Rabu, 28 Januari 2015

AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Idealitas dan Realitas Hukum Pidana Islam)



Saidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Email: saidah-stainpare@yahoo.co.id
Abstract: Islamic law as national law in Indonesia growing and developing normative values of islamic law has been applied to full conciousness by Islam society. Different from the judicial islamic law has not been any material including islamic criminal law is formulated  through the legislative process in the form of legislation or other regulatory laws. The reality Indonesia is not law state or sekularism state, then fighting islamic with values integration approach seems more promising approach especially islamic crimanal law. Therefore, a serious effort is needed to exploreas much as possible and socialization of noble values embodied in islamic law.
Kata kunci:   yuridis formal, islamic criminal law                                                                              


I.     PENDAHULUAN
Eksistensi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak agama Islam masuk di Indonesia. Karena itu, hukum Islam telah menjadi bagian integral dari pembinaan hukum nasional sampai sekarang ini dan peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional adalah untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif dan hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat dengan sifatnya yang umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara Indonesia.1
Aktualisasi nilai-nilai hukum Islam tersebut tidak hanya terbatas pada bidang hukum perdata saja, khususnya hukum keluarga tetapi juga pada bidang-bidang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum dagang. Dengan demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat berperan sebagai sumber hukum nasional di samping Pancasila, tanpa menimbulkan anggapan bahwa hukum Islam adalah kuno. Model yang kedua ini sesungguhnya telah dipraktikkan para penyusun UUD 1945, di mana nilai-nilai hukum hukum Islam ter-cermin di dalamnya.2
Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, maka memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang integrasi nilai-nilainya kelihatannya lebih memberikan harapan dengan pendekatan formal, khususnya pidana Islam. Untuk itu, dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan mensosia-lisasikan sebanyak mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam hukum Islam.3
Dalam konteks aktualisasi hukum Islam tersebut, maka secara normatif nilai-nilai hukum Islam telah diaplikasikan dengan penuh kesadaran oleh masyarakat Islam. Berbeda dengan hukum Islam secara yuridis formal bahwa belum semua materi hukum Islam diformulasi melalui proses legislasi dalam bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya.
Mengacu pada uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas tentang Bagaimana peluang dan tantangan aktua-lisasi hukum Islam di Indonesia dalam konteks formalisasi atau legislasi hukum Islam sebagai pokok permasalahan. Oleh karena itu, sub masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikur;
1.    Bagaimana idealitas  terhadap legislasi hukum Islam di Indonesia?
2.    Bagaimana tantangan realitas legislasi/ formalisasi hukum Islam di Indonesia?
3.    Bagaimana formulasi legislasi atau formalisasi hukum Islam di Indonesia?

II.  PEMBAHASAN
A.  Idealitas  terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Indonesia menyebabkan hukum Islam berpeluang untuk eksis dan diterapkan dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui proses legislasi.4 Peluang legislasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;
a.    Faktor Sejarah
Pembentukan undang-undang meru-pakan suatu proses yang dinamis yang terus menerus mangalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat yang di-pengaruhi oleh tuntutan global teknologi informasi. Karena itu, pembentukan undang-undang secara komprehensif harus memperhatikan tiga dimensi yaitu masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa, masa kini yang terkait dengan kondisi objektif yang ada sekarang dengan lingkungan strategisnya dengan meman-dang ke masa depan yang dicita-citakan.5
Sejarah panjang hukum Islam di Indonesia diwarnai dengan pengorbanan politik hukum yakni ketika menjelang kemerdekaan ketua BPUPKI, yaitu Dr. KRT Radjiman Wedyadiningrat memper-tanyakan mengenai idiologi dasar negara Indonesia  yang  akan didirikan sebagai landasan filosofis bagi adanya semangat yang mendasari struktur Indonesia merdeka yang akan dibangun kelak.6
Implikasi dari pertanyaan ketua BPUPKI tersebut telah memunculkan dua kelompok dalam tubuh BPUPKI yaitu dari kalangan Islam yang merasa telah banyak berjasa dan berkorban sejak masa kesul-tanan nusantara, kelompok Islamis ini menghendaki agar didirikan negara Islam Indonesia.7 Kalangan lain dalam tubuh BPUPKI yang kebanyakan menerima pendidikan Barat dan banyak dipengaruhi pandangan pemisahan agama dari  negara menuntut dibentuknya negara nasional yang tidak ada kaitannya dengan agama.8
Tekanan politik yang timbul dalam diskusi BPUPKI menyebabkan kalangan umat Islam menarik usulan tentang pem-bentukan negara Islam. Sikap kompromi tersebut menyebabkan lahirnya Piagam Jakarta yang di dalamnya dirumuskan tentang “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Inilah yang disebut dengan pengorbanan umat Islam dengan dicabutnya tuntutan tersebut demi mewujudkan kemer-dekaan Indonesia.9
Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia, sore harinya datanglah perwira Angkatan Laut Jepang utusan kelompok Kristen di Indonesia timur yang keberatan dengan sila pertama dari Piagam Jakarta tersebut karena dinilai diskriminatif dan tidak menjamin persatuan dan kesatuan, jika sila pertama Piagam Jakarta tersebut tidak dirubah, maka kelompok Nasrani di Indonesia timur memilih untuk tidak bergabung dalam negara kesatuan Indonesia saat itu.  Demi kepentingan negara, maka umat Islam untuk kedua kalinya berkorban demi menyelamatkan negara yang baru terbentuk dengan mencoret anak kalimat yakni “....dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam pandangan penulis, kelompok Nasrani seharusnya tidak perlu memper-soalkan kembali sila pertama dari Piagam Jakarta tersebut karena secara politik hukum kewajiban syari’at Islam tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan Islam saja. Umat Islam telah banyak berkorban dalam perang nusantara dan perang kemerdekaan di mana musuh yang dihadapi adalah kelompok Nasrani juga, seharusnya kelompok yang keberatan dengan sila pertama Piagam Jakarta mengusulkan agar hukum agama mereka juga dicantumkan dalam Piagam Jakarta.10 Berbeda dengan usulan agar negara yang didirikan adalah negara nasional bukan negara Islam, maka dalam hal ini penulis setuju dengan pengorbanan tokoh-tokoh Islam saat itu yang menunjukkan sikap kenegarawanan yang luar biasa dan ini perlu dijadikan catatan penting dalam sejarah perjalanan Hukum Islam di Indonesia agar lebih mendapatkan kesempatan dalam aktualisasi dan pemberlakuan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia.
b.    Faktor Penduduk
Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, seharusnya menjadi pertimbangan bagi pembentukan hukum nasional Indonesia. Secara historis dan sosiologis, hukum Islam telah mengakar dalam praktik kehidupan masyarakat. Di samping itu, adanya keinginan yang kuat dari masyarakat Islam Indonesia yang menginginkan agar hukum Islam menjadi hukum dasar mereka, baik perdata maupun pidana.11 Hal ini sejalan dengan keyakinan umat Islam bahwa kalimat syahadat menjadi bukti adanya supremasi hukum Islam atas diri mereka sebagaimana yang dikenal dalam teori credo atau teori syahadah.12
Teori syahadah di atas sejalan dengan teori otoritas yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya sekalipun terdapat perbedaan perlakuan dari pihak penguasa terhadap sistem hukum yang lain tidak dapat menyurutkan pengakuan dan pelaksanaan hukum yang telah lebih dahulu menjadi otoritas masyarakat. Karena itu, meskipun ada hukum kolonial dan hukum adat karena hukum Islam telah menjadi otoritas pribadi yang dimiliki oleh orang Islam tetap saja akan menjadi panutan sistem hukum yang kuat.13
c.    Faktor Yuridis
Hukum Islam di Indonesia telah diterapkan oleh umat Islam dan telah berlaku secara normatif dan formal yuridis yakni hubungan antara seorang muslim dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan benda serta masyarakatnya.14 Sebagai hukum yang bersumber dari agama, maka hukum Islam memiliki daya ikat yang kuat dan tidak hanya terbatas sebagai aturan yang berdimensi profanhumanistik tetapi juga berdimensi transedental. Hukum Islam yang bersumber pada syari’ah mempunyai karakter yang bersifat universal dan fleksibel serta memiliki dinamika yang sangat tinggi disebabkan oleh faktor konsistensinya dan sifat transpormasinya. Kedua sifat ini memungkinkan hukum Islam tetap relevan dengan perubahan sosial dan perubahan waktu sehingga hukum Islam di Indonesia telah menjadi bagian penting dari sistem hukum nasional Indonesia.
d.   Faktor Konstitusional
Pancasila dan UUD 45 memberikan kedudukan penting bagi agama dalam me-warnai sistem hukum nasional, sebagai-mana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2 serta pengarahan GBHN tentang perlunya pengembangan kesadaran hukum masyara-kat dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah bukti  adanya perananan hukum Islam di Indonesia. Karena itu, upaya legislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah bukti bahwa negara menghendaki aspirasi hukum yang timbul dan direduksi dari ajaran-ajaran agama Islam.
e.    Faktor Politik
Sistem politik Indonesia memberi peluang yang besar teradap hukum Islam dalam mengembangkan aspirasi politik Islam termasuk upaya legislasi hukum Islam.15 Dewasa ini, peluang partai-parati Islam semakin terbuka dalam melegislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional.
Secara faktual, keberadaan politik menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia namun dengan memperhatikan konfigurasi politik yang ada cukup memberi peluang bagi lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa Islam seperti lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, lahirnya UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah di Indonesia, lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaran haji, lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangro Aceh Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syari’at Islam, lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang sebagai hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
e.    Faktor  Ilmiah
Di samping al-Qur’an dan hadis, ijtihad juga menjadi sumber hukum Islam. Keilmiahan sumber hukum Islam tersebut sangat universal dan dinamis dalam konteks kajian ilmu. Ijtihad sebagai landasan pemikiran filosofis telah mendorong adanya kajian-kajian keislaman yang sangat kritis dan akademis.
B.  Realitas Legislasi/ Formalisasi Hukum Islam di Indonesia
Sebagai salah satu sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum nasional Indonesia, maka kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum meng-hadapi tantangan dalam upaya legislasi hukum Islam di Indonesia. Tantangan itu tidak hanya dari internal masyarakat Islam sendiri tetapi juga datang dari eksternal hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, tanta-ngan aktualisasi hukum Islam di Indoensia dapat ditemukan dari beberapa realitas antara lain;
a.    Tantangan Struktural
Secara struktural, gagasan aktualisasi hukum Islam di Indonesia sampai saat ini masih diperdebatkan di kalangan kaum muslimin di Indonesia, ada yang mendu-kung dan sebagian menolak. Sebagaimana tergambar dalam beberapa teori aktualisasi hukum Islam di Indonesia yaitu melalui pendekatan formalistik-legalistik, melalui pendekatan strukturalistik dan kulturalistik, melalui pendekatan akademik bahkan kelompok yang lebih ekstrim mengatakan bahwa metode yang tepat dalam aktualisasi hukum Islam adalah dengan mewujudkan negara Islam. Tetapi, pihak lain lebih mementingkan perjuangan politik dan mengkritik perjuangan kultural dengan membina pemahaman masyarakat. Sedang-kan kelompok garis keras seperti FPI atau Front Pembela Islam mengatakan bahwa hukum Islam harus ditegakkan secara to the point yaitu aktualisasi hukum Islam secara langsung dengan cara memberantas setiap bentuk kemaksiatan di hadapannya dan kurang memperdulikan perjuanagan secara yuridis konstitusional.
Mengacu pada teori-teori aktualisasi hukum Islam di atas, dapat dipahami bahwa tantangan terbesar aktualisasi hukum Islam, khususnya dalam bentuk formalisasi atau legislasi hukum Islam di Indonesia adalah tidak adanya titik temu atau integrasi konsep aktualisasi hukum Islam yang tepat di Indonesia. Menurut penulis, jika upaya legislasi hukum Islam ini ingin diterapkan, maka pendekatan-pendekatan di atas perlu disaring dan diintegrasikan dengan sistem hukum nasional Indonesia sehingga strategi perjuangan legislasi hukum Islam tersebut dapat berhasil dengan baik. 
Karena legislasi adalah produk politik, maka hukum Islam harus mendapat-kan dukungan suara mayoritas dari lembaga pembentuk hukum apalagi secara faktual bahwa aspirasi politik Islam di DPR bukan kelompok mayoritas, sehingga upaya legis-lasi tersebut akan mendapat tantangan yang kuat. Sekalipun komposisi keanggotaan DPR saat ini mayoritas beragama Islam tetapi mereka enggan untuk memperjuang-kan legislasi hukum Islam disebabkan rendahnya pemahaman mereka terhadap hukum Islam tersebut.
Karena itu, kelompok formalisasi hukum Islam berpandangan bahwa pende-katan struktural akan lebih memiliki kekuatan yang mengikat, legitimasi hukum dan kekuasaan bagi pelaksanaan hukum Islam dinilai lebih efektif terhadap upaya perbaikan sistem kehidupan yang dewasa ini cenderung destruktif. Di samping itu, hukum Islam juga memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat yang berpijak pada asumsi bahwa hukum Islam memiliki karakteristik seperti takamul, tasamuh dan harakah yang mampu mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat.16
b.    Tantangan Substansial
Substansi hukum Islam meliputi materi hukum yang sangat luas dan kom-pleks. Bagi sebagian kalangan hukum Islam dinilai sebagai sebuah sistem hukum yang kaku bahkan menakutkan bagi sebagian kalangan apalagi sikap militansi (jihad) yang ditunjukkan oleh sebagian pemeluk agama Islam garis keras yang biasa disebut dengan kelompok teroris.
Untuk kepentingan legislasi hukum Islam dalam hukum nasional, maka proses transformasi substansi hukum Islam yang sebagian kalangan memahaminya secara negatif perlu diarahkan pada pengkajian aspek dinamika dan elastisitas hukum Islam dalam kontekstualisasi materi-materi hukum Islam sehingga koheren dengan konteks kekinian dan konteks sosial Indonesia.
Untuk itu, maka materi hukum Islam yang akan dilegislasi meliputi materi hukum bukan di bidang publik karena dikawatirkan dapat menimbulkan benturan dengan materi hukum agama lain. Materi privat atau keperdataan tidak mencakup pada semua bidang karena ada sebagian materi privat hukum Islam yang sangat peka dan jika ini dilegislasi dapat menimbulkan konflik sosial, agama dan sara. Sekalipun demikian, upaya legislasi materi hukum Islam tetap diperlukan karena sentimen ini merupakan tuntutan obyektif sebagai bukti implementasi hukum Islam di Indonesia.
Penentangan yang sistematis terhadap upaya legislasi hukum Islam di Indonesia dikemukakan oleh kelompok substansialis. Mereka berpandangan bahwa aktualisasi hukum Islam tidak perlu persis seperti apa yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah. Karena perangkat hukum seperti qisas, rajam dan potong tangan hanyalah alternatif bagi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di masa awal kemunculan Islam asalkan tujuan aktualisasi hukum Islam bisa tercapai, maka sah-sah saja hukum lain jika diterapkan. Misalnya hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara karena sama-sama bertujuan membatasi si pelaku.
Bahkan kelompok kaum muda sekuler yang menamakan diri JIL menyeru-kan deformalisasi hukum Islam. Menurut mereka hukum Islam secara formal tidak perlu diberlakukan karena inti keberIslaman adalah komitmen kepada agama secara substansialistik bukan legalistik formal. Indonesia menurut mereka bukan negara agama sehingga tidak layak menerapkan hukum Islam secara total.17
c.    Tantangan Kultural
Penarapan hukum Islam di Indonesia juga mendapatkan tantangan dari segi kultur masyarakat Indonesia sendiri. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kultur masya-rakat Indonesia yang berbeda disebabkan oleh adanya beberapa sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu, secara kultural aktualisasi hukum Islam di Indonesia menemui beberapa kendala dan tantangan yaitu;
1)   Sistem hukum nasional bersumber pada tiga sistem hukum yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan barat. Pemberlakuan ketiga sistem hukum ini disebabkan  oleh beberapa faktor yaitu;
a.    Adanya pluralitas penduduk yang memberlakukan suatu sistem hukum yang lahir dari kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang diyakini dan dipatuhi. Sistem hukum ini kemudian disebut oleh pihak penjajah sebagai hukum adat yang berlaku secara formal dan ilmiah.
b.    Faktor agama, ketika agama Islam masuk ke Indonesia dan terjadi tranpormasi keyakinan dan keperca-yaan dari paham animisme dan dinamisme masyarakat ke agama Islam sehingga mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka sejak itu hukum Islam diyakini dan dianut serta dipatuhi oleh masyarakat Islam sehingga hukum Islam menjadi sebuah sistem hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
c.    Faktor penjajah, Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun, maka sistem hukum yang diterapkan adalah sistem hukum kolonial Belanda dan sistem hukum inilah  yang dikenal dengan sistem hukum Barat.18
2)   Adanya resistensi dan penentangan dari kalangan non muslim yang menganggap formalisasi atau legislasi hukum Islam di Indonesia akan menempatkan mereka sebagai warga kelas dua sebagaimana keberatan yang telah disampaikan oleh kelompok Nasrani terhadap sila pertama dari Piagam Jakarta. Resistensi itu juga ditunjukkan oleh kelompok Kristen Katolik dan Partai Demokrasi Per-juangan (PDI) ketika akan disahkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan Agama sebelum diundangkan menjadi UU No.7 Tahun 1989. Mereka menuntut agar rancangan Undang-undang tersebut dicabut karena dianggap diskriminasi dan tidak mencerminkan kesatuan dan persatuan.19
   Di era reformasi, resistensi tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh non muslim bahkan umat Islam sendiri yang menolak upaya legislasi hukum Islam dengan memblow up di media massa tentang penolakan terhadap UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Aceh Darussalam untuk menerapkan hukum Islam. Undang-undang ini dianggap sarat kepentingan politik dan bukan untuk kepentingan rakyat Aceh. Karena itu, media mengatakan bahwa angka prostitusi di Aceh meningkat seiring dengan aktualisasi hukum Islam di Aceh.20
3)   Politikal Will atau kesadaran dan keinginan kuat masyarakat Islam yang rendah terhadap aktualisasi hukum Islam dalam bentuk formalisasi atau legislasi hukum Islam. Fakta ini diperkuat oleh rendahnya kesadaran masyarakat Islam dalam mendukung partai politik sebagai sarana perjuangan politik dalam konteks legislasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia.
   Kesadaran hukum dan penyatuan aspirasi politik ini terbentur oleh lemah-nya pemahaman terhadap hukum Islam di kalangan masyarakat, fikih yang berkembang di kalangan masyarakat didominasi oleh fikih klasik, terbatasnya sumber dana dan sumber daya untuk melakukan pengkajian hukum Islam dan belum siapnya tokoh-tokoh agama untuk menerima pembaharuan hukum Islam serta adanya konflik antar mazhab belum tuntas di kalangan bawah.21
   Bagi kelompok kultural berpan-dangan bahwa penegakan hukum Islam jangan sampai hanya sebagai komoditas politik kelompok tertentu saja. Di samping aktualisasi secara kultural juga tidak lepas dari pertimbangan yang melihat pada realitas kemajemukan masyarakat yang jika dipaksakan malah menjadi momok bagi masyarakat Islam sendiri.
C.  Formalisasi Hukum Islam di Indonesia
1.    Realisasi Materi Hukum Islam
Materi hukum Islam yang telah ber-hasil diberlakukan secara formal melalaui proses legislasi dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Instruksi Presiden. Undang-undang tersebut adalah:
a)    Undang-Undang Perkawinan
RUU Perkawinan (1973) mendapat tantangan karena mengandung keten-tuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Dilihat dari kekuatan politik di DPR, penentang RUU Per-kawinan dapat dipastikan akan kalah: Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) berhadapan dengan Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan (FKP), dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI). RUU tersebut disetujui setelah keten-tuan-ketentuan yang kontroversial dihi-langkan, atas desakan kekuatan ekstra parlementer.
b)   Undang-Undang Peradilan Agama
RUU Peradilan Agama (1988) mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Di DPR, FPP, FKP dan Fraksi ABRI menyambut baik RUU tersebut. Berbeda dengan tiga fraksi lainnya, FPDI menyampaikan beberapa hal bernada keberatan. Di luar DPR terjadi pro-kontra yang tak kalah serunya. Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, diharapkan berakhirlah keaneka-ragaman pengaturan tentang peradilan agama sebagai akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda.
c)    Kompilasi Hukum Islam (KHI)   
KHI bukan UU, dimasukkan dalam pembahasan ini karena memuat hukum materil Peradilan Agama, dan tidak berbentuk UU semata-mata karena ken-dala politik. KHI lahir dari keinginan untuk mewujudkan kesatuan dan kepas-tian hukum terapan Peradilan Agama. Rancangan KHI disetujui oleh ulama dalam lokakarya di Jakarta pada Pebruari 1988. Presiden RI, dengan Inpres No.1 tahun 1991 menginstruksikan kepada Menag untuk menyebarluaskan KHI. Bentuk hukum Inpres merupakan sebuah terobosan, karena beratnya kendala politik untuk menjadikannya UU.
d)   Rumusan  Undang-Undang Peradilan Anak   
RUU Peradilan Anak (1995) men-dapat sorotan tajam karena banyak mengandung kekurangan, baik dari segi formal pembentukannya maupun dari segi materinya. Fraksi-fraksi di DPR, kecuali Fraksi PDI, banyak menyoroti pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan KHI. FPDI berpendapat, RUU yang disetujui DPR setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, belum menampung seluruh permasalahan anak, khususnya menyangkut perkara perdata, sehingga di bidang ini masih terdapat kekosongan hukum.
e)    Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji  
Pada tahun 1998, diajukan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang merupakan RUU usul inisiatif DPR. Tidak ada kontoversi mengenai RUU ini, karena mendapat dukungan dari semua fraksi dan mendapat sambutan baik pemerintah.
f)    Undang-Undang Pengelolaan Zakat   
Pada tahun 1999, pemerintah menyam-paikan RUU Pengelolaan Zakat. Semua fraksi di DPR menyambut positif RUU ini, sehingga pembahasannya berjalan lancar. RUU Pengelolaan Zakat disetujui DPR pada tanggal 14 September 1999, dan kemudian disahkan dan diundang-kan oleh presiden pada tanggal 23 September 1999 menjadi UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
g)   RUU Nanggroe Aceh,        
Ada dua RUU tentang Aceh: RUU pemerintah, dan RUU usul inisiatif DPR. RUU DPR seolah-olah hendak menjadi-kan Aceh sebagai negara tersendiri. Menurut RUU DPR, untuk mengubah UU ini harus melalui referendum seolah-olah UU ini lebih tinggi dari UUD.
Proses lahirnya UU ini sarat nuansa politis, sebagaimana tampak dalam beberapa hal. Pertama, RUU pemerintah lebih dulu dari pada RUU usul inisiatif DPR, tetapi DPR membahas RUU usul inisiatif, sedangkan RUU pemerintah dijadikan bahan masukan dalam pem-bahasan, dan ini bertentangan dengan Peraturan Tatib DPR sendiri. Kedua, materi RUU yang disetujui lebih menye-rupai materi RUU yang diajukan oleh pemerintah, padahal pada saat pemba-hasan RUU, posisi politik DPR sangat kuat dibanding presiden. Ini tidak akan terjadi jika DPR konsisten memper-juangkan materi RUU usul inisiatif. Ketiga, Presiden berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tetapi ada beberapa orang dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) yang ikut menanda-tangani RUU DPR, yang bertolak-belakang dengan RUU pemerintah, seolah-olah konsistensi pemikiran harus dikalahkan oleh politik “cari muka” di DPR.Dari saratnya nuansa politis RUU ini, tidak berlebihan kalau ada pendapat yang menganggap RUU ini lebih politis daripada yuridis.
2.    Peluang secara Realisasi Legislasi Ekonomi Syari’ah
Yuridis tersebut semakin luas dengan dibukanya kesempatan bagi bank-bank konvensional, khususnya bank umum untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah asalkan membuka cabang khusus untuk melakukan kegiatan tersebut.22Agar peluang yuridis tersebut dapat dijalankan secara optimal, efektif dan efisien perlu dibuat aturan hukum yang lebih operasional khususnya ketentuan yang mengatur tentang masalah likuiditas, sistem moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah, standar akuntansinya, audit dan pelaporan, prinsip kehati-hatian.23
Selain itu, dibutuhkan juga aturan-aturan tentang pasar uang syari’ah, jenis dan bentuk baku surat-surat berharga untuk transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, penyeragaman perjanjian standar dalam transaksi bank syari’ah dan diskri-minasi penyalahgunaan nasabah.24
Operasionalisasi perbankan syari’ah juga menemui kendala dan tantangan seperti adanya kualitas manajerial pengelola Bank Syari’ah yang masih terbatas, ber-akibat pada rendahnya kaulitas pelayanan pada masyarakat sekaligus memperlemah daya kompetitif  Bank  Syari’ah dan Bank Konvensional, masyarakat terlanjur lekat dengan praktik perbankan konvensional karenanya bank syari’ah harus menyeder-hanakan atau mempermudah prosedur pelayanannya, bank syari’ah belum me-miliki akses dengan lembaga zakat, infaq, dan sedekah, tantangan paling berat adalah kesiapan perbankan syari’ah memasuki pasar bebas yang akan bersaing dengan perbankan asing dan di era globalisasi standarisasi kualitas di tingkat internasional mengarah kepada penyeragaman dan kesebandingan di mana perbankan syari’ah belum bisa menyesuaikan diri.25
3.    Peluang dan Tantangan Legislasi Hukum Pidana
Sedangkan pada bidang hukum publik atau pidana Islam dan terbuka peluang bagi hukum Islam untuk diberlakukan secara formal melalui pendalaman kembali ber-lakunya hukum Islam di Indonesia ber-dasarkan teori-teori pemberlakuan hukum Islam tersebut. Dalam konteks ini, maka pelaksanaan hukum pidana di Indonesia dalam beberapa hal sudah sejalan dengan nilai-nilai transformatif hukum Islam seperti hukuman mati dan hukuman pen-jara.
Dengan lahirnya UU No.18 Tahn 2001 tentang Nangro Aceh Darusslalam untuk menerapkan syari’at Islam secara tidak langsung membuka peluang bagi daerah lain yang ingin menerapkan hukum publik atau pidana Islam karena dalam undang-undang ini memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan membina hukum publik dan hukum privat berdasarkan syari’at Islam.
Hukum pidana dipandang sebagai salah satu ruh hukum Islam. Atas dasar itulah, RUU KUHP disinggung di sini, meskipun belum lagi dibahas. Keinginan untuk me-”reformasi” KUHP, bahkan rancangannya, telah lama ada. Hanya saja, berbagai kendala mengakibatkan keinginan itu belum menjadi kenyataan. Ketentuan mengenai beberapa tindak pidana diatur cukup jelas dan tegas dalam al-Qur’an, dan beratnya ancaman pidana ini sering dijadikan alasan oleh pendukung hukum Islam untuk menekan angka kriminalitas. Akan tetapi, pendukung hukum Islam di DPR tidak mengajukan RUU KUHP berbasis hukum Islam. Ini menarik, karena ternyata Majelis Mujahidin dapat menyiap-kan usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam. Terlepas dari setuju atau tidak terhadap materinya, Majelis Mujahi-din memiliki usulan konkrit, sementara partai politik Islam di DPR yang sering menyuarakan hukum Islam itu tidak melakukannya.
III.   KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka point-point penting yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adalah sebagai berikut;
1.    Aktualisasi hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari dua bentuk yaitu aktualisasi hukum Islam secara normatif yakni hukum Islam yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran umat Islam sendiri dan aktualisasi hukum Islam secara yuridis formal yakni melalui proses legislasi sehingga sifatnya mengikat umat Islam.
2.    Peluang Aktualisasi hukum Islam di Indonesia dapat dikaji berdasarkan beberapa pendekatan yaitu faktor sejarah hukum Islam di Indonesia, penduduk, yuridis, konstitusional, politik dan faktor ilmiah.
3.    Tantangan aktualisasi hukum Islam di Indonesia terdiri dari beberapa peng-hambat yaitu tantangan struktural, tantangan substansial dan tantangan kultural.
4.    Materi hukum Islam secara formal telah diterapkan dalam berbagai produk perundang-undangan termasuk masalah kepidanaan juga telah mewarnai hukum pidana Indonesia sekalipun belum diterapkan secara formal.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia. Cet. III; Jakarta: Rajawali Press, 1990. 
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syari’ah. Ed. 1. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
al-Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional. Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Anshari, Isa. Dasar Negara RI dalam Konstituante. Vol II; Kontituante RI (Bandung: tp, 1958
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek. Jakarta Gema Insani Press, 2001.
Arifin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Silam di Indonesia.  Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2008.
Aziz, Abd. et. Al., (ed) Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 5. Cet. 1; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1996.
Azizi, A. Qodri. Elektisime Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Cet. 1; Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Djazuli, A. “Beberapa Aspek Pengem-bangan Hukum Islam”, dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaka Rosdakarya, 1994.
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Jumat, Abd. Gani. Implementasi Konsep Ijtihad pada Aspek Politik, dalam Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan al-Nizam. Volume 2, No. 1 Jurusan Syari’ah Ternate. STAIN Ternate, 2006.
Juzuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. 1; Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum di Indoensia. Cet 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Nurdin, Ade dan Riswan dalam Judul Membumikan Syari’at Islam; Kelu-wesan Aturan Ilahi untuk Manusia. Cet. 1; Bandung: Mizan, 2003.
Nurrohman, Formalisasi Syari’at Islam di Daerah-Daerah, Sebuah Catatan Kritis, dalam Masykuri Abdillah, at, al. Formalisasi Syari’at Islam di Indoensia, Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas. tt: tp; t.th.
Perwira Negara, Alamsyah Ratu. Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum dalam Amrullah Ahmad., et. Al. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, menge-nang 45 Tahun Bustanul Arifin, SH. Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ramly, Hutabarat. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional., Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.
Sjahdeni, Remi Sutan. Perbankan Islam, dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. tt; Grafiti, 1999.
Umar, Nasaruddin. Konstitusi Hukum Islam di Indonesia. Makalah pada Studi Nasional dan Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa Syari’ah Se Indonesia. Ujung Pandang: 13-15 Juli, 1996.
Wahjono, Padmo. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Catatan Akhir:
[1]Padmo Wahjono,“Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),  h. 167.
2bid., h. 172.
3Di antara cara untuk menggali nilai-nilai tersebut adalah dengan jalan memahami aspek filosofis hukum Islam yang tercermin dari dalil-dalil kulli yang mendasari pemikirannya, tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah) termasuk juga hikmahnya (hikmah al-tasyri’), dan konsep manusia menurut hukum Islam. Lihat A. Djazuli, “Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam”, dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaka Rosdakarya, 1994), h. 260.
4Dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata legislasi sering diartikan dengan kata taqnin yang seakar dengan kata qanun. Sedangkan secara terminologis taqnin mempunyai dua arti yaitu penetapan sekumpulan peraturan dan undang-undang yang memiliki daya paksa untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Taqnin juga dipahami sebagai penetapan sekumpulan peraturan dan undang-undang yang memiliki daya paksa untuk mengatur suatu masalah tertentu seperti masalah perdata, pidana atau yang lainnya. Lihat Abd. Aziz, et. Al., (ed) Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 5 (Cet. 1; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 1439.
5Prinsip-prinsip Dasar Pembentukan Undang-undang dalam Program Legislasi Nasional tahun 2005-2009, WWW Parlemen Net, h. 2.
6Abd. Gani Jumat, Implementasi Konsep Ijtihad pada Aspek Politik, dalam Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan al-Nizam. Volume 2, No. 1 Jurusan Syari’ah STAIN Ternate; Ternate 2006), h. 100.
7M. Natsir seorang tokoh Masyumi berargumen bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan cita-cita perjuanagan umat Islam. Demikian pula dengan pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran dan syari’at Islam. Dalam hal ini, Islam merupakan kelompok mayoritas yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Lihat lebih lanjut Isa Anshari, Dasar Negara RI dalam Konstituante. Vol II;Kontituante RI (Bandung:tp, 1958), h. 179.
8Alamsyah ratu Perwira Negara, Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum dalam Amrullah Ahmad., et. Al. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, mengenang 45 Tahun Bustanul Arifin, SH (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 238.
9 Ibid., h. 239.
10Menurut Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005), h. 85.
11Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional  pada tahun 1978 dan 1979 di empat belas daerah yang tersebar di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat terlihat kecenderungan yang kuat di kalangan umat Islam agar hukum Islam diberlakukan daripada hukum lain. Lihat lebih lanjut, Muhammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 239-240. 
12 Teori credo atau syahadah adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan kalimat syahadat sebagain konsekuensi logis dari pengucapan credonya. Lihat lebih lanjut dalam al-Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 67-68.
13Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Silam di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2008), h. 289.
14Daud Ali, op. cit., h. 5-6.
15Juzuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. 1; Bandung: Citra Aditya bakti, 2005), h. 429.
16Takamul misalnya, adalah merupakan ajaran yang sempurna mencakup semua dasar peraturan perundangan dalam kehidupan mansuai dan dapat diterapkan pada semua lapisan masyarakat dalam situasi dan kondisi apapun serta mampu mengikuti perkembangan masyakat pada setiap zaman. Sementara tasamuh adalah bahwa hukum Islam mempunyai daya toleransi yang tinggi terhadap kaidah-kaidah yang telah ada dalam masyarakat. Sedangkan harakah adalah bahwa hukum Islam mempunyai daya jangkauan terhadap setiap persoalan dan mampu menyelesaikannya karenanya  hukum Islam tidak akan lapuk dan ketinggalan zaman. Lihat Abdul manan, Reformasi Hukum diIndoensia (Cet 1; jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 94-104.  Manusisawi. Bandingkan dengan Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 18-25,. Lihat lebih lanjut Yusuf Qardawi, Madhal li dirasah al-Syariah al-Islamimiyah diterjemahkan oleh Ade Nurdin dan Riswan dalam Judul membumikan Syari’at sIslam ; keluwesan aturan Ilahi untuk manusia (Cet. 1; Bandung; mizan, 2003), h. 94-160.
17Ashwir al-Afkar,  Perdebatan Syariat Islam, , No. 12 tahun 2002),  h. 1
18A. Qodri Azizi, Elektisime Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Cet. 1; Yogyakarta: Gama Media, 2002), h . 110.
19 Alamsyah, op. cit., h. 243.
20Nurrohman, Formalisasi Syari’at Islam di Daerah-daerah, Sebuah Catatan Kritis, dalam Masykuri Abdillah, at, al. Formalisasi Syari’at Islam di Indoensia, Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas (tt: tp; t.th), h. 199.
21 Nasaruddin Umar, Konstitusi Hukum Islam di Indonesia. Makalah pada Studi Nasional dan Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa syari’ah se Indonesia (Ujung Pandang: 13-15 Juli, 1996), h. 6.
22Remi Sutan Sjahdeni, Perbankan Islam, dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (tt; Grafiti, 1999), h. 125. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah. Ed. 1 (Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2.    
23Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek (Jakarta Gema Insani Press, 2001), h. 225.
24Remi, op. cit., h. 204-206.
25Warkum, op. cit., h. 80.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar