PENAFSIRAN
TERHADAP KEDUDUKAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN
Anita Afriana
Fakultas Hukum Unpad
Jl.
Dipati Ukur 35 Bandung
Email:
nie782003@yahoo.com
Abstract: Formal judicial, law of
evidence in Indonesia does not accommodate electronic documents as evidence,
while in practice in Indonesia through e-commerce transactions has been widely
used business transactions electronically. With further increase electronic
activity, evidence that can be used by law should also include such information
or documents electronically. Recognition of electronic information as evidence
in court is still questionable validity. In the practice of the courts in
Indonesia, the use of electronic data as valid evidence is virtually never
existed, though in some countries, the electronic information recorded in
electronic equipment has been taken into consideration in the judge decide a
case, either criminal or civil. Practice it was not the party who filed the
electronic evidence to face trial , except for criminal cases, so that the
civil judge in the District Court, for example at the Bandung District Court
decides there is no case which recognizes the electronic evidence as evidence
that the same force with tool - proof evidence contained in Article 164 HIR.
With this fact suggests that civil disputes generally in the District Court is
not a dispute relating to the business and leads of electronic transactions.
Evidence is not provided for in Article 164 HIR, can not be regarded as valid
evidence. This is because the law of civil procedure is a formal legal binding.
As the most powerful man in deciding a case , and is regarded as the person who
can give vonnis van de rechter (judge 's decision) , a judge granted
flexibility to find the law (rechtsvinding), either by means of legal
interpretation (wetinterpretatie) or by digging , following the and understand
the legal values that live in the community. Legal theory lex specialis
derogat lex generalis also be a reference judge in admitting electronic
evidence as valid evidence, the law specifically waives the old law, Through
the ITE Law, related to the strength of evidence of electronic evidence, the
judges should be admitted as electronic evidence and legal evidence has the
same probative force of evidence set forth in the HIR
Kata Kunci: Alat bukti elektronik, Sengketa perdata, Informasi dan
transaksi elektronik
I. PENDAHULUAN
Pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang
dikemukakan.1 Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses
bagaimana alat-alat bukti digunakan, diajukan, maupun dipertahankan sesuatu
hukum acara tertentu.2
Secara yuridis formal,
hukum pem-buktian di Indonesia belum meng-akomodasi dokumen elektronik sebagai
alat bukti, sementara dalam praktiknya di Indonesia melalui transaksi perdagangan
secara elektronik sudah banyak digunakan transaksi bisnis secara elektronik.
Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, alat bukti yang dapat
digunakan secara hukum juga harus meliputi informasi atau dokumen elektronik
tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Karena itu,
dalam praktik dikenal dan berkembang apa yang dinamakan bukti elektronik.
Pengakuan terhadap
informasi elektronik sebagai alat bukti di pengadilan masih dipertanyakan
validitasnya. Dalam praktik pengadilan di Indonesia, peng-gunaan data
elektronik sebagai alat bukti yang sah memang hampir tak pernah ada, padahal di
beberapa negara, informasi elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik
sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara baik pidana maupun
perdata.
Bukti elektronik dalam
hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku
di Indonesia. Sistem elektronik menurut Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut
dengan UU ITE) adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mem-persiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi
elektronik.
Alat bukti merupakan
salah satu variabel dalam sistem pembuktian, sehingga perkembangan yang terjadi
dalam lalu lintas hukum keperdataan dengan dikenal dan digunakannya alat bukti
elektronik dalam masyarakat khususnya dibidang perdagangan dan perbankan, akan
mempengaruhi sistem pembuktian.
Berdasarkan uraian di
atas, maka yang menjadi fokus utama dalam artikel ini adalah:
1.
Bagaimanakah
penggunaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh pencari keadilan dalam
praktik, khususnya di Pengadilan Negeri Bandung pasca berlakunya Undang-undang
No.11 Tahun 2008?
2.
Bagaimanakah
penerimaan / pengakuan hakim yang seharusnya terhadap kedudukan dan penggunaan alat
bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak?
II. METODOLOGI
PENELITIAN
Artikel penelitian ini dikaji dengan menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif
analitis. Data data dikumpulkan dari bahan hukum primer, sekunder, maupun
tersier yang dilakukan melalui studi kepustakaan untuk selanjutnya diolah dan
dianalisis secara yuridis kualitatif.
III. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Penggunaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh
pencari keadilan dalam praktik pasca berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 2008.
Alat bukti elektronik tidak diatur dalam HIR serta
belum tegas dan jelas pengakuannya sebagai alat bukti akan berpengaruh terhadap
proses pembuktian sengketa perdata dalam penyelesaian di pengadilan ketika para
pihak mengajukan alat bukti elektronik tersebut. Hukum pembuktian Indonesia
menentukan alat bukti terbatas hanya berdasarkan Pasal 164 HIR / Rbg yang
diatur secara limitatif dan hakim dalam acara perdata terikat pada alat- alat
bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang saja, padahal kini begitu
banyak transaksi perniagaan yang dilakukan melalui media elektronik termasuk
internet. Pasal 1 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa: “Transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan kom-puter,
dan atau media lainnya”.
Alat bukti yang diajukan diluar undang-undang
dalam hal ini HIR dianggap tidak sah sebagai alat bukti, karenanya tidak
mempunyai nilai kekuataan pembuktian untuk menguatkan dalil kebenaran atau
bantahan yang dikemukakan, maka dapat dinyatakan bahwa dalam hal penggunaan
alat-alat bukti, Indonesia berdasarkan sistem tertutup dan terbatas.
Sejalan dengan perkembangan alat bukti seperti
kenyataan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun
2009 (UUKK), hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya sekalipun undang-undang tidak atau kurang jelas. Hal ini
semata-mata karena hakim dianggap tahu akan hukum (asas ius curia novit), yang dikonkretkan melalui Pasal 28 ayat (1)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat. Hal ini berarti apabila terjadi sengketa yang alat buktinya
berbentuk dokumen elektronik, maka hakim wajib menilai pembuktian tersebut
walaupun kedudukan alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata tidak
diatur. Namun demikian, melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen
Perusahaan, secara parsial telah mengatur dan menem-patkan bukti elektronik
sebagai alat bukti. Undang-undang Dokumen Perusahaan memberikan kemungkinan
kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti
tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film.
Selanjutnya terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless) tersebut dapat dijadikan alat
bukti yang sah seandainya kelak menjadi sengketa yang diselesaikan di
pengadilan. Undang-undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan merupakan
hukum khusus (lex specialis) terhadap
hukum pembuktian yang berlaku sebagaimana diatur dalam HIR dan KUHPerdata3
Pengakuan mengenai alat bukti elektronik juga
telah mendapat pengaturan dalam UU ITE yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) & ayat
(2) yang berbunyi:
(1) Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang
sah.
(2) Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana disebut pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia.
Rancangan Undang-undang Acara Perdata dalam Pasal 94 juga telah
mengatur mengenai alat-alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan selain
surat, saksi, persangkaan- persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam penjelasan
Pasal 94 RUU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kecuali undang-undang
menentukan lain’ misalnya ketentuan dalam Pasal 1873, 1878, dan Pasal 1881
KUHPerdata. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Acara Perdata menggunakan sistem
terbuka yang memungkinkan apa saja untuk dijadikan alat bukti dan prihal
penilaian terhadap pembuktian diserahkan kepada hakim, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Dapat disimpulkan bahwa secara yuridis formal, hukum pembuktian
Indonesia menurut HIR dan KUHPerdata belum mengakomodasi alat bukti elektronik
sebagai alat bukti di pengadilan dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang saja (HIR/Rbg). Keberadaan RUU Acara Perdata belum
dapat dijadikan acuan hukum karena belum disahkan, maka untuk mengisi
kekosongan hukum, hakim dapat melakukan penemuan hukum ketika peraturan
dianggap kurang jelas, tidak jelas, atau bahkan tidak diatur sama sekali. Oleh
karena itu, untuk menyiasati keterbatasan alat bukti menurut Pasal 164 HIR,
berkaitan dengan diajukannya alat bukti elektronik dalam proses pembuktian
dapat dilakukan melalui metode interprestasi gramatikal dengan memaknai
ketentuan undang–undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata,
atau bunyinya.4
Melalui metode interprestasi ekstensif, maka makna alat bukti
tertulis sebagaimana yang dimaksudkan dalam HIR/Rbg dapat diperluas maknanya. Kedudukan dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya dapat dipersamakan dengan alat bukti tertulis.
Sejauh ini, dalam praktik di Pengadilan khususnya
di Pengadilan Negeri Bandung belum ada para pihak yang mengajukan alat bukti
elektronik ke muka sidang, sehingga hakim perdata di Pengadilan Negeri Bandung juga belum ada yang memutuskan perkara dengan meng-gunakan alat bukti elektronik
tersebut sebagai alat bukti yang sama kekuatan pembuktiannya dengan alat-alat
bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR. Berbeda dengan
perkara pidana, yang sudah pernah menggunakan alat bukti elektronik dalam
proses pembuktian, misalnya dalam tindak pidana perbankan.
Mengingat kedudukan Pengadilan Negeri Bandung sebagai pengadilan
Klas 1 (A), yang berarti memeriksa dan mengadili banyak sekali perkara setiap
tahunnya kemungkinan untuk mengadili sengketa berdasarkan alat bukti yang
diajukan secara elektronik sangat mungkin terjadi. Dengan kenyataan ini
menunjukkan bahwa sengketa-sengketa perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri
Bandung bukanlah sengketa yang berkaitan dengan bisnis dan bermuara dari
transaksi elektronik.
Dengan demikian, para hakim seharusnya bila ada pihak yang mengajukan
alat bukti elektronik seharusnya dapat menerima bukti elektronik sebagai alat
bukti yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti yang diatur
dalam HIR. Terhadap kenyataan ini, tentu saja harus diantisipasi dari sekarang
dan hakim harus bertindak lebih bijaksana dalam memutuskan perkara yang tidak
diatur secara tertulis dalam hukum acara perdata di Indonesia.5
B.
Penerimaan/Pengakuan Hakim Pengadilan Terhadap
Kedudukan dan Penggunaan Alat Bukti Elektronik yang Diajukan Oleh Para Pihak.
Hakim adalah orang yang paling berkuasa dalam memutus suatu perkara yang diselesaikan di pengadilan, dengan
terlebih dahulu menentukan serta menilai kekuatan pembuktian terhadap alat
bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Hal tersebut sejalan
dengan teori pembuktian bebas.
Teori pembuktian bebas
merupakan teori yang menyatakan bahwa penilaian pembuktian diserahkan
sepenuhnya kepada hakim, tidak menghendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim
dalam menilai pembuktian. Menurut teori ini, hakim sepenuhnya berhak memutuskan
suatu perkara berdasarkan alat-alat bukti yang ada di persidangan tanpa
dipengaruhi oleh undang-undang dan pertimbangan-pertimbangan lain yang
membatasi keyakinan hakim. Hal ini tidak terlepas dari salah satu asas dalam
Hukum Acara Perdata yaitu Ius Curia Novit,
bahwa hakim dianggap tahu hukum dan telah memahami suatu perkara sehingga
putusan hakim dari pembuktian dianggap sah secara hukum.
Selain itu ada pula
teori pembuktian negatif yang menyatakan bahwa adanya ketentuan yang mengikat,
yang bersifat negatif, yaitu ketentuan yang mengikat harus membatasi pada
larangan bagi hakim untuk melakukan sesuatu yang ber-hubungan dengan
pembuktian. Dalam hal ini, hakim dilarang dengan pengecualian, misalnya dalam
hal keterangan saksi bahwa apabila keterangan saksi hanya didapatkan dari
seorang saksi saja, dengan tidak ada alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di
dalam hukum (Pasal 169 HIR (306 Rbg).
Dalam menjatuhkan
putusan, seorang hakim dipengaruhi oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri.
Hakim tidak hanya mempertahankan nilai-nilai yang ada, tetapi secara dinamis
menciptakan nilai-nilai yang baru atau merekayasa masyarakat sesuai dengan
perkembangan jaman.6
Demikian juga halnya
dalam pembuktian terhadap alat-alat bukti elektronik. Meskipun tidak diatur di
dalam HIR, berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman (UUKK) menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Secara formal, pengertian alat bukti
elektronik pada dasarnya belum diatur dalam hukum acara perdata maupun hukum
acara pidana di Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata atau HIR. Hakim memberikan suatu putusan hukum berdasarkan alat-alat
bukti di persidangan yang sesuai dengan undang-undang. Dengan kata lain,
meskipun hakim diberikan kebebasan dalam memutus suatu perkara di pengadilan,
hakim juga terikat pada undang-undang yang mengharuskan seorang hakim mampu
menyeimbangkan antara fakta yang terjadi di persidangan serta menghubungkannya
dengan aturan-aturan yang ada dalam pembuktian yang terdapat di dalam hukum
acara.
Alat-alat bukti yang
tidak diatur dalam Pasal 164 HIR, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang
sah. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata merupa-kan hukum formil yang
bersifat mengikat. Sebagai orang yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu
perkara dan dianggap sebagai orang yang dapat memberi vonnis van de rechter (keputusan Hakim), seorang Hakim diberikan
keleluasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding),
baik dengan cara melakukan interpretasi hukum (wetinterpretatie) maupun dengan meng-gali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.7
Walaupun Pasal 164 HIR
hanya mengatur 5 alat bukti (tidak termasuk bukti elektronik), namun bila para
pihak yang berperkara mengajukan bukti elektronik, maka Hakim wajib menerimanya
sebagai alat bukti yang sah.8
Teori hukum lex specialis derogat lex generalis juga
menjadi acuan hakim dalam mengakui alat-alat bukti elektronik sebagai alat
bukti yang sah, yaitu undang-undang khusus mengenyampingkan undang-undang yang
lama, Melalui UU ITE, berkaitan dengan kekuatan pembuktian dari bukti
elektronik, para hakim seharusnya dapat mengakui alat bukti elektronik sebagai
alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat
bukti yang diatur di dalam HIR, tergantung bagaimana para pihak yang berperkara
dapat mengajukan serta membuktikan alat bukti tersebut yang selanjutnya dapat
diperlihatkan di hadapan hakim dalam persidangan.
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka beberapa hal
yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
1.
Dalam
praktik di Pengadilan pada umumnya, belum ada para pihak yang mengajukan alat
bukti elektronik ke muka sidang, sehingga hakim perdata di Pengadilan Negeri
Bandung pada khususnya juga belum ada yang memutuskan perkara yang mengakui
alat bukti elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sama kekuatan pem-buktiannya
dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR. Dengan kenyataan ini
menunjukkan bahwa sengketa-sengketa perdata pada umum-nya di Pengadilan Negeri
bukanlah sengketa yang berkaitan dengan bisnis dan bermuara dari transaksi
elektronik.
2.
Alat-alat bukti
yang tidak diatur dalam Pasal 164 HIR, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
yang sah. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata merupakan hukum formil yang
bersifat mengikat. Sebagai orang yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu
perkara dan dianggap sebagai orang yang dapat memberi vonnis van de rechter (keputusan Hakim), seorang hakim diberikan
keleluasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding),
baik dengan cara melakukan interpretasi hukum (wetinterpretatie) maupun dengan menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori hukum lex specialis derogat lex generalis juga menjadi acuan hakim dalam
mengakui alat-alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu
undang-undang khusus mengenyampingkan undang-undang yang lama. Melalui UU ITE, berkaitan
dengan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik, para hakim seharusnya dapat
mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan memiliki
kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diatur di dalam HIR
B. Saran:
1. Agar segera
diundangkan RUU Hukum Acara Perdata yang telah disusun sejak tahun 1987 untuk
tercapainya kepastian hukum baik bagi hakim maupun bagi para pencari keadilan.
2. Pengaturan
tentang bukti elekronik sebagai alat bukti sebaiknya diatur secara formal dalam
Hukum Acara Perdata yang baru, bukan dalam bentuk hukum materil, dalam hal ini
UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Andar
Purba, Laporan Akhir Tim Analisa dan
Evaluasi Hukum Tentang Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Proses Hukum
Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, 2004.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988.
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Peraturan Perundang-undangan:
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 20008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sumber Lain:
Ade Agnesia, kekuataan Pembuktian Perjanjian Yang Dibuat Secara
Elektronik Pada Pengadilan Perdata Berdasarkan Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Skripsi, Fakultas Hukum Unpad, Agustus 2010.
Lintong Siahaan, Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan
Transformasi, varia Peradilan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006.
Catatan Akhir:
[1]Riduan Syahrani, Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Pustaka Kartini, Jakarta, 1988), hlm
55.
2
Subekti, Hukum Pembuktian, (Pradnya
Paramita, Jakarta, 1991), hlm 7.
3Andar Purba, Laporan Akhir Tim Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang Pengaturan Alat
Bukti Elektronik Dalam Proses Hukum Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia RI, 2004, hlm 69.
4bid, hlm 58.
5Idem
6Lintong Siahaan, Peran Hakim Agung
Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping)
Pada Era Reformasi dan Transformasi, varia Peradilan, Mahkamah Agung RI,
Jakarta, 2006, hlm. 64.
7http://www.legalitas.org/database/artikel/
pidana/esign.pdf. Di-download
pada hari Selasa, 13 Juli 2010, pkl
23.17.
8Ade Agnesia, kekuataan Pembuktian
Perjanjian Yang Dibuat Secara Elektronik Pada Pengadilan Perdata Berdasarkan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) jo
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Skripsi, Fakultas Hukum Unpad, Agustus 2010, hlm 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar