Muh. Sudirman Sesse
(Dosen STAIN Parepare)
Abstract
This article elaborate the result children
law status of marriage of mixture in Indonesia law viewpoint. from study
result with approach of law sociology obtained by picture that child is law
subject which not yet speaking do deed of law self so that have to be assisted
by the sponsor or old fellow having efficiency. arrangement of children law
status of result marriage of mixture in new civics invitors, give clarification
which are positive, especially in the relation of child of the mother, because
This new law permit civic of determinate multiple for child of result marriage
of mixture.
Keywords: Status Hukum, anak, dan
Perkawinan Campuran
I. PENDAHULUAN
Perkawinan campuran telah
merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi,
ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin
campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.1 Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed
Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan
menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman
kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat
pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia
dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan
banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia
sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir
dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perundang-undangan di
Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 57:
”Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama
hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran
antara warga negara Indonesia
dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.
Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir
kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk
istri dan anak.
Barulah
pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru.
Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang
menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul,
namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi
kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan
yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah
kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan
bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini
menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah,
tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan
lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana
pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran,
berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar
perumusan masalah adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaturan status hukum
anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU
Kewarganegaraan yang baru? 2) Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan
masalah bagi anak?
II. PEMBAHASAN
1. Anak Sebagai Subjek Hukum
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah: “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek
hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang
masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang
menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.2 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia
cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang
lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah
mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa
diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang
lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang
berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak
akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan
kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi
hukum.
2. Pengaturan Mengenai
Anak dalam Perkawinan Campuran
A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut
teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan,3 apakah
perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan
ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak
luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.4 Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius
soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip
nasionalitas (ius sanguinis).5 Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah
sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan
secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi
kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan
hak-hak maritalnya.6 Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.7
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga,
bahwa semua anak-anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu
orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang
sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958.8
Kecenderungan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan
yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu
berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan
sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
B.
Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
1. Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua
bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan
Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No. 62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara
Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya,
apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali
apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan.
Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.9 Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi
laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu
dan lain hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan, dll)
maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.10
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah
dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal
7 UU No. 62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI,
ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga
harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun
harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa
itu terlewati, maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan
yang berlaku bagi WNA biasa.11 Untuk
dapat tinggal di Indonesia
perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang
harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk
pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan
otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan
perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya
harus disetujui suami sebagai sponsor.12 Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami
harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.13 Seorang wanita WNA
tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor
suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu
dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah
tangga.
2. Anak hasil perkawinan
campuran
Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958: “Anak yang belum berumur 18
tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya
sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan
berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak
yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi
warganegara asing:
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga
negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun
1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat
memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya.14 Bila
suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri
dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami
(yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.15
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita
warganegara Indonesia
dengan warganegara asing.16Anak
tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus
dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan Kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang
ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal
ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,
hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan
anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum
berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga
mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18
tahun/belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki
hubungan hukum dengan ayahnya).17
C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai
Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:18
a. Asas ius sanguinis (law of the
blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the
soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c. Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
d. Asas
kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Undang-Undang
ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang
diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.19
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan
ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya)
tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.20
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil
Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI
dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA
dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.21
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18
tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.22 Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan
paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.23
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif
bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah
pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian
hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua
yurisdiksi.
Indonesia
memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam
hal status personal Indonesia
menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B.
(mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara Indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang
hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.24 Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status
personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak,
wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal
status anak-anak yang dibawah umur.26
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda
juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal
yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk
pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum26 pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil
dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun
hendak menikah27 maka
harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil28 harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil29 mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan
anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke
atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang
(pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi
kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang
harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli
hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.
Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka
potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum
menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.
3. Kritisi terhadap UU
Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru
ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus
kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran
datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan,
Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan
antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi
kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU
yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan
campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati
menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya
terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan
tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.29
Penulis kurang setuju dengan kritik yang
disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan
ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang
mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf
dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan
hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan
diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasionalnya
ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain.
Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut:
“Jumanto, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia
dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia
hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum
Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang
harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak, penulis
cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak
diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah.
Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan
sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status
personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu
ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang
pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka
anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu
dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan
menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu
negara.
III. KESIMPULAN
Anak
adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga
harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan
status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru,
memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya,
karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil
perkawinan campuran.
UU
Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait
dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang
bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman
dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat
terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk
mengantisipasi potensi masalah.
Catatan Kaki dan Rujukan:
[1]Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU
Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 12 Augusut 2007.
2 Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan
Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hal.21.
3 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995, hal.86.
4 Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang
mengikuti kemana ia pergi. Sudargo, op.cit., hal.3.
5 Ibid., hal.80
6 Ibid
7 Ibid., hal.81.
8 Ibid., hal.91.
9 Cara pewarganegaraan ini mengikuti ketentuan pasal
5 UU No.62 Tahun 1958.
10 Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini
dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%
20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 12 Agustus 2007.
11 Ibid.
12 Ibid.
13 Lihat pasal 21 UU Pokok Agraria No.5 Tahun
1960.
14 Lihat pasal 15 ayat (2) dan 16 (1) UU No.62
Tahun 1958
15 Mixed Couple Indonesia, op.cit.
16 Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini tidak termasuk dalam
definisi warga Negara yang tercantum dalam pasal 1 UU No.62 Tahun 1958,
sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing. Indonesia menganut asas ius
sanguinis, kewarganegaraan anak mengikuti orang tua, yaitu bapak.
17 Pasal 15 UU No.62 Tahun 1958.
18 Lihat penjelasan UU Kewarganegaraan yang baru.
19 Ibid.
20 Pasal 25 UU Kewarganegaraan
RI yang baru.
21 Pasal 4 huruf c dan d UU Kewarganegaraan RI
yang baru.
22 Pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan RI
yang baru.
23 Pasal 6 ayat (3) UU Kewarganegaraan RI
yang baru.
24 Gautama, op.cit., hal.13.
25 Gautama, op.cit., hal.66.
26 Ketertiban umum dapat diartikan sebagai
sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Binacipta, 1977, hal.133.
27 Karena belum berusi 18
tahun ia belum memilih kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan
berdasar pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru dilakukan sesudah perkawinan,
bukan sebelum.
28 Syarat materiil adalah
syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.
29 Syarat formil adalah
syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan. Syarat formil biasanya terkait dengan urusan administrasi
perkawinan.
30 UU Kewarganegaraan
Baru Tentang Diskriminasi dan Kewarganegaraan Ganda, http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/%20uu
kewarganegaraan_baru060713, diakses 12 Agustus 2007. Labels: Hukum Internasional, Kewarganegaraan, Perkawinan Campuran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar