Kamis, 22 Januari 2015

KORELASI ANTARA FENOMENA SOSIAL DAN FIQH DALAM SISTEM HUKUM POSITIF

KORELASI ANTARA FENOMENA SOSIAL DAN FIQH
 DALAM SISTEM HUKUM POSITIF
Agus Muchsin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: agus.muchsin.3@yahoo.com
Abstract: Efforts ijtihad actually introduced since the early days of its formation by the Prophet. This step is a friend and inspiration to the next generation to continue to innovate in the field of Islamic jurisprudence. Current social reality, Muslims are faced with a variety of challenges and new problems that require dynamic ijtihad in addressing the social aspects of the Muslim community , as a result of the advancement of science and technology , in order to remain able to meet the challenges of the times that keep rolling with problem - probloma that impose legal settlement . But even so, there also tends to flow more closed to the possibility of the amendments made in the law of Islam, though with through ijtihad. For these circles, understand that all the provisions in Islam, everything is completely presented in the Qur'an qath'iy. Islamic law as a social engginering (social engineering), is a dynamic and creative force in anticipation of any changes and new issues. It can be seen from the emergence of a number of schools syste which has its own style according to sisio-cultural background and political schools of thought in which it is growing and evolving. This phenomenon drove to the system of Islamic law codified law in some Islamic State. Such as found in the familial and social issues (civil). Another aspect of Islamic jurisprudence is still controversial criminal matters (jinayah), recently became a lively issue discussed and fought for codified into the legal system.
Kata Kunci: Fenomena Sosial, Fikhi, Hukum Fositif


I. PENDAHULUAN
Secara global dijelaskan bahwa tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemas-lahatan manusia secara keseluruhan, baik dunia maupun akhirat. Kemasla-hatan tersebut mencakup hal-hal yang terangkum dalam sebutan al-Maqashid al-Khamsah. Panca tujuan tersebut diarahkan untuk (1). Al- Muhafadzah ala al-Din; Memelihara kemaslahatan agama dari upaya pencampuradukan kebenaran ajaran Islam dengan ber-bagai faham dan aliran yang bathil, sehingga dapat merusak aqidah, ibadah dan akhlak seorang Muslim (2). Al- Muhafadzah ala al Nafs; Memelihara jiwa yang antara lain diundangkan hukum qishash (pembalasan seimbang) terhadap pelaku pembunuhan (3). Al Muhafadzah ala al Aql; Memelihara aqal yang merupakan bagian yang paling penting dalam pandangan Islam untuk hidup di dunia ini (4). Al Muhafadzah ala al Nasab; Memelihara keturunan yang diatur melalui per-nikahan secara Islam dan perangkat peraturan lain di sekitar hubungan suami, isteri, orang tua, anak dan sanak keluarga lain. (5). Al Muha-fadzah ala al Mal; Memelihara harta benda dan kehormatan yang antara lain mengatur tata pemilikan transaksi, zakat, sedeqah serta tata hubungan dalam pergaulan masyarakat.1
Mengacu dari panca tujuan ter-sebut, para pemikir Islam melakukan pembaharuan dibidang hukum melalui upaya Ijtihad dengan jalan Istinbath (Penetapan hukum berdasarkan teks al-Quran dan al-Sunnah), sehingga Islam selalu tampil sebagai agama yang tidak tertinggal dengan arus global dengan berbagi dampak dan perobahannya.
Sejak abad ke-19 pembaharuan di bidang hukum sudah menjadi wacana bagi pakar Muslim, meskipun dalam kenyataannya belum mencapai hasil maksimal. Hingga pada abad ke-20, apa yang diupayakan oleh mereka lambat-laun berhasil memberi posisi dalam sistem hukum Nasaional seperti di Indonesia, dengan dilegislasikannya Undang-undang Perkawinan dan Kom-filasi Hukum Islam.
Upaya lain dalam pembaharuan hukum, masih terus dilakukan. Hal ini ditandai dengan maraknya tema tersebut dibicarakan melalui Seminar-seminar, Wokshop dan Simposium. Kendati demikian, pembaruan hukum tersebut tidak terjadi begitu saja tanpa melalui perdebatan sengit antara ulama-ulama yang bertekad memper-tahankan ketentuan-ketentuan hukum lama, dengan keyakinan bahwa pemahaman ulama yang tertuang dalam fiqh sebagai warisan turun-temurun tidak dapat berubah, berhadapan dengan ulama yang memahami bahwa fiqh hanyalah sebuah karya dari hasil interpretasi ulama, tertuang dalam bentuk Ijtihad tetap dipengaruhi oleh waktu, kondisi maupun tempat, sehingga akan berpeluang untuk terjadi perubahan.2
Dalam kajian sosiologi, peruba-han sosial akan terus terjadi, sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan sosial dan budaya masih hidup dan selalu beraktivitas. Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi, akan bergulir seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ber-bagai aspek kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial dan ekonomi.
Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan yang menuntut solusi tepat. Agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis, maka langkah strategis yang dilakukan umumnya adalah ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘social engineering’. Dengan demikian hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional ketika ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dalam tulisan ini diajukan permasalahan, diantaranya:
1.  Bagaimana pengaruh ijtihad terha-dap dinamika fiqh Islam dan fenomena sosial?
2.  Bagaimana kontribusi sosial dan dinamika fiqh terhadap sistem hukum positif?
II. PEMBAHASAN
A. Pengaruh Ijtihad terhadap Dina-mika Fiqh Islam
Literatur sejarah mendeskripsikan bahwa, para ulama memiliki basis yang kuat sebagai mediasi bagi perubahan social melalui aktivitas pemberdayaan umat. Ulama sebagai ahli agama dan pendamping masyarakat sesungguhnya merupakan wujud dari pemahaman Islam yang sempurna (Islam kaffah). Ulama dengan kapasitas keilmuan yang general semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan kesewenang-wenangan dan kemiskinan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.3
Menyimak realitas sosial sekarang ini, umat Islam diperhadapkan dengan bermacam-macam tantangan dan per-masalahan baru, yang terkesan belum pernah di bahas oleh ulama-ulama terdahulu. Kemajuan sains dan tekno-logi, ternyata mampu merubah dunia dengan kemajuan peradaban manusia secara pesat. Realitas tersebut harus disikapi melalui upaya ijtihad dari para ulama, agar Islam tetap bisa menjawab tantangan zaman yang terus bergulir dengan problema-probloma baru yang menuntut penyelesaian secara hukum.
Upaya ijtihad dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sebenar-nya diperkenalkan sejak masa awal pembentukannya oleh Nabi saw., meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Isyarat-isyarat dari situlah yang mengilhami langkah-langkah sahabat dan generasi berikutnya untuk terus melakukan pembaharuan di bidang fiqh Islam. Dalam literature sejarah dijelaskan bahwa perkem-bangan ijtihad, mencapai puncaknya pada periode tabi’ al tabi’in, saat dimana Islam mencapai kemajuan di berbagai aspek kehidupannya. Setelah lewat masa keemasan tersebut, terjadilah masa kemunduran yang antara lain ditandai dengan masa kejumudan ijtihad.
Deskripsi di atas memberikan kesan bahwa dalam Islam terdapat dua aliran yang selalu berhadap-hadapan. Pertama, mereka yang menginginkan pembaharuan hukum dengan terus menggali ilmu-ilmu keislaman dan melakukan ijtihad. Kedua, mereka yang lebih cenderung tertutup terhadap kemungkinan diadakannya perubahan-perubahan di dalam hukum Islam meski dengan melalui ijtihad. Bagi kalangan ini, memahami bahwa segala ketentuan dalam Islam, semuanya secara tuntas disajikan dalam Al qur’an secara qath’iy.
Dilema dari dua kondisi ini, sebenarnya sudah terjadi sejak awal perkembanngan hukum Islam, yakni ketika terjadi polimik antara Umar bin Khattab dengan Bilal bin Rabbah mengenai ghanimah (harta rampasan perang) berupa tanah. Bilal lebih cenderung membagi-bagikan tanah tersebut dengan berdasar pada al qur’an dengan memberikan hak-hak masing-masing seperlima, kepada Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibn al sabil.4
Umar bin Khattab yang lebih cenderung menilai dari aspek masla- hatnya, berpendapat lain, dengan melalui ijtihadnya kelihatan kalau Umar mengambil sikap yang bertenta-ngan dengan ayat yang diperpegangi Bilal. Umar menyerahkan tanah kepada para petani yang ahli bertani, berikut hasilnya akan diserahkan kepada negara. Menurutnya, jika diserahkan kepada prajurit maka akan terjadi ketimpangan ekonomi karena mereka tidak akan mampu mengelola baik dengan latar belakang bukan petani.5
Ijtihad yang dilakukan Umar ra. tampak lebih obyektif dan memper-hatikan aspek-aspek pranata sosial kehidupan masyarakat. Sehingga peluang untuk lebih seiring dengan keadaan masyarakat lebih terbuka dan akan mencerminkan bahwa perkem-bangan pemikiran hukum dalam Islam dapat sejalan dengan peradaban manusia seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, untuk memecahkan masalah-masalah hukum baru dalam fiqh, Nouruzzaman Shiddiqi yang mengutif pendapat Hasby As Shiddieqie, lebih cenderung menyarankan untuk di bentuk sebuah lembaga hukum Islam yang permanen, yang anggota-anggotanya terdiri dari para ilmuan, baik ahli agama Islam maupun dari kalangan ahli ilmu-ilmu pengetahuan umum dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Baginya kajian yang dilaksanakan dengan corak seperti ini, lebih sempurna dari pada yang dilakukan secara perorangan atau sekumpulan orang yang hanya memiliki keahlian hanya satu macam saja.6
Kaitan dengan hal tersebut, Ibrahim Hosen juga lebih cenderung mengatakan kalau ijtihad adalah penopang hidup dan penegak hukum Islam. Ijtihad merupakan upaya yang dilakukan untuk menyikapi permasa-lahan-permasalahan kontemporer yang mutlak digalakkan. Karenanya, di-butuhkan beberapa langkah, diantara-nya:
1.  Memasyarakatkan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka.
2.  Menggalakkan pengkajian dalam bidang ushul fiqh, fiqh muqaranah, siyasat al syar’iyat dan hikmah al tasyri’
3.  Menggalakkan pendapat yang mengatakan bahwa orang harus terikat dengan salah satu madzhab.
4.  Mengembangkan toleransi dalam ber-madzhab dengan mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan.7
Ijtihad yang dimaksud tidaklah secara bebas dilakukan tanpa ada manhaj tertentu, melainkan meski dengan melakukan langkah-langkah praktis yang terprogram, teratur dan sistematis, memadukan segala potensi yang merangkaikan informasi-infor-masi yang terkait untuk dituangkan kedalam suatu sasaran, sehingga menjadi efektif dan fungsional dalam pembaharuan hukum Islam. Ketiadaan metode tepat akan menimbulakn benturan dan konflik ditengah masya-rakat dan mencerminkan ketidakmam-puan memberikan solusi terbaik bagi masyarakat.
Demikian langkah-langkah ijtihad yang mencerminkan bahwa Arah pengembangan hukum dalam Islam berjalan mengikuti hukum yang bergerak (mobile law) atau dalam term ushul fiqh lebih dikenal dengan taghayyur al ahkam (perobahan hukum) akan terus terjadi berdasaran pergerakan aktor dan masyarakat yang berubah (mobile people), sehingga tampaklah bahwa Islam selalu dinamis mengikuti arah perkembangan zaman. Tidak satu pun persoalan yang ketentuan hukumnya tidak dibahas dalam Islam karena ijtihad sebagai manhaj akan memeberikan solusi bagi ragam problematiaka sosial yang terjadi.
B. Kontribusi Fiqh dan Sosial terhadap Sistem Hukum
Islam sebagai agama wahyu, tidak pernah memberatkan penganutnya karena terbangun atas prinsif al ‘adam al haraj (menghilangkan beban). Islam selalu memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah. Ajarannya berjalan beriringan dengan lajunya kehidupan di dunia dan akan berfungsi untuk mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mem-pengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”8 Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”9
Pembaharuan terhadap hukum Islam tetap dinamis, responsif terhadap tuntutan perubahan, tidak terlepas terhadap semangat ijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas bagi Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum qath’iy sangatlah terbatas jumlahnya. sementara peno-mena social yang menuntut solusi hukum terus bertambah. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa; Persoalan-persoalan kehidupan masya-rakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.10
Pernyataan Ibnu Rusyd di atas, merupakan anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mewujudkan dinamisasi ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai problematika persoalan yang mewarnai seluruh dimensi kehidupan manusia.
Hukum Islam sebagai social engginering (rekayasa social),  sesung-guhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam meng-antisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memper-lihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi peng-galian hukum yang mereka cipta-kan.Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.
Korelasi antara faktor lingkungan sosial budaya dan hukum Islam tampak pada langkah-langkah eksplorasi hukum oleh Imam Syafi’i yang terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Hasil ijtihad hukum, dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’I ketika berada di Iraq, sangat berbeda ketika berada di Mesir.
Metode istimbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’I sehingga pendapatnya berbeda, karena yang paling mendasari, adalah faktor struktur sosial, budaya, dan letak geografis yang berada. Penomena terhadap tuntutan akan hubungan timbal balik antara fiqh dan pranata sosial ini, tidak jauh berbeda dengan kajian dalam salah satu cabang ilmu hukum yang lebih awal dijelaskan melalui pengertian hukum dalam kajian sosiologi, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dalam konteks lain, Satjipto Rahardjo menyatakan sosio-logi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.
Hukum dalam perspektif di atas, dibentuk bukan hanya untuk kepen-tingan hukum itu sendiri, melainkan untuk kepentingan manusia dan dalam masyarakat. Oleh karena disadari bahwa dalam menjalani dan mem-pertahankan kehidupannya, manusia sangat butuh terhadap eksistensi dan peran individu selain dari dirinya. Manusia tidak dapat hidup sebagai layaknya seorang “Tarzan” dalam dongeng anak-anak yang hidup dihutan belantara. Agar harmonisasi terbangun antara mereka, maka perlu ada aturan-aturan yang menjadi social control bagi mereka, yang sudah barang tentu rumusan-rumusannya lahir dari masyarakat itu sendiri.
Eksistensi hukum Islam dalam sistem Hukum dibeberapa Negara Islam lebih banyak ditemukan pada persoalan muamalah dan kekeluargaan (perdata). Sebagai contoh di Negara-negara mayoritas penduduknya ber-agama Islam, dimana saat ini merupa-kan penomena cultural umat yang latar belakangnya dapat di lihat dari berbagai segi. Diantaranya ialah bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebagai hukum hidup yang inheren dalam kehidupan umat, hukum Islam akan menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan, justru menjadi suatu kebutuhan dalam menyelesikan problematika sosial ekonomi, politik hukum dan lain-lain.11
Kondisi ekonomi global sekarang ini, teryata banyak menuntut untuk merubah system paket pengelolaan dari lembaga-lembaga perbankan. Gagasan mendirikan bank Islam muncul akibat dari rasa tidak puas terhadap pelak-sannaan ekonomi konvensional yang di anggap gagal dalam mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi, sehingga yang terjadi adalah kesen-jangan sosial semakin mengakar antara kelompok kaya dan miskin, serta eksploitasi pemodal besar terhadap lapisan sosial yang tidak memiliki modal.12
Aspek lain dalam fikih Islam adalah persoalan pidana (jinayah), akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dibicarakan dan diperjuangkan untuk dikodifikasikan kedalam sistem hukum. Mereka tidak puas jika hanya terbatas pada persoalan perdata seperti perkawinan, perceraian, rujuk, kewari-san dan waqaf saja, melainkan hukum Islam secara kaffah (totalitas).
Upaya ini masih kontroversial karena aturan hukumnya masih dianggap bertentangan dengan prinsif-prinsif kemanusiaan dalam deklarasi of human right. Misalnya; bagi pencuri yang melewati ¼ dinar akan dikenakan sanksi potong tangan, orang berzina akan dirajam, orang membunuh akan di qishash (balas dibunuh), kecuali jika keluarga dari yang terbunuh memaaf-kan si pembunuh maka hanya akan dikenakan sanksi diyat(denda).
Demikkianlah upaya-upaya yang dilakukan sebagai wujud dari perjuangan dalam menuangkan fikih Islam sebagai bagian integral dalam system hukum bagi Negara-negara Islam. Hal ini menjadi indikator bagi kemajuan sosial dan pembangunan nasional dibidang hukum mereka, sehingga fikih menjadi bagian dari disiplin ilmu terpenting yang mengantar pada pembaharuan hukum bagi Negara-negara Islam, termasuk Indonesia. 
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1.  Upaya ijtihad sebenarnya diperkenalkan sejak masa awal pembentukannya oleh Nabi saw. Langkah ini menjadi inspirasi bagi sahabat dan generasi berikutnya untuk terus melakukan pembaharuan di bidang fiqh Islam. Realitas sosial sekarang ini, umat Islam diper-hadapkan dengan bermacam-macam tantangan dan permasalahan baru yang menuntut dinamika ijtihad dalam mensikapi aspek-aspek social bagi masyarakat muslim, sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi, agar tetap bisa menjawab tantangan zaman yang terus bergulir dengan problema-probloma baru yang menuntut penyelesaian secara hukum. Namun pun demikian, juga terdapat aliran yang lebih cenderung tertutup terhadap kemungkinan diadakannya perubahan-perubahan di dalam hukum Islam meski dengan melalui ijtihad. Bagi kalangan ini, memahami bahwa segala ketentuan dalam Islam, semuanya secara tuntas disajikan dalam Alquran secara qath’iy.
2.  Hukum Islam sebagai social engginering (rekayasa social),   merupakan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkem-bang. Penomena ini mengantar hukum Islam kepada sistem Hukum yang terkodifikasi dibeberapa Negara Islam. Seperti ditemukan pada persoalan muamalah dan kekeluargaan (perdata). Aspek lain dalam fikih Islam yang masih kontroversial adalah persoalan pidana (jinayah), akhir-akhir ini menjadi isu yang marak dibicarakan dan diperjuangkan untuk dikodifi-kasikan kedalam sistem hukum.
B. Implikasi
Kajian tentang faktor sosial dan fuqaha dalam hukum diharapkan men- jadi inspirasi bagi penulis berikutnya untuk melakukan pengkajian yang sifatnya lebih luas. Implikasi tersebut, disarankan untuk senantiasa mencer-mati peluang-peluang dikodifikasikan fikih Islam kedalam system hukum Negara-negara mayoritas muslim, yang suatu ketika diharapkan menjadi kon-sumsi akademik dan upaya pembaha-ruan di bidang hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al qur’an al Karim
Anderson, J.N.D., Islamic Law in The Modern World. Alih bahasa: Machnun Husein, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Hosen, Ibrahim, Memecahkan Permasa-lahan Hukum Baru. Dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri, ed., Ijtihad dalam Sorotan Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin Bairut: Daar al-Fikr, t. th. ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam  Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid  Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, T th.
Kamil, Sukron, Penomena Gerakan Penegakan Syareat Islam: Studi atas Majelis Mujahidin Indonesia. Dalam dialog Jurnal Penelitian dan Keagamaan, ed. 1, tahun ke-3 2005
Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Nasution, Harun, Islam Di tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979
Rahmat, H. Djatmika, Perkembangan Ilmu Fiqhi didunia Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Shiddiqi, Nouruzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya Cet. I; Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1997
Yahya, Mukhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996
Catatan Akhir:
[1]Lihat. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 5   
2Pengertian Fiqh secara etimologi adalah al-Fahm terdiri dari huruf fa, ha, dan mim berarti pemahaman. Lihat H. Djatmika Rahmat. Perkembangan Ilmu Fiqhi didunia Islam. (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 41-2
3Problema kemasyarakatan dalam al quran secara umum termaktub pada 368 ayat, dan 228 ayat atau 3 1/5 persen merupakan ayat yang mengungkap soal kehidupan kemasya-rakatan umat, yaitu ayat yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan kontrak dan sebagainya. Lihat., Harun Nasution, Islam Di tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), h. 8   
4Lihat Q.S al Anfal (8) : 41
5Umar bin Khattab memahami ayat berdasarkan kontekstuanya dengan mencari subtansi di balik teks dan melihat pesan-pesan utamanya. Sementara Bilal memahami secara tekstualnya. Lihat., Sukron Kamil, Penomena Gerakan Penegakan Syareat Islam: Studi atas Majelis Mujahidin Indonesia. Dalam dialog Jurnal Penelitian dan Keagamaan , ed. 1, tahun  ke-3 (2005), h. 22
6Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1997), h.230
7Lihat., Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru. Dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri, ed., Ijtihad dalam Sorotan (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 44
8Lihat., Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut: Daar al-Fikr, t. th), h. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 444.
9Lihat., Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996), h. 550.
10Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT), hal. 2.
11Islam adalah pandangan hidup lengkap dan bersipat universal. Konsepsi yang dikemukakan oleh umat muslim, adalah adanya ikatan yang tidak terpisahkan antara agama dan hukumnya. Disamping sebagai agama dan etika, juga sebagai system hokum yang kesemuanya terpadu dalam Islam. Lihat., J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World. Alih bahasa: Machnun Husein, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h.xxi
 12Salah satu faktor diharamkanya riba adalah terjadinya ketimpangan dan eksploitasi dari kelompok yang memiliki modal terhadap yang tidak memiliki modal. Lihat., Q.S. Al Baqarah (2) : 278



Tidak ada komentar:

Posting Komentar