Kamis, 22 Januari 2015

KONSEP QATH’I DAN ZHANNI AL-DALALAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN

KONSEP QATH’I DAN ZHANNI AL-DALALAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Firdaus
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
DPK STAI Al-Forqan Makassar
Abstract: This article describes the problem and the concept qath'i zhanni al-dalalah and its influence on the interpretation of the Qur'an. From the results obtained literatus assessment some understanding that the Qur'an as the word of Allah, there is no difference of opinion among Muslims regarding the truth of the source, ie from Allah. Muslims also have the same belief that the editorial verses of the Qur'an were collected in the manuscripts is the same without the slightest difference to that received by the Prophet Muhammad. Of Allah. through the Angel Gabriel. Layout differences among Muslims is in terms of editorial content of the meaning of the verses of the Qur'an. Usul Fiqh Scholars divide the texts of the Qur'an to the two components, namely qath'i and zhanni al-dalalah. Qath'i al-dalalah is clear and certain passages that have only one meaning, and not open to other meanings. While al-dalalah zhanni is the opposite of qath'i al-dalalah, he was open to interpretation. Another interpretation by scholars, he did not make the classification of passages of the Qur'an, that there is no one zhanni qath'i and al-dalalah, because he thinks in that way it was meant to limit the meaning, and interpretation al-Qur 'an. In the Qur'an it is able to contain a lot of interpretation. With the concept of al-dalalah qath'i by scholars Usul Fiqh course is unfavorable interpretations among scholars, because the concept was meant to limit the meaning efforts, interpretation of the texts of the Qur'an itself. But the concept of al-dalalah zhanni by Ulama Usul Fiqh, wide open opportunities to interpret, interpret the texts of the Qur'an was, in a sense have a major impact and positive influence on the birth of the commentators and the mujtahid.
Kata Kunci: Qath’i al-Dalalah, zhanni al-Dalalah, Penafsiran Al-qur’an



I.      PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab Samawi yang terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan jibril, berisi pedoman dan petunjuk kepada umat manusia, agar manusia dapat memperoleh kehidupan yang bahagia di dunia dan diakhirat.
Sebagai kitab Samawi yang merupa-kan Kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyang-kut kebenaran sumbernya.
Semua sepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an jelas qath’i al-tsubut. Hakikatnya salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah ma’lum min at-din bi al-dharurah sesuatu yang sudah sangat jelas dan aksiomatik dalam ajaran agama. Karena itu, disini tidka akan dibicarakan masalah qath’i dari segi at-tsubut atau kebenaran sumber tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bagian kedua, yakni menyangkut kan-dungan makna redaksi ayat-ayat al-Quran.1
II.   PEMBAHASAN
A.  Pengertian Qath’i  dan Zanni Al-Dalalah
1.    Menurut Pengertian Bahasa
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Qath’i secara etimologi bermakna yang definitive (Pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif.2
2.    Menurut pengertian Istilah
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Nash qath’i adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna dantidak terbuka untuk makna lain, atau hanya memiliki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk penafsiran lain. Contohnya adalah nas tentang hak suami terhadap harta istrinya yang telah meninggal, sebagai berikut: yang artinya: “Dan bagimu separuh dari harta yang ditinggalnya istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak, (al-Nisa, 4:12), Contoh-contoh yang lain adalah, artinya: “Pezina baik pria atau pun wanita, deralah mereka masing-masing 100 kali, (al-Nur, 24:2), dan “Mereka yang menuduh wanita-wanita berzina dan gagal men-datangkan 4 orang saksi (untuk mem-buktikannya) maka deralah mereka 80 kali, (al-Nur (24):4). Aspek-aspek kuantitatif dari ketentuan-ketentuan ini, yaitu separuh, seratus, dan delapan puluh, adalah dalil yang sudah jelas dan karena itu, tidak terbuka untuk menerima penaf-siran. Begitu pula, ketentuan ketentuan al-Qur’an mengenai rukun-rukun Islam seperti shalat dan puasa, dan juga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang sudah di tetapkan semuanya qath’I; validitasnya tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad (mujtahid).3
Menurut Abdul Wahab Khallaf, sama dengan pandangan Hashim Kamali di atas, bahwa Nas yang qath’I dalalanya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara tertentu, tidak ada kemung-kinan menerima takwil, tidak ada tempat bagi pemahaman arti selain itu, seperti firman Allah yang artinya dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak, (al-Nisa (4): 12). Ayat ini adalah pasti, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain. Yakni yang lin dari seperdua. Dan contoh lain pada firman Allah pada soal menindak laki-laki dan perempuan yang berzina, yang artinya; “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, (al-Nur (24): 2). Ayat ini adalah pasti juga, artinya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih dan tidak kurang.4
Dari definisi yang telah dikemuka-kan di atas, baik Hashim Kamali maupun oleh Abdul Wahhab Khallaf maka dapat-lah disimpulkan bahwa untuk menentukan nash qath’i al-dalalah ternyata memiliki cirri tertentu, yaitu: Pertama, nashnya jelas dan makna yang dikandungnya tegas dan hanya memiliki satu makna, tidak bisa mengan-dung isytiraqul makna dan juga hanya memiliki satu penafsiran, tidak terbuka untuk penafsiran lain. Kedua, mencakup ketentuan-ketentuan al-Qur’an mengenai rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan juga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan secara permanen.
B.  Pengertian Zhanni Al-Dalalah
1.    Menurut Pengertian Bahasa
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Zhanni al-Dalalah secara etimologi (bahasa) bermakna tidak jelas dan tidak tegas (spekulatif).5
2.    Menurut pengertian terminology (istilah)
Menurut Muhammad Hashim Kamali ayat al-Qur’an yang bersifat zhanni (spekulatif) adalah kebalikan dari ayat yang bersifat qath’i (definitif), ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Penaf-siran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam al-Qur’an dan mencari penjelasan penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah adalah sumber lainnya yang melengkapi al-Qur’an dan menaf-sirkannya. Apabila penafsiran yang diperlukan dapat ditemukan dalam suatu hadits, maka ia menjadi bagian integral dari al-Qur’an dan keduanya secara bersama-sama membawa keten-tuan yang mengikat. Kemudian sumber lain berikutnya adalah para shabat yang memenuhi syarat untuk menafsirkan al-Qur’an karena kedekatan mereka dari Nabi, kepada Nash, keadaan-kadaan yang melingkupinya dan ajara-ajaran Nabi.6 Muhammad Hashim Kamali me-lengkapi penjelasannya tentan zhanni al-Dalalah dengan mengemukakan contoh nash yang zhanni dalam al-Qur’an adalah nash yang berbunyi, “Dilarang bagi kau ibu-ibu kamu dan saudara-saudara perem-puan kamu, (al-Nisa (4): 23). Nash ini definitif dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara perempuan dan tidak ada bantahan tentang soal ini. Namun demikian kata banatukum (anak-anak perempuan kamu) dapat dipahami dari makna harfiahnya, yang berarti, anak perempuan yang lahir dari seorang baik melalui perkawinan maupun zina, atau makna juridisnya. Menurut makna yang terakhir, banatukum, hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah.7
Menurut Abdul Wahhab Khallaf nas yang zhanni dalalahnya ialah nas yang menunjukkan atas makna yang memung-kinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya (lughawi) kepada makna yang lain. Seperti firman Allah yang artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hen-daklah  menahan diri (menunggu) tiga kali guru. (al-Baqarah (2):228). Pada hal lafa guru itu dalam bahasa Arab mem-punyai dua arti, yaitu suci dan haid. Sedangkan nas menunjukkan (member arti) bahwa wanita-wanita yang ditalak itu menahan diri (menunggu) tiga kali guru. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan, adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti tidak pasti dalalahnya atas satu makna dari dua makna tersebut. Karena itu para mujtahid berselisih pendapatbahwa “iddah wanita yang ditalak itu tiga kali haid atau tiga kali suci. Dan juga contoh lain firman Allah yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah, (al-Maidah (5): 3). Padahal lafal maitan (bangkai) itu umum. Jadi ini mempunyai kemung-kinan arti mengharamkan setiap bangkai, atau keharaman itu (ditakhsis) dengan selain bangkai lautan. Maka oleh karena itu, nas yang mempunyai makna yang serupa (makna ganda) atau lafal umum, atau lafal mutlak dan atau seperti maitan ini, semua-nya adalah zhanni dalalahnya, karena ia mempunyai kecen-derungan kepada lebih dari satu arti.8
Dari Definisi tersebut di atas dapatlah dipahami, bahwa cirri-ciri yang menjadi penyebab kezhannian sebagian dari nash al-Qur’an itu adalah: Pertama, nash itu mengandung makna ganda (isytiraqul makna), dan juga terbuka bagi penafsiran dan penakwilan (ijtihad). Contoh, kata Nä3è?$oYt/ur pada surat al-Nisa (4): 23, kata ini mengandung makna ganda, pertama dilihat dari makna harfiahnya dapat bermakna anak perempuan yang lebih dari seorang baik melalui perkawinan maupun tidak. Kedua, bila dilihat dari makna juridisnya, kata Nä3è?$oYt/ur hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah yang lahir dari kedua orang tua yang telah diawali dengan proses perkawinan. Kedua nash itu mengandung makna umum. Contoh kata ptGøŠyJø9$# pada surat al-Maidah (5): 3. Lafaz ini umum yang kemungkinannya mencakup semua bangkai termasuk bangkai lautan.
Bila kita cermati uraian yang dikemukakan oleh Muhammad Hashim Kamali dan Abdul Wahhab Kahallaf tentang qath’i dan zhanni al-Dalalah maka dapatlah disimpulkan bahwa keduanya sepakat untuk memberi peluang untuk memaknai, mentak-wilkan dan menafsir-kan al-Qur’an selama ayat itu tergolong zhanni al-Dalalah. Namun keduanya menu-tup rapat-rapat pintu pemaknaan ganda, penakwilan dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya qath’I al-Dalalah.
Apa yang dilakukan dan ditetapkan oleh kedua ulama tersebut hal itu sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh disiplin ilmu yang digelutinya, yakni sebagai ulama Ushul Fiqh, bukan ulama tafsir. Dikalangan ulama tafsir masalah qath’i dan zhanni ad-Dalalah tidak menjadi salah satu pokok bahasan.
C.  Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
Ketika kita bicara masalah qath’i dan zhanni al-Dalalah dilihat dari segi pengaruhnya terhadap penafsiran nash-nash al-Qur’an maka dapat dikelom-pokkan pada dua pandangan yaitu pan-dangan Ulama Ushul Fiqh dan pandangan Ulama Tafsir.
1.    Pandangan ulama Ushul Fiqh, yang dalam hal ini diantaranya diwakili oleh Muhammad Hashim Kamali dan Abdul Wahhab Khallaf dan selainnya yang membagi nas al-Qur’an kepada dua macam, yaiktu qath’i dan zhanni al-Dalalah maka dengan adanya pem-bagian semacam itu member isyarat adanya pembatasan pemaknaan, pen-takwilan dan penafsiran pada nash-nash tertentu atau pada ayat-ayat tertentu yang ada dalam al-Qur’an, dalam hal ini nas yang qath’i al-Dalalah. Dan dengan cara yang demikian itu merupakan sebuah upaya menghambat ruang lingkup dan ruang gerak para mufassir untuk memaknai, mentak-wilkan dan menaf-sirkan nash-nash al-Qur’an secara ke-seluruhan. Dari satu sisi boleh kita berpandangan, bahwa pembagian nas yang demikian itu berdampak negatif terhadap keinginan dan semangat para mufassir untuk memaknai, menakwil dan menafsirkan nash-nash al-Qur’an secara umum. Namun disisi lain, pembagian nash qath’i zhanni al-Dalalah yang dilaku-kan oleh ulama Ushul Fiqh tersebut, juga punya dampak positif, yaitu agar para mufassir tidak memiliki kebebasan penuh untuk memaknai, menakwilkan dan menafsirkan nas-nas yang qath’i, atau nas-nas yang sudah tegas dan jelas maksudnya.
Khusus mengenai nash zhanni al-Dalalah, ternyata ulama ushul Fiqh, juga membuka peluang lebar-lebar bagi orang yang ingin memaknai, mema-hami, menakwilkan dan menafsirkan nas ter-sebut. Hal ini berarti terdapat pengaruh yang positif terhadap partum-buhan dan perkembangan penafsiran. Juga terbuka peluang terjadinya perbedaan penafsiran terhadap nash zhanni itu. Contoh firman Allah yang berbunyi: “Dilarang bagi kamu ibu-ibu kamu dan suadara-saudara perempuan kamu” (al-Nisa (4): 23). Nash ini definitif  dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara perempuan dan tidak ada bantahan tentang soal ini. Namun demikian, kata banatukum (anak-anak perempuan kamu) dapat dipahami dari makna harfiahnya, yang berarti, anak perem-puan yang lahir dari seorang baik melalui perkawinan maupun tidak (zina), atau makna juridisnya. Menurut makna yang terakhir, “banatukum, hanya dapat diartikan sebagai anak perempuan yang sah.9
Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa ulama Ushul (Ushul Fiqh) dalam menetapkan dua konsep, yaitu qath’I dan zhanni al-Dalalah, maka konsep yang pertama itu tidak membawa angin segar, atau tidak membuka adanya peluang untuk memaknai, manakwilkan dan menaf-sirkan nash yang qath’i sebab menurutnya makna yang dikandungnya sudah sangat jelas dan tegas. Namun konsep kedua (zhanni al-Dalalah) sangat terbuka luas kesempatan untuk memaknai, menakwilkan dan menafsirkan sesuai dengan kecen-derungan masing-masing para mufassir atau para mujtahid, terutama bila nas itu dilihat dari segi hukum.
Untuk melihat secara jelas peluang pemaknaan, penakwilan dan penafsiran ter-hadap nas zhanni al-Dalalah dapat dilihat penjelasan dibawah ini:
Para fuqaha tidak sependapat ten-tang definisi sumpah yang tidak sengaja, sebagai lawan dari sumpah yang di-sengaja, (yang terdapat dalam surat al-Maidah :89); artinya: “Allah tidak akan menghukum kamu atas sumpah-sumpah yang disengaja, tetapi Dia menghukummu atas sumpah-sumpah yang disengaja. “ayat ini diteruskan dengan penjelasan tentang denda, atau kaffarat, atas sumpah-sumpah yang di-sengaja, yang berupa pemberian makan kepada sepuluh orang miskin atau memer-dekakan seorang budak atau puasa selama tiga hari. Menurut ulama-ulama Hanafi, sumpah yang tidak disengaja adalah sumpah yang dilakukan untuk mem-benarkan sesuatu yang di-sangka benar tetapi sesungguhnya salah. Sebaliknya jumhur memahaminya sebagai sumpah yang tidak diniatkan, yakni, yang dilakukan dengan bergurau tanpa maksud apapun. Perbedaan-perbedaan semacam ini muncul dalam kaitan dengan definisi mana yang tepat tentang apa yang disebut sebagai sumpah yang disengaja. Ada juga ketidak-sepakatan tentang apakah tiga hari puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut ataukah tidak. Oleh karena itu, nas ayat ini, sekalipun definitif dalam hal ketentuan dasar kaffarat atas sumpah yang tidak disengaja, namun bersifat spekulatif dalam hal istilah yang tepat dari kaffarat dan cara penerapannya.
Contoh zhanni lainnya dalam al-Qur’an kita dapat melihat kepada firase yunfau nin al-Ard (dibuang dari muka bumi) yang terdapat dalam surat al-Maidah 5: 33). Frase ini menunjukkan hukuman bagi perampokkan (hirabah), atau menurut sebuah alternatif tetapi interprestasinya sama bagi pemberontakan dalam masyara-kat dengan kepemimpinan yang sah. Pembuangan (nafy) dalam ayat ini dapat bermakna pengasingan dari tempat kejaha-tan itu dilakukan pertama kali. Hal ini sebenarnya merupakan makna yang tampak dari frase itu dan diterima oleh jumhur ulama. Tetapi fuquha-fuguha Hanafi menetapkan bahwa frase itu bermakna hukuman penjarah, bukan peng-asingan. Menurut mereka, pendekatan harfiah terhadap interprestasi dari frase ini tidak memuaskan; jika interprestasinya demikian, maka bagaimana mungkin orang dibuang dari muka bumi kalau tidak dengan cara kematian? Nafy, atau pem-buangan di sini lain, adalah hukuman diluar pembunuhan.
Di samping itu, jika perampok dibuang dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam wilayah Islam, maka ancaman dari dirinya tampaknya tidak akan bisa dicegah, karena dia mungkin melakukan perampokan-perampokan lagi. Para ulama Hanafi kemudian memberikan argument-tasi bahwa pembuangan seorang muslim ke luar wilayah Islam tidaklah dibenarkan secara hukum. Oleh karena itu, satu-satunya makna yang tepat dari frase ini yang memenuhi tujuan hukuman dari syari’ah adalah hukuman penjara.10
Dari ayat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa semua ayat muhara-bah yang memuat frase yunfau min al-Ard terbuka bagi penafsiran-penafsiran yang berbeda.
Seandainya tidak ada perbedaan penafsiran dan penakwilan terhadap nash zhanni maka dengan sendirinya akan melahirkan kesulitan (masyaqqah) pada diri manusia itu sendiri, sebab dia hanya berpegang secara mutlak pada satu pan-dangan atau ketetapan hukum, yang kemungkinannya pandangan dan pene-tapan hukum itu tidak mampu untuk dilaksanakannya. Tetapi dengan adanya perbedaan pandangan dalam penetapan hukum maka seseorang berhak menen-tukan pilihannya sesuai dengan tingkat kesanggupan dan kemampuannya.
Di sisi lain, manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, yang dengan sendirinya pandangan dan pene-tapan hukum itu harus berorientasi pada kemaslahatan ummat manusia. Boleh jadi Nabi menganggap suatu nash sebagai nash qath’i al-Dalalah namun pada kondisi tertentu menjadi zhanni al-Dalalah. Atau setidak-tidaknya nash (ayat) tetap qath’i namun penerapan hukuman boleh jadi zhanni.
Selanjutnya pada surat al-Maidah (5:33) ini, kebingungan muncul dari gabungan frase yang mengandung kata aw, yang berarti ‘dan’ antara ketiga frase yang menentukan hukuman yang berbeda-beda bagi perampok tadi. Karena itu, tidaklah diketahui secara pasti mana di antara ketiga hukuman ini yang ditetapkan bagi peram-pok, (muharib). Pendapat jumhur mengata-kan bahwa muharib dijatuhi hukuman mati apabila dia benar-benar merampok dan membunuh kor-bannya, tetapi jika hanya merampok, maka hukumannya adalah pengasingan. Dalam kasus-kasus yang lebih negeri ketika perampok membunuh dan merampok korbannya, maka perampok itu harus dibunuh dan disalib. Menurut sebuah alternatif pendapat hukum, adalah kewaji-ban pemerintah untuk menentukan salah satu hukuman atau gabungan dari huku-man-hukuman iktu dalam kasus-kasus yang tersendiri.11
Dari contoh-contoh nas zhanni yang dikemukakan di atas oleh para ulama ushul menjadi dasar dan bukti kuat atasnya, bahwa ternyata nas zhanni terbuka lebar-lebar peluang untuk lahirnya berbagai pemaknaan, penakwilan dan penafsiran terhadap nas zhanni itu sendiri terutama bila dilihat dari segi kacamata hukum.
2.    Pandangan Ulama Tafsir
Ulama tafsir tidak membuat klasifikasi tentang nash al-Qur’an mengenai qath’i  dan zhanni sebagaimana yang dibuat dan ditetapkan oleh ulama Ushul. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan membuka lem-baran kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an. Misal-nya al-Burhan karangan al-Zarkasyi, atau   al Itqan oleh al-Sayuti dan Mabahits fi ‘Ulumil Quran oleh Mana’ul Qath’an. Ketiganya tidak membahas soal tersebut. Pertanyaannya. Mengapa demikian? Jawa-bannya, ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Quran hamalat li al wujud (al-Quran mampu mengandung ungkapan: Seorang tidak dinamai mufasir kecuali jika ia mampu member interpretasi ber-agam terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Seiring dengan pendapat ulama-ulama tafsir di atas, seorang pemikir kon-temporer kelahiran al-Jazair yaitu Mohammad Arkoum, menulis tentang ayat-ayat al-Quran sebagai berikut: “Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang akan terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang absolute, ia dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna.12
Pendapat diatas sejalan dengan tulisan ‘Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar al-Azhar yang antara lain men-jelaskan dan mengetik kitab al–Muwa-faqat karya Abu Ishaq al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: “Apabila anda membaca, makanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai anda dapat menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat al-Qur’an bagai-kan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.13
Menurut Quraish Shihab, disisi lain, kita dapat berkata bahwa setiap nas atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang dimaksud dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalahnya bersifat relative. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicaraan. Pema-haman mereka ter-hadap nas atau redaksi tersebut dipenga-ruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.
III.   KESIMPULAN
Al-Qur’an sebagai kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebe-naran sumbernya, yaitu dari Allah Swt. Juga umat Islam mempunyai keyakinan yang sama bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam Mushaf adalah sama tanpa sedikit pun perbedaan dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad Swa. Dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril.
Letak perbedaan pandangan dikala-ngan umat Islam adalah dalam hal kan-dungan makna redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Ulama Ushul Fiqh membagi nash al-Qur’an kepada dua komponen, yaitu qath’I dan zhanni al-Dalalah. Qath’i al-Dalalah adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna, dan tidak terbuka untuk makna lain. Sedangkan zhanni al-Dalalah adalah kebalikan dari qath’i al-Dalalah, ia terbuka untuk pemaknaan, penakwilan dan penafsiran. Lain dengan ulama tafsir, ia tidak membuat klasifikasi tentang nas al-Qur’an, bahwa ada yang qath’i dan ada yang zhanni al-Dalalah, sebab menurut-nya dengan cara yang demikian itu berarti membatasi pemaknaan, penakwilan dan penafsiran terhadap al-Qur’an. Pada hal al-Qur’an itu mampu mengandung banyak interpretasi.
Dengan konsep Qath’i al-Dalalah oleh ulama Ushul Fiqh tentunya merupakan hal yang kurang baik di-kalangan ulama Tafsir, sebab dengan konsep itu berarti membatasi upaya pemaknaan, penakwilan dan penafsiran terhadap nas-nas al-Qur’an itu sendiri. Namun dari konsep zhanni al-Dalalah  oleh Ulama Ushul Fiqh, terbuka peluang lebar-lebar untuk memaknai, mentak-wilkan dan menafsirkan nash-nash al-Qur’an itu, dalam arti mempunyai pengaruh besar dan pengaruh positif terhadap lahirnya para mufasir dan para mujthid.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Muqadimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983 / 1984.
Komali, Mohammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence. Diter-jemahkan oleh Noorhadi dengan judul: “Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam”. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Usul Fiqh, Diterjemahkan oleh Noer Iskandar Dkk. Dengan Judul “Khaidah –kaidah Hukum Islam”.Cet. IIV; Jakarta. PT. Raja Grapindo Persada, 1996.
Quthan, Mana’ul. Mabahits Fi Ulumil Quran. Diterjemahkan oleh Halimuddin dengan Judul Pembahasan Ilmu al-Quran. Cet. I: Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
SA, Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999.
Syihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an. Cet. I; Bandung: Mizan, 1992.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wancana Ilmu, 1999.

Catatan  Akhir:
[1] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Cet. I; Bandung: Mizan, 1992), h. 137.
2Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence. Diterjemahkan oleh Noorhaidi dengan judul: “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam” (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 26
3Ibid.
4Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Fiqh. Diterjemahkan oleh Noer Iskandar dkk dengan judul: “Kaidah-Kaidah Hukum Islam” (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 45.
5Muhammad Hashim Kamali, Loc.Cit.
6Ibid., h. 26.
7Ibid.m h. 26-27.
8Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., h. 46.
9Muhammad Hashim Kamali, op.cit., h. 26-27.
10 Ibid., h. 28.
11Ibid., h. 28-29.
12Quraish Shihab, Loc.cit.
13 Ibid.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar