HUKUM ISLAM DAN MULTIKULTURALIS-PLURALITAS
DI INDONESIA
Hannani
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Parepare
Abstract: Culture is a whole
system of ideas, actions and products of human endeavor to fulfill their lives
by learning, all of which are arrayed in people's lives. Pluralism is
understood that a plurality of saw it as a reality that is positive and as a
necessity for salvation of mankind. Multiculturalism is a recognition that some
of the different cultures can exist in the same environment and benefit from
each other. Or the recognition and promotion of cultural pluralism. Since the
early development of Islam as a conception of reality has accepted
socio-cultural accommodation. This accommodation is increasingly seen as an
Islamic region evolved such that it became a worldwide religion. In certain
cases, accommodation is created in such a way, giving rise to "a variant
of Islam". Pluralistic society (plural) where people from various ethnic
backgrounds, tribes, nations and religions come together and live together will
pose its own challenges that need to be answered by the urban community by
developing properties that match the circumstances. The properties that match
the state of society is this city is a multicultural civil society - and of
course involve certain attitudes are becoming multicultural society demands.
These gestures include, among others, inclusivism, humanism/egalitarianism,
tolerance, and democracy.
Kata Kunci: Hukum
Islam, Multikultural, Pluralitas
I.
PENDAHULUAN
Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah
dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin
Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak
melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam
Alquran sudah jelas ayatnya. “Umat Islam yang hidup di dunia, khusunya
Indonesia, belum menemukan konsep baku tentang hukum Islam. Akan tetapi
sebagian besar konsep hukum Islam sangat fleksibel, meski ada beberapa yang
harus ketat. Konsep ulama’ yang sangat masyhur, Taghayyur al-Hukm bi
Taghayyur al-Amkinah wa al-Azminah wa al-Ahwal, menunjukkan bahwa perubahan
hukum adalah sebuah keniscayaan, karena hukum selalu berputar, bergerak sesuai
dengan tempat, zaman dan situasi atau kondisi di mana umat Islam berada. Karena
itu Islam berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya. Fitrah Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa disama-ratakan pada semua Negara.”
Hukum Islam tidak selalu menawar-kan satu konsep baku yang kaku. Hukum Islam selalu
bergerak mengikuti dari perkembangan zaman, oleh karenanya, Islam tidak
menafikan bahwa ijtihad sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan
hukum Islam. Hingga kini pintu Ijtihad selalu
terbuka bagi umat Islam dalam menggapai misinya sebagai agama rahmatan lil
alamin dan masih relevan untuk dilakukan pada zaman sekarang.
Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh
para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika
hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan
hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas
ayatnya. Karena Umar mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada
waktu itu.
Budaya adalah unsur dasar bagi manusia. Budaya
memiliki tiga lapisan, yaitu: nilai-nilai dasar yang bisa diper-tahankan,
perilaku-perilaku yang terdiri dari ritual, simbol-simbol, dan artefak yang
berisi ilmu pengetahuan yang bisa diserap. “Bangsa yang besar selalu menerima
budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup”, tegasnya. “Semakin terbuka
suatu komunitas, semakin mudah mereka mengalami akulturasi budaya.” “Namun
dalam akulturasi budaya, nilai-nilai dasar (basic value) tetap harus
dipertahankan. Biasanya sentuhan budaya luar hanya pada lapisan norma dan
lapisan artefak saja.”
Begitu juga dengan penyatuan antara hukum Islam dengan
budaya lokal setempat. Tujuannya adalah agar bisa mudah diterima dengan terbuka
tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Hal itu telah dilakukan oleh
para walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Para wali itu berusaha
menyampaikan ajaran agama dengan menggunakan budaya lokal. Sehingga Islam yang
ada di Jawa mempunyai corak yang unik dan berbeda dengan Islam yang di Arab.
Meski demi-kian, bukan berarti nilai-nilai dasar Islam itu telah
hilang dari keislaman orang Jawa. Yang terjadi justru sebaliknya.
Praktek-praktek ritual kerap kali dilakukan oleh masyarakat Jawa. Sebagai
contoh peringa-tan pada tanggal 1 Muharram yang diperingati dengan
berbagai cara. Akan tetapi hal itu tidaklah memengaruhi nilai-nilai subtantif
dari ajaran Islam sendiri.
Sebuah peraturan Hukum Islam tidaklah terlepas dari
nilai-nilai konsep-tektual peradaban. Hukum-hukum yang berbeda
tidak harus dilarang. Karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras
terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Ijtihad terdiri dari beberapa tahapan.
Pertama, adalah jihad yang merupakan upaya fisik membangun hukum Islam. Kedua,
ijtihad, yakni memilih suatu jalan dengan benar dalam membentuk hukum Islam
tersebut. Ketiga, mujahadah, yaitu upaya mendekatkan diri pada Tuhan secara
personal dan secara social. sehingga per-bedaan pendapat dalam menentukan sebuah hukum menjadi
sah dalam agama. “Karena hanya dengan berpikir yang mencerahkan dan
menghilangkan belenggu otak dari kebekuan-kebekuan tersebut, sebuah jalan untuk
mengaktualisasikan hukum Islam dimuka bumi ini menjadi mungkin.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan
masalah sebagai berikut; Apa yang dimaksud masyarakat Multikulturalis-Pluralis, dan Bagaimana
Hukum Islam merespon masalah dalam Masyarakat Multikultural-Pluralis
II.
PEMBAHASAN
A. Masyarakat
Multikulturalis-Pluralis dalam Islam
1. Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari
definisi berbagai tokoh sebagaimana berikut ini. Josh McDowell menjelaskan
mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme
tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative
tolerance". Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting
others beliefs and practices without sharing them" (menghormati
keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama
mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism)
disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan bahwa
"every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims
are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran
dari setiap individu, adalah sama (equal).1
Menurut The Oxford English Directory,
pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik
didefinisikan sebagai:
1) Sebuah teori yang menentang
kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjur-kan untuk meningkatkan pelimpahan dan
otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam
masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai
politik yang ada.
2) Keberadaan toleransi keragaman
kelom-pok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keraga-man kepercayaan atau sikap yang ada pada
sebuah badan atau institusi dan sebagainya.2
Sedangkan dalam Islam yang dimak-sud pluralisme
adalah paham kemajemu-kan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat
positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.3
Pluralism
berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris
menurut Anis Malik Thoha4
mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan
untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b)
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan
maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari
satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system
yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku,
aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang
sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.5
Pluralisme
sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami
perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar
antara pluralisme dengan penger-tian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti:
a.
pluralisme
diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
b.
pluralisme
digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
c.
pluralisme
digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan
ajaran agama lain
Jika melihat
kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di
indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa
Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari
berbagai pihak. Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena
munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan plura-lism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata
pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat
agar tidak timbul kerancuan.
2. Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang majemuk (yang terdiri dari suku,
ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), kita sering menggunakan berbagai
istilah yaitu: plura-litas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural).
Ketiga eks-presi itu sesungguhnya tidak merepresen-tasikan hal yang sama, walaupun semuanya
mengacu kepada adanya ’ketidak-tunggalan’.
Dibandingkan konsep Pluralitas dan Keragaman,
Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh6, baru sekitar 1970-an gerakan
multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multi-kultural. Inti dari multikulturalisme
adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
mempeduli-kan perbedaan budaya, etnik, jender,
bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepre-sentasikan adanya kemajemukan (yang lebih
dari satu), multikulturalisme mem-berikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Menurut Rogers dan Steinfatt Multi-kulturalisme merupakan pengakuan bahwa
beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan meng-untungkan satu sama lain. Atau pengakuan
dan promosi terhadap pluralisme kultural.7
Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pan-dangan seseorang tentang ragam
kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan
kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan
tertentu.
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia
yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap realitas ke-agamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai
pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik8 Masyarakat multikultural adalah
suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan
segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu
sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang,
kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk
dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk
mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk
mempertahankan kemaje-mukan tersebut Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai
keaneka-ragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat
multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang
telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorgani-sasikan
dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan
batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan
dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman
yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau
perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri
khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat
yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang
akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multi-kulturalisme. Banyak definisi mengenai
multikulturalisme, diantaranya multikul-turalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang
menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidu-pan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of
recognition”.9 Lawrence Blum meng-ungkapkan bahwa multikulturalisme men-cakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas
budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat
ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai pene-rimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk
saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat.
Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa
membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di
Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak
pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk
suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan
mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang
erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu ke-budayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang
menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Konsep
multikulturalisme menekan-kan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan, gagasan ini juga
menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayori-tas dan minoritas, keberadaan
kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan10
menjelaskan multi-kulturalisme
adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu
konsep multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman
secara agama, suku bangsa atau ke-budayaan yang menjadi ciri khas masya-rakat
majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kese-derajatan.
Masyarakat
pluralis - multikultural tidak bersifat
homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial
antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan
untuk hidup ber-dampingan
secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan
perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya
Subagyo11. Secara mudah
dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa
masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, menghindari konflik--kekerasan meski
di dalamnya ada kompleksitas perbedaan.
Secara
sederhana, pluralitas-multi-kuturalisme dapat dipahami sebagi suatu konsep
keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya, yang mengajak
masyarakat dalam arus per-ubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan
menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan
meskipun terdapat per-bedaan sistem sosial di dalamnya. Ide keanekaragaman kebudayaan
atau masya-rakat
pluralis-multikultural, dapat dilihat sebagai sebuah ide yang bertujuan meredam
konflik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Selain itu, ide
tersebut juga berpotensi mampu menonjolkan potensi-potensi kekayaan,
potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman
kebudayaan yang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam
kehidupan masyarakat.
Berpijak
pada kerangka pemikiran ini, paradigma multikulturalisme jika di-kembangkan
secara massif diharapkan menjadi solusi konflik kemanusiaan selama ini.
Disamping untuk menopang wacana demokratisasi sebagai agenda masa depan politik
guna mencapai cita ideal perdamaian dan peradaban modern. Oleh karena itu,
wacana pluralitas-multikulturalisme men-jadi sangat penting untuk dibina
sebagai upaya mengkonstruk masyarakat yang beradab dan berkeadaban berlandaskan
pada demokrasi untuk tercapainya sebuah masyarakat dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Di
sinilah konsep pluralitas-multi-kulturalisme diharapkan memberi kontri-busi nyata terhadap agenda
demokratisasi dan non-diskriminasi, terutama perhatian yang besar terhadap
equalitas (persamaan) dan non-diskriminasi kaum minoritas. Karena keharusan
kemanusiaan dan demokrasi dalam upaya membangun peradaban berkeadilan untuk
memper-lakukan
berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi? Tidak ada
diskriminasi yang didasarkan pada kelas, gender, ras, atau minoritas agama
dalam ruang public (public sphere). Sebaliknya, setiap individu harus
diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan yang sama.
Sebagai
alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, pluralitas-multikul-turalisme
memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut
adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk
tradisi budaya, termasuk agama. Multi-kulturalisme diharapkan menjadi narasi
ide guna membangun perspektif baru terhadap keragaman, sebagai perspektif baru
dalam upaya merenda benang-benang hubungan antar-manusia yang pernah hidup
dalam suasana penuh konfliktual. Karena saat ini muncul kesadaran massif bahwa
diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemu-kan, pluralitas bangsa, baik dalam
etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik.
Belakangan,
muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman
yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan “pluralisme
agama” (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti
“suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga”.12 Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut
difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi mereka yang
mendefinisikan pluralism non asimilasi, hal ini disalah pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap
sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu
pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam
ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi
pluralisme asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka
kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan
perkembangannya.
B. Hukum Islam dalam Masyarakat yang Multikultural-Pluralis
Sampai batas tertentu, respons hukum Islam terhadap
kecenderungan multi-kulturalis-pluralis memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap
dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan,
pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi
penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja,
berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut
hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama
tersebut untuk men-toleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap
bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan
budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya
dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak
memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.
Dapatkah Islam mengembangkan multikulturalisme,
sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya,
termasuk yang berperspektif lokal? Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif,
jika gagasan multikulturalisme itu masih dianggap asing dalam mind-set Islam.
Sebenarnya, cita-cita agung multi-kulturalisme tidak bertentangan dengan
agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikul-turalisme dianggap ekstra-religius yang
ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema
tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah
pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid
Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan agama. Namun,
gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari ulama-ulama konservatif.
Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara
multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diper-lukan dua hal yaitu:13
Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan
ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk ber-sikap eksklusif dan opresif. Penafsiran
ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap
reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan
untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern.
Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus
mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada
agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin meng-hindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler.
Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu
merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern
ini.
Abdolkarim Soroush,14 intelektual Muslim asal Iran, menegaskan
bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems
(problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem
universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini,
problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan,
telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu.
1. Perlunya Mujtahid Multikultural-pluralis
Abd al-Wahhab Khallaf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhan-nya
adalah qath’i baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari
Nabi Muhammad saw. pada umatnya.15
Teks al-Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya
tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun.16 Sementara
al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath’i
tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd
(memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah)
dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi;
al-Sunnah al-Ahâd).16
Fuqaha’ menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, qath‘i al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian
yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan untuk dipahami
selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks
yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl
atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain.17 Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya
teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan
hukum/fiqih.18
Sementara itu, fuqaha’ mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah
firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama
menyampaikan misinya sering menjelaskan dan meng-elaborasi arti atau makna teks
al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen)
dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya
(sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan
Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh
umat Islam.19
Dalam perspektif historis, sistem ke-negaraan
yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinah-nya
menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multi-kulturalisme.
Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah
Nabi Muhammad saw., yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di
Makkah.20
Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai meng-alami
perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu
(yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat
antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian
muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan
kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi
formal-legalistik.21 Perkembangan
perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari
persoalan peran teks dan kultur tersebut.22
Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan
polarisasi paradigma-tik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih
multikultural-plural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang
sesuai dengan kepen-tingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua,
paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah
sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap
tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang
jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam
merumuskan ketentuan fiqih.23
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar
yang menempatkan gagasan fiqihnya yang ber-basis kultural, kepentingan penduduk
setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10).
Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat
setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari
Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the
autonomisation of action meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku
aslinya, Nabi. 24
Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa
terhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi
menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam
Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid.
Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada
hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf.25
Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab
memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang
berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak
pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang
hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris.26 Hal ini penting untuk menjawab
kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities)
dan berwawasan taqlid.27
Rasulullah Saw. mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masya-rakat yang
beradab. Ia mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai,
pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan
keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama,
sosial maupun budaya.28 Untuk itu rumusan paradigma
ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural-plural” yang
diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif
terhadap pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia
mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan
keturunan.Paradigma ushul fiqih multi-kultural-plural itu berdasarkan
al-Qur’an: Pertama, surat al-Hujurat yang menem-patkan manusia secara
setara.29 Kedua, surat ar-Rum
yang memberikan keabsahan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus
diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran
Allah swt.30 Ketiga, surat
al-kafirun yang menetapkan prinsip saling menghargai antar pemeluk agama.31 Keempat, surat
Yunus dan al-Nahl yang memberikan ruang yang terbuka bagi pola hubungan di
antara sesama manusia, termasuk hubungan antar agama, etnis, suku, bangsa, dan
budaya berdasarkan asas kerelaan/kesetaraan kepentingan tanpa ada pemaksaan.32 Dengan demikian, paradigma ushul
fiqih multikultural ini berusaha menempatkan nilai-nilai kultural dan mem-berikan
kesempatan kepada setiap generasi untuk memberikan terobosan baru untuk
mencapai suatu pengetahuan hukum fiqih yang berbasis keragaman kepentingan
kutlural. Pertimbangan kepentingan kultural memperoleh tempat yang layak.
Dalam konteks ini, penulis perlu mengemukakan perbedaan ketentuan
fiqih monokultural dengan ketentuan fiqih multikultural. Ketentuan fiqih
monokultural menandaskan bahwa: Pertama, pembedaan status kewarganegaraan
berdasarkan asas agama dan gender. Kedua, pembedaan dejarat saksi berdasarkan
jenis kelamin atau agama. Ketiga, pembedaan dalam persoalan pernikahan,
perceraian dan dzimmî.33 Sementara
itu ketentuan fiqih multikultural menandaskan bahwa persamaan kedudukan
laki-laki dan perempuan harus ditegakkan di depan hukum. Demikian juga
persamaan kedudukan non-Muslim, baik dalam persoalan hukum pidana, persaksian
maupun perdata.
Dari uraian tersebut, fiqih yang ber-wawasan multikultural memiliki arti
pen-ting karena
masyarakat/bangsa Indonesia terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara
etnis, sosial, politis, ekonomis, keagamaan, dan kultural. Masyarakat yang
seperti ini memerlukan ketentuan fiqih yang akomodatif dan apresiatif terhadap
ker-agaman
tersebut. Karena itu, identitas hukum fiqih dapat diperluas berdasarkan
keragaman identitas yang berkembang di masyarakat. Sebab, identitas yang
diharap-kan bukanlah
identitas yang statis tetapi identitas yang dinamis.34 Keragaman yang ada yang berlandaskan
identitas keagamaan itu diharapkan oleh paradigma ushul fiqih multikultural ini
akan bersinergi, sehingga keberagaman identitas tidak berjalan sendiri-sendiri,
tetapi keragaman identitas baik budaya, agama, maupun kultur sama-sama semakin
diperluas dan diperkaya.
Agama, termasuk Islam
mengandung simbol-simbol sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi
tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Tetapi, simbol-simbol yang
menyangkut realitas tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud
secara riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian ini, agama dipahami
sebagai suatu “sistem budaya” (cultural system).35
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika Islam
(Alqur’an) yang diyakini kaum Muslimin sebagai kebenaran final yang tidak dapat
diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat merupakan konsepsi tentang
relitas, apakah Islam merupakan pendukung atau sebaliknya hambatan terhadap
perkembangan budaya? Dalam bentuk yang lebih populer, apakah Islam menjadi
penghalang bagi perubahan sosial yang menuju ke arah kesejahteraan kemanusiaan?
Menjawab pertanyaan tersebut tentu-nya kita akan
melihat kembali kebelakang, bahwa sepanjang sejarah sejak masa-masa awal telah
tercipta semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan relitas dan
perkembangan sosial. Tetapi dalam aplikasi praktis, Islam “terpaksa” meng-akomodasi kenyataan sosial budaya. Tatkala
doktrin pokok Al-Qur’an tentang fiqh, misalnya dirumuskan secara terinci, ketika
itu pulalah para ahli fiqh terpaksa mempertimbangkan faktor sosial budaya.
Karena itulah antara lain tercipta per-bedaan-perbedaan betapapun kecilnya,
misalnya diantara imam-imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya mengembangkan apa
yang disebut “qawl al-qadim” ketika di Irak dan “qawl al-jadid”
ketika ia pindah ke Mesir.
Jadi sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi
realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin
terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi
agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta
sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”.36
2. Sikap Masyarakat Islam Terhadap
Multi-Kulturalisme
Sebagaimana kota Jakarta, kota-kota besar dunia Islam
pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan masyarakat yang
majemuk (plural), dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku,
bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja, keadaan ini
menimbulkan tantangan-tantangan tersen-diri yang perlu dijawab oleh masyarakat
perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan.
Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud
dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap
tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut
menurut Mulyadhi Kartanegara di golongkan menjadi empat, antara lain meliputi
inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.37
a. Inklusivisme
Sikap inklusif sebenarnya telah dipraktekkan oleh para
adib ketika menyusun “adab” mereka. Dalam menen-tukannya selain menggunakan al-Qur’an dan
hadits sebagai sumber paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan
sumber-sumber dari kebudayaan lain.38 Selain para adib (udaba’), para ilmuwan
dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam
karya mereka. Mereka menunjukkan sikap lapang dada dan percaya diri yang luar
biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak
sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Sikap inklusif ini dapat dilihat dari
tokoh-tokoh filosof Muslim dalam berfilsafat dan juga dalam mencari guru.39
b. Humanisme/egalitariaanisme
Yang dimaksud humanisme disini adalah cara pandang
yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain
di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan dan bahkan
agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter,
yang menilai semua manusia sama derajatnya. Sejarah kebuda-yaan Islam sarat dengan contoh-contoh
sifat humanis ini. Nabi kita sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas,
bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab daripada ‘ajam (non-Arab)”.
Contoh lain yang berkenaan dengan humanisme adalah :
pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muridnya yang beragama Kristen,40 dan juga dapat kita
lihat dari kitab al-Akhlaq wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w.1066), yang
intinya pan-dangan Ibn Hazm terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengritik
seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya.
c. Toleransi
Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari
beberapa contoh di bawah ini : Pada Masa awal Islam, Para penguasa Muslim dalam
waktu yang relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya seperti;
Mesir, Siria, dan Persia. Ketika para penguasa Muslim menaklukkan daerah
tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu
pengetahuan. Dan setelah daerah tersebut dikuasai Islam, kegiatan keilmuan
masih berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan dari penguasa Muslim.
Disamping itu komunitas non-Muslim seperti Kristen,
Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka
masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim.
Sikap lain yang ditun-jukkan adalah diperkenankannya kaum non-Muslim untuk
hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang
Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya.
d. Demokrasi
Menurut Abdolkarim Soroush dalam bukunya Reason,
Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh
ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan
pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berfikir.41 Kebabasan inilah yang telah dilaksanakan
oleh masyarakat di kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaan Islam.
Pada kesempatan yang lain, Samsu Rizal Panggabean42 memberikan gambaran mengenai
pandangan Islam tentang Multi-kulturalisme, yang mana dia menjelaskan
bahwa kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam),
disamping kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam tulisannya yang
berjudul Islam dan Multikulturalisme, Rizal mem-bahas multikulturalisme dalam dua arah
pembicaraan, yaitu; multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme
Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
1) Multikulturalisme
Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman
internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu
majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan
kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kema-jemukan internal ini mencakup antara lain:
Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan
dimasa modern seperti politik kepartaian.
Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini,
pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya
merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikultura-lisme juga menjadi semangat, sikap, dan
pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan
dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu,
setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitan-nya dengan identitas yang lain dan karena-nya, secara sadar atau tidak, suatu
identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikul-turalisme internal ini, dengan demikian,
mengisyaratkan kesediaan ber-dialog dan menerima kritik.
2) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas
komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada
penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu bercirikan multikultural
dalam pengertian keaneka-ragaman komunitas keagamaan. Imperium
besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti Ternate
dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua komunitas
kultural-keagamaan.
Dilihat dari sudut multikulturalisme eksternal ini,
pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan fakta yang tidak dapat dihindari.
Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pen-dekatan terhadap keanekaragaman budaya dan
agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berin-teraksi dengan umat dari agama-agama lain.
Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi ke-agamaan lain, dan umat agama lain mem-perkaya dan diperkaya tradisi keagamaan
Islam. Sejarah menun-jukkan bahwa ufuk intelektual dan moral peradaban Islam menjadi luas dan
agung dengan atau setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari
kebudayaan dan peradaban lain bukan dengan mengurung diri di dalam ghetto
kultural yang sumpek dan absolutis.
III.
KESIMPULAN
Pada akhir tulisan ini penulis dapat menarik
kesimpulan dan dengan kesim-pulan tersebut setidaknya mendapatkan
gambaran yang cukup jelas tentang hukum Islam dalam masyarakat
MultiKulturalis-pluralis, sehingga diharapkan dapat lebih memperjelas apa yang
telah digambarkan di atas. Dan dengan kesimpulan tersebut pula setidaknya penulis
dapat memberikan beberapa saran yang nantinya semoga dapat dipertimbangkan.
Adapun kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya
dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
2. Pluralisme adalah paham
kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenya-taan yang bersifat positif dan sebagai
keharusan bagi keselamatan umat manusia.
3. Multikulturalisme merupakan
pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang
sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap
plura-lisme kultural
4. Sejak awal perkembangan Islam
sebagai konsepsi realitas telah menerima akomo-dasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin
terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi
agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta
sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”
5. Masyarakat yang majemuk
(plural) dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan
agama berkumpul dan hidup bersama akan menimbulkan tantangan-tantangan ter-sendiri
yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengem-bangkan sifat-sifat
yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat
kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja
melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tun-tutan masyarakat
multikultural. Sikap-sikap tersebut antara lain meliputi inklu-sivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan
demokrasi.
Catatan
Kaki:
2Dalam buku karangan Dr. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan
Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
(1966-1993)), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1999, h. 146.
3Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer),
Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.
H. 73 diakses tanggal 29/11/2005
4Anis
Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan kritis, (cet. I, Jakarta:
Perspektif, 2005), h.11 .
5Pluraisme
berasal dari kata "plural" yang berarti banyak atau berbilang atau
"bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu" (form
of word used with reference to more than one) Pluralisme dalam filsafat
adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk Istilah ini
sering dilawankan dengan monotheisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal
atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme
terbagi kepada physica monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme
bahwa seluruh alam adalah benda dan mental monoism atau idealisme yang
menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualisme,
segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat duania
terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran
(mind) dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat
sebagai banyak. Lihat : A.S. Hornby et.al., The Advanced Learner's Dictionary
of Current English (Oxfort : Oxford University Press, 1972), hal. 744 dalam
Riyal Ka'bah, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang
berserak, (Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, p.68.
6Gurpreet
Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998
7Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois,
Waveland Press, Inc., 1999, h. 238
8(Azyumardi Azra, 2007)
9Lihat Ibid., Azyumardi Azra, 2007
10Lihat Suparlan
(2002:98
11Lihat Subagyo:ibid.,
h. 27
12www//http
MUI.go.id
13Mun’im A Sirry,
Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Artikel
14Abdolkarim
Soroush, Rason, Freedom & Democracy in Islam (Liberty: Newcastel, 2000).h.
27
15Muhyar
Fanani, “Sejarah Perkembangan Konsep Qat‘i-Zannî: Perdebatan Ulama tentang
Anggapan Kepastian dan Ketidakpastian Dalil Syari‘at”, Al-Jâmi‘ah 39:2 (2001),
h. 441-442; Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î, Al-Risâlah Ahmad Muhammad Sakir
(ed.), [Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.], h. 56-57; Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward
an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law,
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), h.18.
16‘Abd al-Wahhâb
Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), h. 34; Moh Dahlan,
Epistemologi Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im,
[Disertasi S-3 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006]
17Ibid., h. 42.
18Ibid., h. 35;
Abî Bakar Ahmad al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1993) h. 5-6; Wahbah al- Zukhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II
[Beirut: Dâr al-Fikr, 1986], h. 1052-1054; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh
(Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.), h. 218 dan 227.
19‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Kuwait: Dâr
al-Qalam, 1972), h. 19 dan 25.
20Menurut fuqaha’
multikultural, teks yang qath‘î al-dilâlah adalah teks yang universal dan
mengandung nilai-nilai kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah
teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilainilai kemanusiaan,
ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the
Muslim World: Socio-Political Conditions and Scriptural Imperatives”, Harvard
Human Rights Journal 3 (1990), h. 17; Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “The Contingent
Universality of Human Rights: The Case of Freedom of Expression in African and
Islamic Contexts”, Emory International Law Review 11 (1997), h. 49.
21Mustato’,
“Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip
Blog.
22Khalaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh…, h. 98-99.
23Amin
Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, dalam
Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 541; Ahmad Baso, Islam Liberal Sebagai Ideologi,Gerbang,
Vol. 06, No.03. 2000,h. 125
24Ada
dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan
konteks baik konteks kalimat ataupun konteks kultural (konteks turun atau
kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas
al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas
Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.), h. 8-10; Al-Syathibi, Al-Muwafaqat
fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997); Ahmad Hasan, The
Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research
Institute, 1970), h. 180; Akh. Minhaji, “Review Article: Mencari Rumusan Ushul
Fiqh untuk Masa Kini”, Al-Jâmi’ah No. 62, Yogyakarta, 2001, h. 247; Al-Syafi’i,
Al-Risalah..., h. 560; Al-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami.., h. 803 dan 821.
25An-Na‘im,
Toward an Islamic Refor-mation.., h. 28; Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences,
John B Thompson (terj. & ed.), [Cambridge: Cambridge University Press,
1982], h. 206; M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Abdul Mustaqim,
Madzahibut Tafsir (Yogyakarta: Pustaka, 2003), h. xii.
26M
Noor Harisuddin, “Madzhab Fiqih Berbasis Lokalitas”, dalam Jurnal
al-‘Adalah Vol 9 No 3 (Jember: STAIN Press, 2006), h. 123; Nasrun Haroen, Ushul
Fiiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), h. 148.
27A.
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan,
1998), h. 29; A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik
Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.. 47; Moh Dahlan, “Gagasan Ushul
Fiqih Pluralis”, dalam Jurnal Citra Ilmu (Temanggung: STAINU Press, 2008), h.
21-35.
28A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli
Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama…, h.. 47; Dahlan, “Gagasan Ushul
Fiqih Pluralis”..., h.21-35.
29A
Malik Fadjar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi” dalam
Seminar Internasional di Era Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan
Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan AIPUM
Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007, h. 3.; lihat juga Moh Dahlan, “Gagasan
Ushul Fiqih Pluralis”…, h.21- 35.
30Lihat;
(al-Hujurat : 13)
31Lihat; (ar-Rum:
22
32Lihat;
(al-Kafirun: 6),
33Lihat;
(Yunus:99
34An-Na’im,
Toward an Islamic Reformation….., h. 89-91.
35Ibid., h. 180-181.
36Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia (Pengalaman Islam),
Jakarta, Paramadina, 1999), h. 11
37Ibid., h. 12
38Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme; Sebuah Cermin
Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam
Multikultural, (Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), h. 202.
39Aajid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (London
& New York, Colombia University Press, 1983), h. 35.
40Mulyadhi
Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam
Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, h.
203 - 205
41Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden,
E.J. Brill, 1986), h. 48
42Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam : Essential
Writing of Abdolkarim Soroush, (ed. Dan terj. Mahmud Sadri dan Ahmad
Sadri), Oxford, (Oxford University Press, 2000), h. 89
43Samsu Rizal
Panggabean, Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural)
dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam
Multikultural, (Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), h. 215-227
Lucky Club Casino Site | Live Casino & Roulette
BalasHapusLucky Club offers you access to over 150 games including online slots, progressive jackpots, and many luckyclub.live progressive jackpots. Sign up to enjoy Lucky Club slots,