Saidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email:
saidah-stainpare@yahoo.co.id
Abstract: Islamic law as national law in Indonesia growing and
developing normative values of islamic law has been applied to full
conciousness by Islam society. Different from the judicial islamic law has not
been any material including islamic criminal law is formulated through the legislative process in the form
of legislation or other regulatory laws. The reality Indonesia is not law state
or sekularism state, then fighting islamic with values integration approach
seems more promising approach especially islamic crimanal law. Therefore, a
serious effort is needed to exploreas much as possible and socialization of
noble values embodied in islamic law.
Kata kunci: yuridis formal, islamic criminal law
I.
PENDAHULUAN
Eksistensi hukum
Islam di Indonesia sudah ada sejak agama Islam masuk di Indonesia. Karena itu, hukum
Islam telah menjadi bagian integral dari pembinaan hukum nasional sampai
sekarang ini dan peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional adalah
untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif dan hukum Islam berperan
sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang
dibuat dengan sifatnya yang umum, tidak memandang perbedaan agama, maka
nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara Indonesia.1
Aktualisasi nilai-nilai hukum Islam tersebut tidak hanya terbatas
pada bidang hukum perdata saja, khususnya hukum keluarga tetapi juga pada
bidang-bidang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi
negara, dan hukum dagang. Dengan demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat
berperan sebagai sumber hukum nasional di samping Pancasila, tanpa menimbulkan
anggapan bahwa hukum Islam adalah kuno. Model yang kedua ini sesungguhnya telah
dipraktikkan para penyusun UUD 1945, di mana nilai-nilai hukum hukum Islam ter-cermin
di dalamnya.2
Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler,
maka memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang integrasi nilai-nilainya
kelihatannya lebih memberikan harapan dengan pendekatan formal, khususnya
pidana Islam. Untuk itu, dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan
mensosia-lisasikan sebanyak mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam
hukum Islam.3
Dalam konteks aktualisasi hukum Islam tersebut, maka secara
normatif nilai-nilai hukum Islam telah diaplikasikan dengan penuh kesadaran
oleh masyarakat Islam. Berbeda dengan hukum Islam secara yuridis formal bahwa
belum semua materi hukum Islam diformulasi melalui proses legislasi dalam
bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya.
Mengacu pada uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas tentang
Bagaimana peluang dan tantangan aktua-lisasi hukum Islam di Indonesia dalam
konteks formalisasi atau legislasi hukum Islam sebagai pokok permasalahan. Oleh karena itu, sub masalah dalam tulisan
ini adalah sebagai berikur;
1.
Bagaimana idealitas terhadap legislasi hukum Islam di
Indonesia?
2.
Bagaimana tantangan realitas legislasi/ formalisasi hukum Islam di
Indonesia?
3.
Bagaimana formulasi legislasi atau formalisasi
hukum Islam di
Indonesia?
II. PEMBAHASAN
A.
Idealitas terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam di Indonesia menyebabkan hukum Islam berpeluang untuk
eksis dan diterapkan dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui proses
legislasi.4 Peluang legislasi tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;
a.
Faktor
Sejarah
Pembentukan undang-undang
meru-pakan suatu proses yang dinamis yang terus menerus mangalami perubahan
sesuai dengan dinamika masyarakat yang di-pengaruhi oleh tuntutan global
teknologi informasi. Karena itu, pembentukan undang-undang secara komprehensif
harus memperhatikan tiga dimensi yaitu masa lalu yang terkait dengan sejarah
perjuangan bangsa, masa kini yang terkait dengan kondisi objektif yang ada
sekarang dengan lingkungan strategisnya dengan meman-dang ke masa depan yang
dicita-citakan.5
Sejarah panjang hukum Islam di Indonesia diwarnai dengan
pengorbanan politik hukum yakni ketika menjelang kemerdekaan ketua BPUPKI,
yaitu Dr. KRT Radjiman Wedyadiningrat memper-tanyakan mengenai idiologi dasar
negara Indonesia yang akan didirikan sebagai landasan filosofis bagi
adanya semangat yang mendasari struktur Indonesia merdeka yang akan dibangun
kelak.6
Implikasi dari pertanyaan ketua BPUPKI tersebut telah memunculkan dua
kelompok dalam tubuh BPUPKI yaitu dari kalangan Islam yang merasa telah banyak
berjasa dan berkorban sejak masa kesul-tanan nusantara, kelompok Islamis ini
menghendaki agar didirikan negara Islam Indonesia.7 Kalangan lain dalam tubuh BPUPKI yang
kebanyakan menerima pendidikan Barat dan banyak dipengaruhi pandangan pemisahan
agama dari negara menuntut dibentuknya
negara nasional yang tidak ada kaitannya dengan agama.8
Tekanan politik yang timbul dalam diskusi BPUPKI menyebabkan
kalangan umat Islam menarik usulan tentang pem-bentukan negara Islam. Sikap
kompromi tersebut menyebabkan lahirnya Piagam Jakarta yang di dalamnya
dirumuskan tentang “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Inilah yang disebut dengan pengorbanan umat Islam dengan
dicabutnya tuntutan tersebut demi mewujudkan kemer-dekaan Indonesia.9
Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia, sore harinya datanglah
perwira Angkatan Laut Jepang utusan kelompok Kristen di Indonesia timur yang
keberatan dengan sila pertama dari Piagam Jakarta tersebut karena dinilai
diskriminatif dan tidak menjamin persatuan dan kesatuan, jika sila pertama
Piagam Jakarta tersebut tidak dirubah, maka kelompok Nasrani di Indonesia timur
memilih untuk tidak bergabung dalam negara kesatuan Indonesia saat itu. Demi kepentingan negara, maka umat Islam
untuk kedua kalinya berkorban demi menyelamatkan negara yang baru terbentuk
dengan mencoret anak kalimat yakni “....dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluknya” dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam pandangan penulis, kelompok Nasrani seharusnya tidak perlu
memper-soalkan kembali sila pertama dari Piagam Jakarta tersebut karena secara
politik hukum kewajiban syari’at Islam tersebut hanya diperuntukkan bagi
kalangan Islam saja. Umat Islam telah banyak berkorban dalam perang nusantara
dan perang kemerdekaan di mana musuh yang dihadapi adalah kelompok Nasrani
juga, seharusnya kelompok yang keberatan dengan sila pertama Piagam Jakarta
mengusulkan agar hukum agama mereka juga dicantumkan dalam Piagam Jakarta.10 Berbeda dengan usulan agar
negara yang didirikan adalah negara nasional bukan negara Islam, maka dalam hal
ini penulis setuju dengan pengorbanan tokoh-tokoh Islam saat itu yang
menunjukkan sikap kenegarawanan yang luar biasa dan ini perlu dijadikan catatan
penting dalam sejarah perjalanan Hukum Islam di Indonesia agar lebih
mendapatkan kesempatan dalam aktualisasi dan pemberlakuan hukum Islam dalam
sistem hukum nasional Indonesia.
b.
Faktor
Penduduk
Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, seharusnya
menjadi pertimbangan bagi pembentukan hukum nasional Indonesia. Secara historis
dan sosiologis, hukum Islam telah mengakar dalam praktik kehidupan masyarakat.
Di samping itu, adanya keinginan yang kuat dari masyarakat Islam Indonesia yang
menginginkan agar hukum Islam menjadi hukum dasar mereka, baik perdata maupun
pidana.11 Hal ini sejalan
dengan keyakinan umat Islam bahwa kalimat syahadat menjadi bukti adanya
supremasi hukum Islam atas diri mereka sebagaimana yang dikenal dalam teori
credo atau teori syahadah.12
Teori syahadah di atas sejalan dengan teori otoritas yang
dikemukakan oleh H.A.R Gibb bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai
agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya sekalipun
terdapat perbedaan perlakuan dari pihak penguasa terhadap sistem hukum yang
lain tidak dapat menyurutkan pengakuan dan pelaksanaan hukum yang telah lebih
dahulu menjadi otoritas masyarakat. Karena itu, meskipun ada hukum kolonial dan
hukum adat karena hukum Islam telah menjadi otoritas pribadi yang dimiliki oleh
orang Islam tetap saja akan menjadi panutan sistem hukum yang kuat.13
c.
Faktor
Yuridis
Hukum Islam di
Indonesia telah diterapkan oleh umat Islam dan telah berlaku secara normatif
dan formal yuridis yakni hubungan antara seorang muslim dengan Tuhannya dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan benda serta
masyarakatnya.14 Sebagai
hukum yang bersumber dari agama, maka hukum Islam memiliki daya ikat yang kuat
dan tidak hanya terbatas sebagai aturan yang berdimensi profanhumanistik tetapi
juga berdimensi transedental. Hukum Islam yang bersumber pada syari’ah
mempunyai karakter yang bersifat universal dan fleksibel serta memiliki
dinamika yang sangat tinggi disebabkan oleh faktor konsistensinya dan sifat
transpormasinya. Kedua sifat ini memungkinkan hukum Islam tetap relevan dengan
perubahan sosial dan perubahan waktu sehingga hukum Islam di Indonesia telah
menjadi bagian penting dari sistem hukum nasional Indonesia.
d.
Faktor
Konstitusional
Pancasila
dan UUD 45 memberikan kedudukan penting bagi agama dalam me-warnai sistem hukum
nasional, sebagai-mana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2 serta pengarahan GBHN
tentang perlunya pengembangan kesadaran hukum masyara-kat dan kesadaran hukum
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah bukti adanya perananan hukum Islam di Indonesia.
Karena itu, upaya legislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah bukti
bahwa negara menghendaki aspirasi hukum yang timbul dan direduksi dari
ajaran-ajaran agama Islam.
e.
Faktor
Politik
Sistem politik
Indonesia memberi peluang yang besar teradap hukum Islam dalam mengembangkan
aspirasi politik Islam termasuk upaya legislasi hukum Islam.15 Dewasa ini, peluang
partai-parati Islam semakin terbuka dalam melegislasi hukum Islam ke dalam
hukum nasional.
Secara faktual, keberadaan politik menunjukkan bahwa meskipun
aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia namun dengan memperhatikan
konfigurasi politik yang ada cukup memberi peluang bagi lahirnya produk-produk
hukum nasional yang bernuansa Islam seperti lahirnya UU No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, lahirnya UU No.
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang semakin memperkuat kedudukan kegiatan
ekonomi syari’ah di Indonesia, lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang
penyelenggaran haji, lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat,
lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangro Aceh Darussalam yang memberi
otonomi khusus kepada daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syari’at Islam,
lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang sebagai hasil amandemen UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan baru berupa penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah.
e.
Faktor Ilmiah
Di samping
al-Qur’an dan hadis, ijtihad juga menjadi sumber hukum Islam. Keilmiahan sumber
hukum Islam tersebut sangat universal dan dinamis dalam konteks kajian ilmu.
Ijtihad sebagai landasan pemikiran filosofis telah mendorong adanya
kajian-kajian keislaman yang sangat kritis dan akademis.
B.
Realitas Legislasi/ Formalisasi
Hukum Islam di Indonesia
Sebagai salah
satu sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum nasional Indonesia, maka
kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum meng-hadapi tantangan dalam upaya legislasi hukum
Islam di Indonesia. Tantangan itu tidak hanya dari internal masyarakat Islam
sendiri tetapi juga datang dari eksternal hukum Islam. Untuk lebih jelasnya,
tanta-ngan aktualisasi hukum Islam di Indoensia dapat ditemukan dari beberapa realitas antara lain;
a.
Tantangan
Struktural
Secara struktural, gagasan aktualisasi hukum Islam di Indonesia
sampai saat ini masih diperdebatkan di kalangan kaum muslimin di Indonesia, ada
yang mendu-kung dan sebagian menolak. Sebagaimana tergambar dalam beberapa
teori aktualisasi hukum Islam di Indonesia yaitu melalui pendekatan formalistik-legalistik,
melalui pendekatan strukturalistik dan kulturalistik, melalui pendekatan
akademik bahkan kelompok yang lebih ekstrim mengatakan bahwa metode yang tepat
dalam aktualisasi hukum Islam adalah dengan mewujudkan negara Islam. Tetapi, pihak
lain lebih mementingkan perjuangan politik dan mengkritik perjuangan kultural
dengan membina pemahaman masyarakat. Sedang-kan kelompok garis keras seperti FPI
atau Front Pembela Islam mengatakan bahwa hukum Islam harus ditegakkan secara to
the point yaitu aktualisasi hukum Islam secara langsung dengan cara
memberantas setiap bentuk kemaksiatan di hadapannya dan kurang memperdulikan
perjuanagan secara yuridis konstitusional.
Mengacu pada teori-teori aktualisasi hukum Islam di atas, dapat
dipahami bahwa tantangan terbesar aktualisasi hukum Islam, khususnya dalam
bentuk formalisasi atau legislasi hukum Islam di Indonesia adalah tidak adanya
titik temu atau integrasi konsep aktualisasi hukum Islam yang tepat di
Indonesia. Menurut penulis, jika upaya legislasi hukum Islam ini ingin
diterapkan, maka pendekatan-pendekatan di atas perlu disaring dan diintegrasikan
dengan sistem hukum nasional Indonesia sehingga strategi perjuangan legislasi
hukum Islam tersebut dapat berhasil dengan baik.
Karena legislasi adalah produk politik, maka hukum Islam harus
mendapat-kan dukungan suara mayoritas dari lembaga pembentuk hukum apalagi
secara faktual bahwa aspirasi politik Islam di DPR bukan kelompok mayoritas,
sehingga upaya legis-lasi tersebut akan mendapat tantangan yang kuat. Sekalipun
komposisi keanggotaan DPR saat ini mayoritas beragama Islam tetapi mereka
enggan untuk memperjuang-kan legislasi hukum Islam disebabkan rendahnya
pemahaman mereka terhadap hukum Islam tersebut.
Karena itu, kelompok formalisasi
hukum Islam berpandangan bahwa pende-katan struktural akan lebih memiliki
kekuatan yang mengikat, legitimasi hukum dan kekuasaan bagi pelaksanaan hukum Islam
dinilai lebih efektif terhadap upaya perbaikan sistem kehidupan yang dewasa ini
cenderung destruktif. Di samping itu, hukum Islam juga memiliki hubungan yang
erat dengan masyarakat yang berpijak pada asumsi bahwa hukum Islam memiliki
karakteristik seperti takamul, tasamuh dan harakah yang mampu mempertahankan
eksistensinya di tengah masyarakat.16
b.
Tantangan
Substansial
Substansi hukum Islam meliputi materi hukum yang sangat luas dan
kom-pleks. Bagi sebagian kalangan hukum Islam dinilai sebagai sebuah sistem
hukum yang kaku bahkan menakutkan bagi sebagian kalangan apalagi sikap
militansi (jihad) yang ditunjukkan oleh sebagian pemeluk agama Islam garis
keras yang biasa disebut dengan kelompok teroris.
Untuk kepentingan legislasi hukum Islam
dalam hukum nasional, maka proses transformasi substansi hukum Islam yang
sebagian kalangan memahaminya secara negatif perlu diarahkan pada pengkajian
aspek dinamika dan elastisitas hukum Islam dalam kontekstualisasi materi-materi
hukum Islam sehingga koheren dengan konteks kekinian dan konteks sosial
Indonesia.
Untuk itu, maka materi hukum Islam
yang akan dilegislasi meliputi materi hukum bukan di bidang publik karena
dikawatirkan dapat menimbulkan benturan dengan materi hukum agama lain. Materi
privat atau keperdataan tidak mencakup pada semua bidang karena ada sebagian
materi privat hukum Islam yang sangat peka dan jika ini dilegislasi dapat
menimbulkan konflik sosial, agama dan sara. Sekalipun demikian, upaya legislasi
materi hukum Islam tetap diperlukan karena sentimen ini merupakan tuntutan
obyektif sebagai bukti implementasi hukum Islam di Indonesia.
Penentangan yang sistematis terhadap
upaya legislasi hukum Islam di Indonesia dikemukakan oleh kelompok
substansialis. Mereka berpandangan bahwa aktualisasi hukum Islam tidak perlu
persis seperti apa yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah. Karena perangkat
hukum seperti qisas, rajam dan potong tangan hanyalah alternatif bagi
terciptanya keadilan dan kepastian hukum di masa awal kemunculan Islam asalkan
tujuan aktualisasi hukum Islam bisa tercapai, maka sah-sah saja hukum lain jika
diterapkan. Misalnya hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara karena
sama-sama bertujuan membatasi si pelaku.
Bahkan kelompok kaum muda sekuler
yang menamakan diri JIL menyeru-kan deformalisasi hukum Islam. Menurut mereka
hukum Islam secara formal tidak perlu diberlakukan karena inti keberIslaman
adalah komitmen kepada agama secara substansialistik bukan legalistik formal.
Indonesia menurut mereka bukan negara agama sehingga tidak layak menerapkan
hukum Islam secara total.17
c.
Tantangan
Kultural
Penarapan hukum
Islam di Indonesia juga mendapatkan tantangan dari segi kultur masyarakat
Indonesia sendiri. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kultur masya-rakat Indonesia
yang berbeda disebabkan oleh adanya beberapa sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Karena itu, secara kultural aktualisasi hukum Islam di Indonesia
menemui beberapa kendala dan tantangan yaitu;
1)
Sistem
hukum nasional bersumber pada tiga sistem hukum yang terdiri dari hukum adat,
hukum Islam dan hukum warisan barat. Pemberlakuan ketiga sistem hukum ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu;
a.
Adanya
pluralitas penduduk yang memberlakukan suatu sistem hukum yang lahir dari
kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang diyakini dan dipatuhi.
Sistem hukum ini kemudian disebut oleh pihak penjajah sebagai hukum adat yang
berlaku secara formal dan ilmiah.
b.
Faktor
agama, ketika agama Islam masuk ke Indonesia dan terjadi tranpormasi keyakinan
dan keperca-yaan dari paham animisme dan dinamisme masyarakat ke agama Islam
sehingga mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka sejak itu
hukum Islam diyakini dan dianut serta dipatuhi oleh masyarakat Islam sehingga
hukum Islam menjadi sebuah sistem hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
c.
Faktor
penjajah, Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 350
tahun, maka sistem hukum yang diterapkan adalah sistem hukum kolonial Belanda
dan sistem hukum inilah yang dikenal
dengan sistem hukum Barat.18
2)
Adanya
resistensi dan penentangan dari kalangan non muslim yang menganggap formalisasi
atau legislasi hukum Islam di Indonesia akan menempatkan mereka sebagai warga
kelas dua sebagaimana keberatan yang telah disampaikan oleh kelompok Nasrani
terhadap sila pertama dari Piagam Jakarta. Resistensi itu juga ditunjukkan oleh
kelompok Kristen Katolik dan Partai Demokrasi Per-juangan (PDI) ketika akan
disahkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan Agama sebelum diundangkan
menjadi UU No.7 Tahun 1989. Mereka menuntut agar rancangan Undang-undang
tersebut dicabut karena dianggap diskriminasi dan tidak mencerminkan kesatuan
dan persatuan.19
Di era reformasi,
resistensi tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh non muslim bahkan umat Islam
sendiri yang menolak upaya legislasi hukum Islam dengan memblow up di
media massa tentang penolakan terhadap UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe
Aceh Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Aceh Darussalam untuk
menerapkan hukum Islam. Undang-undang ini dianggap sarat kepentingan politik
dan bukan untuk kepentingan rakyat Aceh. Karena itu, media mengatakan bahwa
angka prostitusi di Aceh meningkat seiring dengan aktualisasi hukum Islam di
Aceh.20
3)
Politikal
Will atau kesadaran dan keinginan kuat masyarakat Islam yang rendah terhadap aktualisasi
hukum Islam dalam bentuk formalisasi atau legislasi hukum Islam. Fakta ini
diperkuat oleh rendahnya kesadaran masyarakat Islam dalam mendukung partai
politik sebagai sarana perjuangan politik dalam konteks legislasi hukum Islam
dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Kesadaran hukum dan
penyatuan aspirasi politik ini terbentur oleh lemah-nya pemahaman terhadap
hukum Islam di kalangan masyarakat, fikih yang berkembang di kalangan
masyarakat didominasi oleh fikih klasik, terbatasnya sumber dana dan sumber
daya untuk melakukan pengkajian hukum Islam dan belum siapnya tokoh-tokoh agama
untuk menerima pembaharuan hukum Islam serta adanya konflik antar mazhab belum
tuntas di kalangan bawah.21
Bagi
kelompok kultural berpan-dangan bahwa penegakan hukum Islam jangan sampai hanya
sebagai komoditas politik kelompok tertentu saja. Di samping aktualisasi secara
kultural juga tidak lepas dari pertimbangan yang melihat pada realitas
kemajemukan masyarakat yang jika dipaksakan malah menjadi momok bagi masyarakat
Islam sendiri.
C.
Formalisasi
Hukum Islam di Indonesia
1.
Realisasi
Materi Hukum Islam
Materi hukum
Islam yang telah ber-hasil diberlakukan secara formal melalaui proses legislasi
dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Instruksi Presiden.
Undang-undang tersebut adalah:
a)
Undang-Undang
Perkawinan
RUU Perkawinan
(1973) mendapat tantangan karena mengandung keten-tuan-ketentuan yang bertentangan
dengan hukum Islam. Dilihat dari kekuatan politik di DPR, penentang RUU Per-kawinan
dapat dipastikan akan kalah: Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) berhadapan
dengan Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan (FKP), dan Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia (FPDI). RUU tersebut disetujui setelah keten-tuan-ketentuan yang
kontroversial dihi-langkan, atas desakan kekuatan ekstra parlementer.
b)
Undang-Undang
Peradilan Agama
RUU Peradilan
Agama (1988) mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Di DPR, FPP, FKP
dan Fraksi ABRI menyambut baik RUU tersebut. Berbeda dengan tiga fraksi
lainnya, FPDI menyampaikan beberapa hal bernada keberatan. Di luar DPR terjadi
pro-kontra yang tak kalah serunya. Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, diharapkan
berakhirlah keaneka-ragaman pengaturan tentang peradilan agama sebagai akibat
politik hukum pemerintah kolonial Belanda.
c)
Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
KHI bukan UU,
dimasukkan dalam pembahasan ini karena memuat hukum materil Peradilan Agama,
dan tidak berbentuk UU semata-mata karena ken-dala politik. KHI lahir dari
keinginan untuk mewujudkan kesatuan dan kepas-tian hukum terapan Peradilan
Agama. Rancangan KHI disetujui oleh ulama dalam lokakarya di Jakarta pada
Pebruari 1988. Presiden RI, dengan Inpres No.1 tahun 1991 menginstruksikan
kepada Menag untuk menyebarluaskan KHI. Bentuk hukum Inpres merupakan sebuah
terobosan, karena beratnya kendala politik untuk menjadikannya UU.
d)
Rumusan Undang-Undang Peradilan Anak
RUU Peradilan
Anak (1995) men-dapat sorotan tajam karena banyak mengandung kekurangan, baik
dari segi formal pembentukannya maupun dari segi materinya. Fraksi-fraksi di
DPR, kecuali Fraksi PDI, banyak menyoroti pasal-pasal yang bertentangan dengan
UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan KHI. FPDI berpendapat, RUU yang
disetujui DPR setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, belum menampung
seluruh permasalahan anak, khususnya menyangkut perkara perdata, sehingga di
bidang ini masih terdapat kekosongan hukum.
e)
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pada tahun
1998, diajukan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang merupakan RUU usul
inisiatif DPR. Tidak ada kontoversi mengenai RUU ini, karena mendapat dukungan
dari semua fraksi dan mendapat sambutan baik pemerintah.
f)
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat
Pada tahun 1999, pemerintah menyam-paikan RUU Pengelolaan Zakat. Semua fraksi di DPR
menyambut positif RUU ini, sehingga pembahasannya berjalan lancar. RUU
Pengelolaan Zakat disetujui DPR pada tanggal 14 September 1999, dan kemudian
disahkan dan diundang-kan oleh presiden pada tanggal 23 September 1999 menjadi
UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
g)
RUU
Nanggroe Aceh,
Ada
dua RUU tentang Aceh: RUU pemerintah, dan RUU usul inisiatif DPR. RUU DPR
seolah-olah hendak menjadi-kan Aceh sebagai negara tersendiri. Menurut RUU DPR,
untuk mengubah UU ini harus melalui referendum seolah-olah UU ini lebih tinggi
dari UUD.
Proses lahirnya
UU ini sarat nuansa politis, sebagaimana tampak dalam beberapa hal. Pertama,
RUU pemerintah lebih dulu dari pada RUU usul inisiatif DPR, tetapi DPR membahas
RUU usul inisiatif, sedangkan RUU pemerintah dijadikan bahan masukan dalam pem-bahasan,
dan ini bertentangan dengan Peraturan Tatib DPR sendiri. Kedua, materi RUU yang
disetujui lebih menye-rupai materi RUU yang diajukan oleh pemerintah, padahal
pada saat pemba-hasan RUU, posisi politik DPR sangat kuat dibanding presiden.
Ini tidak akan terjadi jika DPR konsisten memper-juangkan materi RUU usul
inisiatif. Ketiga, Presiden berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
tetapi ada beberapa orang dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) yang ikut
menanda-tangani RUU DPR, yang bertolak-belakang dengan RUU pemerintah,
seolah-olah konsistensi pemikiran harus dikalahkan oleh politik “cari muka” di
DPR.Dari saratnya nuansa politis RUU ini, tidak berlebihan kalau ada pendapat
yang menganggap RUU ini lebih politis daripada yuridis.
2.
Peluang
secara Realisasi Legislasi Ekonomi Syari’ah
Yuridis tersebut semakin luas dengan dibukanya kesempatan bagi
bank-bank konvensional, khususnya bank umum untuk melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip syari’ah asalkan membuka cabang khusus untuk melakukan
kegiatan tersebut.22Agar
peluang yuridis tersebut dapat dijalankan secara optimal, efektif dan efisien
perlu dibuat aturan hukum yang lebih operasional khususnya ketentuan yang
mengatur tentang masalah likuiditas, sistem moneter yang sesuai dengan prinsip
syari’ah, standar akuntansinya, audit dan pelaporan, prinsip kehati-hatian.23
Selain itu, dibutuhkan juga aturan-aturan tentang pasar uang
syari’ah, jenis dan bentuk baku surat-surat berharga untuk transaksi pembiayaan
berdasarkan prinsip syari’ah, penyeragaman perjanjian standar dalam transaksi
bank syari’ah dan diskri-minasi penyalahgunaan nasabah.24
Operasionalisasi
perbankan syari’ah juga menemui kendala dan tantangan seperti adanya kualitas
manajerial pengelola Bank Syari’ah yang masih terbatas, ber-akibat pada
rendahnya kaulitas pelayanan pada masyarakat sekaligus memperlemah daya
kompetitif Bank Syari’ah dan Bank Konvensional, masyarakat
terlanjur lekat dengan praktik perbankan konvensional karenanya bank syari’ah
harus menyeder-hanakan atau mempermudah prosedur pelayanannya, bank syari’ah
belum me-miliki akses dengan lembaga zakat, infaq, dan sedekah, tantangan
paling berat adalah kesiapan perbankan syari’ah memasuki pasar bebas yang akan
bersaing dengan perbankan asing dan di era globalisasi standarisasi kualitas di
tingkat internasional mengarah kepada penyeragaman dan kesebandingan di mana
perbankan syari’ah belum bisa menyesuaikan diri.25
3.
Peluang
dan Tantangan Legislasi Hukum Pidana
Sedangkan pada
bidang hukum publik atau pidana Islam dan terbuka peluang bagi hukum Islam
untuk diberlakukan secara formal melalui pendalaman kembali ber-lakunya hukum
Islam di Indonesia ber-dasarkan teori-teori pemberlakuan hukum Islam tersebut. Dalam
konteks ini, maka pelaksanaan hukum pidana di Indonesia dalam beberapa hal
sudah sejalan dengan nilai-nilai transformatif hukum Islam seperti hukuman mati dan hukuman pen-jara.
Dengan lahirnya UU No.18 Tahn 2001 tentang Nangro Aceh Darusslalam
untuk menerapkan syari’at Islam secara tidak langsung membuka peluang bagi
daerah lain yang ingin menerapkan hukum publik atau pidana Islam karena dalam
undang-undang ini memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
membina hukum publik dan hukum privat berdasarkan syari’at Islam.
Hukum pidana dipandang sebagai salah satu ruh hukum Islam. Atas
dasar itulah, RUU KUHP disinggung di sini, meskipun belum lagi dibahas.
Keinginan untuk me-”reformasi” KUHP, bahkan rancangannya, telah lama ada. Hanya
saja, berbagai kendala mengakibatkan keinginan itu belum menjadi kenyataan.
Ketentuan mengenai beberapa tindak pidana diatur cukup jelas dan tegas dalam
al-Qur’an, dan beratnya ancaman pidana ini sering dijadikan alasan oleh
pendukung hukum Islam untuk menekan angka kriminalitas. Akan tetapi, pendukung
hukum Islam di DPR tidak mengajukan RUU KUHP berbasis hukum Islam. Ini menarik,
karena ternyata Majelis Mujahidin dapat menyiap-kan usulan Undang-Undang Hukum
Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam. Terlepas dari
setuju atau tidak terhadap materinya, Majelis Mujahi-din memiliki usulan
konkrit, sementara partai politik Islam di DPR yang sering menyuarakan hukum
Islam itu tidak melakukannya.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka point-point penting yang dapat
disimpulkan dari tulisan ini
adalah sebagai berikut;
1.
Aktualisasi
hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari dua bentuk yaitu aktualisasi hukum
Islam secara normatif yakni hukum Islam yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran
umat Islam sendiri dan aktualisasi hukum Islam secara yuridis formal yakni
melalui proses legislasi sehingga sifatnya mengikat umat Islam.
2.
Peluang
Aktualisasi hukum Islam di Indonesia dapat dikaji berdasarkan beberapa pendekatan
yaitu faktor sejarah hukum Islam di Indonesia, penduduk, yuridis,
konstitusional, politik dan faktor ilmiah.
3.
Tantangan
aktualisasi hukum Islam di Indonesia terdiri dari beberapa peng-hambat yaitu tantangan
struktural, tantangan substansial dan tantangan kultural.
4.
Materi
hukum Islam secara formal telah diterapkan dalam berbagai produk
perundang-undangan termasuk masalah kepidanaan juga telah mewarnai hukum pidana
Indonesia sekalipun belum diterapkan secara formal.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad
Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia.
Cet. III; Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Ali, Zainuddin.
Hukum Perbankan Syari’ah. Ed. 1. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
al-Syaukani, Rekonstruksi
Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum
Nasional. Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Anshari, Isa.
Dasar Negara RI dalam Konstituante. Vol II; Kontituante RI (Bandung: tp, 1958
Antonio,
Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek. Jakarta Gema
Insani Press, 2001.
Arifin, Jaenal.
Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Silam di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2008.
Aziz, Abd. et.
Al., (ed) Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 5. Cet. 1; Jakarta: Ichtiar
Baru Van Houve, 1996.
Azizi, A.
Qodri. Elektisime Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum. Cet. 1; Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Djazuli, A. “Beberapa Aspek Pengem-bangan Hukum Islam”, dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan
Praktek. Bandung: Remaka Rosdakarya, 1994.
Halim, Abdul. Politik
Hukum Islam di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Jumat, Abd.
Gani. Implementasi Konsep Ijtihad pada Aspek Politik, dalam Jurnal Hukum dan
Kemasyarakatan al-Nizam. Volume 2, No. 1 Jurusan Syari’ah Ternate. STAIN
Ternate, 2006.
Juzuni, Legislasi
Hukum Islam di Indonesia. Cet. 1; Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Manan, Abdul. Reformasi
Hukum di Indoensia. Cet 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Nurdin, Ade dan
Riswan dalam Judul Membumikan Syari’at Islam; Kelu-wesan Aturan Ilahi untuk
Manusia. Cet. 1; Bandung: Mizan, 2003.
Nurrohman, Formalisasi
Syari’at Islam di Daerah-Daerah, Sebuah Catatan Kritis, dalam Masykuri
Abdillah, at, al. Formalisasi Syari’at Islam di Indoensia, Sebuah Pergulatan
yang tak Pernah Tuntas. tt: tp; t.th.
Perwira Negara,
Alamsyah Ratu. Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum dalam Amrullah
Ahmad., et. Al. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, menge-nang 45
Tahun Bustanul Arifin, SH. Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ramly, Hutabarat. Kedudukan
Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan
Hukum Nasional., Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia, 2005.
Sjahdeni, Remi
Sutan. Perbankan Islam, dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia. tt; Grafiti, 1999.
Umar,
Nasaruddin. Konstitusi Hukum Islam di Indonesia. Makalah pada Studi
Nasional dan Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa Syari’ah Se Indonesia. Ujung
Pandang: 13-15 Juli, 1996.
Wahjono, Padmo. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif
Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H.
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Catatan
Akhir:
[1]Padmo
Wahjono,“Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa
Datang”, dalam Amirullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 167.
2bid., h. 172.
3Di
antara cara untuk menggali nilai-nilai tersebut adalah dengan jalan memahami
aspek filosofis hukum Islam yang tercermin dari dalil-dalil kulli yang
mendasari pemikirannya, tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah) termasuk juga
hikmahnya (hikmah al-tasyri’), dan konsep manusia menurut hukum Islam. Lihat A. Djazuli, “Beberapa
Aspek Pengembangan Hukum Islam”, dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di
Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaka Rosdakarya, 1994), h. 260.
4Dalam
literatur hukum Islam kontemporer, kata legislasi sering diartikan dengan kata
taqnin yang seakar dengan kata qanun. Sedangkan secara terminologis taqnin
mempunyai dua arti yaitu penetapan sekumpulan peraturan dan undang-undang yang
memiliki daya paksa untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu
masyarakat. Taqnin juga dipahami sebagai penetapan sekumpulan peraturan dan
undang-undang yang memiliki daya paksa untuk mengatur suatu masalah tertentu
seperti masalah perdata, pidana atau yang lainnya. Lihat Abd. Aziz, et. Al.,
(ed) Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 5 (Cet. 1; Jakarta: Ichtiar Baru
Van Houve, 1996), h. 1439.
5Prinsip-prinsip
Dasar Pembentukan Undang-undang dalam Program Legislasi Nasional tahun
2005-2009, WWW Parlemen Net, h. 2.
6Abd.
Gani Jumat, Implementasi Konsep Ijtihad pada Aspek Politik, dalam Jurnal
Hukum dan Kemasyarakatan al-Nizam. Volume 2, No. 1 Jurusan Syari’ah STAIN
Ternate; Ternate 2006), h. 100.
7M.
Natsir seorang tokoh Masyumi berargumen bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia merupakan cita-cita perjuanagan umat Islam. Demikian pula dengan
pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran dan syari’at Islam. Dalam hal ini,
Islam merupakan kelompok mayoritas yang berperan aktif dalam perjuangan
kemerdekaan. Lihat lebih lanjut Isa Anshari, Dasar Negara RI dalam
Konstituante. Vol II;Kontituante RI (Bandung:tp, 1958), h. 179.
8Alamsyah
ratu Perwira Negara, Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum
dalam Amrullah Ahmad., et. Al. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
mengenang 45 Tahun Bustanul Arifin, SH (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 238.
9 Ibid.,
h. 239.
10Menurut Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah
badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan
Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili
berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”. Ramly Hutabarat, Kedudukan
Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam
Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, 2005), h. 85.
11Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1978 dan 1979 di empat belas
daerah yang tersebar di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan
Selatan dan Nusa Tenggara Barat terlihat kecenderungan yang kuat di kalangan
umat Islam agar hukum Islam diberlakukan daripada hukum lain. Lihat lebih
lanjut, Muhammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 239-240.
12
Teori credo atau syahadah adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum
Islam oleh mereka yang telah mengucapkan kalimat syahadat sebagain konsekuensi
logis dari pengucapan credonya. Lihat lebih lanjut dalam al-Syaukani, Rekonstruksi
Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum
Nasional (Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 67-68.
13Jaenal
Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Silam di Indonesia
(Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2008), h. 289.
14Daud
Ali, op. cit., h. 5-6.
15Juzuni,
Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. 1; Bandung: Citra Aditya bakti,
2005), h. 429.
16Takamul misalnya, adalah merupakan ajaran yang sempurna mencakup
semua dasar peraturan perundangan dalam kehidupan mansuai dan dapat diterapkan
pada semua lapisan masyarakat dalam situasi dan kondisi apapun serta mampu
mengikuti perkembangan masyakat pada setiap zaman. Sementara tasamuh adalah
bahwa hukum Islam mempunyai daya toleransi yang tinggi terhadap kaidah-kaidah
yang telah ada dalam masyarakat. Sedangkan harakah adalah bahwa hukum Islam
mempunyai daya jangkauan terhadap setiap persoalan dan mampu menyelesaikannya
karenanya hukum Islam tidak akan lapuk
dan ketinggalan zaman. Lihat Abdul manan, Reformasi Hukum diIndoensia
(Cet 1; jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 94-104. Manusisawi. Bandingkan dengan Abdul Halim,
Politik Hukum Islam di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.
18-25,. Lihat lebih lanjut Yusuf Qardawi, Madhal li dirasah al-Syariah
al-Islamimiyah diterjemahkan oleh Ade Nurdin dan Riswan dalam Judul
membumikan Syari’at sIslam ; keluwesan aturan Ilahi untuk manusia (Cet. 1;
Bandung; mizan, 2003), h. 94-160.
17Ashwir
al-Afkar, Perdebatan Syariat Islam, ,
No. 12 tahun 2002), h. 1
18A. Qodri Azizi,
Elektisime Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum
(Cet. 1; Yogyakarta: Gama Media, 2002), h . 110.
19
Alamsyah, op. cit., h. 243.
20Nurrohman,
Formalisasi Syari’at Islam di Daerah-daerah, Sebuah Catatan Kritis,
dalam Masykuri Abdillah, at, al. Formalisasi Syari’at Islam di Indoensia,
Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas (tt: tp; t.th), h. 199.
21
Nasaruddin Umar, Konstitusi Hukum Islam di Indonesia. Makalah pada Studi
Nasional dan Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa syari’ah se Indonesia (Ujung
Pandang: 13-15 Juli, 1996), h. 6.
22Remi
Sutan Sjahdeni, Perbankan Islam, dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia (tt; Grafiti, 1999), h. 125. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah. Ed. 1 (Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2.
23Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek (Jakarta Gema
Insani Press, 2001), h. 225.
24Remi,
op. cit., h. 204-206.
25Warkum,
op. cit., h. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar