KORELASI MAQẢSHID AL-SYARỊ’AH
DENGAN METODE PENETAPAN HUKUM
Achmad Musyahid Idrus
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Email: ahmad musyahid@yahoo.co.id
Abstract:
Maqashid al-Syariah is known as a method
of Islamic law philosophy. It put a reason to explore the inner meaning of the
text by connecting reality that appeared arround it. Meanwhile, the method of
decision law is one way to find and act the law among the people. Maqashid
syariah and method of decision law has corelation to fulfill the ideal meaning
of law in the text and in other way, maqashid syariah purposes to realize the
maslahat for peoples.
Kata Kunci: Koreasi, Maqashis Syariah, Metode
Penetapan Hukum
I.
PENDAHULUAN
Pada mulanya
term syari’ah (Indonesia: syari’at) meliputi semua ajaran agama
Islam yang mencakup aqidah, syarị’ah (hukum) dan akhlak,1 namun dalam perkembangannya term itu
mengalami reduksi makna sehingga hanya mengandung satu makna saja, yaitu
syari’ah (hukum). Dari situlah, apa yang disebut dengan syari’at Islam selalu
diasosiasikan dengan hukum Islam, yang di kalangan para ahli Hukum Islam (fuqaha’) disebut fiqh, yang menurut bahasa bermakna “tahu” atau “faham.”2 Jadi, antara syari’ah, Hukum Islam, dan
fiqhi, pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama yaitu Hukum Islam. Dari
sini, Mahmud Syaltut, mendefinisikan syari’ah sebagai sebutan bagi berbagai
peraturan dan hukum yang telah disyari’atkan Allah, atau disyariatkan
prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin dalam berhubungan
dengan Allah dan dengan sesama manusia.3
Hukum Islam ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai
pembuat hukum (al-syâri’) dengan
suatu tujuan bagi kemashlahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan, yakni
untuk menjaga eksis-tensi, mengembangkan baik kualitas mau-pun kuantitas), baik
material maupun spiritualnya, yang dalam keputakaan Hukum Islam disebut maqâshid al-syarị’ah. Sejak dikonstruksi
di masa awal, khususnya abad pertengahan, maqâshid
al-syarị’ah terus digali oleh para pakar Hukum Islam sehingga terus
mengalami perkembangan. Untuk menegakkan maqâshid
al-syarị’ah itulah sehingga dilakukan ijtihad dari waktu ke waktu yang
dikembangkan melalui metode tertentu.
Sementara maqāsid syari’ah adalah sebuan teori
pendekatan filsafat hukum Islam untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia
dan perhatiannya terhadap implikasi-implikasi penerapan hukum yang dalam
istilah Syatibi disebut dengan al-Nazar fi al-Ma’ālat menempakan maqāsid
syari’ah sebagai bentuk peng-ekspresian penekanan hubungan kan-dungan hukum
Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi.4
Untuk melihat urgensi maqāsid syari’ah dalam ijtihad, maka seseorang
harus memiliki dua kriteria yaitu dapat memahami maqāsid syari’ah secara sempurna
dan adanya kemampuan untuk menarik kandungan hukum atas dasat pengetahuan dan
pemahaman maqāsid syari’ah dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab serta
al-Qur’an dan hadis. Kedua kriteria
ini menurut Syatibi saling terkait karena kriteria kedua sebagai alat bantu dan
kriteri pertama sebagai tujuan.5
Pengetahuan dan pemahaman maqāsid syari’ah merupakan aspek
penting dalam melakukan ijtihād karena teori ini menjadi kunci keberhasilan
seorang mujtahid dalam ijtihadnya karena landasan hukum menjadi tujuan dari
setiap persoalan yang dihadapi manusia, baik persoalan baru yang belum ada
secara harfiah dalam wahyu maupununtuk mengetahui apakah suatu kasus dapat
diterapakan suatu ketentuan hukum atau tidak karena telah terjadi pergeseran
nilai sebagai akibat adanya perubahan sosial.
Mengacu pada beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, maka penting
dikaji mengenai konsep maqāsid syari’ah dalam sejarah sosial hukum
Islam, kemudian metode penetapan hukum apa yang tepat digunakan dalam konteks
ijtihad dewasa ini dan bagaimana hubungan antara maqāsid syari’ah tersebut
dengan metode penetapan hukum.
II. PEMBAHASAN
A.
Historigrafi
dan Substansi Konsep Maqâshid al-Syarị’ah6
Penggunaan istilah maqāsid syari’ah mengandung pengertian yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuruddin
al-Khadīmi dalam bukunya al-Maqāsid fi al-Mazdhab al-Maliki yang mengemukakan
secara diplomatis dua alasan historisitas istilah maqāshid syari’ah
yaitu;
Pertama, apabila maqāsid syari'ah adalah sekedar
wacana ilmiyah yang pembahasannya disinggung dalam ber-bagai disiplin keilmuan
Islam seperti tafsir, hadits, fikih, dan usul fikih, maka sejarah awalnya
dikembalikan pada periode kerasulan (masa turunnya wahyu pada Nabi Muhammad
Saw), sebab kata al-maqāsid (esensi) dan sinonimnya, seperti kata al-Hikmah,
al-Illat (motif), al-Asrar (rahasia), dan al-Ghāyat
(tujuan akhir) sudah banyak disinggung baik dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah.
Fase ini dikenal dengan istilah maqāshid saja dan belum dalam bentuk yang telah
dibakukan seperti istilah maqxasid syari’ah yang dikenal dalam filsafat hukum
Islam.
Kedua, apabila yang dimaksud dengan maqāshid
al-syari'ah adalah sebuah disiplin keilmuan yang independen (ilm
mustaqil), keilmuan yang memiliki definisi, kerangka pembahasan dan target
kajian tersendiri, maka sejarah awalnya dinisbatkan pada Imām al-Syatibi (w:
790 H/ 1388 M) yang telah menjadikan satu bab dalam bukunya al-Muwāfaqāt
sebagai lembaran khusus membahas secara tuntas maqāshid al-syari'ah.7 Namun sayang proyek besar Imam al-Syātibi yang
ditulis setengah abad sebelum runtuhnya kota Granada terkubur begitu saja dan baru
pada tahun 1884 M buku al-Muwāfaqāt mulai dikenal dan dikaji pertama
kali di Tunis. Sejak saat itulah orang mulai ‘memanfaatkan’ dan mengkaji konsep
maqāshidnya Imām al-Syātibi. Ide mengenai
ilmu baru “Ilmu Maqāshid al-Syariah” kembali muncul di abad 20 dengan
Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur (1879-1973 M) sebagai tokohnya. Bahkan tokoh
besar asal Tunisia ini dianggap sebagai bapak maqāshid kontemporer,
setelah Imām al-Syātibi. Dialah yang paling serius menggoalkan konsep ilmu baru
ini sebagai ilmu yang terlepas dari ushūl fiqh setelah sebelumnya merupakan
bagian darinya.8
Sebenarnya al-Syātibi dan Ibnu Atsyūr bukanlah orang pertama yang
menggulirkan istilah ini karena jauh sebelum al-Syātibi, Abu al-Ma’ali al-Juwāini
yang lebih dikenal dengan sebutan Imām al-Haramāin (w.478 H) telah menggagas
permasalahan ini dengan melontarkan ide maqāshid al-syariah sebagai
‘ilmu baru’ yang mempunyai karateristik ‘kepastian’ dalil-dalilnya dan
melampaui perbedaan-perbedaan mazhab fikih dan bahkan dari usul fikih yang
bersifat zhaniyyah itu sendiri.9
Meski konsep yang ditawarkan al-Juwaini ini tidak begitu dalam
dibanding dengan Imam al-Syātibi, tetapi ia telah memberikan andil yang cukup
besar dibanding tokoh-tokoh semasanya dalam menggulirkan ide tersebut sehingga dijadikan
sebagai pijakan dan inspirasi orang-orang setelahnya, termasuk al-Syātibi
sendiri. Lebih jauh lagi apa yang disebutkan oleh Ahmad al-Raisūny dari
penelitiannya bahwa istilah maqāshid al-syariah telah digunakan oleh
orang-orang sebelum Imām Haramāin. Tokoh-tokoh yang memberikan concern terhadap
tema ini antara lain;10 Al-Turmudzi
al-Hakim (abad III), dia termasuk orang yang pertama kali menggunakan dan meng-gulirkan
istilah maqāshid, meski dengan teorinya yang khas, seperti yang tertuang
dalam karyanya, al-shalāt wa maqūha. Berikutnya adalah Abu Mansur
al-Maturīdī (w.333), Abu Bakar Al-Qaffal (w.365), Abu Bakar al-Abhāry (w.375),
al-Baqillāni (w.403), dilanjutkan Imam Haramain, Imam al-Ghazāli (w. 505),
al-Rāzi (w. 606), al-Amidī (w.631), Ibn Hājib (w. 646), Izzudin bin Abdul Salām
(660) yang tertuang dalam karyanya Qawāid al-Ahkām fi Mashālih al-Anām,
al-Baidhāwi (w.685), al-Isnāwi (w.772), Ibn Subki (w.771), dan beberapa tokoh lainnya.
Sekalipun istilah maqāsid syari’ah telah dikenal sebelum
Syatibi, namun menurut penulis tetap saja tidak dapat dipisahkan dari pemikiran
Syatibi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teori ini secara lengkap
sebagai sebuah metode pemikiran filosofis apalagi buku-nya al-Muwāfaqāt
berpengaruh terhadap tokoh-tokoh sesudahnya seperti Muham-mad Abduh, Muhammad
Rasyid Ridha, Abdullah Darraz, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan
para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syatibi terutama
al-Muwāfaqāt. Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha yang bukan saja
terpengaruh dengan ide maqāshidnya Imam Syatibi, ia juga sangat terpengaruh
dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiy-yah
yang sejak lama diusungnya. Demi-kian juga dengan Thahir bin Asyūr yang mencoba
mengenyampingkan ushūl fiqh dan menggantinya dengan maqāshid syari’ah
sebagai ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari ilmu
ushūl yang dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya
cenderung kurang manusiawi. Bahkan buku Allal Fasy, Difa’ ‘an
al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha
merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwāfaqāt.
Karena besarnya pengaruh Syatibi dengan al-Muwāfaqātnya
inilah, ulama-ulama ushul kemudian sepakat menjadi-kan Imām Syatibi sebagai bapak
maqā-shid syari’ah pertama yang telah menyu-sun teori-teorinya secara
lengkap, sistema-tis dan jelas.11
Inti atau substansi dari konsep maqāsid syari’ah adalah
kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah bahwa maqâshid
al-syarị’ah adalah mencegah kerusakan dari dunia manusia dan mendatangkan
kemaslahatan kepada mereka, pengen-dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, dan
kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui di hadapan
akal manusia.12 Sementara itu, Abdul Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri-kut bahwasanya maksud umum Syāri’
menetapkan hukum ialah untuk menegak-kan kemashlahatan manusia dalam ke-hidupan ini, menarik manfaat dan meno-lak kemudaratan bagi mereka. Karena
sesungguhnya kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari
urusan-urusan dharuriyyah, hajiayât dan tahsi-niyyât. Apabila urusan-urusan
tersebut telah terpenuhi dan terangkat maka tegaklah kemashlahatan mereka.
Syari’at Islam menetapkan hukum-hukum dalam bermacam-macam aspek amal manusia
adalah untuk menegakkan ketiga urusan (dharuriyyah, hajiyyât dan
tahsiniyyât) baik bagi perorang maupun masyarakat.13
Sementara substansi maqāsid syari’ah yang
dikemukakan Syatibi dalam al-Muwāfaqāt adalah kemaslahatan dan
kemaslahatan itu dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu; Pertama,
maqashid al-syari’ (tujuan Tuhan). Kedua, maqa-shid al-mukallaf (tujuan
mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqashid al-syari’ah
mengandung empat aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari Syari’ menetapkan
syari’at yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat; (2) penetapan
syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syari’at sebagai
hukum taklifi yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syari’at guna
membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Dengan
demikian, tujuan Tuhan menetapkan suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah
untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu, Tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan syari’at sesuai dengan
kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syari’at, manusia akan terlindung
di dalam hidupnya dari segala kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-nafsu.14
Adapun tujuan syari’at ditinjau dari sudut tujuan mukallaf
ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari’at yang digariskan oleh Syari’ di
atas, sehingga tercapai tujuan mulia syari’at, yakni kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat. Agar kemaslahatan manusia dapat terwujud, maka seorang
mujtahid harus memiliki kemampuan untuk memahami maqāsid syari’ah ter-sebut
yaitu dengan memiliki pengetahuan bahasa Arab, memiliki pengetahuan tentang
sunnah, memiliki pengetahuan tentang sebab turunnya ayat. Terkait dengan ketiga
syarat dalam memahami maqāsih syari’ah para ulama memilki corak pemahaman yang
berbeda-beda yaitu;15
Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa maqāsid syari’ah adalah sesuatu yang abstrak tidak
dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zhāhir lafaz
yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian yang pada giliran-nya
bertentangan dengan kehendak bahasa. Petunjuk dalam bentuk zāhir lafaz
itu, baik disertai untgkapan bahwa taklif tidak berkaitan dengan kemaslahatan
hamba atau sebaliknya dengan menyata-kan keharusan urgensi kemaslahatan, maka
pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyās. Kelompok ini disebut
ulama Zāhiriyah.
Ulama yang tidak menempuh pen-dekatan Zāhir al-Lafz dalam
mengetahui maqāsid sy ari’ah yang terbagi dua yaitu kelompok ulama yang
berpendapat bahwa maqāsid syari’ah bukan dalam bentuk zāhir dan bukan
pula yang dipahami dari tunjukan Zāhir al-Lafz itu. Maqāsid syari’ah
merupakan hal lain yang ada dibalik tunjukan Zāhir al-Lafz yang
terdapatbdalam semua aspek syari’at sehingga tidak seorangpun dapat ber-pegang
dengan Zāhir al-Lafz yang memungkinkan ia memperoleh pengertian maqāsid
syari’ah. Kelompok ini disebut ulama Batiniyyah. Sementara kelompok kedua,
berpendapat bahwa maqāsid syari’ah harus dikaitkan dengan penger-tian-pengertian
lafal. Artinya Zāhir al-Lafz tidak harus mengandung tunjukan mutlak.
Apabila terdapat pertentangan Zāhir al-Lafz dengan nalar, maka yang
diutamakan dan didahulukan adalah pengertian nalar. Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqīn
fi al-Qiyās.
Ketiga, ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan Zāhir al-Lafz
dan pertimbagan makna illah dalam suatun bentuk yang tidak merusak pengertian
Zāhir al-Lafz dan tidak merusak kandungan makna illah agar
syari’ah tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok
ini disebut ulama al-Rāsikīn.
B.
Metode Penetapan Hukum
Ijtihad sebagai
sebuah konsep penemuan hukum dalam filsafat hukum Islam mempunyai metode
penetapan hukum, baik sebagai masādir al-ahkaām maupun sebagai adillah
al-ahkām. Dengan demikian, ijtihad merupakan sarana dalam pembentukan atau
penetapan (tasyri’) Hukum Islam,
tanpa ijtihad akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kandungan al-Qur’an
dan hadis, karena keduanya tidak aplikatif sehingga harus digali lebih dulu
kandungannya agar menjadi kaedah hukum dan norma hukum yang praktis digunakan
untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, termasuk maqâshid syarị’ah-nya. Karena itu dapat
dikatakan bahwa ijtihad merupakan suatu upaya berpikir secara optimal dalam
menggali Hukum Islam dari sumbernya untuk kemudian memperoleh jawaban terhadap
permasa-lahan hukum yang muncul dalam masya-rakat.16
Ijtihad dari aspek subyeknya terbagi kepada ijtihad
perseorangan (ijtihad fardhy)17 dan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).18 Wahbah Zuhaily, membagi ijtihad kepada tiga macam, yaitu: 1) Ijtihâd
al-Bayâny yaitu ijtihad terhadap yang mujmal, baik karena belum
jelas makna yang dimaksud maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak) ataupun adanya dalil-yang
tampak ditempuh jalan al-jam’u wa al-taufīq
(mengumpulkan dan mengkom-promikan kemudian ditarjih). 2) Ijtihad al-Qiyasy
yaitu yang menganalogikan hukum yang disebut dalam kepada masalah baru yang
belum ada hukumnya, karena adanya persamaan illat. 3) Ijtihad al-Istishlahy
yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam sama sekali
secara khusus maupun tidak ada mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam
masalah demikian, penetapan hukum yang dilakukan berdasarkan illat untuk
kese-lamatan.19 Hampir sama dengan Wahbah Zuhaily, al-Tiwana,
dari segi ini membagi ijtihad kepada tiga macam yaitu ijtihad
dalam memberi penjelasan dan penafsiran (bayan) terhadap. Ijtihad dalam
melaku-kan analogi (qiyas) terhadap
hukum-hukum yang telah ada dan disepakati. Ijtihad dalam arti penggunaan al-ra’yu.20
Dalam konteks kekinian, maka metode ijtihad yang tepat menurut penulis adalah model
ijtihad maqāsidī yang ber-tumpu pada illat dan kemaslahatan
sehinga mampu merespon pesatnya per-kembangan zaman. Sekalipun telah di-kenal
metode-metode penetapan hukum dalam ushūl fiqh seperti qiyas, istihsan, istishlah,
istishab, sad al-Zara’i.21 Terkait dengan metode penetapan hukum
tersebut, maka Syatibi menawarkan sebuah konsep ijtihad maqāsidī yang
berupaya mereali-sasikan kemaslahatan tersebut yaitu model ijtihad istinbāti
dan Ijtihād Tatbiqī. Ijtihad istinbāti adalah sebuah upaya untuk
meneliti illah yang dikandung oleh nās sementara ijtihad tatbīqī
adalah upaya untuk meneliti suatu masalah di mana hukum diidentifikasi dan
diterapkan sesuai ide yang dikandung oleh nas. Ijtihad ini disebut juga dengan Tahqīq
al-Manāt yang berfokus pada upaya mengaitkan kasus-kasus yang muncul dengan
kandungan makna yang ada dalam nas.22
Pembagian yang dikemukakan Syatibi ini
dapat mempermudah untuk memahami mekanisme ijtihad karena dalam ijtihad
istinbāti seorang mujtahid dapat memfokuskan perhatiannya pada upaya
penggalian ide-ide yang dikandung oleh nas yang abstrak sedangkan dalam ijtihad
tatbīqi seorang mujtahid berupaya menerapkan ide-ide yang abstrak tadi
terhadap permasalahan-permasalahan yang konkret tadi. Jadi objek kajian ijtihad
istinbāti adalah nas sementara tatbīqi adalah manusia dengan
dinamika dan perkembangan yang dialaminya. Ijtihad tatbīqi dapat juga
disebut dengan upaya sosialisasi dan penerapan ide-ide nas pada tataran
kehidupan manusia yang senan-tiasa berkembang dan berubah sehingga wajar jika
Syatibi menyebut ijtihad tatbīqi ini sebagai ijtihad yang tidak akan
berhenti sampai akhir zaman.23
Mencermati dua model ijtihad yang
dikemukakan oleh Syatibi tersebut di atas, maka menurut analisis penulis model ijtihad
istinbāti adalah ijtihad yang dapat dilakukan seorang diri maupun kelompok
yang memiliki persyaratan-persyaratan ijtihad seperti pengertahuan bahasa Arab,
pengetahuan tentang sunnah dan penge-tahuan tentang sebab turunnya ayat.
Sebaliknya, ijtihad tatbīqi adalah model ijtihad kolektif yang dapat
dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan ilmuan yang ahli tentang suatu
masalah tanpa harus memenuhi standar syarat-syarat ijtihad tersebut. Dalam
kasus ini, ilmuan dibutuhkan untuk memberi informasi dan konfirmasi terhadap
suatu masalah di mana masalah tersebut, mungkin seorang ulama tidak memiliki
kompetensi tentang hal tersebut. Misal-nya, dalam dunia kedokteran, operasi
ganti kelamin, penanaman alat genetik atau permak ulang maka yang dibutuhkan
dalam masalah ini adalah pengetahuan seorang dokter ahli. Persoalan-persoalan
seperti inilah menurut penulis yang akan terus berkembang dan tidak berhenti
sampai akhir zaman.
Sekalipun peran ijtihad tatbīqi
lebih menonjol pada aspek sosial budaya dan politik dibanding ijtihad
istinbāti yang lebih terfokus pada nas syar’i tidak berarti kedua
model ijtihad ini tidak memiliki hubungan antara keduanya. Di dalam pelaksanaan
ijtihad tatbīqi, ijtihad istin-bāti memegang peranan yang amat
penting karena pengetahuan tentang esensi dan ide umum suatu nas tetapmenjadi
tolok ukur dalam penerapan hukum. Kekeliruan dalam menetapkan ide ayat akan
melahirkan kekeliruan pula dalam menilai masalah-masalah baru dan peneta-pan
hukumnya. Artinya, ijtihad tatbīqi yang disebut tahqīq al-manāt
harus dikaitkan dengan takhrīj al-manāt dan tahqīq al-manāt
sebagai ijtihad istinbāti. Misalnya, kata adil dalam QS at-Thalāq ayat 2.ذوي عد ل منكم واشهدوا
Ayat ini
menunjukkan bahwa orang yang dapat menjadi saksi adalah orang yang bersifat
adil. Kata adil merupakan kata kunci dalam ayat ini. Dalam mela-kukan ijtihad
seseorang harus mengetahui dengan teliti sifat adil yang dimaksud oleh nas dan
upaya mengetahui kriteri sifat adil dapat disebut ijtihad istinbāti sedang meneliti
pada siapa sifat adil itu yang ditunjuk nas bisa ditemukan merupakan model ijtihad
tatbīqi.
Dalam konteks hubungan antara maqāsid syari’ah dan ijtihad
sebagai sebuah metode penemuan dan penetapan hukum, maka corak penalaran yang
dikembangkan dewasa ini adalah corak penalaran ta’lili dan corak
penalaran istislāhi. Corak penalaran ta’lili adalah sebuah upaya
penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illah-illah hukum yang
terdapat dalam suatu nas. Penalaran ta’lili ini didukung oleh suatu
kenyataan bahwa nas al-Qur’an maupun hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah
hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illah-illah hukumnya.24
Dengan memperhatikan illah yang terkandung dalam nas, maka
permasala-han-permasalahan hukum yang muncul diupayakan pemecahannya oleh
seorang mujtahid melalui penalaran terhadap illah yang ada dalam nas
tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak penalaran ta’lili
ini adalah dalam bentuk metode qiyās dan istihsān.25
Sementara corak penalaran istislāhi
adalah sebuah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip
kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan hadis. Kemaslahatan yang
dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua
sumber hukum tersebut. Artinya, kemas-lahatan itu tidak dapat dikembalikan
kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui proses penalaran bayāni
maupun ta’lili melainkan dikem-balikan kepada prinsip umum kemas-lahatan
yang dikandung oleh nas. Dalam perkembangan pemikiran ushūl fiqh, corak
penalaran istislāhi ini terintegrasi dalam metode maslahah
al-mursalah dan al-zari’ah.26
Menurut penulis bahwa metode penetapan
hukum seperti istihsān dan zarā’i perlu dipertimbangkan karena
urgensi dan efektifitasnya sangat men-dukung maqāsid syari’ah. Istihsan
adalah sebuah metode yang menekankan kebai-kan atau kemaslahatan bagi umat
manusia. Metode ini memang ditolak oleh Syafī’i disebabkan substansi istihsan
yang dijelaskan oleh pengikut Abu Hanīfah tidak utuh sehingga tidak mencerminkan
substansi istihsān yang sesungguhnya. Sementara zarā’i adalah
sebuah metode yang menekankan pada dampak suatu tindakan (al-al-nasar fi
al-maālat) yang berimplikasi pada dua dampak perbuatan seorang mukallaf yaitu
yang berpotensi maslahah karenanya didukung oleh nās dan perbuatan yang
berpotensi mafsadah karenanya dilarang oleh nās.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas,
tampaknya pengembangan metode ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama baik
dalam corak penalaran ta’lili maupun corak penalaran istislāhi sangat
memung-kinkan karena dapat berperan besar dalam memberikan pemecahan terhadap
masa-lah-masalah hukum yang muncul dewasa ini apabila diberi muatan dan
pendekatan maqāsid syari’ah. Jika teori maqāsid syari’ah ini
dikaitkan dengan pesatnya dan kompleksnya persoalan yang dihadapi umat sekarang
ini, maka metode peneta-pan hukum yang dapat dikembangkan adalah metode ijtihad
tatbīqi dengan memadukan corak penalaran ta’līli dan corak penalaran
istislāhi karena yang dibutuhkan dewasa ini adalah kolektivitas keilmuan
sehingga hasil ijtihad itu menjadi komprehensif.
C.
Korelasi Maqāsid Syari’ah dengan Metode Penetapan Hukum
Keterkaitan
antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dapat dilihat pada
substansi maqāsid syari’ah tersebut yakni mewujudkan kemaslahatan dan
pengembangan metode penetapan hukum tatbīqi dengan corak penalaran ta’līli
dan istislāhi. Keberadaan kedua corak penalaran tersebut di atas, menun-jukkan
bahwa antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam filsafat
hukum Islam memiliki hubungan yang erat sebagaimana yang terlihat dalam
mekanisme ijtihad istinbāti dan tatbīqi tersebut di atas.
Ijtihad istinbāti mempunyai
kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan keharusan pemahaman maqāsid
syari’ah karena ijtihad istinbāti merupakan upaya menggali ide-ide
hukum yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis yang merupakan khitab al-Syāri.
Sementara ijtihad istinbāti dan ijtihad tatbīqi mem-punyai
hubungan yang saling memer-lukan, maka secara tidak langsung ter-dapat kaitan
antara ijtihad tatbīqi dengan maqāsid syari’ah walaupun kaitan
itu tidak secara langsung. Dari kaitan ini diapat ditegaskan bahwa hubungan
antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum dalam ijtihad tidak
dapat dipisah-kan.
Atas dasar hubungan tersebut di atas, maka maqâshid al-syari’ah dan metode penetapan hukum tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Maqâshid al-syari’ah adalah menjadi cita-cita
utama daripada pembentukan hukum Islam. Dengan
melakukan ijtihad berdasarkan metode yang telah ada seperti qiyas, istihsan,
istishlah, sad al-zara’iy, maka para
mujtahid akan dapat melahirkan produk-produk hukum yang mampu mendukung maqâshid
al-syari’ah.
Keterkaitan lainnya adalah bahwa tidak
semua persoalan hukum mendapat pengaturan di dalam Alquran dan hadis. Banyak persoalan hukum baru yang tidak
ditemukan dalil-dalil hukumnya dalam Alquran dan hadis.27 Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum (al-syâri’)
tidak mengemukakan semua maqâshid al-syari’ah secara tersurat (mantuq),
akan tetapi sebagian dikemukakan secara tersirat (mafhum), bahkan ada
yang tidak dikemukakan (sirr).
Dengan demikian, untuk mengeta-hui maqâshid al-syari’ah dari hukum-hukum
yang telah ditentukan oleh Allah khususnya yang mafhum dan sirr,
orang harus berijtihad dengan menggunakan metode-metode yang ada dengan
ditopang oleh pengembangan pemahaman metodo-logis, seperti metode al-bayân dari Imām al-Syafi’i dan metode al-istiqra’
dari Imām al-Syathibi dan metode pemahaman lain. Sebab dengan semakin
diketahuinya maqâshid al-syari’ah yang lain (selain yang telah dikenal: al-dharûriyyah
al-khamsah), maka dapat dibuat produk-produk hukum yang relevan dengan itu.
Bahkan untuk hal-hal yang belum diketahui sekalipun, sesungguhnya para mujtahid
dapat membuatkan produk hukumnya (fiqh iftiradhy).28
III.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa
hal yang dapat disimpulkan mengenai korelasi maqāsid syari’ah dengan metode penetapan
hukum dalam filsafat hukum Islam.
1.
Istilah
maqāsid syari’ah telah diguna-kan sebelum Syatibi, tetapi peng-gunaannya
terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan dengan illah, hikmah dan
fiqh. Maqāsid syari’ah sebagai sebuah metode dalam mema-hami tujuan Syāri
tidak dapat dilepas-kan dari Imām Syatibi yang kemudian dikembangkan oleh
Thāhir ibn Asyūr, mereka dikenal dengan bapak maqāsid syari’ah.
2.
Metode
penetapan hukum yang dapat dikembangkan dalam memahami maqāsid syari’ah adalah
metode ijtihad istinbāti dan metode ijtihad tatbīqi. Kedua metode
ini didukung oleh corak penalaran ta’lili dan corak penalaran istislāhi.
Penalaran ta’līli dengan metode qiyās dan istihsān serta
penalaran istislāhi dengan metode maslahah mursalah dan zarā’i,
kesemuanya terkait dengan maqāsid syari’ah.
3.
Hubungan
antara maqāsid syari’ah dan metode penetapan hukum tidak dapat
dipisahkan karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Maqāsid syari’ah
sebagai tujuan dan metode sebagai alat dalam memahami maksud dan tujuan Syāri
menurunkan hukum.
Catatan
Akhir:
[1]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. IV;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.
2T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ushul Fiqhi
(Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 30.
3Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa
Syari’ah (Mesir:
Dar Alqalamih, 1966), h. 111.
4Lihat Wael B. Hallaq
dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut Syatibi. Ed. 1;
(Cet. 1; jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 156.
5Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt
fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al Maārifah, t, th), h. 105-107.
6Pengertian dari pada maqashid al-syari’ah ini Secara lughawi,
maqashid syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’
dari maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah
secara bahasa berarti الى الماءyang berarti jalan
menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Ushul Fiqh (Cet.I: Sinar Grafika Offset, 2005), h. 196.
7Kesimpulan
Nuruddin al-Khadīmi tersebut diambil karena sebelum Imām Syātibi, para ulama
semisal Abu Bakar al-Qaffāl (w: 365 H / 975 M), al-Juwaini (w: 478 H / 1185 M)
al-Ghazāli (w: 505 H / 1111 M), Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H / 1261 M),
al-Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn al-Qayyim (w: 751 H/1350 M), hanya
menyinggung tentang maqāshid secara sekilas di tengah pembahasan mereka seputar
masalah fiqh atau ushul fiqh. Nuruddin al-Khadimi, Al-Maqashid fi al-Mazhab
al-Maliki (Cet. I; Tunis: Dār al-Tunisiyah, 2003), h. 30-36.
8Sebenarnya Ibn ‘Asyur
pun bukan satu-satunya orang yang pertama kali mengangkat tema itu pada masa
kontemporer. Sebelumnya, tema yang sama diangkat oleh Mohammad Munir ‘Imran
dalam disertasi yang diajukan pada Madrasah Qadla al-Syar’i di Mesir
tahun 1930 M dengan judul “Qasd al-Syari’ min Wadl'i al-Syariah”, dan
seorang juris Islam asal Tunis yang semasa dengan Ibn ‘Asyur, Mohammad Abdul
Aziz telah membahas topik di atas dan dimuat di majalah al-Zaetuniyah tahun
1936 M dengan judul “Maqasid Syariat wa Asrar al-Tasyri’. Jamaluddin
Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah. Edisi 23 (al-Muslim
al-Muashir, 2002. h. 19.
9Imām
al-Haramāin al-Juwāini mengung-kapkan keprihatinannya akan kemerosotan
peradaban sosial, terutama cendekiawan dan politisi Islam, menurutnya untuk
keluar dari kondisi ini tidak ada cara selain “membangun maqāshid al-syariah
yang universal dan mengangkatnya dari level zhonni sebagai karakteristik
ushāl fiqh ke level qoth’i. Lihat Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr
al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam (Cet. I; Beirut,
Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994), h. 356.
10Ahmad
Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syatibi, (Cet. I;
Mesir: Dār al-Kalimat, 1997), h. 24-44.
11Satria
Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, (Cet. 1; Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 35.
12Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah, I’lām
al-Muwaqqi’in, Juz III (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1969), h. 177.
13Abdul Wahhab
Khallaf, ‘Imu Ushul Fiqh (Cet. III;
Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977), h. 198.
14Fathurrahman Djamil,
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 43.
15 Asafri, op. cit., h, 89-91.
16Abd. Al-Wahab Khallaf, ‘Imu Ushul Fiqh (Cet. III; Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977), h. 216.
17Ijtihad
fardy ialah setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari
para mujtahid terhadap suatu masalah yang dihasilkan oleh seseorang. Mukhtar
Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 381.
18Ijtihad
jama’i ialah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid
terhadap suatu masalah yang diijtihadkan. Ibid.
19Wahbah
az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy,
Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 1041.
20Muhammad
Musa al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina
Ilaih fi Haza al-‘Asr (t.t.: Dâr al-Kutub al-Hadisah, t.th.), h. 39
21Abd. Wahab Khallaf, Mashâdir al-Tasyri’ fi ma la fihi (Kuwait: Dar Al-Kalam,
1972), h. 67.
22Syatibi, IV. op. cit.,
h. 89.
23 Ibid.
24Muhammad Mustafa Syalābi, Ta’lil al-Ahkām
(Beirūt: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1981), h. 14-15.
25Qiyas
menurut bahasa adalah mengukur atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Secara terminologi, qiyas adalah menghubung sesuatu masalah yang tidak ada
nya baik dari Alquran maupun hadis dengan sesuatu masalah yang ada nya, karena
memiliki persamaan illatnya sehingga dihukumkan sama. M. Abdul
Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqh
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 280. Istihsan, ialah
berpaling
pada sesuatu dari sesuatu hukum tentang satu masalah kepada hukum lain tentang
masalah itu karena ada dalil yang lebih
kuat. Oleh karena itu, al-Istihsan itu bermacam-macam yaitu istihsan dengan ,
seperti akad salam, istihsan dengan ijma’, seperti aqad istishna, istihsan
dengan al-‘uruf, seperti mengatakan suci sisa
minuman binatang buas lantaran sukar menghindarinya, istihsan dengan mashlahah
(karena ada maslahah), seperti mengharuskan tukang dobi membayar harga dobi
apabila hilang di tangannya. Lihat Hasbi, op. cit., h. 214. Lihat pula Muktar Yahya, op. cit., h. 66
& 217.
26Mashlahah al-Mursalah, adalah tiap-tiap mashlahah
yang tidak dikaitkan dengan syara’ yang menyebabkan kita menghargainya atau
tidak menghagainya, padahal dalam menghargainya ada manfaat, atau menolak
mudlarat. Dzari’ah ialah sesuatu
yang dapat mengantarkan
sampai kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung kerusakan. Atau oleh Ibnu
Qayyim diartikan sebagai apa
yang menjadi wasilah dan jalan kepada sesuatu. Ibid., h. 220.
27Lihat Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I
(Cat. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 105.
28T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 166.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid
al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi
al-Islam. Cet. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994.
Abū Ishāq
al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syari’ah. Jilid IV Beirūt: Dār al
Maārifah, t, th.
al-Jauziyah,
Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’in,
Juz III. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1969.
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I.
Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ash-Shiddieqy,
T. M. Hasbi, Pengantar Ushul Fiqhi.
Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Djamil,
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Hallaq, Wael B.
dalam Asapri Jaya Bakri, Konsep Maqāsid Syari’ah Menurut Syatibi. Ed. 1;
Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah, al-Muslim
al-Muashir, Edisi 23, 2002.
Jumantoro,
Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Cet.I: Sinar Grafika
Offset, 2005.
Khallaf, Abd.
Wahab. Mashâdir al-Tasyri’ fi ma la fiqhi.
Kuwait: Dar Al-Kalam, 1972.
-------, ‘Imu Ushul Fiqh. Cet. III; Kuwait: Mathba’ al-Nasyr, 1977.
M. Abdul Mujieb et al., Kamus
Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Mahmud Syaltut,
al-Islam
Aqidah wa Syari’ah. Mesir: Dār
Alqalamih, 1966
Muhammad Musa
al-Tiwana, Ijtihad wa Mada Hajatina Ilaih
fi Haza al-‘Asr. t.t.: Dâr
al-Kutub al-Hadisah, t.th.
Muhammad
Mustafa Syalābi, Ta’lil al-Ahkām. Beirūt: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah,
1981.
Nuruddin
al-Khadimi, Al-Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki. Cet. I; Tunis: Dar
al-Tunisiyah, 2003.
Raisuni,Ahmad. Nadhariyyat
al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syatibi. Cet. I; Mesir: Dar al-Kalimat, 1997.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. IV;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
Satria Effendi
M. Zein, Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2005.
Yahya,Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamy, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar