Kamis, 22 Januari 2015

PENAFSIRAN TERHADAP KEDUDUKAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN

PENAFSIRAN TERHADAP KEDUDUKAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN

Anita Afriana
Fakultas Hukum Unpad
Jl. Dipati Ukur 35 Bandung
Email: nie782003@yahoo.com

Abstract: Formal judicial, law of evidence in Indonesia does not accommodate electronic documents as evidence, while in practice in Indonesia through e-commerce transactions has been widely used business transactions electronically. With further increase electronic activity, evidence that can be used by law should also include such information or documents electronically. Recognition of electronic information as evidence in court is still questionable validity. In the practice of the courts in Indonesia, the use of electronic data as valid evidence is virtually never existed, though in some countries, the electronic information recorded in electronic equipment has been taken into consideration in the judge decide a case, either criminal or civil. Practice it was not the party who filed the electronic evidence to face trial , except for criminal cases, so that the civil judge in the District Court, for example at the Bandung District Court decides there is no case which recognizes the electronic evidence as evidence that the same force with tool - proof evidence contained in Article 164 HIR. With this fact suggests that civil disputes generally in the District Court is not a dispute relating to the business and leads of electronic transactions. Evidence is not provided for in Article 164 HIR, can not be regarded as valid evidence. This is because the law of civil procedure is a formal legal binding. As the most powerful man in deciding a case , and is regarded as the person who can give vonnis van de rechter (judge 's decision) , a judge granted flexibility to find the law (rechtsvinding), either by means of legal interpretation (wetinterpretatie) or by digging , following the and understand the legal values ​​that live in the community. Legal theory lex specialis derogat lex generalis also be a reference judge in admitting electronic evidence as valid evidence, the law specifically waives the old law, Through the ITE Law, related to the strength of evidence of electronic evidence, the judges should be admitted as electronic evidence and legal evidence has the same probative force of evidence set forth in the HIR
Kata Kunci: Alat bukti elektronik, Sengketa perdata, Informasi dan transaksi elektronik
  

I.     PENDAHULUAN
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang dikemukakan.1 Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti digunakan, diajukan, maupun dipertahankan sesuatu hukum acara tertentu.2
Secara yuridis formal, hukum pem-buktian di Indonesia belum meng-akomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sementara dalam praktiknya di Indonesia melalui transaksi perdagangan secara elektronik sudah banyak digunakan transaksi bisnis secara elektronik. Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, alat bukti yang dapat digunakan secara hukum juga harus meliputi informasi atau dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Karena itu, dalam praktik dikenal dan berkembang apa yang dinamakan bukti elektronik.
Pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti di pengadilan masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktik pengadilan di Indonesia, peng-gunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang hampir tak pernah ada, padahal di beberapa negara, informasi elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara baik pidana maupun perdata.
Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE) adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mem-persiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
Alat bukti merupakan salah satu variabel dalam sistem pembuktian, sehingga perkembangan yang terjadi dalam lalu lintas hukum keperdataan dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik dalam masyarakat khususnya dibidang perdagangan dan perbankan, akan mempengaruhi sistem pembuktian.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi fokus utama dalam artikel ini adalah:  
1.    Bagaimanakah penggunaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh pencari keadilan dalam praktik, khususnya di Pengadilan Negeri Bandung pasca berlakunya Undang-undang No.11 Tahun 2008?
2.    Bagaimanakah penerimaan / pengakuan hakim yang seharusnya terhadap kedudukan dan penggunaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak?
II.  METODOLOGI PENELITIAN
Artikel penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data data dikumpulkan dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang dilakukan melalui studi kepustakaan untuk selanjutnya diolah dan dianalisis secara yuridis kualitatif.
III.   HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Penggunaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh pencari keadilan dalam praktik pasca berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 2008.
Alat bukti elektronik tidak diatur dalam HIR serta belum tegas dan jelas pengakuannya sebagai alat bukti akan berpengaruh terhadap proses pembuktian sengketa perdata dalam penyelesaian di pengadilan ketika para pihak mengajukan alat bukti elektronik tersebut. Hukum pembuktian Indonesia menentukan alat bukti terbatas hanya berdasarkan Pasal 164 HIR / Rbg yang diatur secara limitatif dan hakim dalam acara perdata terikat pada alat- alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang saja, padahal kini begitu banyak transaksi perniagaan yang dilakukan melalui media elektronik termasuk internet. Pasal 1 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa: “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan kom-puter, dan atau media lainnya”.    
       Alat bukti yang diajukan diluar undang-undang dalam hal ini HIR dianggap tidak sah sebagai alat bukti, karenanya tidak mempunyai nilai kekuataan pembuktian untuk menguatkan dalil kebenaran atau bantahan yang dikemukakan, maka dapat dinyatakan bahwa dalam hal penggunaan alat-alat bukti, Indonesia berdasarkan sistem tertutup dan terbatas.  
      Sejalan dengan perkembangan alat bukti seperti kenyataan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 (UUKK), hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun undang-undang tidak atau kurang jelas. Hal ini semata-mata karena hakim dianggap tahu akan hukum (asas ius curia novit), yang dikonkretkan melalui Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini berarti apabila terjadi sengketa yang alat buktinya berbentuk dokumen elektronik, maka hakim wajib menilai pembuktian tersebut walaupun kedudukan alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata tidak diatur. Namun demikian, melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, secara parsial telah mengatur dan menem-patkan bukti elektronik sebagai alat bukti. Undang-undang Dokumen Perusahaan memberikan kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film. Selanjutnya terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless) tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak menjadi sengketa yang diselesaikan di pengadilan. Undang-undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan merupakan hukum khusus (lex specialis) terhadap hukum pembuktian yang berlaku sebagaimana diatur dalam HIR dan KUHPerdata3
      Pengakuan mengenai alat bukti elektronik juga telah mendapat pengaturan dalam UU ITE yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) & ayat (2) yang berbunyi:
(1)     Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
(2)     Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana disebut pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.      
Rancangan Undang-undang Acara Perdata dalam Pasal 94 juga telah mengatur mengenai alat-alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan selain surat, saksi, persangkaan- persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam penjelasan Pasal 94 RUU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kecuali undang-undang menentukan lain’ misalnya ketentuan dalam Pasal 1873, 1878, dan Pasal 1881 KUHPerdata. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Acara Perdata menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan apa saja untuk dijadikan alat bukti dan prihal penilaian terhadap pembuktian diserahkan kepada hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dapat disimpulkan bahwa secara yuridis formal, hukum pembuktian Indonesia menurut HIR dan KUHPerdata belum mengakomodasi alat bukti elektronik sebagai alat bukti di pengadilan dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang saja (HIR/Rbg). Keberadaan RUU Acara Perdata belum dapat dijadikan acuan hukum karena belum disahkan, maka untuk mengisi kekosongan hukum, hakim dapat melakukan penemuan hukum ketika peraturan dianggap kurang jelas, tidak jelas, atau bahkan tidak diatur sama sekali. Oleh karena itu, untuk menyiasati keterbatasan alat bukti menurut Pasal 164 HIR, berkaitan dengan diajukannya alat bukti elektronik dalam proses pembuktian dapat dilakukan melalui metode interprestasi gramatikal dengan memaknai ketentuan undang–undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya.4
Melalui metode interprestasi ekstensif, maka makna alat bukti tertulis sebagaimana yang dimaksudkan dalam HIR/Rbg dapat diperluas maknanya. Kedudukan dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat dipersamakan dengan alat bukti tertulis.
Sejauh ini, dalam praktik di Pengadilan khususnya di Pengadilan Negeri Bandung belum ada para pihak yang mengajukan alat bukti elektronik ke muka sidang, sehingga hakim perdata di Pengadilan Negeri Bandung juga belum ada yang memutuskan perkara dengan meng-gunakan alat bukti elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sama kekuatan pembuktiannya dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR. Berbeda dengan perkara pidana, yang sudah pernah menggunakan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian, misalnya dalam tindak pidana perbankan.
Mengingat kedudukan Pengadilan Negeri Bandung sebagai pengadilan Klas 1 (A), yang berarti memeriksa dan mengadili banyak sekali perkara setiap tahunnya kemungkinan untuk mengadili sengketa berdasarkan alat bukti yang diajukan secara elektronik sangat mungkin terjadi. Dengan kenyataan ini menunjukkan bahwa sengketa-sengketa perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri Bandung bukanlah sengketa yang berkaitan dengan bisnis dan bermuara dari transaksi elektronik.
Dengan demikian, para hakim seharusnya bila ada pihak yang mengajukan alat bukti elektronik seharusnya dapat menerima bukti elektronik sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti yang diatur dalam HIR. Terhadap kenyataan ini, tentu saja harus diantisipasi dari sekarang dan hakim harus bertindak lebih bijaksana dalam memutuskan perkara yang tidak diatur secara tertulis dalam hukum acara perdata di Indonesia.5
B.       Penerimaan/Pengakuan Hakim Pengadilan Terhadap Kedudukan dan Penggunaan Alat Bukti Elektronik yang Diajukan Oleh Para Pihak.
Hakim adalah orang yang paling berkuasa dalam memutus suatu perkara yang diselesaikan di pengadilan, dengan terlebih dahulu menentukan serta menilai kekuatan pembuktian terhadap alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Hal tersebut sejalan dengan teori pembuktian bebas.
Teori pembuktian bebas merupakan teori yang menyatakan bahwa penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim, tidak menghendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam menilai pembuktian. Menurut teori ini, hakim sepenuhnya berhak memutuskan suatu perkara berdasarkan alat-alat bukti yang ada di persidangan tanpa dipengaruhi oleh undang-undang dan pertimbangan-pertimbangan lain yang membatasi keyakinan hakim. Hal ini tidak terlepas dari salah satu asas dalam Hukum Acara Perdata yaitu Ius Curia Novit, bahwa hakim dianggap tahu hukum dan telah memahami suatu perkara sehingga putusan hakim dari pembuktian dianggap sah secara hukum.
Selain itu ada pula teori pembuktian negatif yang menyatakan bahwa adanya ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu ketentuan yang mengikat harus membatasi pada larangan bagi hakim untuk melakukan sesuatu yang ber-hubungan dengan pembuktian. Dalam hal ini, hakim dilarang dengan pengecualian, misalnya dalam hal keterangan saksi bahwa apabila keterangan saksi hanya didapatkan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada alat bukti lain, tidak dapat dipercaya di dalam hukum (Pasal 169 HIR (306 Rbg).
Dalam menjatuhkan putusan, seorang hakim dipengaruhi oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Hakim tidak hanya mempertahankan nilai-nilai yang ada, tetapi secara dinamis menciptakan nilai-nilai yang baru atau merekayasa masyarakat sesuai dengan perkembangan jaman.6
Demikian juga halnya dalam pembuktian terhadap alat-alat bukti elektronik. Meskipun tidak diatur di dalam HIR, berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Secara formal, pengertian alat bukti elektronik pada dasarnya belum diatur dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana di Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR. Hakim memberikan suatu putusan hukum berdasarkan alat-alat bukti di persidangan yang sesuai dengan undang-undang. Dengan kata lain, meskipun hakim diberikan kebebasan dalam memutus suatu perkara di pengadilan, hakim juga terikat pada undang-undang yang mengharuskan seorang hakim mampu menyeimbangkan antara fakta yang terjadi di persidangan serta menghubungkannya dengan aturan-aturan yang ada dalam pembuktian yang terdapat di dalam hukum acara.
Alat-alat bukti yang tidak diatur dalam Pasal 164 HIR, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata merupa-kan hukum formil yang bersifat mengikat. Sebagai orang yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara dan dianggap sebagai orang yang dapat memberi vonnis van de rechter (keputusan Hakim), seorang Hakim diberikan keleluasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding), baik dengan cara melakukan interpretasi hukum (wetinterpretatie) maupun dengan meng-gali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.7
Walaupun Pasal 164 HIR hanya mengatur 5 alat bukti (tidak termasuk bukti elektronik), namun bila para pihak yang berperkara mengajukan bukti elektronik, maka Hakim wajib menerimanya sebagai alat bukti yang sah.8
Teori hukum lex specialis derogat lex generalis juga menjadi acuan hakim dalam mengakui alat-alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu undang-undang khusus mengenyampingkan undang-undang yang lama, Melalui UU ITE, berkaitan dengan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik, para hakim seharusnya dapat mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diatur di dalam HIR, tergantung bagaimana para pihak yang berperkara dapat mengajukan serta membuktikan alat bukti tersebut yang selanjutnya dapat diperlihatkan di hadapan hakim dalam persidangan.
IV.   PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
1.    Dalam praktik di Pengadilan pada umumnya, belum ada para pihak yang mengajukan alat bukti elektronik ke muka sidang, sehingga hakim perdata di Pengadilan Negeri Bandung pada khususnya juga belum ada yang memutuskan perkara yang mengakui alat bukti elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sama kekuatan pem-buktiannya dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR. Dengan kenyataan ini menunjukkan bahwa sengketa-sengketa perdata pada umum-nya di Pengadilan Negeri bukanlah sengketa yang berkaitan dengan bisnis dan bermuara dari transaksi elektronik.
2.    Alat-alat bukti yang tidak diatur dalam Pasal 164 HIR, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata merupakan hukum formil yang bersifat mengikat. Sebagai orang yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara dan dianggap sebagai orang yang dapat memberi vonnis van de rechter (keputusan Hakim), seorang hakim diberikan keleluasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding), baik dengan cara melakukan interpretasi hukum (wetinterpretatie) maupun dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori hukum lex specialis derogat lex generalis juga menjadi acuan hakim dalam mengakui alat-alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu undang-undang khusus mengenyampingkan undang-undang yang lama. Melalui UU ITE, berkaitan dengan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik, para hakim seharusnya dapat mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diatur di dalam HIR
B.  Saran:
1.    Agar segera diundangkan RUU Hukum Acara Perdata yang telah disusun sejak tahun 1987 untuk tercapainya kepastian hukum baik bagi hakim maupun bagi para pencari keadilan.
2.    Pengaturan tentang bukti elekronik sebagai alat bukti sebaiknya diatur secara formal dalam Hukum Acara Perdata yang baru, bukan dalam bentuk hukum materil, dalam hal ini UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Andar Purba, Laporan Akhir Tim Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Proses Hukum Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988.
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

Peraturan Perundang-undangan:

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

 

Undang-undang Nomor 11 Tahun 20008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sumber Lain:

Ade Agnesia, kekuataan Pembuktian Perjanjian Yang Dibuat Secara Elektronik Pada Pengadilan Perdata Berdasarkan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Skripsi, Fakultas Hukum Unpad, Agustus 2010.
Lintong Siahaan, Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi, varia Peradilan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006.

Catatan Akhir:
[1]Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Pustaka Kartini, Jakarta, 1988), hlm 55.
2 Subekti, Hukum Pembuktian, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1991), hlm 7.
3Andar Purba, Laporan Akhir Tim Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Proses Hukum Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia RI, 2004, hlm 69.
4bid, hlm 58.
5Idem
6Lintong Siahaan, Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi, varia Peradilan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006, hlm. 64.
7http://www.legalitas.org/database/artikel/ pidana/esign.pdf. Di-download pada hari  Selasa, 13 Juli 2010, pkl 23.17.
8Ade Agnesia, kekuataan Pembuktian Perjanjian Yang Dibuat Secara Elektronik Pada Pengadilan Perdata Berdasarkan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Skripsi, Fakultas Hukum Unpad, Agustus 2010, hlm 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar