Jumat, 23 Januari 2015

KORELASI MAQẢSHID AL-SYARỊ’AH DENGAN METODE PENETAPAN HUKUM



KORELASI MAQẢSHID AL-SYARỊ’AH
DENGAN METODE PENETAPAN HUKUM
Achmad Musyahid Idrus
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Email: ahmad musyahid@yahoo.co.id

Abstract: Maqashid al-Syariah is known as a method of Islamic law philosophy. It put a reason to explore the inner meaning of the text by connecting reality that appeared arround it. Meanwhile, the method of decision law is one way to find and act the law among the people. Maqashid syariah and method of decision law has corelation to fulfill the ideal meaning of law in the text and in other way, maqashid syariah purposes to realize the maslahat for peoples.
Kata Kunci: Koreasi, Maqashis Syariah, Metode Penetapan Hukum



I.     PENDAHULUAN
Pada mulanya term syari’ah (Indonesia: syari’at) meliputi semua ajaran agama Islam yang mencakup aqidah, syarị’ah (hukum) dan akhlak,1 namun dalam perkembangannya term itu mengalami reduksi makna sehingga hanya mengandung satu makna saja, yaitu syari’ah (hukum). Dari situlah, apa yang disebut dengan syari’at Islam selalu diasosiasikan dengan hukum Islam, yang di kalangan para ahli Hukum Islam (fuqaha’) disebut fiqh, yang menurut bahasa bermakna “tahu” atau “faham.”2 Jadi, antara syari’ah, Hukum Islam, dan fiqhi, pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama yaitu Hukum Islam. Dari sini, Mahmud Syaltut, mendefinisikan syari’ah sebagai sebutan bagi berbagai peraturan dan hukum yang telah disyari’atkan Allah, atau disyariatkan prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia.3
Hukum Islam ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum (al-syâri’) dengan suatu tujuan bagi kemashlahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan, yakni untuk menjaga eksis-tensi, mengembangkan baik kualitas mau-pun kuantitas), baik material maupun spiritualnya, yang dalam keputakaan Hukum Islam disebut maqâshid al-syarị’ah. Sejak dikonstruksi di masa awal, khususnya abad pertengahan, maqâshid al-syarị’ah terus digali oleh para pakar Hukum Islam sehingga terus mengalami perkembangan. Untuk menegakkan maqâshid al-syarị’ah itulah sehingga dilakukan ijtihad dari waktu ke waktu yang dikembangkan melalui metode tertentu.
Sementara maqāsid syari’ah adalah sebuan teori pendekatan filsafat hukum Islam untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia dan perhatiannya terhadap implikasi-implikasi penerapan hukum yang dalam istilah Syatibi disebut dengan al-Nazar fi al-Ma’ālat menempakan maqāsid syari’ah sebagai bentuk peng-ekspresian penekanan hubungan kan-dungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi.4 Untuk melihat urgensi maqāsid syari’ah dalam ijtihad, maka seseorang harus memiliki dua kriteria yaitu dapat memahami maqāsid syari’ah secara sempurna dan adanya kemampuan untuk menarik kandungan hukum atas dasat pengetahuan dan pemahaman maqāsid syari’ah dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab serta al-Qur’an dan hadis. Kedua kriteria ini menurut Syatibi saling terkait karena kriteria kedua sebagai alat bantu dan kriteri pertama sebagai tujuan.5
Pengetahuan dan pemahaman maqāsid syari’ah merupakan aspek penting dalam melakukan ijtihād karena teori ini menjadi kunci keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihadnya karena landasan hukum menjadi tujuan dari setiap persoalan yang dihadapi manusia, baik persoalan baru yang belum ada secara harfiah dalam wahyu maupununtuk mengetahui apakah suatu kasus dapat diterapakan suatu ketentuan hukum atau tidak karena telah terjadi pergeseran nilai sebagai akibat adanya perubahan sosial.
Mengacu pada beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, maka penting dikaji mengenai konsep maqāsid syari’ah dalam sejarah sosial hukum Islam, kemudian metode penetapan hukum apa yang tepat digunakan dalam konteks ijtihad dewasa ini dan bagaimana hubungan antara maqāsid syari’ah tersebut dengan metode penetapan hukum.
II.  PEMBAHASAN
A.  Historigrafi dan Substansi Konsep Maqâshid al-Syarị’ah6
Penggunaan istilah maqāsid syari’ah mengandung pengertian yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuruddin al-Khadīmi dalam bukunya al-Maqāsid fi al-Mazdhab al-Maliki yang mengemukakan secara diplomatis dua alasan historisitas istilah maqāshid syari’ah yaitu;
Pertama, apabila maqāsid syari'ah adalah sekedar wacana ilmiyah yang pembahasannya disinggung dalam ber-bagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, hadits, fikih, dan usul fikih, maka sejarah awalnya dikembalikan pada periode kerasulan (masa turunnya wahyu pada Nabi Muhammad Saw), sebab kata al-maqāsid (esensi) dan sinonimnya, seperti kata al-Hikmah, al-Illat (motif), al-Asrar (rahasia), dan al-Ghāyat (tujuan akhir) sudah banyak disinggung baik dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah. Fase ini dikenal dengan istilah maqāshid saja dan belum dalam bentuk yang telah dibakukan seperti istilah maqxasid syari’ah yang dikenal dalam filsafat hukum Islam.
Kedua, apabila yang dimaksud dengan maqāshid al-syari'ah adalah sebuah disiplin keilmuan yang independen (ilm mustaqil), keilmuan yang memiliki definisi, kerangka pembahasan dan target kajian tersendiri, maka sejarah awalnya dinisbatkan pada Imām al-Syatibi (w: 790 H/ 1388 M) yang telah menjadikan satu bab dalam bukunya al-Muwāfaqāt sebagai lembaran khusus membahas secara tuntas maqāshid al-syari'ah.7 Namun sayang proyek besar Imam al-Syātibi yang ditulis setengah abad sebelum runtuhnya kota Granada terkubur begitu saja dan baru pada tahun 1884 M buku al-Muwāfaqāt mulai dikenal dan dikaji pertama kali di Tunis. Sejak saat itulah orang mulai ‘memanfaatkan’ dan mengkaji konsep maqāshidnya Imām al-Syātibi. Ide mengenai ilmu baru “Ilmu Maqāshid al-Syariah” kembali muncul di abad 20 dengan Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur (1879-1973 M) sebagai tokohnya. Bahkan tokoh besar asal Tunisia ini dianggap sebagai bapak maqāshid kontemporer, setelah Imām al-Syātibi. Dialah yang paling serius menggoalkan konsep ilmu baru ini sebagai ilmu yang terlepas dari ushūl fiqh setelah sebelumnya merupakan bagian darinya.8
Sebenarnya al-Syātibi dan Ibnu Atsyūr bukanlah orang pertama yang menggulirkan istilah ini karena jauh sebelum al-Syātibi, Abu al-Ma’ali al-Juwāini yang lebih dikenal dengan sebutan Imām al-Haramāin (w.478 H) telah menggagas permasalahan ini dengan melontarkan ide maqāshid al-syariah sebagai ‘ilmu baru’ yang mempunyai karateristik ‘kepastian’ dalil-dalilnya dan melampaui perbedaan-perbedaan mazhab fikih dan bahkan dari usul fikih yang bersifat zhaniyyah itu sendiri.9
Meski konsep yang ditawarkan al-Juwaini ini tidak begitu dalam dibanding dengan Imam al-Syātibi, tetapi ia telah memberikan andil yang cukup besar dibanding tokoh-tokoh semasanya dalam menggulirkan ide tersebut sehingga dijadikan sebagai pijakan dan inspirasi orang-orang setelahnya, termasuk al-Syātibi sendiri. Lebih jauh lagi apa yang disebutkan oleh Ahmad al-Raisūny dari penelitiannya bahwa istilah maqāshid al-syariah telah digunakan oleh orang-orang sebelum Imām Haramāin. Tokoh-tokoh yang memberikan concern terhadap tema ini antara lain;10 Al-Turmudzi al-Hakim (abad III), dia termasuk orang yang pertama kali menggunakan dan meng-gulirkan istilah maqāshid, meski dengan teorinya yang khas, seperti yang tertuang dalam karyanya, al-shalāt wa maqūha. Berikutnya adalah Abu Mansur al-Maturīdī (w.333), Abu Bakar Al-Qaffal (w.365), Abu Bakar al-Abhāry (w.375), al-Baqillāni (w.403), dilanjutkan Imam Haramain, Imam al-Ghazāli (w. 505), al-Rāzi (w. 606), al-Amidī (w.631), Ibn Hājib (w. 646), Izzudin bin Abdul Salām (660) yang tertuang dalam karyanya Qawāid al-Ahkām fi Mashālih al-Anām, al-Baidhāwi (w.685), al-Isnāwi (w.772), Ibn Subki (w.771), dan beberapa tokoh lainnya.
Sekalipun istilah maqāsid syari’ah telah dikenal sebelum Syatibi, namun menurut penulis tetap saja tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Syatibi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teori ini secara lengkap sebagai sebuah metode pemikiran filosofis apalagi buku-nya al-Muwāfaqāt berpengaruh terhadap tokoh-tokoh sesudahnya seperti Muham-mad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraz, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy. Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syatibi terutama al-Muwāfaqāt. Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha yang bukan saja terpengaruh dengan ide maqāshidnya Imam Syatibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiy-yah yang sejak lama diusungnya. Demi-kian juga dengan Thahir bin Asyūr yang mencoba mengenyampingkan ushūl fiqh dan menggantinya dengan maqāshid syari’ah sebagai ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari ilmu ushūl yang dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang manusiawi. Bahkan buku Allal Fasy, Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwāfaqāt.
Karena besarnya pengaruh Syatibi dengan al-Muwāfaqātnya inilah, ulama-ulama ushul kemudian sepakat menjadi-kan Imām Syatibi sebagai bapak maqā-shid syari’ah pertama yang telah menyu-sun teori-teorinya secara lengkap, sistema-tis dan jelas.11
Inti atau substansi dari konsep maqāsid syari’ah adalah kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah bahwa maqâshid al-syarị’ah adalah mencegah kerusakan dari dunia manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, pengen-dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, dan kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui di hadapan akal manusia.12 Sementara itu, Abdul Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri-kut bahwasanya maksud umum Syāri’ menetapkan hukum ialah untuk menegak-kan kemashlahatan manusia dalam ke-hidupan ini, menarik manfaat dan meno-lak kemudaratan bagi mereka. Karena sesungguhnya kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari urusan-urusan dharuriyyah, hajiayât dan tahsi-niyyât. Apabila urusan-urusan tersebut telah terpenuhi dan terangkat maka tegaklah kemashlahatan mereka. Syari’at Islam menetapkan hukum-hukum dalam bermacam-macam aspek amal manusia adalah untuk menegakkan ketiga urusan (dharuriyyah, hajiyyât dan tahsiniyyât) baik bagi perorang maupun masyarakat.13
Sementara substansi maqāsid syari’ah yang dikemukakan Syatibi dalam al-Muwāfaqāt adalah kemaslahatan dan kemaslahatan itu dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu; Pertama, maqashid al-syari’ (tujuan Tuhan). Kedua, maqa-shid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqashid al-syari’ah mengandung empat aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari Syari’ menetapkan syari’at yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat; (2) penetapan syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syari’at sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syari’at guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Dengan demikian, tujuan Tuhan menetapkan suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu, Tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan syari’at sesuai dengan kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syari’at, manusia akan terlindung di dalam hidupnya dari segala kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-nafsu.14
Adapun tujuan syari’at ditinjau dari sudut tujuan mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari’at yang digariskan oleh Syari’ di atas, sehingga tercapai tujuan mulia syari’at, yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Agar kemaslahatan manusia dapat terwujud, maka seorang mujtahid harus memiliki kemampuan untuk memahami maqāsid syari’ah ter-sebut yaitu dengan memiliki pengetahuan bahasa Arab, memiliki pengetahuan tentang sunnah, memiliki pengetahuan tentang sebab turunnya ayat. Terkait dengan ketiga syarat dalam memahami maqāsih syari’ah para ulama memilki corak pemahaman yang berbeda-beda yaitu;15
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa maqāsid syari’ah adalah sesuatu yang abstrak tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zhāhir lafaz yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian yang pada giliran-nya bertentangan dengan kehendak bahasa. Petunjuk dalam bentuk zāhir lafaz itu, baik disertai untgkapan bahwa taklif tidak berkaitan dengan kemaslahatan hamba atau sebaliknya dengan menyata-kan keharusan urgensi kemaslahatan, maka pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyās. Kelompok ini disebut ulama Zāhiriyah.
Ulama yang tidak menempuh pen-dekatan Zāhir al-Lafz dalam mengetahui maqāsid sy ari’ah yang terbagi dua yaitu kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqāsid syari’ah bukan dalam bentuk zāhir dan bukan pula yang dipahami dari tunjukan Zāhir al-Lafz itu. Maqāsid syari’ah merupakan hal lain yang ada dibalik tunjukan Zāhir al-Lafz yang terdapatbdalam semua aspek syari’at sehingga tidak seorangpun dapat ber-pegang dengan Zāhir al-Lafz yang memungkinkan ia memperoleh pengertian maqāsid syari’ah. Kelompok ini disebut ulama Batiniyyah. Sementara kelompok kedua, berpendapat bahwa maqāsid syari’ah harus dikaitkan dengan penger-tian-pengertian lafal. Artinya Zāhir al-Lafz tidak harus mengandung tunjukan mutlak. Apabila terdapat pertentangan Zāhir al-Lafz dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian nalar. Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqīn fi al-Qiyās.
Ketiga, ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan Zāhir al-Lafz dan pertimbagan makna illah dalam suatun bentuk yang tidak merusak pengertian Zāhir al-Lafz dan tidak merusak kandungan makna illah agar syari’ah tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini disebut ulama al-Rāsikīn.
B.  Metode Penetapan Hukum
Ijtihad sebagai sebuah konsep penemuan hukum dalam filsafat hukum Islam mempunyai metode penetapan hukum, baik sebagai masādir al-ahkaām maupun sebagai adillah al-ahkām. Dengan demikian, ijtihad merupakan sarana dalam pembentukan atau penetapan (tasyri’) Hukum Islam, tanpa ijtihad akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kandungan al-Qur’an dan hadis, karena keduanya tidak aplikatif sehingga harus digali lebih dulu kandungannya agar menjadi kaedah hukum dan norma hukum yang praktis digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, termasuk maqâshid syarị’ah-nya. Karena itu dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali Hukum Islam dari sumbernya untuk kemudian memperoleh jawaban terhadap permasa-lahan hukum yang muncul dalam masya-rakat.16
Ijtihad dari aspek subyeknya terbagi kepada ijtihad perseorangan (ijtihad fardhy)17 dan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).18 Wahbah Zuhaily, membagi ijtihad kepada tiga macam, yaitu: 1) Ijtihâd al-Bayâny yaitu ijtihad terhadap yang mujmal, baik karena belum jelas makna yang dimaksud maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak) ataupun adanya dalil-yang tampak ditempuh jalan al-jam’u wa al-taufīq (mengumpulkan dan mengkom-promikan kemudian ditarjih). 2) Ijtihad al-Qiyasy yaitu yang menganalogikan hukum yang disebut dalam kepada masalah baru yang belum ada hukumnya, karena adanya persamaan illat. 3) Ijtihad al-Istishlahy yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam sama sekali secara khusus maupun tidak ada mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah demikian, penetapan hukum yang dilakukan berdasarkan illat untuk kese-lamatan.19 Hampir sama dengan Wahbah Zuhaily, al-Tiwana, dari segi ini membagi ijtihad kepada tiga macam yaitu ijtihad dalam memberi penjelasan dan penafsiran (bayan) terhadap. Ijtihad dalam melaku-kan analogi (qiyas) terhadap hukum-hukum yang telah ada dan disepakati. Ijtihad dalam arti penggunaan al-ra’yu.20
Dalam konteks kekinian, maka metode ijtihad yang tepat menurut penulis adalah model ijtihad maqāsidī yang ber-tumpu pada illat dan kemaslahatan sehinga mampu merespon pesatnya per-kembangan zaman. Sekalipun telah di-kenal metode-metode penetapan hukum dalam ushūl fiqh seperti qiyas, istihsan, istishlah, istishab, sad al-Zara’i.21 Terkait dengan metode penetapan hukum tersebut, maka Syatibi menawarkan sebuah konsep ijtihad maqāsidī yang berupaya mereali-sasikan kemaslahatan tersebut yaitu model ijtihad istinbāti dan Ijtihād Tatbiqī. Ijtihad istinbāti adalah sebuah upaya untuk meneliti illah yang dikandung oleh nās sementara ijtihad tatbīqī adalah upaya untuk meneliti suatu masalah di mana hukum diidentifikasi dan diterapkan sesuai ide yang dikandung oleh nas. Ijtihad ini disebut juga dengan Tahqīq al-Manāt yang berfokus pada upaya mengaitkan kasus-kasus yang muncul dengan kandungan makna yang ada dalam nas.22
Pembagian yang dikemukakan Syatibi ini dapat mempermudah untuk memahami mekanisme ijtihad karena dalam ijtihad istinbāti seorang mujtahid dapat memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide-ide yang dikandung oleh nas yang abstrak sedangkan dalam ijtihad tatbīqi seorang mujtahid berupaya menerapkan ide-ide yang abstrak tadi terhadap permasalahan-permasalahan yang konkret tadi. Jadi objek kajian ijtihad istinbāti adalah nas sementara tatbīqi adalah manusia dengan dinamika dan perkembangan yang dialaminya. Ijtihad tatbīqi dapat juga disebut dengan upaya sosialisasi dan penerapan ide-ide nas pada tataran kehidupan manusia yang senan-tiasa berkembang dan berubah sehingga wajar jika Syatibi menyebut ijtihad tatbīqi ini sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman.23
Mencermati dua model ijtihad yang dikemukakan oleh Syatibi tersebut di atas, maka menurut analisis penulis model ijtihad istinbāti adalah ijtihad yang dapat dilakukan seorang diri maupun kelompok yang memiliki persyaratan-persyaratan ijtihad seperti pengertahuan bahasa Arab, pengetahuan tentang sunnah dan penge-tahuan tentang sebab turunnya ayat. Sebaliknya, ijtihad tatbīqi adalah model ijtihad kolektif yang dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan ilmuan yang ahli tentang suatu masalah tanpa harus memenuhi standar syarat-syarat ijtihad tersebut. Dalam kasus ini, ilmuan dibutuhkan untuk memberi informasi dan konfirmasi terhadap suatu masalah di mana masalah tersebut, mungkin seorang ulama tidak memiliki kompetensi tentang hal tersebut. Misal-nya, dalam dunia kedokteran, operasi ganti kelamin, penanaman alat genetik atau permak ulang maka yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah pengetahuan seorang dokter ahli. Persoalan-persoalan seperti inilah menurut penulis yang akan terus berkembang dan tidak berhenti sampai akhir zaman.
Sekalipun peran ijtihad tatbīqi lebih menonjol pada aspek sosial budaya dan politik dibanding ijtihad istinbāti yang lebih terfokus pada nas syar’i tidak berarti kedua model ijtihad ini tidak memiliki hubungan antara keduanya. Di dalam pelaksanaan ijtihad tatbīqi, ijtihad istin-bāti memegang peranan yang amat penting karena pengetahuan tentang esensi dan ide umum suatu nas tetapmenjadi tolok ukur dalam penerapan hukum. Kekeliruan dalam menetapkan ide ayat akan melahirkan kekeliruan pula dalam menilai masalah-masalah baru dan peneta-pan hukumnya. Artinya, ijtihad tatbīqi yang disebut tahqīq al-manāt harus dikaitkan dengan takhrīj al-manāt dan tahqīq al-manāt sebagai ijtihad istinbāti. Misalnya, kata adil dalam QS at-Thalāq ayat 2.ذوي عد ل منكم واشهدوا
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang dapat menjadi saksi adalah orang yang bersifat adil. Kata adil merupakan kata kunci dalam ayat ini. Dalam mela-kukan ijtihad seseorang harus mengetahui dengan teliti sifat adil yang dimaksud oleh nas dan upaya mengetahui kriteri sifat adil dapat disebut ijtihad istinbāti sedang meneliti pada siapa sifat adil itu yang ditunjuk nas bisa ditemukan merupakan model ijtihad tatbīqi.
Dalam konteks hubungan antara maqāsid syari’ah dan ijtihad sebagai sebuah metode penemuan dan penetapan hukum, maka corak penalaran yang dikembangkan dewasa ini adalah corak penalaran ta’lili dan corak penalaran istislāhi. Corak penalaran ta’lili adalah sebuah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illah-illah hukum yang terdapat dalam suatu nas. Penalaran ta’lili ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa nas al-Qur’an maupun hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illah-illah hukumnya.24
Dengan memperhatikan illah yang terkandung dalam nas, maka permasala-han-permasalahan hukum yang muncul diupayakan pemecahannya oleh seorang mujtahid melalui penalaran terhadap illah yang ada dalam nas tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak penalaran ta’lili ini adalah dalam bentuk metode qiyās dan istihsān.25
Sementara corak penalaran istislāhi adalah sebuah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan hadis. Kemaslahatan yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum tersebut. Artinya, kemas-lahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui proses penalaran bayāni maupun ta’lili melainkan dikem-balikan kepada prinsip umum kemas-lahatan yang dikandung oleh nas. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak penalaran istislāhi ini terintegrasi dalam metode maslahah al-mursalah dan al-zari’ah.26
Menurut penulis bahwa metode penetapan hukum seperti istihsān dan zarā’i perlu dipertimbangkan karena urgensi dan efektifitasnya sangat men-dukung maqāsid syari’ah. Istihsan adalah sebuah metode yang menekankan kebai-kan atau kemaslahatan bagi umat manusia. Metode ini memang ditolak oleh Syafī’i disebabkan substansi istihsan yang dijelaskan oleh pengikut Abu Hanīfah tidak utuh sehingga tidak mencerminkan substansi istihsān yang sesungguhnya. Sementara zarā’i adalah sebuah metode yang menekankan pada dampak suatu tindakan (al-al-nasar fi al-maālat) yang berimplikasi pada dua dampak perbuatan seorang mukallaf yaitu yang berpotensi maslahah karenanya didukung oleh nās dan perbuatan yang berpotensi mafsadah karenanya dilarang oleh nās.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tampaknya pengembangan metode ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama baik dalam corak penalaran ta’lili maupun corak penalaran istislāhi sangat memung-kinkan karena dapat berperan besar dalam memberikan pemecahan terhadap masa-lah-masalah hukum yang muncul dewasa ini apabila diberi muatan dan pendekatan maqāsid syari’ah. Jika teori maqāsid syari’ah ini dikaitkan dengan pesatnya dan kompleksnya persoalan yang dihadapi umat sekarang ini, maka metode peneta-pan hukum yang dapat dikembangkan adalah metode ijtihad tatbīqi dengan memadukan corak penalaran ta’līli dan corak penalaran istislāhi karena yang dibutuhkan dewasa ini adalah kolektivitas keilmuan sehingga hasil ijtihad itu menjadi komprehensif.
C.  Korelasi Maqāsid Syari’ah dengan Metode Penetapan Hukum
Keterkaitan antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dapat dilihat pada substansi maqāsid syari’ah tersebut yakni mewujudkan kemaslahatan dan pengembangan metode penetapan hukum tatbīqi dengan corak penalaran ta’līli dan istislāhi. Keberadaan kedua corak penalaran tersebut di atas, menun-jukkan bahwa antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam filsafat hukum Islam memiliki hubungan yang erat sebagaimana yang terlihat dalam mekanisme ijtihad istinbāti dan tatbīqi tersebut di atas.
Ijtihad istinbāti mempunyai kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan keharusan pemahaman maqāsid syari’ah karena ijtihad istinbāti merupakan upaya menggali ide-ide hukum yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis yang merupakan khitab al-Syāri. Sementara ijtihad istinbāti dan ijtihad tatbīqi mem-punyai hubungan yang saling memer-lukan, maka secara tidak langsung ter-dapat kaitan antara ijtihad tatbīqi dengan maqāsid syari’ah walaupun kaitan itu tidak secara langsung. Dari kaitan ini diapat ditegaskan bahwa hubungan antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam ijtihad tidak dapat dipisah-kan.
Atas dasar hubungan tersebut di atas, maka maqâshid al-syari’ah dan metode penetapan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maqâshid al-syari’ah adalah menjadi cita-cita utama daripada pembentukan hukum Islam. Dengan melakukan ijtihad berdasarkan metode yang telah ada seperti qiyas, istihsan, istishlah, sad al-zara’iy, maka para mujtahid akan dapat melahirkan produk-produk hukum yang mampu mendukung maqâshid al-syari’ah.
Keterkaitan lainnya adalah bahwa tidak semua persoalan hukum mendapat pengaturan di dalam Alquran dan hadis. Banyak persoalan hukum baru yang tidak ditemukan dalil-dalil hukumnya dalam Alquran dan hadis.27 Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum (al-syâri’) tidak mengemukakan semua maqâshid al-syari’ah secara tersurat (mantuq), akan tetapi sebagian dikemukakan secara tersirat (mafhum), bahkan ada yang tidak dikemukakan (sirr).
Dengan demikian, untuk mengeta-hui maqâshid al-syari’ah dari hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah khususnya yang mafhum dan sirr, orang harus berijtihad dengan menggunakan metode-metode yang ada dengan ditopang oleh pengembangan pemahaman metodo-logis, seperti metode al-bayân dari Imām al-Syafi’i dan metode al-istiqra’ dari Imām al-Syathibi dan metode pemahaman lain. Sebab dengan semakin diketahuinya maqâshid al-syari’ah yang lain (selain yang telah dikenal: al-dharûriyyah al-khamsah), maka dapat dibuat produk-produk hukum yang relevan dengan itu. Bahkan untuk hal-hal yang belum diketahui sekalipun, sesungguhnya para mujtahid dapat membuatkan produk hukumnya (fiqh iftiradhy).28
III.   KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai korelasi maqāsid syari’ah dengan metode penetapan hukum dalam filsafat hukum Islam.
1.    Istilah maqāsid syari’ah telah diguna-kan sebelum Syatibi, tetapi peng-gunaannya terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan dengan illah, hikmah dan fiqh. Maqāsid syari’ah sebagai sebuah metode dalam mema-hami tujuan Syāri tidak dapat dilepas-kan dari Imām Syatibi yang kemudian dikembangkan oleh Thāhir ibn Asyūr, mereka dikenal dengan bapak maqāsid syari’ah.
2.    Metode penetapan hukum yang dapat dikembangkan dalam memahami maqāsid syari’ah adalah metode ijtihad istinbāti dan metode ijtihad tatbīqi. Kedua metode ini didukung oleh corak penalaran ta’lili dan corak penalaran istislāhi. Penalaran ta’līli dengan metode qiyās dan istihsān serta penalaran istislāhi dengan metode maslahah mursalah dan zarā’i, kesemuanya terkait dengan maqāsid syari’ah.
3.    Hubungan antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Maqāsid syari’ah sebagai tujuan dan metode sebagai alat dalam memahami maksud dan tujuan Syāri menurunkan hukum.

Catatan Akhir:
[1]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.
2T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ushul Fiqhi (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 30.
3Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Mesir: Dar Alqalamih, 1966), h. 111.
4Lihat Wael B. Hallaq dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut Syatibi. Ed. 1; (Cet. 1; jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 156.
5Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al Maārifah, t, th), h. 105-107.
6Pengertian dari pada maqashid al-syari’ah ini Secara lughawi, maqashid syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti  الى الماءyang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Cet.I: Sinar Grafika Offset, 2005), h. 196.
7Kesimpulan Nuruddin al-Khadīmi tersebut diambil karena sebelum Imām Syātibi, para ulama semisal Abu Bakar al-Qaffāl (w: 365 H / 975 M), al-Juwaini (w: 478 H / 1185 M) al-Ghazāli (w: 505 H / 1111 M), Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H / 1261 M), al-Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn al-Qayyim (w: 751 H/1350 M), hanya menyinggung tentang maqāshid secara sekilas di tengah pembahasan mereka seputar masalah fiqh atau ushul fiqh. Nuruddin al-Khadimi, Al-Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki (Cet. I; Tunis: Dār al-Tunisiyah, 2003), h. 30-36.
8Sebenarnya Ibn ‘Asyur pun bukan satu-satunya orang yang pertama kali mengangkat tema itu pada masa kontemporer. Sebelumnya, tema yang sama diangkat oleh Mohammad Munir ‘Imran dalam disertasi yang diajukan pada Madrasah Qadla al-Syar’i di Mesir tahun 1930 M dengan judul “Qasd al-Syari’ min Wadl'i al-Syariah”, dan seorang juris Islam asal Tunis yang semasa dengan Ibn ‘Asyur, Mohammad Abdul Aziz telah membahas topik di atas dan dimuat di majalah al-Zaetuniyah tahun 1936 M dengan judul “Maqasid Syariat wa Asrar al-Tasyri’. Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah. Edisi 23 (al-Muslim al-Muashir, 2002. h. 19.
       9Imām al-Haramāin al-Juwāini mengung-kapkan keprihatinannya akan kemerosotan peradaban sosial, terutama cendekiawan dan politisi Islam, menurutnya untuk keluar dari kondisi ini tidak ada cara selain “membangun maqāshid al-syariah yang universal dan mengangkatnya dari level zhonni sebagai karakteristik ushāl fiqh ke level qoth’i. Lihat Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam (Cet. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994), h. 356.
 10Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syatibi, (Cet. I; Mesir: Dār al-Kalimat, 1997), h. 24-44.
11Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, (Cet. 1; Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 35.
12Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lām al-Muwaqqi’in, Juz III (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1969), h. 177.
13Abdul Wahhab Khallaf, ‘Imu Ushul Fiqh (Cet. III; Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977), h. 198.
14Fathurrahman Djamil, Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 43.
15 Asafri, op. cit., h, 89-91.
16Abd. Al-Wahab Khallaf, ‘Imu Ushul Fiqh (Cet. III; Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977), h. 216.
17Ijtihad fardy ialah setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah yang dihasilkan oleh seseorang. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 381.
18Ijtihad jama’i ialah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah yang diijtihadkan. Ibid.
19Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 1041.
20Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-‘Asr (t.t.: Dâr al-Kutub al-Hadisah, t.th.), h. 39  
21Abd. Wahab Khallaf, Mashâdir al-Tasyri fi ma la fihi (Kuwait: Dar Al-Kalam, 1972), h. 67.
22Syatibi, IV. op. cit., h. 89.
23 Ibid.
24Muhammad Mustafa Syalābi, Ta’lil al-Ahkām (Beirūt: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1981), h. 14-15.
25Qiyas menurut bahasa adalah mengukur atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Secara terminologi, qiyas adalah menghubung sesuatu masalah yang tidak ada nya baik dari Alquran maupun hadis dengan sesuatu masalah yang ada nya, karena memiliki persamaan illatnya sehingga dihukumkan sama. M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 280. Istihsan, ialah berpaling pada sesuatu dari sesuatu hukum tentang satu masalah kepada hukum lain tentang masalah itu karena ada dalil yang lebih kuat. Oleh karena itu, al-Istihsan itu bermacam-macam yaitu istihsan dengan , seperti akad salam, istihsan dengan ijma’, seperti aqad istishna, istihsan dengan al-‘uruf, seperti mengatakan suci sisa minuman binatang buas lantaran sukar menghindarinya, istihsan dengan mashlahah (karena ada maslahah), seperti mengharuskan tukang dobi membayar harga dobi apabila hilang di tangannya. Lihat Hasbi, op. cit., h. 214. Lihat pula Muktar Yahya, op. cit., h. 66 & 217.
26Mashlahah al-Mursalah, adalah tiap-tiap mashlahah yang tidak dikaitkan dengan syara’ yang menyebabkan kita menghargainya atau tidak menghagainya, padahal dalam menghargainya ada manfaat, atau menolak mudlarat. Dzari’ah ialah sesuatu yang dapat mengantarkan sampai kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung kerusakan. Atau oleh Ibnu Qayyim diartikan sebagai apa yang menjadi wasilah dan jalan kepada sesuatu. Ibid., h. 220.
27Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I (Cat. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 105.
28T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 166.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam. Cet. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994.                
Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al Maārifah, t, th.
al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’in, Juz III. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1969.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pengantar Ushul Fiqhi. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang,      1978.
Djamil, Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.                                                         
Hallaq, Wael B. dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut Syatibi. Ed. 1; Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah, al-Muslim al-Muashir, Edisi 23, 2002.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Cet.I: Sinar Grafika Offset, 2005.
Khallaf, Abd. Wahab. Mashâdir al-Tasyri fi ma la fiqhi. Kuwait: Dar Al-Kalam, 1972.
-------, ‘Imu Ushul Fiqh. Cet. III; Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977.
M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah. Mesir: Dār Alqalamih, 1966
Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-‘Asr. t.t.: Dâr al-Kutub al-Hadisah, t.th.  
Muhammad Mustafa Syalābi, Ta’lil al-Ahkām. Beirūt: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1981.
Nuruddin al-Khadimi, Al-Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki. Cet. I; Tunis: Dar al-Tunisiyah, 2003.                                                             
Raisuni,Ahmad. Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syatibi. Cet. I; Mesir: Dar al-Kalimat, 1997.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo      Persada, 2000.                                                              
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2005.
Yahya,Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: al-Ma’arif,          1986.                                                    
Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamy, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar