KORELASI ANTARA FENOMENA SOSIAL DAN FIQH
DALAM SISTEM HUKUM POSITIF
Agus Muchsin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Parepare
Email: agus.muchsin.3@yahoo.com
Abstract: Efforts ijtihad
actually introduced since the early days of its formation by the Prophet. This
step is a friend and inspiration to the next generation to continue to innovate
in the field of Islamic jurisprudence. Current social reality, Muslims are
faced with a variety of challenges and new problems that require dynamic
ijtihad in addressing the social aspects of the Muslim community , as a result
of the advancement of science and technology , in order to remain able to meet
the challenges of the times that keep rolling with problem - probloma that
impose legal settlement . But even so, there also tends to flow more closed to
the possibility of the amendments made in the law of Islam, though with through
ijtihad. For these circles, understand that all the provisions in Islam,
everything is completely presented in the Qur'an qath'iy. Islamic law as a
social engginering (social engineering), is a dynamic and creative force in
anticipation of any changes and new issues. It can be seen from the emergence
of a number of schools syste which has its own style according to
sisio-cultural background and political schools of thought in which it is
growing and evolving. This phenomenon drove to the system of Islamic law
codified law in some Islamic State. Such as found in the familial and social
issues (civil). Another aspect of Islamic jurisprudence is still controversial
criminal matters (jinayah), recently became a lively issue discussed and fought
for codified into the legal system.
Kata Kunci: Fenomena Sosial, Fikhi, Hukum Fositif
I. PENDAHULUAN
Secara global dijelaskan bahwa tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum-hukumnya adalah untuk kemas-lahatan manusia secara keseluruhan, baik
dunia maupun akhirat. Kemasla-hatan tersebut mencakup hal-hal yang terangkum
dalam sebutan al-Maqashid al-Khamsah. Panca tujuan tersebut diarahkan untuk
(1). Al- Muhafadzah ala al-Din; Memelihara kemaslahatan agama dari upaya
pencampuradukan kebenaran ajaran Islam dengan ber-bagai faham dan aliran yang
bathil, sehingga dapat merusak aqidah, ibadah dan akhlak seorang Muslim (2). Al-
Muhafadzah ala al Nafs; Memelihara jiwa yang antara lain diundangkan hukum
qishash (pembalasan seimbang) terhadap pelaku pembunuhan (3). Al Muhafadzah
ala al Aql; Memelihara aqal yang merupakan bagian yang paling penting dalam
pandangan Islam untuk hidup di dunia ini (4). Al Muhafadzah ala al Nasab;
Memelihara keturunan yang diatur melalui per-nikahan secara Islam dan perangkat
peraturan lain di sekitar hubungan suami, isteri, orang tua, anak dan sanak
keluarga lain. (5). Al Muha-fadzah ala al Mal; Memelihara harta benda
dan kehormatan yang antara lain mengatur tata pemilikan transaksi, zakat,
sedeqah serta tata hubungan dalam pergaulan masyarakat.1
Mengacu dari panca tujuan ter-sebut,
para pemikir Islam melakukan pembaharuan dibidang hukum melalui upaya Ijtihad
dengan jalan Istinbath (Penetapan hukum berdasarkan teks al-Qur’an dan al-Sunnah), sehingga Islam
selalu tampil sebagai agama yang tidak tertinggal dengan arus global dengan
berbagi dampak dan perobahannya.
Sejak abad ke-19 pembaharuan di
bidang hukum sudah menjadi wacana bagi pakar Muslim, meskipun dalam
kenyataannya belum mencapai hasil maksimal. Hingga pada abad ke-20, apa yang
diupayakan oleh mereka lambat-laun berhasil memberi posisi dalam sistem hukum
Nasaional seperti di Indonesia, dengan dilegislasikannya Undang-undang
Perkawinan dan Kom-filasi Hukum Islam.
Upaya lain dalam pembaharuan hukum,
masih terus dilakukan. Hal ini ditandai dengan maraknya tema tersebut
dibicarakan melalui Seminar-seminar, Wokshop dan Simposium. Kendati demikian,
pembaruan hukum tersebut tidak terjadi begitu saja tanpa melalui perdebatan
sengit antara ulama-ulama yang bertekad memper-tahankan ketentuan-ketentuan
hukum lama, dengan keyakinan bahwa pemahaman ulama yang tertuang dalam fiqh
sebagai warisan turun-temurun tidak dapat berubah, berhadapan dengan ulama yang memahami bahwa
fiqh hanyalah sebuah karya dari hasil interpretasi ulama, tertuang dalam bentuk Ijtihad tetap
dipengaruhi oleh waktu, kondisi maupun tempat, sehingga akan berpeluang untuk
terjadi perubahan.2
Dalam kajian
sosiologi, peruba-han sosial akan terus terjadi, sejauh manusia sebagai pendukung
kehidupan sosial dan budaya masih hidup dan selalu beraktivitas. Perkembangan
dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi, akan bergulir seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ber-bagai aspek
kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial dan ekonomi.
Masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu
persoalan yang menuntut solusi tepat. Agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis, maka langkah strategis yang dilakukan umumnya adalah ijtihad sebagai
instrumen untuk melakukan ‘social engineering’. Dengan demikian hukum
Islam akan berperan secara nyata dan fungsional ketika ijtihad ditempatkan
secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
Bertolak dari latar belakang yang
telah diuraikan diatas, maka dalam tulisan ini diajukan permasalahan,
diantaranya:
1.
Bagaimana pengaruh ijtihad terha-dap dinamika fiqh Islam dan fenomena sosial?
2.
Bagaimana kontribusi sosial dan dinamika fiqh terhadap sistem hukum positif?
II. PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Ijtihad terhadap Dina-mika Fiqh Islam
Literatur sejarah mendeskripsikan bahwa, para ulama memiliki basis yang
kuat sebagai mediasi bagi perubahan social melalui aktivitas pemberdayaan umat.
Ulama sebagai ahli agama dan pendamping masyarakat sesungguhnya merupakan wujud
dari pemahaman Islam yang sempurna (Islam kaffah). Ulama dengan kapasitas keilmuan
yang general semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti
ketidakadilan, penindasan kesewenang-wenangan dan kemiskinan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat.3
Menyimak realitas sosial sekarang ini, umat Islam diperhadapkan dengan
bermacam-macam tantangan dan per-masalahan baru, yang terkesan belum pernah di
bahas oleh ulama-ulama terdahulu. Kemajuan sains dan tekno-logi, ternyata mampu
merubah dunia dengan kemajuan peradaban manusia secara pesat. Realitas tersebut
harus disikapi melalui upaya ijtihad dari para ulama, agar Islam tetap bisa
menjawab tantangan zaman yang terus bergulir dengan problema-probloma baru yang
menuntut penyelesaian secara hukum.
Upaya ijtihad dalam sejarah
perkembangan hukum Islam, sebenar-nya diperkenalkan sejak masa awal
pembentukannya oleh Nabi saw., meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Isyarat-isyarat dari situlah yang mengilhami langkah-langkah sahabat dan
generasi berikutnya untuk terus melakukan pembaharuan di bidang fiqh Islam.
Dalam literature sejarah dijelaskan bahwa perkem-bangan ijtihad, mencapai
puncaknya pada periode tabi’ al tabi’in, saat dimana Islam mencapai
kemajuan di berbagai aspek kehidupannya. Setelah lewat masa keemasan tersebut,
terjadilah masa kemunduran yang antara lain ditandai dengan masa kejumudan
ijtihad.
Deskripsi di atas memberikan kesan
bahwa dalam Islam terdapat dua aliran yang selalu berhadap-hadapan. Pertama,
mereka yang menginginkan pembaharuan hukum dengan terus menggali ilmu-ilmu
keislaman dan melakukan ijtihad. Kedua, mereka yang lebih cenderung
tertutup terhadap kemungkinan diadakannya perubahan-perubahan di dalam hukum
Islam meski dengan melalui ijtihad. Bagi kalangan ini, memahami bahwa segala
ketentuan dalam Islam, semuanya secara tuntas disajikan dalam Al qur’an secara qath’iy.
Dilema dari dua kondisi ini,
sebenarnya sudah terjadi sejak awal perkembanngan hukum Islam, yakni ketika
terjadi polimik antara Umar bin Khattab dengan Bilal bin Rabbah mengenai ghanimah
(harta rampasan perang) berupa tanah. Bilal lebih cenderung membagi-bagikan
tanah tersebut dengan berdasar pada al qur’an dengan memberikan hak-hak
masing-masing seperlima, kepada Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan Ibn al sabil.4
Umar bin Khattab yang lebih cenderung
menilai dari aspek masla- hatnya, berpendapat lain, dengan melalui ijtihadnya
kelihatan kalau Umar mengambil sikap yang bertenta-ngan dengan ayat yang
diperpegangi Bilal. Umar menyerahkan tanah kepada para petani yang ahli
bertani, berikut hasilnya akan diserahkan kepada negara. Menurutnya, jika
diserahkan kepada prajurit maka akan terjadi ketimpangan ekonomi karena mereka
tidak akan mampu mengelola baik dengan latar belakang bukan petani.5
Ijtihad yang dilakukan Umar ra.
tampak lebih obyektif dan memper-hatikan aspek-aspek pranata sosial kehidupan masyarakat. Sehingga peluang untuk lebih seiring dengan keadaan masyarakat lebih
terbuka dan akan mencerminkan bahwa perkem-bangan pemikiran hukum dalam Islam
dapat sejalan dengan peradaban manusia seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karena itu, untuk memecahkan masalah-masalah hukum baru dalam
fiqh, Nouruzzaman Shiddiqi yang mengutif pendapat Hasby As Shiddieqie, lebih
cenderung menyarankan untuk di bentuk sebuah lembaga hukum Islam yang permanen,
yang anggota-anggotanya terdiri dari para ilmuan, baik ahli agama Islam maupun
dari kalangan ahli ilmu-ilmu pengetahuan umum dari berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan. Baginya kajian yang dilaksanakan dengan corak seperti ini, lebih
sempurna dari pada yang dilakukan secara perorangan atau sekumpulan orang yang
hanya memiliki keahlian hanya satu macam saja.6
Kaitan dengan hal tersebut, Ibrahim
Hosen juga lebih cenderung mengatakan kalau ijtihad adalah penopang hidup dan
penegak hukum Islam. Ijtihad merupakan upaya yang dilakukan untuk menyikapi
permasa-lahan-permasalahan kontemporer yang mutlak digalakkan. Karenanya, di-butuhkan
beberapa langkah, diantara-nya:
1.
Memasyarakatkan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka.
2.
Menggalakkan pengkajian dalam bidang ushul fiqh, fiqh muqaranah,
siyasat al syar’iyat dan hikmah al tasyri’
3.
Menggalakkan pendapat yang mengatakan bahwa orang harus terikat dengan
salah satu madzhab.
4.
Mengembangkan toleransi dalam ber-madzhab dengan mencari pendapat
yang paling sesuai dengan kemaslahatan.7
Ijtihad yang dimaksud tidaklah secara
bebas dilakukan tanpa ada manhaj tertentu, melainkan meski dengan
melakukan langkah-langkah praktis yang terprogram, teratur dan sistematis,
memadukan segala potensi yang merangkaikan informasi-infor-masi yang terkait
untuk dituangkan kedalam suatu sasaran, sehingga menjadi efektif dan fungsional
dalam pembaharuan hukum Islam. Ketiadaan metode tepat akan menimbulakn benturan
dan konflik ditengah masya-rakat dan mencerminkan ketidakmam-puan memberikan solusi
terbaik bagi masyarakat.
Demikian langkah-langkah ijtihad yang
mencerminkan bahwa Arah pengembangan hukum dalam Islam berjalan mengikuti hukum
yang bergerak (mobile law) atau dalam term ushul fiqh lebih dikenal
dengan taghayyur al ahkam (perobahan hukum) akan terus terjadi
berdasaran pergerakan aktor dan masyarakat yang berubah (mobile people),
sehingga tampaklah bahwa Islam selalu dinamis mengikuti arah perkembangan
zaman. Tidak satu pun persoalan yang ketentuan hukumnya tidak dibahas dalam
Islam karena ijtihad sebagai manhaj akan memeberikan solusi bagi ragam
problematiaka sosial yang terjadi.
B.
Kontribusi Fiqh dan Sosial terhadap Sistem Hukum
Islam sebagai
agama wahyu, tidak pernah memberatkan penganutnya karena terbangun atas prinsif
al ‘adam al haraj (menghilangkan beban). Islam selalu memberi posisi
yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah. Ajarannya berjalan
beriringan dengan lajunya kehidupan di dunia dan akan berfungsi untuk mengawal
perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam hukum Islam,
perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut
mem-pengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa
“perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan
kebiasaan”8 Dalam kaidah fiqh lainnya
disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum) dalam
mewujudkan dan meniadakan hukum”9
Pembaharuan
terhadap hukum Islam tetap dinamis, responsif terhadap tuntutan perubahan,
tidak terlepas terhadap semangat ijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi
ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk
mengawal cita-cita universalitas bagi Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun
li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa
sumber-sumber hukum qath’iy sangatlah terbatas jumlahnya. sementara peno-mena
social yang menuntut solusi hukum terus bertambah. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd
dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa; Persoalan-persoalan
kehidupan masya-rakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash
(baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil
sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.10
Pernyataan
Ibnu Rusyd di atas, merupakan anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap
kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya
dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk
mewujudkan dinamisasi ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan
berbagai problematika persoalan yang mewarnai seluruh dimensi kehidupan
manusia.
Hukum Islam
sebagai social engginering (rekayasa social), sesung-guhnya memperlihatkan kekuatan yang
dinamis dan kreatif dalam meng-antisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan
baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki
corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik
di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai
sekarang masih memper-lihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka
metodologi peng-galian hukum yang mereka cipta-kan.Dengan perangkat metodologi
tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya
dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.
Korelasi
antara faktor lingkungan sosial budaya dan hukum Islam tampak pada
langkah-langkah eksplorasi hukum oleh Imam Syafi’i yang terkenal dengan qaul
qadim dan qaul jadid. Hasil ijtihad hukum, dalam masalah yang sama
dari seorang Mujtahid Imam Syafi’I ketika berada di Iraq, sangat berbeda ketika
berada di Mesir.
Metode
istimbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’I sehingga pendapatnya berbeda,
karena yang paling mendasari, adalah faktor struktur sosial, budaya, dan letak
geografis yang berada. Penomena terhadap tuntutan akan hubungan timbal balik antara fiqh
dan pranata sosial ini, tidak jauh berbeda dengan kajian dalam salah satu
cabang ilmu hukum yang lebih awal dijelaskan melalui pengertian hukum dalam
kajian sosiologi, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan
empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya. Dalam konteks lain, Satjipto Rahardjo menyatakan
sosio-logi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap
pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.
Hukum dalam perspektif di atas,
dibentuk bukan hanya untuk kepen-tingan hukum itu sendiri, melainkan untuk
kepentingan manusia dan dalam masyarakat. Oleh karena disadari bahwa dalam
menjalani dan mem-pertahankan kehidupannya, manusia sangat butuh terhadap
eksistensi dan peran individu selain dari dirinya. Manusia tidak dapat hidup
sebagai layaknya seorang “Tarzan” dalam dongeng anak-anak yang hidup dihutan
belantara. Agar harmonisasi terbangun antara mereka, maka perlu ada
aturan-aturan yang menjadi social control bagi mereka, yang sudah barang
tentu rumusan-rumusannya lahir dari masyarakat itu sendiri.
Eksistensi hukum Islam dalam sistem
Hukum dibeberapa Negara Islam lebih banyak ditemukan pada persoalan muamalah
dan kekeluargaan (perdata). Sebagai contoh di Negara-negara mayoritas
penduduknya ber-agama Islam, dimana saat ini merupa-kan penomena cultural umat
yang latar belakangnya dapat di lihat dari berbagai segi. Diantaranya ialah
bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebagai
hukum hidup yang inheren dalam kehidupan umat, hukum Islam akan menjadi bagian
dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai
norma-norma hukum yang dipaksakan, justru menjadi suatu kebutuhan dalam
menyelesikan problematika sosial ekonomi, politik hukum dan lain-lain.11
Kondisi ekonomi global sekarang ini,
teryata banyak menuntut untuk merubah system paket pengelolaan dari
lembaga-lembaga perbankan. Gagasan mendirikan bank Islam muncul akibat dari
rasa tidak puas terhadap pelak-sannaan ekonomi konvensional yang di anggap
gagal dalam mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi, sehingga yang terjadi
adalah kesen-jangan sosial semakin mengakar antara kelompok kaya dan miskin,
serta eksploitasi pemodal besar terhadap lapisan sosial yang tidak memiliki
modal.12
Aspek lain dalam fikih Islam adalah
persoalan pidana (jinayah), akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dibicarakan
dan diperjuangkan untuk dikodifikasikan kedalam sistem hukum. Mereka tidak puas
jika hanya terbatas pada persoalan perdata seperti perkawinan, perceraian,
rujuk, kewari-san dan waqaf saja, melainkan hukum Islam secara kaffah
(totalitas).
Upaya ini masih kontroversial karena aturan hukumnya
masih dianggap bertentangan dengan prinsif-prinsif kemanusiaan dalam deklarasi
of human right. Misalnya; bagi pencuri yang melewati ¼ dinar akan dikenakan
sanksi potong tangan, orang berzina akan dirajam, orang membunuh akan di qishash
(balas dibunuh), kecuali jika keluarga dari yang terbunuh memaaf-kan si
pembunuh maka hanya akan dikenakan sanksi diyat(denda).
Demikkianlah upaya-upaya yang
dilakukan sebagai wujud dari perjuangan dalam menuangkan fikih Islam sebagai
bagian integral dalam system hukum bagi Negara-negara Islam. Hal ini menjadi
indikator bagi kemajuan sosial dan
pembangunan nasional dibidang hukum mereka, sehingga fikih menjadi bagian dari
disiplin ilmu terpenting yang mengantar pada pembaharuan hukum bagi
Negara-negara Islam, termasuk
Indonesia.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Upaya ijtihad sebenarnya diperkenalkan sejak masa awal pembentukannya
oleh Nabi saw. Langkah ini menjadi inspirasi bagi sahabat dan generasi
berikutnya untuk terus melakukan pembaharuan di bidang fiqh Islam. Realitas
sosial sekarang ini, umat Islam diper-hadapkan dengan bermacam-macam tantangan
dan permasalahan baru yang menuntut dinamika ijtihad dalam mensikapi
aspek-aspek social bagi masyarakat muslim, sebagai akibat dari kemajuan sains
dan teknologi, agar tetap bisa menjawab tantangan zaman yang terus bergulir
dengan problema-probloma baru yang menuntut penyelesaian secara hukum. Namun
pun demikian, juga terdapat aliran yang lebih cenderung tertutup terhadap
kemungkinan diadakannya perubahan-perubahan di dalam hukum Islam meski dengan
melalui ijtihad. Bagi kalangan ini, memahami bahwa segala ketentuan dalam
Islam, semuanya secara tuntas disajikan dalam Alquran secara qath’iy.
2.
Hukum Islam sebagai social engginering (rekayasa
social), merupakan kekuatan yang
dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan
persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab
hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang
sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkem-bang. Penomena ini mengantar hukum Islam
kepada sistem Hukum yang terkodifikasi dibeberapa Negara Islam. Seperti
ditemukan pada persoalan muamalah dan kekeluargaan (perdata). Aspek lain dalam
fikih Islam yang masih kontroversial adalah persoalan pidana (jinayah),
akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dibicarakan dan diperjuangkan untuk
dikodifi-kasikan kedalam sistem hukum.
B.
Implikasi
Kajian tentang faktor
sosial dan fuqaha dalam hukum diharapkan men- jadi inspirasi bagi penulis
berikutnya untuk melakukan pengkajian yang sifatnya lebih luas. Implikasi tersebut, disarankan
untuk senantiasa mencer-mati peluang-peluang dikodifikasikan fikih Islam
kedalam system hukum Negara-negara mayoritas muslim, yang suatu ketika diharapkan menjadi kon-sumsi
akademik dan upaya pembaha-ruan di bidang hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al qur’an
al Karim
Anderson, J.N.D., Islamic Law in The Modern
World. Alih bahasa: Machnun Husein, dengan judul: Hukum Islam di Dunia
Moderen Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Hosen, Ibrahim, Memecahkan Permasa-lahan
Hukum Baru. Dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri, ed., Ijtihad
dalam Sorotan Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996
Al-Jauziyah,
Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin Bairut: Daar
al-Fikr, t. th. ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Ibn Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid
Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, T th.
Kamil, Sukron, Penomena Gerakan Penegakan Syareat
Islam: Studi atas Majelis Mujahidin Indonesia. Dalam dialog Jurnal
Penelitian dan Keagamaan, ed. 1, tahun ke-3 2005
Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Nasution, Harun, Islam Di tinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979
Rahmat, H. Djatmika, Perkembangan Ilmu Fiqhi didunia Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi
Aksara, 1991
Shiddiqi, Nouruzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas
dan Gagasannya Cet. I; Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1997
Yahya,
Mukhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam Bandung: PT Al-Ma’arif,
1996
Catatan Akhir:
[1]Lihat.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum
Islam (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 5
2Pengertian Fiqh secara etimologi adalah al-Fahm terdiri dari huruf fa, ha, dan mim berarti pemahaman. Lihat H. Djatmika Rahmat. Perkembangan Ilmu Fiqhi didunia Islam.
(Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 41-2
3Problema kemasyarakatan dalam al quran secara umum
termaktub pada 368 ayat, dan 228 ayat atau 3 1/5 persen merupakan ayat yang
mengungkap soal kehidupan kemasya-rakatan umat, yaitu ayat yang berkaitan
dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, perdagangan,
perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan
kontrak dan sebagainya. Lihat., Harun Nasution, Islam Di tinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), h.
8
4Lihat Q.S al Anfal (8) : 41
5Umar bin Khattab memahami ayat berdasarkan
kontekstuanya dengan mencari subtansi di balik teks dan melihat pesan-pesan
utamanya. Sementara Bilal memahami secara tekstualnya. Lihat., Sukron Kamil, Penomena
Gerakan Penegakan Syareat Islam: Studi atas Majelis Mujahidin Indonesia.
Dalam dialog Jurnal Penelitian dan Keagamaan , ed. 1, tahun ke-3 (2005), h. 22
6Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:
Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1997), h.230
7Lihat., Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan Hukum
Baru. Dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri, ed., Ijtihad dalam Sorotan
(Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 44
8Lihat., Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam
al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut: Daar al-Fikr, t. th), h. 14.
Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 444.
9Lihat., Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996), h. 550.
10Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT), hal. 2.
11Islam
adalah pandangan hidup lengkap dan bersipat universal. Konsepsi yang
dikemukakan oleh umat muslim, adalah adanya ikatan yang tidak terpisahkan
antara agama dan hukumnya. Disamping sebagai agama dan etika, juga sebagai
system hokum yang kesemuanya terpadu dalam Islam. Lihat., J.N.D. Anderson,
Islamic Law in The Modern World. Alih bahasa: Machnun Husein, dengan judul:
Hukum Islam di Dunia Moderen (Cet. I; Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994), h.xxi
12Salah
satu faktor diharamkanya riba adalah terjadinya
ketimpangan dan eksploitasi dari kelompok yang memiliki modal terhadap yang
tidak memiliki modal. Lihat., Q.S. Al Baqarah (2) : 278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar