HUKUM DAN
KEPENTINGAN MASYARAKAT
(Memosisikan Hukum sebagai
Penyeimbang
Kepentingan Masyarakat)
Eman Sulaiman
Fak. Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri
(UIN) Alauddin
Abstract: Although Indonesia has over
ten years into the
era of legal reform have not
favor the interests of the community.
Law is still loaded
with the interests of certain
parties like the
ruling. This is evident from the
product law for national and local regulations for local scale.
Reform of the law
enforcement officials running slow when compared with the
substance of the reform law.
This leads to the law can not act as a counterweight to the interests of society in order to realize justice and truth.
Kata Kunci: Hukum, Kepentingan Masyarakat
I.
PENDAHULUAN
Hukum dibentuk untuk menjaga
keseimbangan kepentingan masyarakat, sehingga tercipta ketertiban dan keadilan yang
dapat dirasakan oleh semua orang dalam masyarakat yang bersangkutan. Bahkan
dalam mazhab sejarah dinyatakan bahwa keseluruhan hukum sungguh-sunguh
terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah, di mana
akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Menurut
aliran utilitis (utilitarian-nisme) yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan me-minimalkan rasa
sakit dalam masyarakat.
Eksistensi
dan peranan hukum itu merupakan perwujudan lebih lanjut dari tujuan hakiki dari
setiap negara, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga
masyarakatnya. Menurut konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat), negara
harus ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan
warga masyarakat. Bahkan hukum pun harus ikut campur tangan dalam mengatur
penye-lenggaraan
berbagai upaya kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan ke-butuhan publik
lainnya.
Dalam
hukum terdapat asas everyone equal before the law (semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum). Ini berarti semua orang berhak mendapatkan
keadilan yang seyogyanya dijamin oleh hukum itu sendiri, sebab keadilan itu
merupakan inti dan hakikat hukum. Kepentingan warga negara terutama untuk
mendapatkan keadilan seyogyanya dijamin kelangsungannya oleh hukum yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam negara hukum yang
mencita-citakan keadilan telah dimainkan menjadi negara undang-undang yang menekankan
ketertiban semata.
Asas
tersebut di atas juga dianut oleh Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam pasal 27
ayat (1) yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudu-kannya di dalam
hukum dan pemerintahan, dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada penge-cualiannya. Ketentuan
dalam Undang-undang dasar ini jelas sekali, bahwa hukum tidak membeda-bedakan
semua warga negara dalam wilayah Republik Indonesia, meskipun kenyataannya ada
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Akan
tetapi dalam kenyataannya tidak selalu asas hukum tersebut di atas ter-laksana dengan
baik. Banyak hambatan yang menyebabkan asas hukum itu tidak terlaksana dengan
baik. Menyikapi kondisi yang demikian itu, Esmi Warassih mengatakan bahwa dalam kenyataannya
hukum sering disalahguhnakan terutama untuk mempertahankan status quo
dan kepentingan-kepentingan kelompok
ter-tentu.
Kecenderungan seperti ini semakin kuat disebabkan oleh paradigma pem-bangunan hukum
yang digunakan selama ini lebih berorietasi kepada kekuasaan.
Hasil
penelitian Rikky Ermawan Syahputra menunjukkan bahwa hukum itu ternyata
“bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada
peraturan yang ada, namun lebih dari itu, dari tahap peraturan itu dibuat sampai
pada peraturan itu selesai dan disahkan, ada terselip sesuatu yang bernama
“kepen-tingan” (orang
atau kelompok tertentu). Pada hakikatnya kehadiran hukum dalam masyarakat
adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengkoordinasian
kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melin-dungi
kepentingan-kepentingan tersebut. Namun pada kenyataannya kepentingan bersama
yang menjadi tujuan dari di-bentuknya hukum, dikalahkan oleh kepen-tingan yang mengatasnamakan pribadi
dan golongan.
Bertitik
tolak pada uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan,
yaitu mengapa hukum pada era reformasi ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai
penyeimbang dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
II.
PEMBAHASAN
A. Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Roscou
Pound yang merupakan pionir dari aliran sociological jurisprudences
berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu hubungan kemasyarakatan
yang berfungsi untuk memenuhi kebutu-han-kebutuhan sosial. Selanjutnya Roscou
Pound berpendapat bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering yang
terjemahannya hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk
membangun masyarakat.
Lebih
lanjut menurut Roscou Pound, pada saat terjadinya imbangan antara kepentingan
dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah keinginan hukum. Roscou Pound
menjadikan tiga peng-golongan
utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Pertama, public
interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dalam
tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai penjaga
dari kepentingan sosial. Kedua, kepenting orang-perorangan yang dibeda-kan oleh Roscou
Pound menjadi tiga kepentingan lagi, yakni; a) kepentingan pribadi (fisik,
kebebasan, kemauan, kehor-matan, privacy, kepercayaan dan pendapat), b) kepentingan-kepentingan
dalam hubu-ngan di rumah
tangga, dan c) kepentingan
mengenai harta benda. Ketiga, kepentingan sosial yang meliputi keamanan umum,
keamanan dari institusi-institusi sosial, moral umum, pengamalan sumber daya
sosial, kemajuan sosial dan kehidupan individual.
Fungsi
hukum lainnya yaitu hukum sebagai a tool of social control (fungsi hukum
sebagai alat pengendalian sosial). Fungsi hukum sebagai alat pengendalian
sosial maka hukum itu bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada
di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Di dalam
peranannya yang demikian ini, hukum hanya mem-pertahankan apa saja yang telah
menjadi sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat atau hukum sebagai
penjaga status quo, tetapi di luar itu hukum masih dapat menjalankan
fungsinya yang lain, yaitu denga tujuan utuk mengadakan perubahan-perubahan di
dalam masyarakat.
Selanjutnya,
fungsi hukum sebagai simbol, oleh L.B. Curzon (dalam Achmad Ali, mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah “involes the process whereby
persons consider in simpleterm the social relationships and other phenomena
arising from theri interaction...”(simbolis ini mencakup proses-proses
dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam
suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena
lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain). Contohnya dalam
hukum, seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud untuk memiliki,
dengan jalan melawan hukum, maka oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan
pencurian yang seyogyanya dihukum.
Berikutnya,
fungsi hukum sebagai alat politik, oleh Achmad Ali menge-mukakan bahwa
hukum (hukum tertulis) sebagai alat politik merupakan hal yang universal.
Apalagi dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka
peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar. Begitupun dalam
sistem hukum kita di Indonesia undang-undang adalah produk bersama antara dewan
perwakilan rakyat dengan pemerin-tah. Kenyataan ini tidak mungkin disangkal betapa para para
politiklah yang mem-produk
undang-undang (hukum tertulis).
Menurut
pandangan aliran realisme dalam filsafat bahwa hukum adalah produk pollitik.
Hukum tidak lahir dari ruang hampa sosial, hukum hasil kompromi politik. Oleh
karena itu, hukum menjadi salah satu alat bagi kepentingan politik. Jika hukum
dan politik berhadapan, maka hukum bisa dipastikan akan tersingkir. Suatu fakta
politik yang mengintervensi hukum menjadi pandangan determinan, bahwa hukum
adalah produk politik .
Selain keempat fungsi hukum tersebut di atas, hukum juga berfungsi
sebagai mekanisme untuk integrasi. Talcott Parson menempatkan hukum sebagai
salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum
terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda.
Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi. Budaya berkaitan
dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu harus
dipertahankan. Sub sitem ini berfungsi mempertahankan pola-pola ideal dalam
masyarakat. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule
of the game) fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala
penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut paut dengan
kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya dalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan
untuk mencapai tujuan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya material
yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Tugas sub sistem ekonomi adalah mejalankan fungsi adap-tasi berupa
kemampuan menguasai saran-sarana dan fasilitas utuk kebutuhan system.
B. Keberpihakan Hukum terhadap Kepentingan Tertentu
Di
Indonesia, posisi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan ber-masyarakat belum
berada pada tempat dan posisis yang semestinya. Hukum masih berada dalam
bayang-bayang politik dan kekuasaan. Sebuah kebijakan publik dari semua lapisan
kehidupan ini, termasuk dalam bidang pembangunan ekonomi, sangat dipengaruhi
oleh keompok-kelom-pok kepentingan tertentu. Besar kecil pengaruhnya ditentukan
oleh kesamaan paradigma hukum dari keompok kepen-tingan tersebut.
Menurut
Karl Marx bahwa hukum tidak lepas dari ekonomi. Selanjutnya menurut Karl Marx hukum
adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa peraturan di bidang
perburuhan cenderung menggellisahkan buruh? Hal ini karena hukum telah dikuasai
oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum menurut Karl Marx, bukanlah
keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong
belaka. Faktanya, hukum melayani “orang ber-punya”. Ia tidak lebih dari sarana
penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai dengan kepentingan
mereka. Hukum merupakan salah satu unsur ideologi kelas, dan karenanya menjadi
pemicu konflik. Bahkan merupakann faktor penyebab terjadinya alienasi.
Ralf
Dahrendorf menyatakan bahwa hukum itu kepentingan orang berkuasa. Mengapa
mimbar pengadilan acap kali merupakan panggung di mana lapisan masyarakat yang
satu mengadili lapisan yang lain? Hal ini karena adanya ketimpangan kekuasaaan.
Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Struktur sosial
sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. Di situ, terdapat dilkotomi
antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa
orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa
orang memiliki kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Hal ini karena yang
memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak
mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas.
Dalam
pandangan Marxian Kon-temporer (yang merupakan pelanjut dari teori Karl marx) yang
bertolak dari the class character of law, yang mengeritik dan menyatakan
tidak benar ideologi umum yang memandang hukum sebagai bagian nilai yang
diterima secara konsensus dan intersubjektif. Menurut mereka hukum itu bukan
lembaga yang objektif dan bukan pula institusi netral yang bebas nilai.
Lebih
lanjut dikatakannya, bahwa secara riil orang tunduk kepada hukum, bukan karena
nilai kemaslahatannya, tapi semata-mata karena kesadaran palsu (false
conciousness) yang berhasil ditanamkan oleh pengusaha dan penguasa. Aslinya
hukum itu, wujud aspirasi dan kepentingan kelas “orang berpunya.” yang merupakan
alat penindasan kelas borjuis. Oleh karenanya yang membungkus konflik kelas,
membungkus disquality dan disequili-birium.
Oleh karena hanya melayani kemauan kelas tertentu, maka hukum benar-benar
berfungsi sebagai alat kelas. Tekanan Maxian Kontemporer pada soal ini,
melahirkan teori instrumentalis tentang hukum. Hukum dilihat sebagai alat
dominasi, alat peniindasan dan penyebab penderitaan. Di mana-mana dalam
masyarakat yang dijalari ekonomi kapitalis, hukum hanya berwujud mekanisme dari
penindasan dan dominasi ideologi, alat bagi kelas “orang berpunya” dan sebagai
kontrol kepentingan politik serta ekonomi dan kelas tersebut. Di tangan
penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the
iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kain beludru).
Kiasan iron boxing merupakan realitas hukum, sementara kiasan velvet
glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum.
Keberpihakan
hukum terhadap kepentingan tertentu, juga dikemukakan oleh gerakan/aliran critical
legal studiesi atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan dengan studi
hukum kritis. Penganut aliran ini percaya bahwa logika dan struktur hukum
muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat. Kepentingan
hukum adalah untuk men-dukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yag membentuk hukum
ter-sebut. Dalam
kerangka pemikiran ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai
instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara
untuk mempertahankan kedudukannya. 0leh karena itu hukum hanya diperlukan
sebagai a collection of beliefs.
Ide
dasar gerakan/aliran critical legal studies ini bertumpu pada pemikiran bahwa
hukum tidak dapat dipisahkan dari
politik, dan hukum tidak bebas nilai atau netral, dengan kata lain hukum mulai
dari proses pembuatan sampai kepada pemberlakuan liberal legal order,
dibenntuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, pre-diktibilitas.
Perjuangan
dalam mencapai kemer-dekaan Indonesia, juga pada dasarnya untuk memperjuangkan
keadilan, sebab kurang lebih 350 tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda,
mengalami ketidak adilan. Hukum pada masa pemerintahan kolonial lebih memihak
kepada kepentingan penjajah dalam usahanya menguras kekayaan Indonesia. Sejak
kita bernegara hukum, tepatnya 18 Agustus 1945, “maka negara hukum Indonesia
yang dibentuk lewat UUD mengemban tugas amat berat, yaitu mewujudkan aman, agar
hidup rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia.
Sesungguhnya
jika secara detail dicermati, eksistensi negara hukum di dalamnya terkandung
peranan hukum sebagai penyeimbang kepentingan semua lapisan masyrakat. Apabila
Cicero mengatakan bahwa di mana ada masyrakat, di sana ada hukum, maka yang dia
bicarakan sesungguhnya adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia
memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia
hukum tidak dapat disebut sebagai hukum.
Menurut
Brian Z. Tamanaha (dalam Satjipto Rahardjo) negara hukum itu berkisar pada tiga
kelompok pengertian (cluster of meaning). Pertama; bahwa pemerintah itu
dibatasi oleh hukum. Dalam pemahaman yang pertama ini, negara hukum melindungi
masyarakat dari pene-kanan (oppression) oleh pemerintah, baik yang
bersifat komunitarian maupun individual, ia juga melindungi masyarakat dalam
keadaan pluralisme. Khususnya bagi negara-negara berkembang, seperti Indo-nesia, negara
hukum akan meindungi masyarakat dari transformasi suatu tipe barat ke dalam
Timur, yang memiliki kosmologi yang berbeda.
Kedua;
negara hukum dipahami secara legalitas formal. Di sini ia dipahami sebagai
sesuatu yang sangat bernilai (supremely valuable good), tetapi
belum tentu belum memiliki nilai
kemanusiaan yang bersifat universal (universal human good) pula. Di sini
orang tidak dapat berpikir bahwa peraturan sebagai inti dari legalitas forma,
berlaku untuk segala keadaan. Legalitas formal berjalan dengan baik pada ranah
kehidupan sosial, di mana dijumpai keadaan netral, seperti per-dagangan,
penghukuman terhadap orang yang melakukan kekerasan kriminal dan terhadap orang
yang mengganggu kepe-milikan
orang lain.
Namun,
legalitas formal menjadi tidak produktif apabila dihadapkan ke pada situasi
yang membutuhkan kehati-hatian, penilaian, kompromi atau pengambilan keputusan
dalam suatu konteks yang spesifik. Dikatakan oleh Tamanaha bahwa ketundukan
yang kaku terhadap peraturan hukum dapat menimbulkan keterasingan dan
perusakan, apabila hukum itu ber-benturan dengan faham masyarakat di
sekelilingnya.Ini terjadi apabila masyarakat sangat kuat berpegangan pada
nilai-nilai kebersamaan (communtahan values) dan menghendaki agar
keadilan didasarkan kepada nilai-nilai tersebut. Lagi-lagi Tamanaha berpendapat
bahwa ketegangan seperti itu akan timbul manakala sejumlah besar hukum dan
lembaga hukum didatangkan dari luar.
Ketiga;
adalah pengaturan yang didasarkan pada hukum (rule of law), bukan pada
orang (rule of man). Menurut Tamanaha, keadaan tersebut dapat dicapai
manakala dapat dicapai keseimbangan antara keduanya, yang intinya dalam
pengendalian diri (self-restraint). Apa yang dikatakan Brian Z. Tamanaha
tersebut, khususnya pada bagian ketiga semakin memperjelas bahwa posisi hukum
itu dalam masyrakat adalah sebagai penyeimbang kepentingn seluruh anggota
masyarakat tanpa kecuali.
Bahkan
bagi Geny sebagai penganut teori etis
mengatakan bahwa hukum semata-mata bertujuan keadilan. Lebih lanjut
dikatakan hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau
tindakan yang mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif
(subyektif untuk kepentingan keompoknya, golonganntya dan sebagainya) melebihi
norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang
memperlakukan dan pihak yang menerima perakuan orang tua dan anaknya, majikan
dan buruh, hakim dan yustisiabel, pemerintah dan warganya serta kereditur dan
debitur.
Dalam berhukum keadilan dan kebernaran menjadi simbol dari kemanu-siaan. Dengan
demikian menempatkan kemanusiaan sebagai awal dari hukum sama artinya dengan
menempatkan keadilan di puncak kehidupan hukum. Kemanusiaan dan keadilan
menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat
“hukum untuk manusia” bermankna juga “hukum untuk keadilan” ini berarti,
bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Dalam berhukum di Indonesia
tertutama pada era Orde Baru, faktor kemanusiaan dan keadilan belum merupakan
tema sentral. Dalam praktiknya, hukum masih merupa-kan alat kekuasaan.
C. Posisi Hukum yang Semestinya dalam Masyarakat
Pekerjaan
rumah yang masih harus dikerjakan oleh Indonesia sebagai suatu negara hukum
adalah bagaimana agar hukum itu membumi, artinya sungguh-sungguh dapat
menyejahterakan masyrakat dan yang pada akhirnya menyadari bahwa kita bernegara
hukum untuk membuat rakyat merasa bahagian hidup dalam negara hukum Indonesia.
Unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara, karena secara konkret
rakyatlah yang memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik.
Harus
disadari bahwa memposisikan hukum sungguh-sungguh sebagai penyeim-bang
kepentingan manusia Indoensia sangat tergantung dari kemauan politik (political
will) pemerintahnya (dalam hal ini pemerintah Indoensia) yang baik dan berpihak
kepada semua manusia Indonesia. Pemerintah dalam hal ini mulai dari pemerintah
pusat sampai dengan pemrintah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/ kota.
Tentu yang diharapkan adalah adanya pemerintah yang baik, yaitu pemerintah
berpihak kepada rakyatnya dan hal tersebut harus terlihat dalam undang-undang
yang dibuat, yaitu undang-undang yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyatnya. Untuk pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota
keberpihakan itu harus terlihat dari pertauran daerah yang dapat memberdayakan
kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya.
Pemerintahan
yang baik sering diterjemahkan dengan “Good Government” yaitu suatu
kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh
pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swasta.
Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutamakan
kepentingannya, mengguna-kan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan di antara mereka.
Indikator
pemerintahan yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan
indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, baik dalam aspek produktivitas
maupun dalam daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat
dengan indikator rasa aman, tenang dan bahagia serta sense of nationality
yang baik.
Dalam
katian dengan undang-undang yang berpihak kepada masyrakat harus juga dicermati
proses pembuatannya yang matang. Hasil penelitian Gunnar Myrdai (1970) di
negara-negar berkembang menyimpulkan faktor yang berdiri di belakang kelembekan
suatu negara atau ketidak disiplinan sosia yang meluas itu, yaitu
perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation).
Perundang-undangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasikan
masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan masyarakat yang umumnya
diwarisi, yaitu otoritarianisme, paternalisme, partikula-risme dan
banyak ketidakteraturan lainnya.
Perundang-undangan tersebut
dimak-sudkan untuk
melindungi kepentingan rakya banyak yang sengsara, tatapi yang tidak memberikan
hasil yang banyak seperti tercantum pada maksud dikeluarkannya peraturan tersebut.
Hal
yang menarik dari penelitian Gunnar Myrdai itu adalah bahwa Indonesia pernah
juga mengalami yang namanya perundang-undanganyang terburu-buru (sweeping
legislation), menurut peng-amatan penyusun makalah ini, ketika masa presiden B.J. Habibie
disebut-sebut sebagai presiden yang paling produktif lam menghasilkan
udnang-undang, pada hal hanya menjabat presiden kurang lebih 16 bulan. Demikian
juga DPRI RI masa bakti 1999-2004 disebut-sebut sebagai DPR yang paling
produktif menghasilkan undang-undang. Pertanyaan yang tersisa adalah apakah
semua produk peraturan perundang-undangan tersebut berpihak kepada kepentingan
masyarakat secara luas. Pasca produk peraturan peraturan perundang-undangan
yang segudang itu, yang trjadi adalah kepentingan masyrakat kelompok marginal
dan kelompok miskin tetap terabaikan. Kondisi mereka secara ekonomi, sosial dan
budaya tidak beranjak. Mereka tetap menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia
(HAM), setidak-tidaknya hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan
budaya.
Dalam
pandangan Satjipto hukum itu dapat dilihat sebagai indstitusi sosial. Arinya,
dengan mengidentifikasi hukum sebagai institusi sosial, maka kita akan
mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga
bagaimana ia menjalankan fungsi-fusngsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya,
seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat.
Di
sini, hukum harus berfungsi ganda. Di satu sisi berguas menjamin kebebaan
individu untuk meraih tujuan dirinya, yakni mengejar kemanfaatan dan
menghindari kerugian. Di lain sisi, hukum memikul tugas untuk mengorganisir
tujuan dan kepentingan individu, agar terkait serasi dengan kepentingan orang
lain. Tekanan Rudolf
von Jhering (1818-1892) pada kepentingan sebagai sesuatu yang menentukan dalam
hukum, khusunya kepentingan masyarakat, mengantar dia pada interessenfrisprudenz.
Kepentingan masyarakatlah yang menjadi inti hukum. Lalu apa yang menjadi
kepentingan masyarakat itu? Menurut Jhering, ada empat kepentingan, baik yang
egoistis maupun yang bersifat moral. Yang bersifat egoistis adalah pahala dan
manfaat. Ini biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang moralitas
adalah ke-wajiban dan
cinta. Jadi, hukum bertugas menata secara seimbang
dan serasi antar kepentingan-kepentingan
tersebut.
Roscou
Pound merumuskan ada 12 (duabelas) tujuan hukum. Salah satunya mengatakan,
hukum dipahamkan orang sebagai sehimpunan atau sistem khaisdah yang dipikukan
atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara,
buat memajukan kepen-tingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar
maupun tidk sadar. Lebih lanjut dikatakan, interprestasi ekonomis dari hukum
ini banyak bentukntya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya
adalah pengembangan satu gagasan ekonomi yang tidak dapat dihindarkan. Di dalam
satu bentuk sosiologis-mekanis, pikirannya dihadapkan kepad perjuangan kelas
atau satu per-juangan untuk hidup di lapangan per-ekonomian, dan hukum adalah
akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan
perjuangan serupa itu. Di dalam bentuk positivistis-analitis, hukum dipandang
sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang
ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya
ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri.
Eksistensi
dan peranan hukum sesungguhnya merupakan perwujudan lebih lanjut dari, tujuan berdirinya
negara. Tujuan hakiki dari setiap negara dalah menciptakan kesejahteraan dan
keamanan bagi warga-nya.
Untuk mencapai tujuan ini, adalah pemerintah yang harus melakukan per-lindungan dan
pengaturan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.
Perlindungan
dan pengaturan ter-hadap
negara dan khususnya kegiatan-kegiatan masyarakat selanjutnya dituangkan dalam
undang-undang sebagai panduan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
masyarakat. Idealnya hukum yang diciptakan itu berpihak kepada kepentingan
masyrakat sehingga tercipta keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang oleh
Satjipto Rahadjo lebih cenderung meng-gunakan istilah kepastian undang-undang dari pada kepastian hukum.
Untuk
mewujudkan tujuan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Jeremy Bentham, John
Stuart Mill dan di Indonesia Satjipto Rahadjo yaitu untuk kebahagiaan
masyarakat, maka harus dilakukan refor-masi hukum untuk mengatasi krisis hukum
yang sedang terjadi di Indonesia. Reformasi belum mampu membenahi aparat
penegak hukum dan menghasilkan peraturan hukum yang lebih adil.
Bagi
Indonesia perlu memperkuat politik hukumnya, aga hukum nasional tidak tergias
begitu saja oleh berbgai instrumen international. Mengacu pada pendapat Moch.
Mahfud MD yang mengatakan bahwa politik hukum adalah legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang
meliputi pem-bangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk pengegasan fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum merupakan pedoman dalam menyikapi era globalisasi. Dengan
demikian, politik hukum dapat dikatakan sebagai kebijakan negara untuk mem-bangun sistem
hukum yang akan diber-lakukan di masa sekarang maupun masa mendatang sesuai dengan
kebutuhannya. Masa sekarang yang dimaksud adalah masa ketika bangsa-bangsa di
dunia dihadapkan pada globalisasi. Wujud konkrit dari politik hukum adalah arti
sempit adalah pem-bentukan
kelembagaan dan pranata hukum-nya mengenai suatu hal tertentu dan khusus.
Hukum
merupakan sisterm berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan suatu kesatuan yang
utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan
erat satu sama lain. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa sistem hukum adalah
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama
lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.kesatuan tersebut
diterapkan terhdap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asa
hukum dan pengertian hukum.lebih lanjut dikatakan bahwa masing-masing bagian
harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dan dengan
keseluruhannya, seperti gambar mozaik yaitu suatu gambar yang dipotong-potong
menjadi bagian kecil-kecil untuk kemudian dihubungkan lagi sehingga tampak utuh
kembali gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas
hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengkait dengan bagian lainnya.Tiap
bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan. Di dalam kesatuan itu tidak
dikehendaki adanya konflik, pertentangan atau kontradiksi antar bagian. Kalau
sampai terjadi konflik, maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem hukum
itu sendiri.
Dalam
kaitan dengan peranan hukum Indonesia di era globalisasi yang tengah kita hadapi,
maka gagasan hukum progresif dapat dijadikan acuan. Gagasan hukum dan ilmu
hukum progresif pertam-tama di dasari oleh keprihatinan terhadap kontribusi ren-dah
ilmu hukum di Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa ini untuk kelaur dari
krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Tetapi ilmu hukum progresif tidak bisa
hanya dikaitkan pada keadaan sesaat tersebut. Ilmu hukum progrresif melampui
pikiran sesaat dan arena itu juga memiliki nilai ilmiah tersendiri, artinya ia
bisa diproyeksikan dan dibicarakan dalam konteks keilmuan secara universal.
Karena itu, ilmu hukum progresif dihadapkan kepada dua medan (front)
yaitu Indonesia dan dunia.
Ilmu
hukum tidak bisa bersifat steril dan mengisolasikan diri dari sekalian
perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada dasarnya harus selalu mampu
memberikan pencerahan terhadap komunitas yang dilayani. Untuk memenuhi peran
itulah, maka ilmu hukum dituntut untuk menjadi progresif. Ilmu hukum normati
dan berbasis negara dan pikiran abaad sembilan belas misalnya, niscaya tidak
akan berhasil mencerahkan masyarakat abad ke-dua pulun dengan sekalian
perubahan dan perkembangannya.
Sebagaimana
dikatakan Soetanyo Wignjosoebroto, bahwa dalam kehidupan berskala global dewasa
ini yang akan terwujud adalah sautu global society yang justru tidak akan
bergerak ke sautu keragaman. Global society bukanlah suatu global
state yang terkontrol secara sentral. Global state lebih tepat kalau
dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang bisa disebut a global economy.
Global society menyaksikan terbebaskannya jutaan manusia dari
ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang pada waktu yang lalu dikembangkan
sebagai mekanisme kontrol di tangan sentral pengausa-penguasa negara. Sementara
itu, perkembangannya sebagai global economy telah membuka berbagai perbatasan
yang teritorial maupun kultural.
Dalam
hal ini, mengingat kebenaran yang dikatakan John Naisbitt bahwa the bigger the economy, the
more powerfull it’s smallest players..., to create the new rules the expanding
global economic orcfer, maka di tengah sistem ekonomi yang semakin
mengglobal dan tiadanya global state yang memegang kekuasaan pengatur
yang sentral ini akan terjadilah otonomi pengaturan pada skala mikro, untuk
kalangan sendiri.
Di
sini hukum serba baku dan dibuat oleh kekuasaan-kekuasaan sentral yang boleh
diduga (sekalipun dalam rentang waktu yang sulit dikatakan) akan semakin
berkurang, sedangkan kesempatan-kesem-patan kontraktual de novo,
khususnya antar kontraktor yang bukan negara (non-state-actors) akan
lebih banyak terjadi. Jika kemudian terjadi silang sengketa dalam hubungan
kontraktuai yang tiak bersanksi hukum negara itu, penyelesaian akan dilakukan
lewat alternative sipute resolution, mulai dari yang bermodel
renegosiasi atau mediasi sampai pada arbitrasi. Alternatif penyelesaian sengketa
di luar pengadilan seperti itu mulai banyak dipilih daripada
penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan
peradilan nasional. Car adjudikasi lewat badan-badan peradilan yang biasanya
kental dengan berbagai acara yang serba formal dan prosedur serta banyak makan
waktu, boleh diduga akan banyak mundur untuk akhirnya digantikan oleh cara-cara
penyelesaian yang lebih luwes. Intinya bahwa saat era globalisasi ini, suatu
persoalan hidup yang dipandang relevan sebagai urusan hukum tidak hanya akan
menjadi obyek aturan hukum negara tetapi juga akan diintervensi oleh berbagai
macam norma lain mulai dan moral dan tradisi setempat sampai pada konvensi dan
kovenan internasional.
Globalisasi
dan pengaruhnya pada kehidupan hukum yang kini semakin sulti dikontrol oleh
kekuasaan sentral negara nsional telah mengundang perhatian serius dari
berbagai kancah, mulai transnasional, nasional, dan juga sub naisonal. Ketika
negara-negar nasional terpaksa banyak ebyuka batasan-batasannya dan perubahan-perubahan
kehidupan ekonomi yang berimbas ke kehidupan politik, sosial, dan kultural
telah meningkatkan jumlah manusia berikut die dan ideologi yang melintasi
berbagai sekatan, masalah penataan tertib, dan kekuasaan struktural penertibnya
akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan.
Dengan
demikian, eksistensi globali-sasi khususnya di bidang hukum memaksa kita sebagai suatu negara
untuk melakukan perubahan-perubahan atau reformasi ter-hadap hukum nnasional sehingga tetap
memegang peranan penting dalam pem-bangunan nasional di tengah era globalisasi dunia. Peranan penting
hukum dalam pembangunan nasional yang ukuran keberhasilannya adalah hukum dapat
menciptakan keseahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Meskipun
Indonesia sudah sepuluh tahun memasuki era reformasi hukum belum berpihak
kepada kepentingan masyarakat. Hukum masih sarat dengan kepentingan-kepentingan
pihak tertentu seperti penguasa da pegusaha. Hal ini terlihat dari produk
undang-undang untuk skala nasional dan peraturan daerah untuk skala lokal.
2.
Reformasi
terhadap aparatur penegak hukum berjalan lambat jika dibanding-kan dengan
reformasi terhadap substansi hukum. Hal ini menyebabkan hukum tidak dapat
berperan sebagai penyeim-bang kepentingan masyarakat dalam upaya merealisasikan keadilan dan
kebenaran.
B. Saran
Disarankan
kepada pihak-pihak yang berwenang, agar dalam membentuk undang-undang tidaklah
berorientasi politik, kekuasaan, kepentingan “orang berpunya”, tapi
sungguh-sungguh tidak merealisasikan dan melaksanakan untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat. Begitupun dalam reformasi penegakan hukum, agar tidak
tebang pilih.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-qur’an Al-karim
Achmad Ai, 1996, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : Tarsif
Wetampoul.
Ahmad Gunawan dkk., 2006, Menggagas Hukum Progresif Indonesia,
Yogyakarta.
Chris Verdiansyah, 2007, Membonkgar Budaya, Visi Indonesia 2030
Tantangan Menuju Raksasa Dunia, Jakarta : Penerbit Kompas.
Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:
Suryandaru Utama.
Leden Marpang, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh.
Cet. 3, Jakarta:
Mahfud M.D., 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
Yogyakarta.
Samodra Wibawa, 2005, Reformasi Birokrasi, Bunga Rampai
Administrasi Negara/Publik, Yogyakarta: Gaya Media.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. VI, Bandung :
Citra Aditya Bhakti.
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam jagat Ketertiban,
Jakarta: UIN Press
Satjipto Rahardjo, 2008, Saatnya Indonesia Bangkit, Artikel
dalam Harian Kompas.
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Cet. II, Jakarta : Kompas.
Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum, Rencana, Pembebasan dan
Pencerahan: jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat,
Yogyakarta: Genta Press
Soetadyo Wignyosubroto, 2007, Hukum dan Masyarakat (Perkembangan
dalam Masyarakat, sebuah pengantar ke arah Kajian Sosiologi Hukum), Malang:
Bayu Media Publishing.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Cet. II, Yogyakarta.
Theo Huijbus, 1999, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kansius.
Wahyuddin
Husen, 2008, Hukum, Politik dan Kepentingan, Yogyakarta: Laksmana.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar