Kamis, 22 Januari 2015

HUKUM ISLAM DAN MULTIKULTURALIS- PLURALITAS DI INDONESIA

HUKUM ISLAM DAN MULTIKULTURALIS-PLURALITAS DI INDONESIA
Hannani
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Abstract: Culture is a whole system of ideas, actions and products of human endeavor to fulfill their lives by learning, all of which are arrayed in people's lives. Pluralism is understood that a plurality of saw it as a reality that is positive and as a necessity for salvation of mankind. Multiculturalism is a recognition that some of the different cultures can exist in the same environment and benefit from each other. Or the recognition and promotion of cultural pluralism. Since the early development of Islam as a conception of reality has accepted socio-cultural accommodation. This accommodation is increasingly seen as an Islamic region evolved such that it became a worldwide religion. In certain cases, accommodation is created in such a way, giving rise to "a variant of Islam". Pluralistic society (plural) where people from various ethnic backgrounds, tribes, nations and religions come together and live together will pose its own challenges that need to be answered by the urban community by developing properties that match the circumstances. The properties that match the state of society is this city is a multicultural civil society - and of course involve certain attitudes are becoming multicultural society demands. These gestures include, among others, inclusivism, humanism/egalitarianism, tolerance, and democracy.
Kata Kunci: Hukum Islam, Multikultural, Pluralitas


I.     PENDAHULUAN
Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya. “Umat Islam yang hidup di dunia, khusunya Indonesia, belum menemukan konsep baku tentang hukum Islam. Akan tetapi sebagian besar konsep hukum Islam sangat fleksibel, meski ada beberapa yang harus ketat. Konsep ulama’ yang sangat masyhur, Taghayyur al-Hukm bi Taghayyur al-Amkinah wa al-Azminah wa al-Ahwal, menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan, karena hukum selalu berputar, bergerak sesuai dengan tempat, zaman dan situasi atau kondisi di mana umat Islam berada. Karena itu Islam berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya. Fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa disama-ratakan pada semua Negara.”
Hukum Islam tidak selalu menawar-kan satu konsep baku yang kaku. Hukum Islam selalu bergerak mengikuti dari perkembangan zaman, oleh karenanya, Islam tidak menafikan bahwa ijtihad sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan hukum Islam. Hingga kini pintu Ijtihad  selalu terbuka bagi umat Islam dalam menggapai misinya sebagai agama rahmatan lil alamin dan masih relevan untuk dilakukan pada zaman sekarang.
Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya. Karena Umar mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu.
Budaya adalah unsur dasar bagi manusia. Budaya memiliki tiga lapisan, yaitu: nilai-nilai dasar yang bisa diper-tahankan, perilaku-perilaku yang terdiri dari ritual, simbol-simbol, dan artefak yang berisi ilmu pengetahuan yang bisa diserap. “Bangsa yang besar selalu menerima budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup”, tegasnya. “Semakin terbuka suatu komunitas, semakin mudah mereka mengalami akulturasi budaya.” “Namun dalam akulturasi budaya, nilai-nilai dasar (basic value) tetap harus dipertahankan. Biasanya sentuhan budaya luar hanya pada lapisan norma dan lapisan artefak saja.”
Begitu juga dengan penyatuan antara hukum Islam dengan budaya lokal setempat. Tujuannya adalah agar bisa mudah diterima dengan terbuka tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Hal itu telah dilakukan oleh para walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Para wali itu berusaha menyampaikan ajaran agama dengan menggunakan budaya lokal. Sehingga Islam yang ada di Jawa mempunyai corak yang unik dan berbeda dengan Islam yang di Arab. Meski demi-kian, bukan berarti nilai-nilai dasar Islam itu telah hilang dari keislaman orang Jawa. Yang terjadi justru sebaliknya. Praktek-praktek ritual kerap kali dilakukan oleh masyarakat Jawa. Sebagai contoh peringa-tan pada tanggal 1 Muharram yang diperingati dengan berbagai cara. Akan tetapi hal itu tidaklah memengaruhi nilai-nilai subtantif dari ajaran Islam sendiri.
Sebuah peraturan Hukum Islam tidaklah terlepas dari nilai-nilai konsep-tektual peradaban. Hukum-hukum yang berbeda tidak harus dilarang. Karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Ijtihad terdiri dari beberapa tahapan. Pertama, adalah jihad yang merupakan upaya fisik membangun hukum Islam. Kedua, ijtihad, yakni memilih suatu jalan dengan benar dalam membentuk hukum Islam tersebut. Ketiga, mujahadah, yaitu upaya mendekatkan diri pada Tuhan secara personal dan secara social. sehingga per-bedaan pendapat dalam menentukan sebuah hukum menjadi sah dalam agama. “Karena hanya dengan berpikir yang mencerahkan dan menghilangkan belenggu otak dari kebekuan-kebekuan tersebut, sebuah jalan untuk mengaktualisasikan hukum Islam dimuka bumi ini menjadi mungkin.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan masalah sebagai berikut; Apa yang dimaksud masyarakat Multikulturalis-Pluralis, dan Bagaimana Hukum Islam merespon masalah dalam Masyarakat Multikultural-Pluralis
II.  PEMBAHASAN
A.  Masyarakat Multikulturalis-Pluralis dalam Islam
1.    Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari definisi berbagai tokoh sebagaimana berikut ini. Josh McDowell menjelaskan mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative tolerance". Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting others beliefs and practices without sharing them" (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan bahwa "every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).1
Menurut The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai:
1)   Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjur-kan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
2)   Keberadaan toleransi keragaman kelom-pok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keraga-man kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi dan sebagainya.2
Sedangkan dalam Islam yang dimak-sud pluralisme adalah paham kemajemu-kan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.3
 Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha4 mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.5
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan penger-tian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti:
a.    pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
b.    pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
c.    pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak. Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan plura-lism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
2.    Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang majemuk (yang terdiri dari suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), kita sering menggunakan berbagai istilah yaitu: plura-litas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga eks-presi itu sesungguhnya tidak merepresen-tasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidak-tunggalan’.
Dibandingkan konsep Pluralitas dan Keragaman, Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh6, baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multi-kultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempeduli-kan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepre-sentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme mem-berikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Menurut Rogers dan Steinfatt Multi-kulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan meng-untungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.7
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pan-dangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas ke-agamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik8 Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemaje-mukan tersebut Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keaneka-ragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorgani-sasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multi-kulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikul-turalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidu-pan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”.9 Lawrence Blum meng-ungkapkan bahwa multikulturalisme men-cakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai pene-rimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu ke-budayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Konsep multikulturalisme menekan-kan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan, gagasan ini juga menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayori-tas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan10 menjelaskan multi-kulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman secara agama, suku bangsa atau ke-budayaan yang menjadi ciri khas masya-rakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kese-derajatan.
Masyarakat pluralis - multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup ber-dampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya Subagyo11. Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, menghindari konflik--kekerasan meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan.
Secara sederhana, pluralitas-multi-kuturalisme dapat dipahami sebagi suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya, yang mengajak masyarakat dalam arus per-ubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat per-bedaan sistem sosial di dalamnya. Ide keanekaragaman kebudayaan atau masya-rakat pluralis-multikultural, dapat dilihat sebagai sebuah ide yang bertujuan meredam konflik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Selain itu, ide tersebut juga berpotensi mampu menonjolkan potensi-potensi kekayaan, potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Berpijak pada kerangka pemikiran ini, paradigma multikulturalisme jika di-kembangkan secara massif diharapkan menjadi solusi konflik kemanusiaan selama ini. Disamping untuk menopang wacana demokratisasi sebagai agenda masa depan politik guna mencapai cita ideal perdamaian dan peradaban modern. Oleh karena itu, wacana pluralitas-multikulturalisme men-jadi sangat penting untuk dibina sebagai upaya mengkonstruk masyarakat yang beradab dan berkeadaban berlandaskan pada demokrasi untuk tercapainya sebuah masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sinilah konsep pluralitas-multi-kulturalisme diharapkan memberi kontri-busi nyata terhadap agenda demokratisasi dan non-diskriminasi, terutama perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan non-diskriminasi kaum minoritas. Karena keharusan kemanusiaan dan demokrasi dalam upaya membangun peradaban berkeadilan untuk memper-lakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi? Tidak ada diskriminasi yang didasarkan pada kelas, gender, ras, atau minoritas agama dalam ruang public (public sphere). Sebaliknya, setiap individu harus diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan yang sama.
Sebagai alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, pluralitas-multikul-turalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Multi-kulturalisme diharapkan menjadi narasi ide guna membangun perspektif baru terhadap keragaman, sebagai perspektif baru dalam upaya merenda benang-benang hubungan antar-manusia yang pernah hidup dalam suasana penuh konfliktual. Karena saat ini muncul kesadaran massif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemu-kan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik.
Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan “pluralisme agama” (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga”.12 Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism non asimilasi, hal ini disalah pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
B.  Hukum Islam dalam Masyarakat yang Multikultural-Pluralis
Sampai batas tertentu, respons hukum Islam terhadap kecenderungan multi-kulturalis-pluralis memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk men-toleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.
Dapatkah Islam mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif lokal? Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan multikulturalisme itu masih dianggap asing dalam mind-set Islam.
Sebenarnya, cita-cita agung multi-kulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikul-turalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari ulama-ulama konservatif.
Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diper-lukan dua hal yaitu:13
Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk ber-sikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin meng-hindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.
Abdolkarim Soroush,14 intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems (problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini, problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu.
1. Perlunya Mujtahid Multikultural-pluralis
Abd al-Wahhab Khallaf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhan-nya adalah qath’i baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya.15 Teks al-Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun.16 Sementara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath’i tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).16
Fuqaha’ menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘i al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain.17 Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih.18
Sementara itu, fuqaha’ mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan meng-elaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.19
Dalam perspektif historis, sistem ke-negaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinah-nya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multi-kulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw., yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah.20
Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai meng-alami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi formal-legalistik.21 Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut.22
Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigma-tik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural-plural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepen-tingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.23
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang ber-basis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. 24
Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf.25
Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris.26 Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.27
Rasulullah Saw. mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masya-rakat yang beradab. Ia mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama, sosial maupun budaya.28 Untuk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural-plural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan.Paradigma ushul fiqih multi-kultural-plural itu berdasarkan al-Qur’an: Pertama, surat al-Hujurat yang menem-patkan manusia secara setara.29 Kedua, surat ar-Rum yang memberikan keabsahan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt.30 Ketiga, surat al-kafirun yang menetapkan prinsip saling menghargai antar pemeluk agama.31 Keempat, surat Yunus dan al-Nahl yang memberikan ruang yang terbuka bagi pola hubungan di antara sesama manusia, termasuk hubungan antar agama, etnis, suku, bangsa, dan budaya berdasarkan asas kerelaan/kesetaraan kepentingan tanpa ada pemaksaan.32 Dengan demikian, paradigma ushul fiqih multikultural ini berusaha menempatkan nilai-nilai kultural dan mem-berikan kesempatan kepada setiap generasi untuk memberikan terobosan baru untuk mencapai suatu pengetahuan hukum fiqih yang berbasis keragaman kepentingan kutlural. Pertimbangan kepentingan kultural memperoleh tempat yang layak.
Dalam konteks ini, penulis perlu mengemukakan perbedaan ketentuan fiqih monokultural dengan ketentuan fiqih multikultural. Ketentuan fiqih monokultural menandaskan bahwa: Pertama, pembedaan status kewarganegaraan berdasarkan asas agama dan gender. Kedua, pembedaan dejarat saksi berdasarkan jenis kelamin atau agama. Ketiga, pembedaan dalam persoalan pernikahan, perceraian dan dzimmî.33 Sementara itu ketentuan fiqih multikultural menandaskan bahwa persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan harus ditegakkan di depan hukum. Demikian juga persamaan kedudukan non-Muslim, baik dalam persoalan hukum pidana, persaksian maupun perdata.
Dari uraian tersebut, fiqih yang ber-wawasan multikultural memiliki arti pen-ting karena masyarakat/bangsa Indonesia terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial, politis, ekonomis, keagamaan, dan kultural. Masyarakat yang seperti ini memerlukan ketentuan fiqih yang akomodatif dan apresiatif terhadap ker-agaman tersebut. Karena itu, identitas hukum fiqih dapat diperluas berdasarkan keragaman identitas yang berkembang di masyarakat. Sebab, identitas yang diharap-kan bukanlah identitas yang statis tetapi identitas yang dinamis.34 Keragaman yang ada yang berlandaskan identitas keagamaan itu diharapkan oleh paradigma ushul fiqih multikultural ini akan bersinergi, sehingga keberagaman identitas tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi keragaman identitas baik budaya, agama, maupun kultur sama-sama semakin diperluas dan diperkaya.
Agama, termasuk Islam mengandung simbol-simbol sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Tetapi, simbol-simbol yang menyangkut realitas tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian ini, agama dipahami sebagai suatu “sistem budaya” (cultural system).35
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika Islam (Alqur’an) yang diyakini kaum Muslimin sebagai kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat merupakan konsepsi tentang relitas, apakah Islam merupakan pendukung atau sebaliknya hambatan terhadap perkembangan budaya? Dalam bentuk yang lebih populer, apakah Islam menjadi penghalang bagi perubahan sosial yang menuju ke arah kesejahteraan kemanusiaan?
Menjawab pertanyaan tersebut tentu-nya kita akan melihat kembali kebelakang, bahwa sepanjang sejarah sejak masa-masa awal telah tercipta semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan relitas dan perkembangan sosial. Tetapi dalam aplikasi praktis, Islam “terpaksa” meng-akomodasi kenyataan sosial budaya. Tatkala doktrin pokok Al-Qur’an tentang fiqh, misalnya dirumuskan secara terinci, ketika itu pulalah para ahli fiqh terpaksa mempertimbangkan faktor sosial budaya. Karena itulah antara lain tercipta per-bedaan-perbedaan betapapun kecilnya, misalnya diantara imam-imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya mengembangkan apa yang disebut “qawl al-qadim” ketika di Irak dan “qawl al-jadid” ketika ia pindah ke Mesir.
Jadi sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”.36
2.    Sikap Masyarakat Islam Terhadap Multi-Kulturalisme
Sebagaimana kota Jakarta, kota-kota besar dunia Islam pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan masyarakat yang majemuk (plural), dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja, keadaan ini menimbulkan tantangan-tantangan tersen-diri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut menurut Mulyadhi Kartanegara di golongkan menjadi empat, antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.37
a.    Inklusivisme
Sikap inklusif sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun “adab” mereka. Dalam menen-tukannya selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan lain.38 Selain para adib (udaba’), para ilmuwan dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka. Mereka menunjukkan sikap lapang dada dan percaya diri yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Sikap inklusif ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh filosof Muslim dalam berfilsafat dan juga dalam mencari guru.39
b.   Humanisme/egalitariaanisme
Yang dimaksud humanisme disini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan dan bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya. Sejarah kebuda-yaan Islam sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab daripada ‘ajam (non-Arab)”.
Contoh lain yang berkenaan dengan humanisme adalah : pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muridnya yang beragama Kristen,40 dan juga dapat kita lihat dari kitab al-Akhlaq wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w.1066), yang intinya pan-dangan Ibn Hazm terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengritik seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya.
c.    Toleransi
Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini : Pada Masa awal Islam, Para penguasa Muslim dalam waktu yang  relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya seperti; Mesir, Siria, dan Persia. Ketika para penguasa Muslim menaklukkan daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Dan setelah daerah tersebut dikuasai Islam, kegiatan keilmuan masih berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan dari penguasa Muslim.
Disamping itu komunitas non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Sikap lain yang ditun-jukkan adalah diperkenankannya kaum non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya.
d.   Demokrasi
Menurut Abdolkarim Soroush dalam bukunya Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berfikir.41 Kebabasan inilah yang telah dilaksanakan oleh masyarakat di kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaan Islam.
Pada kesempatan yang lain, Samsu Rizal Panggabean42 memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multi-kulturalisme, yang mana dia menjelaskan bahwa kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam), disamping kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Rizal mem-bahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu; multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
1)    Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kema-jemukan internal ini mencakup antara lain: Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.
Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikultura-lisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitan-nya dengan identitas yang lain dan karena-nya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikul-turalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan ber-dialog dan menerima kritik.
2) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu bercirikan multikultural dalam pengertian keaneka-ragaman komunitas keagamaan. Imperium besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti Ternate dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua komunitas kultural-keagamaan.
Dilihat dari sudut multikulturalisme eksternal ini, pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pen-dekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berin-teraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi ke-agamaan lain, dan umat agama lain mem-perkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam. Sejarah menun-jukkan bahwa ufuk intelektual dan moral peradaban Islam menjadi luas dan agung dengan atau setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari kebudayaan dan peradaban lain bukan dengan mengurung diri di dalam ghetto kultural yang sumpek dan absolutis.

III.   KESIMPULAN
Pada akhir tulisan ini penulis dapat menarik kesimpulan dan dengan kesim-pulan tersebut setidaknya mendapatkan gambaran yang cukup jelas tentang hukum Islam dalam masyarakat MultiKulturalis-pluralis, sehingga diharapkan dapat lebih memperjelas apa yang telah digambarkan di atas. Dan dengan kesimpulan tersebut pula setidaknya penulis dapat memberikan beberapa saran yang nantinya semoga dapat dipertimbangkan. Adapun kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut:
1.    Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
2.    Pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenya-taan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.
3.    Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap plura-lisme kultural
4.    Sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomo-dasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”
5.    Masyarakat yang majemuk (plural) dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama akan menimbulkan tantangan-tantangan ter-sendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengem-bangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tun-tutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut antara lain meliputi inklu-sivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.

Catatan Kaki:
2Dalam buku karangan Dr. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1999, h. 146.
3Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf. H. 73 diakses tanggal 29/11/2005
4Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan kritis, (cet. I, Jakarta: Perspektif, 2005), h.11 .
5Pluraisme berasal dari kata "plural" yang berarti banyak atau berbilang atau "bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu" (form of word used with reference to more than one) Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk Istilah ini sering dilawankan dengan monotheisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi kepada physica monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah benda dan mental monoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat duania terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat : A.S. Hornby et.al., The Advanced Learner's Dictionary of Current English (Oxfort : Oxford University Press, 1972), hal. 744 dalam Riyal Ka'bah, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, p.68.
6Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998
7Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois, Waveland Press, Inc., 1999, h. 238
8(Azyumardi Azra, 2007)
9Lihat Ibid., Azyumardi Azra, 2007
10Lihat Suparlan (2002:98
11Lihat Subagyo:ibid., h. 27
12www//http MUI.go.id
13Mun’im A Sirry, Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Artikel
14Abdolkarim Soroush, Rason, Freedom & Democracy in Islam (Liberty: Newcastel, 2000).h. 27
15Muhyar Fanani, “Sejarah Perkembangan Konsep Qat‘i-Zannî: Perdebatan Ulama tentang Anggapan Kepastian dan Ketidakpastian Dalil Syari‘at”, Al-Jâmi‘ah 39:2 (2001), h. 441-442; Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î, Al-Risâlah Ahmad Muhammad Sakir (ed.), [Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.], h. 56-57; Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1990), h.18.
16‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), h. 34; Moh Dahlan, Epistemologi Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, [Disertasi S-3 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006]
17Ibid., h. 42.
18Ibid., h. 35; Abî Bakar Ahmad al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993) h. 5-6; Wahbah al- Zukhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II [Beirut: Dâr al-Fikr, 1986], h. 1052-1054; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.), h. 218 dan 227.
19‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972), h. 19 dan 25.
20Menurut fuqaha’ multikultural, teks yang qath‘î al-dilâlah adalah teks yang universal dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilainilai kemanusiaan, ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the Muslim World: Socio-Political Conditions and Scriptural Imperatives”, Harvard Human Rights Journal 3 (1990), h. 17; Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “The Contingent Universality of Human Rights: The Case of Freedom of Expression in African and Islamic Contexts”, Emory International Law Review 11 (1997), h. 49.
21Mustato’, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog.
22Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh…, h. 98-99.
23Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 541; Ahmad Baso, Islam Liberal Sebagai Ideologi,Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000,h. 125
24Ada dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan konteks baik konteks kalimat ataupun konteks kultural (konteks turun atau kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.), h. 8-10; Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997); Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), h. 180; Akh. Minhaji, “Review Article: Mencari Rumusan Ushul Fiqh untuk Masa Kini”, Al-Jâmi’ah No. 62, Yogyakarta, 2001, h. 247; Al-Syafi’i, Al-Risalah..., h. 560; Al-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami.., h. 803 dan 821.
25An-Na‘im, Toward an Islamic Refor-mation.., h. 28; Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, John B Thompson (terj. & ed.), [Cambridge: Cambridge University Press, 1982], h. 206; M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir (Yogyakarta: Pustaka, 2003), h. xii.
26M Noor Harisuddin, “Madzhab Fiqih Berbasis Lokalitas”, dalam Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3 (Jember: STAIN Press, 2006), h. 123; Nasrun Haroen, Ushul Fiiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), h. 148.
27A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998), h. 29; A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.. 47; Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”, dalam Jurnal Citra Ilmu (Temanggung: STAINU Press, 2008), h. 21-35.
28A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama…, h.. 47; Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”..., h.21-35.
29A Malik Fadjar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi” dalam Seminar Internasional di Era Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan AIPUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007, h. 3.; lihat juga Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”…, h.21- 35.
30Lihat; (al-Hujurat : 13)
31Lihat; (ar-Rum: 22
32Lihat; (al-Kafirun: 6),
33Lihat; (Yunus:99
34An-Na’im, Toward an Islamic Reformation….., h. 89-91. 
35Ibid., h. 180-181.
36Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia (Pengalaman Islam), Jakarta, Paramadina, 1999), h. 11
37Ibid., h. 12
38Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, (Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), h. 202.
39Aajid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, cet. II, (London & New York, Colombia University Press, 1983), h. 35.
40Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, h. 203 - 205
41Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden, E.J. Brill, 1986), h. 48
42Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam : Essential Writing of Abdolkarim Soroush, (ed. Dan terj. Mahmud Sadri dan Ahmad Sadri), Oxford, (Oxford University Press, 2000), h. 89
43Samsu Rizal Panggabean, Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural) dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, (Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), h. 215-227


1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site | Live Casino & Roulette
    Lucky Club offers you access to over 150 games including online slots, progressive jackpots, and many luckyclub.live progressive jackpots. Sign up to enjoy Lucky Club slots,

    BalasHapus