang sangat baik karena dapat memper-mudah proses distribusi. Ini memberikan kesempatan kepada mustahik untuk menge-lola zakat fitrah tersebut untuk mencukupi kebutuhannya di hari raya idul fitri. Mengingat tujuan zakat fitrah yaitu:        
28 اَعْنُوْ هُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا اليَوْمِ
Artinya:
Cukupkanlah mereka agar mereka tidak meminta-minta pada hari ini.
Mengenai amil zakat yang menye-gerakan pendistribusian zakat fitrah bagi mustahik yang terlambat terdata merupakan upaya yang cepat tanggap. Namun, kedepannya dengan terstrukturnya UPZ, diharapkan pendataan mustahik dapat dilakukan dengan teliti dan menyeluruh sehingga data-data dapat rampung sebelum salat Idul Fitri agar zakat fitrah ini dapat dinikmati di hari raya dan menggembirakan mustahik.
Adapun cara distribusi zakat fitrah masyarakat Kelurahan Benteng ditinjau dari jumlah takaran jatah bagi setiap kepala keluarga mustahik, yaitu:
a.    Jatah zakat fitrah sama untuk setiap mustahik.
b.    Jatah zakat fitrah disesuaikan dengan kebutuhan setiap mustahik.
Pendapat fuqaha terhadapa cara pendistribusian seperti di atas antara lain mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat boleh memberikan zakat kepada masing-masing orang fakir dan miskin sebesar keperluan yang dapat memenuhi ke-butuhannya. Jadi mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak mematok hukum wajib untuk menyamaratakan pada semua sasaran yang ada. Pendistribusian zakat fitrah dengan takaran yang berbeda bagi setiap mustahik mencerminkan usaha untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Pendapat Abu Hanifah dan Malik bahwasanya ayat yang menjelaskan orang yang berhak menerima zakat tidak mem-berikan batasan kadar ukuran yang harus diberikan kepada setiap orang yang ter-masuk kelompok delapan. Hal yang lebih diutamakan adalah kemaslahatan.29 adi cara distribusi zakat fitrah di Kelurahan Benteng yang berbeda takarannya, lebih banyak maslahatnya jika zakat fitrah itu didistri-busikan dengan takaran yang berbeda untuk mustahik disesuaikan dengan kebutuhan mustahiknya.
Terhadap imam masjid dan pegawai syara’ yang selaku amil zakat namun mereka tidak mendistribusikan kepada mustahik dana zakat yang berupa uang tunai malah membagi habis uang zakat fitrah tersebut antar amil zakat, Allah Swt. berfirmandalam al-Qur’an: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…, (QS an-Nisa: 58)30
Besarnya zakat yang diberikan kepada amil zakat, menurut kesepakatan fuqaha, sesuai dengan kerja yang telah dilakukannya, atau sebesar biaya transfor-tasi, keperluan administrasi, konsumsi dan biaya lainnya yang mereka butuhkan selama mengurusi zakat. Akan tetapi, mazhab Hanafi memberikan catatan tambahan bahwa bagian zakat amil zakat hendaknya tidak melebihi setengah dari bagian zakat yang telah dipungutnya.
Amil zakat itu juga harus melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di akhir bulan Ramadhan saja (biasanya hanya untuk pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogyanya para petugas ini mendapatkan bagian zakat sekadarnya saja untuk keperluan administrasi, ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, biaya trasnfortasi maupun biaya-biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya.
Jika terjadi dalam praktek bahwa bagian amil zakat lebih besar daripada bagian mustahik lainnya, namun tidak disokong oleh kinerja yang maksimal untuk pengelolaan dana zakat fitrah, maka hal tersebut tidak dianggap amanah dan bertentangan dengan hukum Islam. karena salah satu syarat amil zakat adalah jujur, dapat dipercaya, karena nanti akan dipercaya untuk memegang harta kaum muslim. Sifat amanah dan jujur akan menarik rezki dan kemudahan, sebaliknya sifat khianat dan tidak dapat dipercaya, akan menyebabkan kefakiran dan kesulitan. Kelancaran pengelolaan zakat fitrah, mulai dari pendataan, pengumpulan, peng-administrasian, dan pendistribusiannya sangat dipengaruhi oleh sehatnya Unit Pengumpul Zakat

IV.   PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesim-pulan sebagai berikut:
1.    Pendistribusian zakat fitrah pada masyarakat Kelurahan Benteng Kecama-tan Baranti Kabupaten Sidrap masih didominasi oleh cara-cara tradisional yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat, seperti mendistribusikan lang-sung zakat fitrahnya kepada tetangga yang fakir miskin, imam masjid, pegawai syara’, guru ngaji, dukun anak, dan menyerahkan di Pesantren. Hal ini disebabkan belum terbentuknya Unit Pengumpul Zakat di wilayah ini.
2.    Tatacara pendistribusian zakat fitrah yang terkumpul di masjid-masjid Kelu-rahan Benteng akan didistribusikan oleh pengelola zakat kepada mustahik seperti fakir miskin, janda-janda, anak yatim, dan lanjut usia, baik dengan takaran yang sama maupun berbeda. Waktu pendistribusiannya dilaksanakan sehari sebelum hari raya Idul Fitri, atau jika ada mustahik yang lambat terdata, maka jatah zakat fitrah untuknya diberikan sesegera mungkin setelah pelaksanaan salat idul fitri. Khusus untuk pengelola zakat, bagian zakat fitrah yang mereka peroleh adalah zakat fitrah yang terkumpul dalam bentuk uang tunai dengan cara dibagi habis sesuai jumlah pengelola yang ada.
3.    Menyalurkan zakat fitrah secara lang-sung memang benar ditinjau dari hukum syari’ah, tetapi menyalurkan zakat fitrah melalui lembaga pengelola zakat akan jauh lebih efektif dari pada menyalur-kannya secara orang perorang. Ini demi menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan timbul jika menyalur-kan zakat fitrah secara langsung dari muzakki kepada mustahik.
Pendistribusian zakat fitrah dengan takaran yang berbeda bagi setiap mustahik sesuai dengan kebutuhannya mencerminkan usaha untuk mencukupi kebutuhan mereka. Penetapan waktu oleh pengelola untuk pendistribusiannya, seperti satu hari sebelum hari raya idul fitri, merupakan hal yang baik dan dapat mempermudah kinerja pengelola. Begitu pula dengan penyegeraan pemberian zakat fitrah bagi mustahik yang lambat terdata. Mengenai amil zakat, jika bagian zakat fitrah amil zakat lebih besar dari pada setengah dari zakat fitrah yang terkumpul, namun tidak didukung oleh kinerja yang maksimal untuk pengelo-laan dana zakat fitrah, maka hal tersebut tidak dianggap amanah dan bertentangan dengan hukum Islam. Sama halnya pendistribusian zakat fitrah langsung secara individu kepada dukun anak dan guru ngaji yang memiliki kehidupan yang sejahterah bahkan sangat sejahterah adalah bertentangan dengan hukum Islam.
B.  Saran
1.    Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sangat perlu untuk dibentuk di Kelurahan ataupun di setiap masjid di Kelurahan. Selanjutnya, selektifitas dalam memilih pengelola UPZ dengan memperhatikan syarat-syarat amil zakat yang baik harus diaplikasikan agar pengelolaann zakat, terkhusus pendistribusiannya, sesuai dengan hukum Islam.
2.    Kepercayaan masyarakat terhadap pengelola zakat harus dapat ditumbuhan dengan transparansi dan akuntabilitas dana zakat sehingga semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk menunai-kan zakat pada Unit Pengumpul Zakat. Di samping itu, sosialisasi zakat secara komprehensip yang berkaitan dengan hukum, hikmah, tujuan dan lainnya harus dilakukan. Dengan langkah ini, diharapkan masyarakat dapat meng-aplikasikan penunaian zakat sebagai-mana diatur dalam hukum Islam.
Catatan Akhir:
[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnyanya, (Bandung: Syaamil, 2005), h. 196
2Ahmad Azharruddin Latif, dkk, Pengantar Fiqih, (Jakarat: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 67
3Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah 1,alih bahasa Ahmad Siddiq dkk., (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), h. 597
4Departemen Agama RI, Op. cit., h. 203
5Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 1 Juz 1 Kitab Iman Bab Du’aukum Imanukum, (Lebanon: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 9
6Farida Prihatini dkk, Hukum Iskam Zakat & Wakaf, (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2005), h. 52
7Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, alih bahasa Kamran As’at Irsyandy dkk, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 395
8Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 1 Juz 2 Kitab Zakat Bab Fardhi Shodaqoh Fitri, (Lebanon: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 161
9Farida Prihatini dkk, Op. cit., h. 52
10Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Zakat Bab Zakat Fitrah, Jilid 2, (Lebanon: Dar al-Fikr, 1995), h. 27-28
11Farida Prihatini dkk, Loc. cit.
12Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 428
13Ibid.
14Muhammad Arifin, Sekretaris Badan Amil Zakat Kecamatan (BAZCAM) Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang, wawancara pada tanggal 20 Desember 2012 di Baranti.
25Muhammad Hasbi, imam masjid Nurul Hidayah Lingkungan Benteng, wawancara pada tanggal 21 Desember 2012 di Benteng.
16 Darman, pegawai syara’ masjid Nurul Ilmi Lingkungan Callaccu, wawancara pada tanggal 21 Desember 2012 di Callaccu.
17M. Arif Mufraini, Op. cit., h. 142
18Muhammad Hasbi, Ibid.
19 Muhammad Arifin, Ibid.
20 Muhammad Hasbi, Ibid.
21 La Kalebbi, pegawai syara’ masjid Nurul Hidayah Lingkungan Benteng, wawancara pada tanggal 21 Desember 2012 di Benteng.
22Darman, Ibid.
23Fuad, imam masjid Nurul Ilmi Lingkungan Callaccu, wawancara pada tanggal 2 Januari 2013 di Callaccu.
24Departemen Agama RI, Op. cit., h. 203
25Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 125-126
26Departemen Agama RI, Op. cit., h. 46
27Ibid., h. 44
28Daraquthni, Sunan Daraquthni, Kitab Zakatil Fithr, hadis no. 67, Jilid 2,  h. 152-153
29Wahbah al-Zuhayly, al-Fiqh al-Islam Adillatuh. alih bahasa Agus Efendi dan Bahruddin Fananny, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 291-292
30Ibid., h. 87