Selasa, 10 Februari 2015

HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN DAN PENYELESAIANNYA SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN





 



Muh. Sudirman Sesse

(Dosen STAIN Parepare)

Abstract

Artikel ini menguraikan masalah Harta Bersama dalam Perkawinan dan Penyelesaiannya Setelah Terjadinya Perceraia. Berdasarkan hasil pengkajian dengan mempergunakan metode Induktif, Deduktif, dan metode komparatif, diperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan menurut Hukum Islam tentang harta bersama antara suami isteri.
Sebahagian ulama mengatakan tidak ada harta bersama kecuali melalui syirqah (perjanjian) antara suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Dan sebahagian mengatakan bahwa otomatis ada harta bersama antara suami dan isteri setelah perkawinan berlangsung baik mereka bekerja bersama-sama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja sedangkan yang lainnya mungkin mengurus rumah tangga suami dan anak-anaknya saja. Apabila dianggap ada harta bersama, maka harta bersama itu dapat dibagi apabila hubungan perkawinan putus. Putus hubungan perkawinan karena kematian, mempunyai kekuatan pasti sejak kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi dalam kenyataannya pembagian itu baru dilaksanakan selesai upacara penguburan, bahkan ada yang menunggu setelah empat puluh atau upacara seratus hari si meninggal. Adapun putusnya perkawinan karena putusan hakim, nanti bisa dibagi setelah mempunyai ketetapan hukum yang pasti.

Keywords: Harta bersama, Perkawinan, dan Perceraian.
I.  PENDAHULUAN
Hubungan antara suami dan istri adalah inti atau merupakan masalah pokok dalam hubungan sesama manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicoon) manusia karena secara humini kata Aristoteles.
Jadi hubungan manusia itu baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara, selalu saling membutuhkan. Suami istri yang merupakan keluarga adalah dasar permulaan daripada hubungan antar kelompok yang membentuk masyarakat. Jadi keluarga merupakan unsur yang penting dalam pembentukan suatu masyarakat Bangsa dan Negara, tanpa suami dan isteri tidak ada keluarga, tidak ada masyarakat dan seterusnya dan tidak ada negara.
Berbicara tentang hubungan suami isteri menurut hukum Islam haruslah dilandasi dengan unsur makruf, sakinah, mawaddah dan rahmah. Makruf artinya pergaulan antara suami istri itu harus saling hormat menghormati, saling mejaga rahasia masing-masing, terutama sang suami harus berusaha sebagai Top Figur, sebagai Nakhoda, ibarat Kapten yang memimpin pelayanan sebuah kapal mengarungi samudra yang luas dan penuh dengan godaan tiupan badai, topan dan alunan gelombang yang kadang-kadang maha dahsyat, dia harus dapat menenangkan jiwa baik penumpang maupun crew, walaupun kapal diamuk tiupan angin dan gelombang yang menggunung besarnya.
Suami sebagai kepala keluarga berusaha menjaga pergaulan yang harmonis baik antara suami dan isteri maupun hubungan dengan anak-anak serta pendidikannya. Sakinah dimaksudkan disini penjabaran lebih lanjut dari ma’ruf yang telah dikemukakan di atas, yaitu agar suasana kehidupan dalam rumah tangga suami isteri itu terdapat keadaan yang aman dan tenteram “gema ripah loh jinawi”, tidak terjadi silih sengketa dan perselisihan pendapat yang sangat prinsipil.
Perpaduan antara makruf dan sakinah adalah merupakan prasyarat bahwa antara suami isteri dalam rumah tangga akan tetap saling cinta mencintai, sayang menyayangi, seia sekata, ke lurah sama menurut, ke gunung sama mendaki, serendam sama basah, terapung sama hanyut, itulah yang disebut mawaddatan warahmah yang harus selalu dipupuk. Tidak saja selagi muda (pengantin baru) tetapi sampai hubungan suami isteri itu menjadi kakek nenek. Sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam Q.S. Annisa ayat 21; “bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian suci dan kuat”.1 Q.S.An-Nisa ayat 19; “Dan pergaulilah isteri kamu itu secara (baik-baik) atau makruf kemudian apabila kamu tidak menyukai sesuatu, tetapi Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak”2, serta firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum ayat 21; “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diciptakannya untukmu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram (sakinah) kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu wamaddah dan rahmah atau rasa saling cinta-mencintai dan menyantuni.”3
Demikianlah seharusnya hubungan antara suami isteri dalam rumah tangga Islam, namun kenyataanya kadang-kadang pasangan suami isteri itu karena kesibukan mereka sehari-hari, lupa menerapkan petunjuk-petunjuk Allah Swt. tersebut dan tergelincir ke lembah pertengkaran yang hebat diantara mereka, dan terjadilah apa yang sebenarnya tidak dikehendaki serta paling dibenci oleh Allah Swt yaitu putusnya hubungan perkawinan antara suami isteri tersebut, atau yang lazimnya dikatakan dengan thalaq atau cerai.4
Sedangkan dalam peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 28 dan pasal 30 dibedakan istilah Thalaq dan cerai. Thalaq adalah pemutusan hubungan perkawinan atas permohonan suami, sedangkan cerai gugat adalah pemutusan hubungan suami isteri atas permohonan yang datangnya dari pihak isteri.5
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu pokok masalah sebagai berikut: “Bagaimana kedudukan Harta Bersama Suami Istri setelah terjadinya Perceraian”
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, dan untuk lebih terarahnya pembahasan nanti, maka penulis mengemukakan dua sub masalah sebagai berikut; 1) Bagaimana pandangan Islam tentang Harta Bersama dalam perkawinan?, dan 2) Bagaimana proses penyelesaiannya setelah terjadinya perceraian?
Dan untuk memudahkan kita dalam memahami pembahasan makalah ini, maka penulis mempergunakan metode penulisan sebagai berikut:
1.    Metode Induktif, yaitu suatu metode yang dipergunakan dalam menganalisa data yang bersifat khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
2.    Metode Deduktif, yaitu digunakan untuk mengelolah data atau peristiwa yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
3.    Metode komparatif, yaitu suatu metode membandingkan data atau peristiwa yang sudah ada kemudian diambil data yang lebih akurat yang lebih berkaitan dengan pembahasan.

II. PEMBAHASAN

1. Harta Bersama Dalam Islam

Dalam membicarakan Harta bersama menurut Islam, penulis terlebih dahulu mengemukakan macam-macam harta yang kita kenal di Indonesia antara lain:
1.  Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, di Bali disebut Guna Karya, di Sumatra disebut harta pembujang, harta yang seperti ini tetap hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak.
2.  Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu, mungkin berupa modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat tinggal mereka suami istri. Apabila terjadi perceraian, maka harta ini kembali kepada orangtua (keluarga) yang memberikan semula.
3.  Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat., dan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta disebut harta gawan, di Jakarta disebut barang usaha, di Bandung disebut Barang sulu, di Jawa Barat dikatakan barang Benda atau datang asal (Barang pusaka) di Aceh terkenal dengan istilah Hareuta Tuka (Hareuta Asal atau pusaka) dan di Nganju Dayak disebut dengan Pinbut. Sedangkan di Minangkabau dikenal denga harta pusaka tinggi.6
4.  Harta  yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka disebut harta pencaharian.7Harta ini menjadi harta bersama menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. Harta jenis ke 4 ini di Aceh disebut Harenta Sihareukat, sedangkan di Bali disebut Druwegabro, di Jawa dikenal dengan harta gono-gini atau barang guna, di Kalimantan disebut barang papantangan, di Minangkabau diistilahkan dengan Harta Suarang Nan Babagi, di Madura disebut Ghana-ghana, di Jawa Barat dikatakan Gana Kaya. Disamping itu ada istilah lain dengan pengertian agak berbeda yaitu dalam perkawinan Manggih Kaya dan Nyalindung Kagilung. Di daerah Bugis (Makassar) dikenal dengan sebutan Makruf dengan barang-barang cakara.7
Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah jelas statusnya yaitu dikuasai masing-masing pihak (jenis pertama). Kembali kepada asal dari mana datangnya semula (jenis kedua) dan tetap dikuasai orang tua atau penguasa adat yang bersangkutan (jenis ketiga).
Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah harta jenis keempat, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka di bawah ini penulis mengemukakan dua versi jawaban yang berkaitan dengan Harta Bersama nenurut Hukum Islam, yaitu:
Pertama: Tidak dikenal harta bersama dalam Islam kecuali dengan syirkah. Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat (BW) dalam Hukum Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. Oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.8 Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 32, Allah Swt.  berfirman:
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
Terjemahannya.
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebahagian yang lain, (karena) bagian orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bahagian dari perempuan ada bahagian dari apa yang mereka usahakan (An-Nisa 32).9
Lihat juga firman Allah Swt.
... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Terjemahannya:
…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (Al-Baqarah: 228).10
Dengan demikian menurut hukum Islam bahwa suami istri berwenang atas harta kekuasaannya masing-masing. Suami tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap hartanya tetap dan tidak berkurang disebabkan perkawinan.
Karena itu suami tidak boleh mempergunakan harta isteri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izin sang isteri, bahkan harta kepunyaan isteri yang dibelanjakan untuk kepentingan rumah tangga menjadi utang suami dan suami wajib membayar kepada isterinya, kecuali isteri mau merelakannya.11
Namun demikian menurut Hukum Islam dengan perkawinan menjadilah sang isteri “Syarikatur rajuli filhayati”. Kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami isteri dapat terjadi Syarikah Abdan (perkongsian tidak terbatas).12
Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena Syirqah seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau thalaq, maka harta syirqah tersebut dibagi antara suami isteri menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka suami/isteri turut berusaha dalam syirqah. Dalam yurisprudensi di Indonesia dapat dilihat keadaan ini pada keputusan Landraad Serang, 29 Agustus 1929 yang didasarkan kepada pendapat Raad Van Justitie Jakarta tanggal 28 Desember 1928, menetapkan bahwa tidak ada milik bersama antara suami isteri meskipun barang yang diperoleh karena pekerjaan dan kerajinan bersama kecuali jika hal itu dengan jelas disetujui pada perkawinan.13
Lihat juga ketetapan Fatwa Syirqah tentang harta bersama antara suami isteri yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur, tanggal 7 Februari 1978 No. 21/C/1978 dalam perkembangan hukumnya mengemukakan:
Apabila telah terjadi syirkah (harta bersama) pada suatu masa tertentu, setelah berpindah dan tidak dapat diperbolehkan dari masing-masing harta syirkah itu, maka harta tersebut dibagi dua.”14
Dari beberapa argumen yang telah dikemukakan di atas yang mengatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami dan isteri menurut hukum Islam kecuali adanya syirkah, menurut penulis, mungkin didasarkan atas beberapa ayat Al-Qur’an antara lain Q.S. An-Nisa’: 34 yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
Terjemahnya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.”15
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? ....
Terjemahnya :
“Tempatkanlah mereka (para Isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka. (At-Talak.6)”16
Karena Isteri mendapat perlindungan dari Suami, baik tentang nafkah lahir, sandang pangan, nafkah batin dan moral, materil maupun papan rumah tempat tinggal, demikian juga biaya kesehatan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab penuh suami sebagai kepala keluarga. Sebagaimana yang terkandung pada dua ayat tersebut di atas, berarti sang Isteri dianggap passif menerima apa yang datang dari suami, maka menurut tafsiran ini tidak ada harta bersama antara suami, dan apa yang diterima isteri di luar pembiayaan rumah tangga dan pendidikan anak-anak, misalnya hadiah perhiasan, anting, gelang, cincin dan semacamnya, itulah yang menjadi hak isteri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh suami, dan apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik suami, kecuali bila ada syirqah (perjanjian bahwa harta mereka itu bersatu).
Kedua: Hukum Islam mengakui adanya  harta bersama antara suami isteri dalam perkawinan, pendapat yang kedua ini didasarkan pada  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,  pasal 35, 36 dan 37 yang lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 35 (1)        Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pasal 36 (1)        Mengenai harta bersama Suami atau Isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 37 (1)        Bilamana perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama di atas menurut hukumnya masing-masing.17
Jelaslah bahwa harta bersama yang penulis kemukakan pada bagian kedua Makalah ini yang perumusannya berbunyi: “Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena usahanya menjadi harta bersama.”18
Adapun harta suami istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh setelah terjadinya perkawinan  yang bukan karena usaha sendidi-sendiri, tetapi diperoleh karena warisan atau suatu pemberian  yang diperuntukkan khusus bagi kedua belah pihak yang menerimanya dapat juga dicampurkan menjadi milik bersama dengan suatu perjanjian yang dibuat dengan cara-cara tertentu.
Dalam hal pencampuran harta milik suami atau harta milik isteri  dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.   Dengan mengadakan perjanjian secara nyata-nyata, tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya akad dalam suatu perkawinan, baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi  bukan atas usaha mereka sendiri ataupun harta pencaharian.
2.   Dapat pula ditetapkan dengan undng-undang atau peraturan perundang-undangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami atau isteri atau kedua-duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan, yaitu harta pencaharian adalah harta bersama suami isteri tersebut.
3.   Pencampuran harta benda suami isteri dapat pula dilakukan dengan kenyataan kehidupan suami isteri.19
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa menurut Hukum Islam bahwa harta yang diperoleh Suami dan Isteri karena usahanya, adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedang isteri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah, karena mereka terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri, maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syirqah, sebab perkawinan dengan ijab qabul serta memenuhi persyaratan lainnya seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah dan i’lanuh Nikah sudah dianggap syirqah antara suami isteri. Kecuali kalau harta yang diperoleh dengan melalui warisan atau pemberian dari orang tua mereka masing-masing atau tetapi dilakukan suatu perjanjian maka menjadilah harta bersama.
Bilamana isteri dari seorang suami hamil kemudian melahirkan anak sedangkan suami tidak turut serta mengandung anak yang dikandung isterinya itu dan tidak turut serta menderita melahirkannya, tetapi anak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai anak si isteri saja tentulah anak dari suami isteri dan bahkan yang lebih ditonjolkan adalah nama ayahnya (suami) di belakang nama anak. Demikian pula halnya bilamana suaminya yang bekerja dan berusaha mendapatkan harta, tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami saja, tentulah menjadi harta suami isteri bersama. dan apabila putus hubungan perkawinan, baik karena cerai atas gugatan pihak isteri, atau karena thalaq atas permohonan suami, maka harta bersama itu harus dibagi antara suami isteri. Hal ini sejalan dengan  Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Annisa ayat 21  berfirman:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
Terjemahnya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 20
Lihat juga firman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 32, yang berbunyi:
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 ...
Terjemahannya.
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebahagian yang lain, (karena) bagian orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bahagian dari perempuan ada bahagian dari apa yang mereka usahakan (An-Nisa 32)21
Lihat juga firman Allah Swt.
... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Terjemahannya:
…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (Al-Baqarah: 228..22
Pendapat yang kedua ini dipelopori oleh Sayuti Thalib, SH., Ichtianto, SA, SH dan Prof. DR. Hazairin, SH.

2. Proses Pembagian Harta Bersama Suami Isteri

Sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu bahwa dalam kehidupan suami disadari atau tidak bahwa semua harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan adalah merupakan harta bersama, baik yang diperoleh dari usaha masing-masing atau salah seorang dari suami atau istri. Dan apabila disuatu masa hubungan  perkawinan putus, baik karena kematian, thalak atau perceraian atau dengan keputusan pengadilan, maka harta tersebut dapat dibagi
Menurut Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada XIII pasal 96 dan 97 mengenai pembagian harta bersama ini dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 96 (1)        apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
              (2)        Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suami hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.23
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas maka dapatlah dipakai bahwa harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan melalui usaha, Suami isteri baik secara bersama-sama atau salah seorang diantara mereka adalah merupakan harta bersama dan apa disuatu hari perkawinan putus, baik karena kematian, thalak atas permohonan pihak suami atau perceraian  karena atas gugatan pihak isteri, maka harta bersama tersebut  dua dengan ketentuan, bahwa harta bawaan, harta yang diperoleh,  dengan hibah (pemberian) dari pihak masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh melalui warisan harus dipisahkan terlebih dahulu kecuali kalau harta tersebut telah dilakukan perjanjian, maka ia juga ikut terbagi.
III. KESIMPULAN
Dengan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan menurut Hukum Islam tentang harta bersama antara suami isteri.
Adapun pendapat yang mengemukakan tidak ada harta bersama kecuali melalui syirqah (perjanjian) antara suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung di satu pihak sedangkan di pihak lain ada kecendrungan bahwa otomatis ada harta bersama antara suami dan isteri setelah perkawinan berlangsung baik mereka bekerja bersama-sama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja sedangkan yang lainnya mungkin mengurus rumah tangga suami dan anak-anaknya saja.
Apabila dianggap ada harta bersama, maka harta bersama yang merupakan harta pencaharian suami isteri itu dapat dibagi apabila hubungan perkawinan putus. Putus hubungan perkawinan karena kematian, mempunyai kekuatan pasti sejak kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi dalam kenyataannya pembagian itu baru dilaksanakan selesai upacara penguburan, bahkan ada yang menunggu setelah empat puluh atau upacara seratus hari si meninggal. Adapun putusnya perkawinan karena putusan hakim, nanti bisa dibagi setelah mempunyai ketetapan hukum yang pasti.
Catatan Kaki dan Rujukan:
[1]Departemen Agama RI., Terjemah Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta: PT. Bumi Restu, h. 120
2 Ibid, h. 119
3Ibid, h. 664
4Thalaq dalam bahasa Arab diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan cerai, yaitu putusnya hubungan perkawinan antara suami istri.
5Moh. Asnawi, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang R.I. tentang Perkawinan, Semarang, 1975, h. 81 dan 82
6H. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang 1978, cet. II, h. 41.
7Sayuti Thalib, Hukum Keluarga di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1974.h.90
8 H.Ismuha, Op-Cit,h.42
8H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia 1982, h. 82
9Departemen Agama RI, op-cit
10 Departemen Agama RI, op-cit.
11 H.M. Djamil Latif, op-cit, h. 83
12 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pedoman Rumah Tangga¸Medan: Pustaka Maju, 1971, h. 9
13T. Bg. 133, h. 133 bandingkan H. Ismuha, pencaharian bersama suami isteri di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Cet. II, h. 43
14Proyek Pembinaan peradilan Agama Dep.Agama, Himpunan Fatwa pengadilan Agama, Jakarta: 1980 / 1981, h. 63 
15 Departemen Agama, op-cit.
16 Ibid
17K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia-Indonesia, cet. IV 1976, h. 60
18Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Imdonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1974, h. 41
19 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaaan di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 1974, h.92
20 Departemen Agama RI. Op-Cit.
21Ibid.
22Ibid
23H. Abdurrahman, SH, MA, Kompilasi Hukun Islam, Jakarta: Akademika Presindo,1992, h. 136-137

Daftar Pustakaan


Asnawi, Mohd, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI tentang Perkawinan, Semarang: Perwakilan Departemen Agama, 1975.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Bumi      Restu, 1974.
Departemen Agama RI., Himpunan Fatwah Pengadilan Agama, Jakarta: Proyek pembinaan Agama, 1980 / 1981.
Ismuha, H., Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Latif Djamil, H.M., Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghaliah Indonesia, 1982.
Ramulyo, Idris, Mohd., Akibat Yuridis dari Perkawian di Bawah Tangan, Jakarta : Majalah Hukum dan Pembangunan tahun X, 1982.
----------, Himpunan Kuliah Hukum Islam II, Jakarta: Bursa Buku Fakultas Hukum UI, 1981.
Thalib, sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI: 1971.
----------, Kuliah Hukum Islam II pada Fakultas Hukum UI, 1979 / 1980.

q q q

Tidak ada komentar:

Posting Komentar