KONSEP QATH’I
DAN ZHANNI AL-DALALAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Firdaus
Universitas Islam
Negeri (UIN) Alauddin Makassar
DPK STAI Al-Forqan
Makassar
Abstract: This article describes the problem and the concept qath'i zhanni al-dalalah and its
influence on the interpretation of the Qur'an. From the results obtained literatus assessment some understanding that the Qur'an as the word of Allah, there is no difference of opinion among Muslims regarding the truth of the source, ie from Allah. Muslims also have the same belief that the editorial verses of the Qur'an were collected in the manuscripts is the same without the slightest difference to that received by the Prophet Muhammad. Of Allah. through the Angel Gabriel. Layout differences among Muslims is in terms of editorial content of the meaning of the verses of the Qur'an. Usul Fiqh Scholars divide the texts of the Qur'an to the two components, namely qath'i and zhanni al-dalalah. Qath'i al-dalalah is clear and certain passages that have only one meaning, and not open to other meanings. While al-dalalah zhanni is the opposite
of qath'i al-dalalah, he was open to interpretation. Another interpretation by scholars, he did not make the classification of passages of the Qur'an, that there is no one zhanni qath'i and al-dalalah, because he
thinks in that way it was meant to limit the meaning, and interpretation al-Qur 'an. In the Qur'an it is able to contain a lot of interpretation. With the
concept of al-dalalah qath'i by scholars Usul Fiqh course is unfavorable interpretations among scholars, because the concept was meant to limit the meaning efforts, interpretation of the texts of the Qur'an itself. But the concept of al-dalalah zhanni by Ulama Usul Fiqh, wide open opportunities to interpret, interpret the texts of the Qur'an was, in a sense have a major impact and positive influence on the birth of the commentators and the mujtahid.
Kata Kunci: Qath’i al-Dalalah, zhanni
al-Dalalah, Penafsiran
Al-qur’an
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah kitab Samawi yang terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi
Muhammad Saw. melalui
perantaraan jibril, berisi pedoman dan petunjuk kepada umat manusia, agar
manusia dapat memperoleh kehidupan yang bahagia di dunia dan diakhirat.
Sebagai
kitab Samawi yang merupa-kan Kalam
Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyang-kut
kebenaran sumbernya.
Semua sepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang
terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia
dewasa ini adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh
Nabi Muhammad Saw. dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an jelas qath’i al-tsubut.
Hakikatnya salah satu dari
apa yang dikenal dengan istilah ma’lum
min at-din bi al-dharurah sesuatu yang sudah sangat jelas dan aksiomatik
dalam ajaran agama. Karena itu, disini tidka akan dibicarakan masalah qath’i
dari segi at-tsubut atau kebenaran sumber tersebut. Yang menjadi persoalan
adalah bagian kedua, yakni menyangkut kan-dungan makna redaksi ayat-ayat al-Quran.1
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qath’i dan Zanni Al-Dalalah
1.
Menurut
Pengertian Bahasa
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Qath’i
secara etimologi bermakna yang definitive (Pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif.2
2.
Menurut
pengertian Istilah
Menurut
Muhammad Hashim Kamali, Nash qath’i adalah
nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna dantidak terbuka
untuk makna lain, atau hanya memiliki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk
penafsiran lain. Contohnya adalah nas tentang hak suami terhadap harta istrinya
yang telah meninggal, sebagai berikut: yang artinya: “Dan bagimu separuh dari
harta yang ditinggalnya istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak,
(al-Nisa, 4:12), Contoh-contoh yang lain adalah, artinya: “Pezina baik pria
atau pun wanita, deralah mereka masing-masing 100 kali, (al-Nur, 24:2), dan
“Mereka yang menuduh wanita-wanita berzina dan gagal men-datangkan 4
orang saksi (untuk mem-buktikannya)
maka deralah mereka 80 kali, (al-Nur (24):4). Aspek-aspek kuantitatif dari
ketentuan-ketentuan ini, yaitu separuh, seratus, dan delapan puluh, adalah
dalil yang sudah jelas dan karena itu, tidak terbuka untuk menerima penaf-siran. Begitu
pula, ketentuan ketentuan al-Qur’an mengenai rukun-rukun Islam seperti shalat
dan puasa, dan juga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang
sudah di tetapkan semuanya qath’I;
validitasnya tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib
mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad
(mujtahid).3
Menurut Abdul Wahab Khallaf, sama dengan pandangan Hashim Kamali di atas,
bahwa Nas yang qath’I dalalanya ialah
nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara tertentu, tidak ada
kemung-kinan menerima takwil, tidak ada tempat bagi pemahaman arti selain itu,
seperti firman Allah yang artinya dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak, (al-Nisa
(4): 12). Ayat ini adalah pasti, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan
seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain. Yakni yang lin dari seperdua. Dan
contoh lain pada firman Allah pada soal menindak laki-laki dan perempuan yang
berzina, yang artinya; “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, (al-Nur (24): 2). Ayat
ini adalah pasti juga, artinya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak
lebih dan tidak kurang.4
Dari definisi yang telah dikemuka-kan di atas, baik Hashim Kamali maupun
oleh Abdul Wahhab Khallaf maka dapat-lah disimpulkan bahwa untuk menentukan nash qath’i al-dalalah ternyata memiliki cirri tertentu, yaitu: Pertama,
nashnya jelas dan makna yang dikandungnya tegas dan hanya memiliki satu makna,
tidak bisa mengan-dung isytiraqul makna
dan juga hanya memiliki satu penafsiran, tidak terbuka untuk penafsiran lain. Kedua, mencakup ketentuan-ketentuan al-Qur’an mengenai rukun-rukun
Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan juga bagian-bagian tertentu dalam
kewarisan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan secara permanen.
B. Pengertian
Zhanni Al-Dalalah
1.
Menurut
Pengertian Bahasa
Menurut
Muhammad Hashim Kamali, Zhanni al-Dalalah
secara etimologi (bahasa) bermakna tidak jelas dan tidak tegas
(spekulatif).5
2.
Menurut
pengertian terminology (istilah)
Menurut
Muhammad Hashim Kamali ayat al-Qur’an yang bersifat zhanni (spekulatif) adalah kebalikan dari ayat yang bersifat qath’i
(definitif), ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Penaf-siran
yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam al-Qur’an
dan mencari penjelasan penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam
konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah adalah sumber lainnya yang
melengkapi al-Qur’an dan menaf-sirkannya. Apabila penafsiran yang diperlukan dapat ditemukan dalam suatu
hadits, maka ia menjadi bagian integral dari al-Qur’an dan keduanya secara
bersama-sama membawa keten-tuan yang mengikat. Kemudian sumber lain berikutnya adalah para
shabat yang memenuhi syarat untuk menafsirkan al-Qur’an karena kedekatan mereka
dari Nabi, kepada Nash, keadaan-kadaan yang melingkupinya dan ajara-ajaran
Nabi.6 Muhammad Hashim Kamali me-lengkapi penjelasannya tentan
zhanni al-Dalalah dengan mengemukakan contoh nash yang zhanni dalam
al-Qur’an adalah nash yang berbunyi, “Dilarang bagi kau ibu-ibu kamu dan
saudara-saudara perem-puan kamu, (al-Nisa (4): 23). Nash
ini definitif dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara perempuan
dan tidak ada bantahan tentang soal ini. Namun demikian kata banatukum (anak-anak perempuan kamu)
dapat dipahami dari makna harfiahnya, yang berarti, anak perempuan yang lahir
dari seorang baik melalui perkawinan maupun zina, atau makna juridisnya.
Menurut makna yang terakhir, banatukum,
hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah.7
Menurut Abdul Wahhab Khallaf nas yang zhanni dalalahnya ialah nas yang
menunjukkan atas makna yang memung-kinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan
dari makna asalnya (lughawi) kepada
makna yang lain. Seperti firman Allah yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hen-daklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru. (al-Baqarah (2):228). Pada hal
lafa guru’ itu dalam bahasa Arab mem-punyai dua arti, yaitu suci dan haid. Sedangkan nas menunjukkan
(member arti) bahwa wanita-wanita yang ditalak itu menahan diri (menunggu) tiga
kali guru. Maka ada kemungkinan bahwa
yang dimaksudkan, adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti
tidak pasti dalalahnya atas satu makna dari dua makna tersebut. Karena itu para
mujtahid berselisih pendapatbahwa “iddah wanita yang ditalak itu tiga kali haid
atau tiga kali suci. Dan juga contoh lain firman Allah yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah, (al-Maidah (5): 3). Padahal
lafal maitan (bangkai) itu umum. Jadi ini mempunyai kemung-kinan arti mengharamkan
setiap bangkai, atau keharaman itu (ditakhsis) dengan selain bangkai lautan.
Maka oleh karena itu, nas yang mempunyai makna yang serupa (makna ganda) atau
lafal umum, atau lafal mutlak dan atau seperti maitan ini, semua-nya adalah zhanni dalalahnya, karena ia mempunyai kecen-derungan
kepada lebih dari satu arti.8
Dari Definisi tersebut di atas dapatlah dipahami, bahwa cirri-ciri yang
menjadi penyebab kezhannian sebagian dari nash al-Qur’an itu adalah: Pertama,
nash itu mengandung makna ganda (isytiraqul
makna), dan juga terbuka bagi penafsiran dan penakwilan (ijtihad). Contoh,
kata Nä3è?$oYt/ur pada surat al-Nisa (4): 23, kata ini mengandung makna ganda, pertama
dilihat dari makna harfiahnya dapat bermakna anak perempuan yang lebih dari
seorang baik melalui perkawinan maupun tidak. Kedua, bila dilihat dari makna
juridisnya, kata Nä3è?$oYt/ur hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah yang lahir dari
kedua orang tua yang telah diawali dengan proses perkawinan. Kedua nash itu mengandung makna umum. Contoh kata ptGøyJø9$# pada surat al-Maidah (5): 3. Lafaz ini umum yang kemungkinannya
mencakup semua bangkai termasuk bangkai lautan.
Bila kita cermati uraian yang dikemukakan oleh Muhammad Hashim Kamali dan
Abdul Wahhab Kahallaf tentang qath’i dan zhanni al-Dalalah maka dapatlah disimpulkan
bahwa keduanya sepakat untuk memberi peluang untuk memaknai, mentak-wilkan dan
menafsir-kan al-Qur’an selama ayat itu tergolong zhanni al-Dalalah. Namun keduanya
menu-tup rapat-rapat pintu pemaknaan ganda, penakwilan dan penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya qath’I al-Dalalah.
Apa yang dilakukan dan ditetapkan oleh kedua ulama tersebut hal itu sangat
dipengaruhi dan diwarnai oleh disiplin ilmu yang digelutinya, yakni sebagai
ulama Ushul Fiqh, bukan ulama tafsir. Dikalangan
ulama tafsir masalah qath’i dan zhanni ad-Dalalah tidak menjadi salah satu
pokok bahasan.
C. Pengaruhnya
Terhadap Penafsiran
Ketika kita bicara masalah qath’i dan zhanni al-Dalalah dilihat
dari segi pengaruhnya terhadap penafsiran nash-nash al-Qur’an maka dapat
dikelom-pokkan pada dua
pandangan yaitu pan-dangan Ulama
Ushul Fiqh dan pandangan Ulama Tafsir.
1.
Pandangan
ulama Ushul Fiqh, yang dalam hal ini diantaranya diwakili oleh Muhammad Hashim
Kamali dan Abdul Wahhab Khallaf dan selainnya yang membagi nas al-Qur’an kepada
dua macam, yaiktu qath’i dan zhanni al-Dalalah maka dengan adanya pem-bagian semacam
itu member isyarat adanya pembatasan pemaknaan, pen-takwilan dan
penafsiran pada nash-nash tertentu atau pada ayat-ayat tertentu yang ada dalam
al-Qur’an, dalam hal ini nas yang qath’i al-Dalalah. Dan dengan cara yang
demikian itu merupakan sebuah upaya menghambat ruang lingkup dan ruang gerak
para mufassir untuk memaknai, mentak-wilkan dan
menaf-sirkan nash-nash al-Qur’an secara ke-seluruhan. Dari satu sisi boleh kita
berpandangan, bahwa pembagian nas yang demikian itu berdampak negatif terhadap keinginan
dan semangat para mufassir untuk memaknai, menakwil dan menafsirkan nash-nash al-Qur’an
secara umum. Namun disisi lain, pembagian nash
qath’i zhanni al-Dalalah yang
dilaku-kan oleh ulama
Ushul Fiqh tersebut, juga punya dampak positif, yaitu agar para mufassir tidak
memiliki kebebasan penuh untuk memaknai, menakwilkan dan menafsirkan nas-nas
yang qath’i, atau nas-nas yang sudah tegas dan jelas maksudnya.
Khusus
mengenai nash zhanni al-Dalalah, ternyata ulama ushul Fiqh, juga membuka
peluang lebar-lebar bagi orang yang ingin memaknai, mema-hami,
menakwilkan dan menafsirkan nas ter-sebut. Hal ini berarti terdapat pengaruh
yang positif terhadap partum-buhan dan perkembangan penafsiran. Juga terbuka peluang terjadinya
perbedaan penafsiran terhadap nash zhanni itu. Contoh firman Allah yang
berbunyi: “Dilarang bagi kamu ibu-ibu kamu dan suadara-saudara perempuan kamu”
(al-Nisa (4): 23). Nash ini definitif
dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara perempuan dan
tidak ada bantahan tentang soal ini. Namun demikian, kata banatukum (anak-anak perempuan kamu) dapat dipahami dari makna
harfiahnya, yang berarti, anak perem-puan yang lahir dari seorang baik melalui
perkawinan maupun tidak (zina), atau makna juridisnya. Menurut makna yang
terakhir, “banatukum, hanya dapat
diartikan sebagai anak perempuan yang sah.9
Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa ulama Ushul (Ushul
Fiqh) dalam menetapkan dua konsep, yaitu qath’I
dan zhanni al-Dalalah, maka konsep
yang pertama itu tidak membawa angin segar, atau tidak membuka adanya peluang
untuk memaknai, manakwilkan dan menaf-sirkan nash yang qath’i sebab menurutnya makna yang dikandungnya sudah sangat jelas
dan tegas. Namun konsep kedua (zhanni
al-Dalalah) sangat terbuka luas kesempatan untuk memaknai, menakwilkan dan
menafsirkan sesuai dengan kecen-derungan masing-masing para mufassir atau para
mujtahid, terutama bila nas itu dilihat dari segi hukum.
Untuk
melihat secara jelas peluang pemaknaan, penakwilan dan penafsiran ter-hadap nas zhanni al-Dalalah dapat dilihat
penjelasan dibawah ini:
Para fuqaha tidak sependapat ten-tang definisi sumpah yang tidak sengaja, sebagai
lawan dari sumpah yang di-sengaja, (yang terdapat dalam surat al-Maidah :89);
artinya: “Allah tidak akan menghukum kamu atas sumpah-sumpah yang disengaja, tetapi
Dia menghukummu atas sumpah-sumpah yang disengaja. “ayat
ini diteruskan dengan penjelasan tentang denda, atau kaffarat, atas
sumpah-sumpah yang di-sengaja, yang berupa pemberian makan kepada sepuluh orang
miskin atau memer-dekakan seorang budak atau puasa selama tiga hari. Menurut
ulama-ulama Hanafi, sumpah yang tidak disengaja adalah sumpah yang dilakukan
untuk mem-benarkan sesuatu yang di-sangka benar tetapi sesungguhnya salah. Sebaliknya jumhur
memahaminya sebagai sumpah yang tidak diniatkan, yakni, yang dilakukan dengan
bergurau tanpa maksud apapun. Perbedaan-perbedaan semacam ini muncul dalam
kaitan dengan definisi mana yang tepat tentang apa yang disebut sebagai sumpah
yang disengaja. Ada juga ketidak-sepakatan tentang apakah tiga hari puasa itu
harus dilakukan secara berturut-turut ataukah tidak. Oleh karena itu, nas ayat
ini, sekalipun definitif dalam hal ketentuan dasar kaffarat atas sumpah yang tidak disengaja, namun bersifat
spekulatif dalam hal istilah yang tepat dari kaffarat dan cara penerapannya.
Contoh
zhanni lainnya dalam al-Qur’an kita
dapat melihat kepada firase yunfau nin al-Ard
(dibuang dari muka bumi) yang terdapat dalam surat al-Maidah 5: 33). Frase ini
menunjukkan hukuman bagi perampokkan (hirabah),
atau menurut sebuah alternatif tetapi interprestasinya sama bagi pemberontakan
dalam masyara-kat dengan kepemimpinan yang sah. Pembuangan (nafy) dalam ayat ini dapat bermakna
pengasingan dari tempat kejaha-tan itu dilakukan pertama kali. Hal ini
sebenarnya merupakan makna yang tampak dari frase itu dan diterima oleh jumhur ulama.
Tetapi fuquha-fuguha Hanafi menetapkan bahwa frase itu bermakna hukuman
penjarah, bukan peng-asingan.
Menurut mereka, pendekatan harfiah terhadap interprestasi dari frase ini tidak
memuaskan; jika interprestasinya demikian, maka bagaimana mungkin orang dibuang
dari muka bumi kalau tidak dengan cara kematian? Nafy, atau pem-buangan di sini lain, adalah hukuman diluar pembunuhan.
Di samping itu, jika perampok dibuang dari suatu tempat ke tempat yang lain
dalam wilayah Islam, maka ancaman dari dirinya tampaknya tidak akan bisa
dicegah, karena dia mungkin melakukan perampokan-perampokan lagi. Para ulama Hanafi kemudian memberikan argument-tasi bahwa
pembuangan seorang muslim ke luar wilayah Islam tidaklah dibenarkan secara
hukum. Oleh karena itu, satu-satunya makna yang tepat dari frase ini yang
memenuhi tujuan hukuman dari syari’ah adalah hukuman penjara.10
Dari
ayat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa semua ayat muhara-bah yang memuat frase yunfau min al-Ard terbuka bagi
penafsiran-penafsiran yang berbeda.
Seandainya tidak ada perbedaan penafsiran dan penakwilan terhadap nash
zhanni maka dengan sendirinya akan melahirkan kesulitan (masyaqqah) pada diri manusia itu sendiri, sebab dia hanya berpegang
secara mutlak pada satu pan-dangan atau ketetapan hukum, yang kemungkinannya pandangan
dan pene-tapan hukum itu tidak mampu untuk dilaksanakannya. Tetapi dengan adanya perbedaan pandangan dalam penetapan hukum maka
seseorang berhak menen-tukan pilihannya
sesuai dengan tingkat kesanggupan dan kemampuannya.
Di
sisi lain, manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, yang dengan
sendirinya pandangan dan pene-tapan hukum itu harus berorientasi pada kemaslahatan ummat manusia.
Boleh jadi Nabi menganggap suatu nash sebagai nash qath’i al-Dalalah namun pada
kondisi tertentu menjadi zhanni al-Dalalah. Atau setidak-tidaknya nash (ayat)
tetap qath’i namun penerapan hukuman boleh jadi zhanni.
Selanjutnya
pada surat al-Maidah (5:33) ini, kebingungan muncul dari gabungan frase yang
mengandung kata aw, yang berarti
‘dan’ antara ketiga frase yang menentukan hukuman yang berbeda-beda bagi
perampok tadi. Karena itu, tidaklah diketahui secara pasti mana di antara
ketiga hukuman ini yang ditetapkan bagi peram-pok, (muharib). Pendapat jumhur
mengata-kan bahwa muharib dijatuhi
hukuman mati apabila dia benar-benar merampok dan membunuh kor-bannya, tetapi
jika hanya merampok, maka hukumannya adalah pengasingan. Dalam kasus-kasus yang
lebih negeri ketika perampok membunuh dan merampok korbannya, maka perampok itu
harus dibunuh dan disalib. Menurut sebuah alternatif pendapat hukum, adalah
kewaji-ban pemerintah untuk menentukan salah satu hukuman atau gabungan dari
huku-man-hukuman iktu dalam kasus-kasus yang tersendiri.11
Dari contoh-contoh nas zhanni
yang dikemukakan di atas oleh para ulama ushul menjadi dasar dan bukti kuat
atasnya, bahwa ternyata nas zhanni
terbuka lebar-lebar peluang untuk lahirnya berbagai pemaknaan, penakwilan dan
penafsiran terhadap nas zhanni itu sendiri terutama bila dilihat dari segi
kacamata hukum.
2.
Pandangan
Ulama Tafsir
Ulama tafsir tidak membuat klasifikasi tentang nash al-Qur’an
mengenai qath’i dan
zhanni sebagaimana yang dibuat dan ditetapkan oleh ulama Ushul. Kenyataan
ini dapat dibuktikan dengan membuka lem-baran kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an.
Misal-nya al-Burhan karangan
al-Zarkasyi, atau al Itqan oleh al-Sayuti dan Mabahits fi ‘Ulumil Quran oleh Mana’ul Qath’an. Ketiganya tidak membahas
soal tersebut. Pertanyaannya. Mengapa demikian? Jawa-bannya,
ulama-ulama tafsir menekankan bahwa al-Quran hamalat li al wujud (al-Quran mampu mengandung ungkapan: Seorang
tidak dinamai mufasir kecuali jika ia mampu member interpretasi ber-agam terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.
Seiring dengan pendapat ulama-ulama tafsir di atas,
seorang pemikir kon-temporer kelahiran al-Jazair yaitu Mohammad Arkoum, menulis
tentang ayat-ayat al-Quran sebagai berikut: “Kitab Suci itu mengandung
kemungkinan makna yang akan terbatas. Ia menghadirkan
berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang
absolute, ia dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup
hanya pada satu penafsiran makna.12
Pendapat diatas sejalan dengan tulisan ‘Abdullah Darraz, salah
seorang ulama besar al-Azhar yang antara lain men-jelaskan dan mengetik kitab al–Muwa-faqat karya Abu Ishaq al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: “Apabila anda
membaca, makanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali
lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna
terdahulu. Demikian seterusnya, sampai anda dapat menemukan kalimat atau kata
yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar.
Ayat-ayat al-Qur’an bagai-kan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil,
jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih
banyak dari apa yang anda lihat.13
Menurut Quraish Shihab, disisi lain, kita dapat berkata
bahwa setiap nas atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja,
yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang dimaksud dalalah haqiqiyyah.
Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalahnya bersifat relative. Mereka
tidak dapat memastikan maksud pembicaraan. Pema-haman mereka ter-hadap nas atau
redaksi tersebut dipenga-ruhi oleh
banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.
III.
KESIMPULAN
Al-Qur’an
sebagai kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
menyangkut kebe-naran
sumbernya, yaitu dari Allah Swt. Juga umat Islam mempunyai keyakinan yang sama bahwa redaksi
ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam Mushaf adalah sama tanpa sedikit pun
perbedaan dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad Swa. Dari Allah Swt. melalui
Malaikat Jibril.
Letak
perbedaan pandangan dikala-ngan umat Islam adalah dalam hal kan-dungan makna redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Ulama Ushul Fiqh membagi
nash al-Qur’an kepada dua komponen, yaitu qath’I
dan zhanni al-Dalalah. Qath’i al-Dalalah adalah nas yang jelas
dan tertentu yang hanya memiliki satu makna, dan tidak terbuka untuk makna
lain. Sedangkan zhanni al-Dalalah
adalah kebalikan dari qath’i al-Dalalah,
ia terbuka untuk pemaknaan, penakwilan dan penafsiran. Lain dengan ulama
tafsir, ia tidak membuat klasifikasi tentang nas al-Qur’an, bahwa ada yang qath’i dan ada yang zhanni al-Dalalah, sebab menurut-nya dengan cara yang demikian itu berarti membatasi pemaknaan,
penakwilan dan penafsiran terhadap al-Qur’an. Pada hal al-Qur’an itu mampu
mengandung banyak interpretasi.
Dengan konsep Qath’i al-Dalalah oleh
ulama Ushul Fiqh tentunya merupakan hal yang kurang baik di-kalangan ulama
Tafsir, sebab dengan konsep itu berarti membatasi upaya pemaknaan, penakwilan
dan penafsiran terhadap nas-nas al-Qur’an itu sendiri. Namun dari konsep zhanni al-Dalalah oleh Ulama Ushul Fiqh, terbuka peluang
lebar-lebar untuk memaknai, mentak-wilkan dan menafsirkan nash-nash al-Qur’an
itu, dalam arti mempunyai pengaruh besar dan pengaruh positif terhadap lahirnya
para mufasir dan para mujthid.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI. Muqadimah
al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an,
1983 / 1984.
Komali, Mohammad Hashim, Principles
of Islamic Jurisprudence. Diter-jemahkan oleh Noorhadi dengan judul: “Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam”. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1996.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu
Usul Fiqh, Diterjemahkan oleh Noer Iskandar Dkk. Dengan Judul “Khaidah –kaidah Hukum Islam”.Cet. IIV; Jakarta.
PT. Raja Grapindo Persada, 1996.
Quthan, Mana’ul. Mabahits Fi
Ulumil Quran. Diterjemahkan oleh Halimuddin dengan Judul Pembahasan Ilmu al-Quran. Cet. I:
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
SA, Romli, Muqaranah Mazahib
Fil Ushul. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999.
Syihab, Quraish. Membumikan
al-Qur’an. Cet. I; Bandung: Mizan, 1992.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh.
Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wancana Ilmu, 1999.
Catatan
Akhir:
[1]
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Cet.
I; Bandung: Mizan, 1992), h. 137.
2Muhammad Hashim
Kamali, Principles of Islamic
Jurisprudence. Diterjemahkan oleh Noorhaidi dengan judul: “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam”
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 26
3Ibid.
4Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Fiqh. Diterjemahkan
oleh Noer Iskandar dkk dengan judul: “Kaidah-Kaidah
Hukum Islam” (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 45.
5Muhammad Hashim
Kamali, Loc.Cit.
6Ibid., h. 26.
7Ibid.m h. 26-27.
8Abdul Wahhab
Khallaf, Op. Cit., h. 46.
9Muhammad Hashim
Kamali, op.cit., h. 26-27.
10 Ibid., h. 28.
11Ibid., h. 28-29.
12Quraish
Shihab, Loc.cit.
13 Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar