Kamis, 22 Januari 2015

HUKUM DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT (Memosisikan Hukum sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat)



HUKUM DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT
(Memosisikan Hukum sebagai Penyeimbang
Kepentingan Masyarakat)
Eman Sulaiman
Fak. Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin
Abstract: Although Indonesia has over ten years into the era of legal reform have not favor the interests of the community. Law is still loaded with the interests of certain parties like the ruling. This is evident from the product law for national and local regulations for local scale. Reform of the law enforcement officials running slow when compared with the substance of the reform law. This leads to the law can not act as a counterweight to the interests of society in order to realize justice and truth.
Kata Kunci: Hukum, Kepentingan Masyarakat



I.     PENDAHULUAN
Hukum dibentuk untuk menjaga keseimbangan kepentingan masyarakat,  sehingga tercipta ketertiban dan keadilan yang dapat dirasakan oleh semua orang dalam masyarakat yang bersangkutan. Bahkan dalam mazhab sejarah dinyatakan bahwa keseluruhan hukum sungguh-sunguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Menurut aliran utilitis (utilitarian-nisme) yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan me-minimalkan rasa sakit dalam masyarakat.
Eksistensi dan peranan hukum itu merupakan perwujudan lebih lanjut dari tujuan hakiki dari setiap negara, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga masyarakatnya. Menurut konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat), negara harus ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan warga masyarakat. Bahkan hukum pun harus ikut campur tangan dalam mengatur penye-lenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan ke-butuhan publik lainnya.
Dalam hukum terdapat asas everyone equal before the law (semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum). Ini berarti semua orang berhak mendapatkan keadilan yang seyogyanya dijamin oleh hukum itu sendiri, sebab keadilan itu merupakan inti dan hakikat hukum. Kepentingan warga negara terutama untuk mendapatkan keadilan seyogyanya dijamin kelangsungannya oleh hukum yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam negara hukum yang mencita-citakan keadilan telah dimainkan menjadi negara undang-undang yang menekankan ketertiban semata.
Asas tersebut di atas juga dianut oleh Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudu-kannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada penge-cualiannya. Ketentuan dalam Undang-undang dasar ini jelas sekali, bahwa hukum tidak membeda-bedakan semua warga negara dalam wilayah Republik Indonesia, meskipun kenyataannya ada lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu asas hukum tersebut di atas ter-laksana dengan baik. Banyak hambatan yang menyebabkan asas hukum itu tidak terlaksana dengan baik. Menyikapi kondisi yang demikian itu, Esmi Warassih mengatakan bahwa dalam kenyataannya hukum sering disalahguhnakan terutama untuk mempertahankan status quo dan kepentingan-kepentingan kelompok ter-tentu. Kecenderungan seperti ini semakin kuat disebabkan oleh paradigma pem-bangunan hukum yang digunakan selama ini lebih berorietasi kepada kekuasaan.
Hasil penelitian Rikky Ermawan Syahputra menunjukkan bahwa hukum itu ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada peraturan yang ada, namun lebih dari itu, dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada peraturan itu selesai dan disahkan, ada terselip sesuatu yang bernama “kepen-tingan” (orang atau kelompok tertentu). Pada hakikatnya kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengkoordinasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melin-dungi kepentingan-kepentingan tersebut. Namun pada kenyataannya kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari di-bentuknya hukum, dikalahkan oleh kepen-tingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.
Bertitik tolak pada uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu mengapa hukum pada era reformasi ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai penyeimbang dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
II.       PEMBAHASAN
A.  Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Roscou Pound yang merupakan pionir dari aliran sociological jurisprudences berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu hubungan kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutu-han-kebutuhan sosial. Selanjutnya Roscou Pound berpendapat bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering yang terjemahannya hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk membangun masyarakat.
Lebih lanjut menurut Roscou Pound, pada saat terjadinya imbangan antara kepentingan dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah keinginan hukum. Roscou Pound menjadikan tiga peng-golongan utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Pertama, public interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial. Kedua, kepenting orang-perorangan yang dibeda-kan oleh Roscou Pound menjadi tiga kepentingan lagi, yakni; a) kepentingan pribadi (fisik, kebebasan, kemauan, kehor-matan, privacy, kepercayaan dan pendapat), b) kepentingan-kepentingan dalam hubu-ngan di rumah tangga, dan c) kepentingan mengenai harta benda. Ketiga, kepentingan sosial yang meliputi keamanan umum, keamanan dari institusi-institusi sosial, moral umum, pengamalan sumber daya sosial, kemajuan sosial dan kehidupan individual.
Fungsi hukum lainnya yaitu hukum sebagai a tool of social control (fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial). Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial maka hukum itu bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Di dalam peranannya yang demikian ini, hukum hanya mem-pertahankan apa saja yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo, tetapi di luar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain, yaitu denga tujuan utuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Selanjutnya, fungsi hukum sebagai simbol, oleh L.B. Curzon (dalam Achmad Ali, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah “involes the process whereby persons consider in simpleterm the social relationships and other phenomena arising from theri interaction...”(simbolis ini mencakup proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain). Contohnya dalam hukum, seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud untuk memiliki, dengan jalan melawan hukum, maka oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum.
Berikutnya, fungsi hukum sebagai alat politik, oleh Achmad Ali menge-mukakan bahwa hukum (hukum tertulis) sebagai alat politik merupakan hal yang universal. Apalagi dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar. Begitupun dalam sistem hukum kita di Indonesia undang-undang adalah produk bersama antara dewan perwakilan rakyat dengan pemerin-tah. Kenyataan ini tidak mungkin disangkal betapa para para politiklah yang mem-produk undang-undang (hukum tertulis).
Menurut pandangan aliran realisme dalam filsafat bahwa hukum adalah produk pollitik. Hukum tidak lahir dari ruang hampa sosial, hukum hasil kompromi politik. Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu alat bagi kepentingan politik. Jika hukum dan politik berhadapan, maka hukum bisa dipastikan akan tersingkir. Suatu fakta politik yang mengintervensi hukum menjadi pandangan determinan, bahwa hukum adalah produk politik .
Selain keempat fungsi hukum tersebut di atas, hukum juga berfungsi sebagai mekanisme untuk integrasi. Talcott Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi. Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu harus dipertahankan. Sub sitem ini berfungsi mempertahankan pola-pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game) fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya dalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya material yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Tugas sub sistem ekonomi  adalah mejalankan fungsi adap-tasi berupa kemampuan menguasai saran-sarana dan fasilitas utuk kebutuhan system.
B.  Keberpihakan Hukum terhadap Kepentingan Tertentu
Di Indonesia, posisi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan ber-masyarakat belum berada pada tempat dan posisis yang semestinya. Hukum masih berada dalam bayang-bayang politik dan kekuasaan. Sebuah kebijakan publik dari semua lapisan kehidupan ini, termasuk dalam bidang pembangunan ekonomi, sangat dipengaruhi oleh keompok-kelom-pok kepentingan tertentu. Besar kecil pengaruhnya ditentukan oleh kesamaan paradigma hukum dari keompok kepen-tingan tersebut.
Menurut Karl Marx bahwa hukum tidak lepas dari ekonomi. Selanjutnya menurut Karl Marx hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa peraturan di bidang perburuhan cenderung menggellisahkan buruh? Hal ini karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum menurut Karl Marx, bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani “orang ber-punya”. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai dengan kepentingan mereka. Hukum merupakan salah satu unsur ideologi kelas, dan karenanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakann faktor penyebab terjadinya alienasi.
Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa hukum itu kepentingan orang berkuasa. Mengapa mimbar pengadilan acap kali merupakan panggung di mana lapisan masyarakat yang satu mengadili lapisan yang lain? Hal ini karena adanya ketimpangan kekuasaaan. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Struktur sosial sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. Di situ, terdapat dilkotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Hal ini karena yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas.
Dalam pandangan Marxian Kon-temporer (yang merupakan pelanjut dari teori Karl marx) yang bertolak dari the class character of law, yang mengeritik dan menyatakan tidak benar ideologi umum yang memandang hukum sebagai bagian nilai yang diterima secara konsensus dan intersubjektif. Menurut mereka hukum itu bukan lembaga yang objektif dan bukan pula institusi netral yang bebas nilai.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa secara riil orang tunduk kepada hukum, bukan karena nilai kemaslahatannya, tapi semata-mata karena kesadaran palsu (false conciousness) yang berhasil ditanamkan oleh pengusaha dan penguasa. Aslinya hukum itu, wujud aspirasi dan kepentingan kelas “orang berpunya.” yang merupakan alat penindasan kelas borjuis. Oleh karenanya yang membungkus konflik kelas, membungkus disquality dan disequili-birium. Oleh karena hanya melayani kemauan kelas tertentu, maka hukum benar-benar berfungsi sebagai alat kelas. Tekanan Maxian Kontemporer pada soal ini, melahirkan teori instrumentalis tentang hukum. Hukum dilihat sebagai alat dominasi, alat peniindasan dan penyebab penderitaan. Di mana-mana dalam masyarakat yang dijalari ekonomi kapitalis, hukum hanya berwujud mekanisme dari penindasan dan dominasi ideologi, alat bagi kelas “orang berpunya” dan sebagai kontrol kepentingan politik serta ekonomi dan kelas tersebut. Di tangan penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kain beludru). Kiasan iron boxing merupakan realitas hukum, sementara kiasan velvet glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum.
Keberpihakan hukum terhadap kepentingan tertentu, juga dikemukakan oleh gerakan/aliran critical legal studiesi atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan dengan studi hukum kritis. Penganut aliran ini percaya bahwa logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah untuk men-dukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yag membentuk hukum ter-sebut. Dalam kerangka pemikiran ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. 0leh karena itu hukum hanya diperlukan sebagai a collection of beliefs.
Ide dasar gerakan/aliran critical legal studies ini bertumpu pada pemikiran bahwa  hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan hukum tidak bebas nilai atau netral, dengan kata lain hukum mulai dari proses pembuatan sampai kepada pemberlakuan liberal legal order, dibenntuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, pre-diktibilitas.  
Perjuangan dalam mencapai kemer-dekaan Indonesia, juga pada dasarnya untuk memperjuangkan keadilan, sebab kurang lebih 350 tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, mengalami ketidak adilan. Hukum pada masa pemerintahan kolonial lebih memihak kepada kepentingan penjajah dalam usahanya menguras kekayaan Indonesia. Sejak kita bernegara hukum, tepatnya 18 Agustus 1945, “maka negara hukum Indonesia yang dibentuk lewat UUD mengemban tugas amat berat, yaitu mewujudkan aman, agar hidup rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia.
Sesungguhnya jika secara detail dicermati, eksistensi negara hukum di dalamnya terkandung peranan hukum sebagai penyeimbang kepentingan semua lapisan masyrakat. Apabila Cicero mengatakan bahwa di mana ada masyrakat, di sana ada hukum, maka yang dia bicarakan sesungguhnya adalah hukum yang hidup di tengah-tengah  masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum.
Menurut Brian Z. Tamanaha (dalam Satjipto Rahardjo) negara hukum itu berkisar pada tiga kelompok pengertian (cluster of meaning). Pertama; bahwa pemerintah itu dibatasi oleh hukum. Dalam pemahaman yang pertama ini, negara hukum melindungi masyarakat dari pene-kanan (oppression) oleh pemerintah, baik yang bersifat komunitarian maupun individual, ia juga melindungi masyarakat dalam keadaan pluralisme. Khususnya bagi negara-negara berkembang, seperti Indo-nesia, negara hukum akan meindungi masyarakat dari transformasi suatu tipe barat ke dalam Timur, yang memiliki kosmologi yang berbeda.
Kedua; negara hukum dipahami secara legalitas formal. Di sini ia dipahami sebagai sesuatu yang sangat bernilai (supremely valuable good), tetapi belum  tentu belum memiliki nilai kemanusiaan yang bersifat universal (universal human good) pula. Di sini orang tidak dapat berpikir bahwa peraturan sebagai inti dari legalitas forma, berlaku untuk segala keadaan. Legalitas formal berjalan dengan baik pada ranah kehidupan sosial, di mana dijumpai keadaan netral, seperti per-dagangan, penghukuman terhadap orang yang melakukan kekerasan kriminal dan terhadap orang yang mengganggu kepe-milikan orang lain.
Namun, legalitas formal menjadi tidak produktif apabila dihadapkan ke pada situasi yang membutuhkan kehati-hatian, penilaian, kompromi atau pengambilan keputusan dalam suatu konteks yang spesifik. Dikatakan oleh Tamanaha bahwa ketundukan yang kaku terhadap peraturan hukum dapat menimbulkan keterasingan dan perusakan, apabila hukum itu ber-benturan dengan faham masyarakat di sekelilingnya.Ini terjadi apabila masyarakat sangat kuat berpegangan pada nilai-nilai kebersamaan (communtahan values) dan menghendaki agar keadilan didasarkan kepada nilai-nilai tersebut. Lagi-lagi Tamanaha berpendapat bahwa ketegangan seperti itu akan timbul manakala sejumlah besar hukum dan lembaga hukum didatangkan dari luar.
Ketiga; adalah pengaturan yang didasarkan pada hukum (rule of law), bukan pada orang (rule of man). Menurut Tamanaha, keadaan tersebut dapat dicapai manakala dapat dicapai keseimbangan antara keduanya, yang intinya dalam pengendalian diri (self-restraint). Apa yang dikatakan Brian Z. Tamanaha tersebut, khususnya pada bagian ketiga semakin memperjelas bahwa posisi hukum itu dalam masyrakat adalah sebagai penyeimbang kepentingn seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali.
Bahkan bagi Geny sebagai penganut teori etis  mengatakan bahwa hukum semata-mata bertujuan keadilan. Lebih lanjut dikatakan hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan yang mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif (subyektif untuk kepentingan keompoknya, golonganntya dan sebagainya) melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perakuan orang tua dan anaknya, majikan dan buruh, hakim dan yustisiabel, pemerintah dan warganya serta kereditur dan debitur.
Dalam berhukum keadilan dan kebernaran menjadi simbol dari kemanu-siaan. Dengan demikian menempatkan kemanusiaan sebagai awal dari hukum sama artinya dengan menempatkan keadilan di puncak kehidupan hukum. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk manusia” bermankna juga “hukum untuk keadilan” ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Dalam berhukum di Indonesia tertutama pada era Orde Baru, faktor kemanusiaan dan keadilan belum merupakan tema sentral. Dalam praktiknya, hukum masih merupa-kan alat kekuasaan.
C.  Posisi Hukum yang Semestinya dalam Masyarakat
Pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan oleh Indonesia sebagai suatu negara hukum adalah bagaimana agar hukum itu membumi, artinya sungguh-sungguh dapat menyejahterakan masyrakat dan yang pada akhirnya menyadari bahwa kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagian hidup dalam negara hukum Indonesia. Unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara, karena secara konkret rakyatlah yang memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik.
Harus disadari bahwa memposisikan hukum sungguh-sungguh sebagai penyeim-bang kepentingan manusia Indoensia sangat tergantung dari kemauan politik (political will) pemerintahnya (dalam hal ini pemerintah Indoensia) yang baik dan berpihak kepada semua manusia Indonesia. Pemerintah dalam hal ini mulai dari pemerintah pusat sampai dengan pemrintah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/ kota. Tentu yang diharapkan adalah adanya pemerintah yang baik, yaitu pemerintah berpihak kepada rakyatnya dan hal tersebut harus terlihat dalam undang-undang yang dibuat, yaitu undang-undang yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Untuk pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota keberpihakan itu harus terlihat dari pertauran daerah yang dapat memberdayakan kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya.
Pemerintahan yang baik sering diterjemahkan dengan “Good Government” yaitu suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutamakan kepentingannya, mengguna-kan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan di antara mereka.
Indikator pemerintahan yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, baik dalam aspek produktivitas maupun dalam daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan indikator rasa aman, tenang dan bahagia serta sense of nationality yang baik.
Dalam katian dengan undang-undang yang berpihak kepada masyrakat harus juga dicermati proses pembuatannya yang matang. Hasil penelitian Gunnar Myrdai (1970) di negara-negar berkembang menyimpulkan faktor yang berdiri di belakang kelembekan suatu negara atau ketidak disiplinan sosia yang meluas itu, yaitu perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation). Perundang-undangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasikan masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan masyarakat yang umumnya diwarisi, yaitu otoritarianisme, paternalisme, partikula-risme dan banyak ketidakteraturan lainnya.
Perundang-undangan tersebut dimak-sudkan untuk melindungi kepentingan rakya banyak yang sengsara, tatapi yang tidak memberikan hasil yang banyak seperti tercantum pada maksud dikeluarkannya peraturan tersebut.
Hal yang menarik dari penelitian Gunnar Myrdai itu adalah bahwa Indonesia pernah juga mengalami yang namanya perundang-undanganyang terburu-buru (sweeping legislation), menurut peng-amatan penyusun makalah ini, ketika masa presiden B.J. Habibie disebut-sebut sebagai presiden yang paling produktif lam menghasilkan udnang-undang, pada hal hanya menjabat presiden kurang lebih 16 bulan. Demikian juga DPRI RI masa bakti 1999-2004 disebut-sebut sebagai DPR yang paling produktif menghasilkan undang-undang. Pertanyaan yang tersisa adalah apakah semua produk peraturan perundang-undangan tersebut berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas. Pasca produk peraturan peraturan perundang-undangan yang segudang itu, yang trjadi adalah kepentingan masyrakat kelompok marginal dan kelompok miskin tetap terabaikan. Kondisi mereka secara ekonomi, sosial dan budaya tidak beranjak. Mereka tetap menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), setidak-tidaknya hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam pandangan Satjipto hukum itu dapat dilihat sebagai indstitusi sosial. Arinya, dengan mengidentifikasi hukum sebagai institusi sosial, maka kita akan mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi-fusngsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya, seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat.
Di sini, hukum harus berfungsi ganda. Di satu sisi berguas menjamin kebebaan individu untuk meraih tujuan dirinya, yakni mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian. Di lain sisi, hukum memikul tugas untuk mengorganisir tujuan dan kepentingan individu, agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain. Tekanan Rudolf von Jhering (1818-1892) pada kepentingan sebagai sesuatu yang menentukan dalam hukum, khusunya kepentingan masyarakat, mengantar dia pada interessenfrisprudenz. Kepentingan masyarakatlah yang menjadi inti hukum. Lalu apa yang menjadi kepentingan masyarakat itu? Menurut Jhering, ada empat kepentingan, baik yang egoistis maupun yang bersifat moral. Yang bersifat egoistis adalah pahala dan manfaat. Ini biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang moralitas adalah ke-wajiban dan cinta.  Jadi, hukum bertugas menata secara seimbang dan serasi antar kepentingan-kepentingan tersebut.
Roscou Pound merumuskan ada 12 (duabelas) tujuan hukum. Salah satunya mengatakan, hukum dipahamkan orang sebagai sehimpunan atau sistem khaisdah yang dipikukan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara, buat memajukan kepen-tingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidk sadar. Lebih lanjut dikatakan, interprestasi ekonomis dari hukum ini banyak bentukntya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah pengembangan satu gagasan ekonomi yang tidak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk sosiologis-mekanis, pikirannya dihadapkan kepad perjuangan kelas atau satu per-juangan untuk hidup di lapangan per-ekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam bentuk positivistis-analitis, hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri.
Eksistensi dan peranan hukum sesungguhnya merupakan perwujudan lebih lanjut dari, tujuan berdirinya negara. Tujuan hakiki dari setiap negara dalah menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga-nya. Untuk mencapai tujuan ini, adalah pemerintah yang harus melakukan per-lindungan dan pengaturan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.
Perlindungan dan pengaturan ter-hadap negara dan khususnya kegiatan-kegiatan masyarakat selanjutnya dituangkan dalam undang-undang sebagai panduan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan masyarakat. Idealnya hukum yang diciptakan itu berpihak kepada kepentingan masyrakat sehingga tercipta keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang oleh Satjipto Rahadjo lebih cenderung meng-gunakan istilah kepastian undang-undang dari pada kepastian hukum.
Untuk mewujudkan tujuan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan di Indonesia Satjipto Rahadjo yaitu untuk kebahagiaan masyarakat, maka harus dilakukan refor-masi hukum untuk mengatasi krisis hukum yang sedang terjadi di Indonesia. Reformasi belum mampu membenahi aparat penegak hukum dan menghasilkan peraturan hukum yang lebih adil.
Bagi Indonesia perlu memperkuat politik hukumnya, aga hukum nasional tidak tergias begitu saja oleh berbgai instrumen international. Mengacu pada pendapat Moch. Mahfud MD yang mengatakan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pem-bangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk pengegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum merupakan pedoman dalam menyikapi era globalisasi. Dengan demikian, politik hukum dapat dikatakan sebagai kebijakan negara untuk mem-bangun sistem hukum yang akan diber-lakukan di masa sekarang maupun masa mendatang sesuai dengan kebutuhannya. Masa sekarang yang dimaksud adalah masa ketika bangsa-bangsa di dunia dihadapkan pada globalisasi. Wujud konkrit dari politik hukum adalah arti sempit adalah pem-bentukan kelembagaan dan pranata hukum-nya mengenai suatu hal tertentu dan khusus.
Hukum merupakan sisterm berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.kesatuan tersebut diterapkan terhdap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asa hukum dan pengertian hukum.lebih lanjut dikatakan bahwa masing-masing bagian harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya, seperti gambar mozaik yaitu suatu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil untuk kemudian dihubungkan lagi sehingga tampak utuh kembali gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengkait dengan bagian lainnya.Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik, pertentangan atau kontradiksi antar bagian. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem hukum itu sendiri.
Dalam kaitan dengan peranan hukum Indonesia di era globalisasi yang tengah kita hadapi, maka gagasan hukum progresif dapat dijadikan acuan. Gagasan hukum dan ilmu hukum progresif pertam-tama di dasari oleh keprihatinan terhadap kontribusi ren-dah ilmu hukum di Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa ini untuk kelaur dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Tetapi ilmu hukum progresif tidak bisa hanya dikaitkan pada keadaan sesaat tersebut. Ilmu hukum progrresif melampui pikiran sesaat dan arena itu juga memiliki nilai ilmiah tersendiri, artinya ia bisa diproyeksikan dan dibicarakan dalam konteks keilmuan secara universal. Karena itu, ilmu hukum progresif dihadapkan kepada dua medan (front) yaitu Indonesia dan dunia.
Ilmu hukum tidak bisa bersifat steril dan mengisolasikan diri dari sekalian perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada dasarnya harus selalu mampu memberikan pencerahan terhadap komunitas yang dilayani. Untuk memenuhi peran itulah, maka ilmu hukum dituntut untuk menjadi progresif. Ilmu hukum normati dan berbasis negara dan pikiran abaad sembilan belas misalnya, niscaya tidak akan berhasil mencerahkan masyarakat abad ke-dua pulun dengan sekalian perubahan dan perkembangannya.
Sebagaimana dikatakan Soetanyo Wignjosoebroto, bahwa dalam kehidupan berskala global dewasa ini yang akan terwujud adalah sautu global society yang justru tidak akan bergerak ke sautu keragaman. Global society bukanlah suatu global state yang terkontrol secara sentral. Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang bisa disebut a global economy. Global society menyaksikan terbebaskannya jutaan manusia dari ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang pada waktu yang lalu dikembangkan sebagai mekanisme kontrol di tangan sentral pengausa-penguasa negara. Sementara itu, perkembangannya sebagai global economy telah membuka berbagai perbatasan yang teritorial maupun kultural.
Dalam hal ini, mengingat kebenaran yang dikatakan John Naisbitt bahwa the bigger the economy, the more powerfull it’s smallest players..., to create the new rules the expanding global economic orcfer, maka di tengah sistem ekonomi yang semakin mengglobal dan tiadanya global state yang memegang kekuasaan pengatur yang sentral ini akan terjadilah otonomi pengaturan pada skala mikro, untuk kalangan sendiri.
Di sini hukum serba baku dan dibuat oleh kekuasaan-kekuasaan sentral yang boleh diduga (sekalipun dalam rentang waktu yang sulit dikatakan) akan semakin berkurang, sedangkan kesempatan-kesem-patan kontraktual de novo, khususnya antar kontraktor yang bukan negara (non-state-actors) akan lebih banyak terjadi. Jika kemudian terjadi silang sengketa dalam hubungan kontraktuai yang tiak bersanksi hukum negara itu, penyelesaian akan dilakukan lewat alternative sipute resolution, mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampai pada arbitrasi. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti itu mulai banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan peradilan nasional. Car adjudikasi lewat badan-badan peradilan yang biasanya kental dengan berbagai acara yang serba formal dan prosedur serta banyak makan waktu, boleh diduga akan banyak mundur untuk akhirnya digantikan oleh cara-cara penyelesaian yang lebih luwes. Intinya bahwa saat era globalisasi ini, suatu persoalan hidup yang dipandang relevan sebagai urusan hukum tidak hanya akan menjadi obyek aturan hukum negara tetapi juga akan diintervensi oleh berbagai macam norma lain mulai dan moral dan tradisi setempat sampai pada konvensi dan kovenan internasional.
Globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum yang kini semakin sulti dikontrol oleh kekuasaan sentral negara nsional telah mengundang perhatian serius dari berbagai kancah, mulai transnasional, nasional, dan juga sub naisonal. Ketika negara-negar nasional terpaksa banyak ebyuka batasan-batasannya dan perubahan-perubahan kehidupan ekonomi yang berimbas ke kehidupan politik, sosial, dan kultural telah meningkatkan jumlah manusia berikut die dan ideologi yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib, dan kekuasaan struktural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan.
Dengan demikian, eksistensi globali-sasi khususnya di bidang hukum memaksa kita sebagai suatu negara untuk melakukan perubahan-perubahan atau reformasi ter-hadap hukum nnasional sehingga tetap memegang peranan penting dalam pem-bangunan nasional di tengah era globalisasi dunia. Peranan penting hukum dalam pembangunan nasional yang ukuran keberhasilannya adalah hukum dapat menciptakan keseahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
III.   PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Meskipun Indonesia sudah sepuluh tahun memasuki era reformasi hukum belum berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hukum masih sarat dengan kepentingan-kepentingan pihak tertentu seperti penguasa da pegusaha. Hal ini terlihat dari produk undang-undang untuk skala nasional dan peraturan daerah untuk skala lokal.
2.    Reformasi terhadap aparatur penegak hukum berjalan lambat jika dibanding-kan dengan reformasi terhadap substansi hukum. Hal ini menyebabkan hukum tidak dapat berperan sebagai penyeim-bang kepentingan masyarakat dalam upaya merealisasikan keadilan dan kebenaran.
B.  Saran
Disarankan kepada pihak-pihak yang berwenang, agar dalam membentuk undang-undang tidaklah berorientasi politik, kekuasaan, kepentingan “orang berpunya”, tapi sungguh-sungguh tidak merealisasikan dan melaksanakan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Begitupun dalam reformasi penegakan hukum, agar tidak tebang pilih.


DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an Al-karim
Achmad Ai, 1996, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : Tarsif Wetampoul.
Ahmad Gunawan dkk., 2006, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta.
Chris Verdiansyah, 2007, Membonkgar Budaya, Visi Indonesia 2030 Tantangan Menuju Raksasa Dunia, Jakarta : Penerbit Kompas.
Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama.
Leden Marpang, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Cet. 3, Jakarta:
Mahfud M.D., 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta.
Samodra Wibawa, 2005, Reformasi Birokrasi, Bunga Rampai Administrasi Negara/Publik, Yogyakarta: Gaya Media.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. VI, Bandung : Citra Aditya Bhakti.
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam jagat Ketertiban, Jakarta: UIN Press
Satjipto Rahardjo, 2008, Saatnya Indonesia Bangkit, Artikel dalam Harian Kompas.
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Jakarta : Kompas.
Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum, Rencana, Pembebasan dan Pencerahan: jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Yogyakarta: Genta Press
Soetadyo Wignyosubroto, 2007, Hukum dan Masyarakat (Perkembangan dalam Masyarakat, sebuah pengantar ke arah Kajian Sosiologi Hukum), Malang: Bayu Media Publishing.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. II, Yogyakarta.
Theo Huijbus, 1999, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kansius.
Wahyuddin Husen, 2008, Hukum, Politik dan Kepentingan, Yogyakarta: Laksmana.



.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar