Muh. Sudirman Sesse
(Dosen
STAIN Parepare)
Abstract
Artikel ini menguraikan masalah Harta Bersama dalam Perkawinan dan
Penyelesaiannya Setelah Terjadinya Perceraia. Berdasarkan hasil pengkajian
dengan mempergunakan metode Induktif, Deduktif, dan metode komparatif, diperoleh
kesimpulan bahwa sampai saat
ini belum ada suatu kesepakatan menurut Hukum Islam tentang harta bersama
antara suami isteri.
Sebahagian ulama mengatakan tidak ada harta
bersama kecuali melalui syirqah (perjanjian) antara suami isteri sebelum
atau pada saat perkawinan berlangsung. Dan sebahagian mengatakan bahwa otomatis
ada harta bersama antara suami dan isteri setelah perkawinan berlangsung baik
mereka bekerja bersama-sama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja
sedangkan yang lainnya mungkin mengurus rumah tangga suami dan anak-anaknya
saja. Apabila dianggap ada harta bersama, maka harta bersama itu dapat dibagi
apabila hubungan perkawinan putus. Putus hubungan perkawinan karena kematian,
mempunyai kekuatan pasti sejak kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu
harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi dalam kenyataannya pembagian itu baru
dilaksanakan selesai upacara penguburan, bahkan ada yang menunggu setelah empat
puluh atau upacara seratus hari si meninggal. Adapun putusnya perkawinan karena
putusan hakim, nanti bisa dibagi setelah mempunyai ketetapan hukum yang pasti.
Keywords: Harta bersama, Perkawinan, dan
Perceraian.
I. PENDAHULUAN
Hubungan
antara suami dan istri adalah inti atau merupakan masalah pokok dalam hubungan
sesama manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial (zoon
politicoon) manusia karena secara humini kata Aristoteles.
Jadi
hubungan manusia itu baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat,
bangsa dan negara, selalu saling membutuhkan. Suami istri yang merupakan
keluarga adalah dasar permulaan daripada hubungan antar kelompok yang membentuk
masyarakat. Jadi keluarga merupakan unsur yang penting dalam pembentukan suatu
masyarakat Bangsa dan Negara, tanpa suami dan isteri tidak ada keluarga, tidak
ada masyarakat dan seterusnya dan tidak ada negara.
Berbicara tentang hubungan suami isteri
menurut hukum Islam haruslah dilandasi dengan unsur makruf, sakinah, mawaddah
dan rahmah. Makruf artinya pergaulan antara suami istri itu harus saling hormat
menghormati, saling mejaga rahasia masing-masing, terutama sang suami harus
berusaha sebagai Top Figur, sebagai Nakhoda, ibarat Kapten yang memimpin pelayanan
sebuah kapal mengarungi samudra yang luas dan penuh dengan godaan tiupan badai,
topan dan alunan gelombang yang kadang-kadang maha dahsyat, dia harus dapat
menenangkan jiwa baik penumpang maupun crew, walaupun kapal diamuk tiupan angin
dan gelombang yang menggunung besarnya.
Suami sebagai kepala keluarga berusaha
menjaga pergaulan yang harmonis baik antara suami dan isteri maupun hubungan
dengan anak-anak serta pendidikannya. Sakinah dimaksudkan disini penjabaran
lebih lanjut dari ma’ruf yang telah dikemukakan di atas, yaitu agar suasana
kehidupan dalam rumah tangga suami isteri itu terdapat keadaan yang aman dan
tenteram “gema ripah loh jinawi”, tidak terjadi silih sengketa dan
perselisihan pendapat yang sangat prinsipil.
Perpaduan antara makruf dan sakinah adalah
merupakan prasyarat bahwa antara suami isteri dalam rumah tangga akan tetap
saling cinta mencintai, sayang menyayangi, seia sekata, ke lurah sama menurut,
ke gunung sama mendaki, serendam sama basah, terapung sama hanyut, itulah yang
disebut mawaddatan warahmah yang harus selalu dipupuk. Tidak saja selagi muda
(pengantin baru) tetapi sampai hubungan suami isteri itu menjadi kakek nenek.
Sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam Q.S. Annisa ayat 21; “bahwa
perkawinan itu adalah suatu perjanjian suci dan kuat”.1 Q.S.An-Nisa ayat 19; “Dan pergaulilah
isteri kamu itu secara (baik-baik) atau makruf kemudian apabila kamu tidak
menyukai sesuatu, tetapi Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak”2, serta firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum ayat
21; “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diciptakannya untukmu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
(sakinah) kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu wamaddah dan rahmah atau
rasa saling cinta-mencintai dan menyantuni.”3
Demikianlah seharusnya hubungan antara
suami isteri dalam rumah tangga Islam, namun kenyataanya kadang-kadang pasangan
suami isteri itu karena kesibukan mereka sehari-hari, lupa menerapkan
petunjuk-petunjuk Allah Swt. tersebut dan tergelincir ke lembah pertengkaran
yang hebat diantara mereka, dan terjadilah apa yang sebenarnya tidak
dikehendaki serta paling dibenci oleh Allah Swt yaitu putusnya hubungan
perkawinan antara suami isteri tersebut, atau yang lazimnya dikatakan dengan
thalaq atau cerai.4
Sedangkan dalam peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975 pasal 28 dan pasal 30 dibedakan istilah Thalaq dan cerai.
Thalaq adalah pemutusan hubungan perkawinan atas permohonan suami, sedangkan
cerai gugat adalah pemutusan hubungan suami isteri atas permohonan yang
datangnya dari pihak isteri.5
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan
suatu pokok masalah sebagai berikut: “Bagaimana kedudukan Harta Bersama
Suami Istri setelah terjadinya Perceraian”
Bertitik tolak dari
permasalahan di atas, dan untuk lebih terarahnya pembahasan nanti, maka penulis
mengemukakan dua sub masalah sebagai berikut; 1) Bagaimana pandangan Islam
tentang Harta Bersama dalam perkawinan?, dan 2) Bagaimana proses penyelesaiannya setelah terjadinya
perceraian?
Dan untuk memudahkan kita dalam memahami
pembahasan makalah ini, maka penulis mempergunakan metode penulisan sebagai
berikut:
1. Metode Induktif, yaitu
suatu metode yang dipergunakan dalam menganalisa data yang bersifat khusus
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
2. Metode Deduktif, yaitu
digunakan untuk mengelolah data atau peristiwa yang bersifat umum kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
3. Metode komparatif,
yaitu suatu metode membandingkan data atau peristiwa yang sudah ada kemudian
diambil data yang lebih akurat yang lebih berkaitan dengan pembahasan.
II. PEMBAHASAN
1. Harta Bersama Dalam Islam
Dalam membicarakan Harta
bersama menurut Islam, penulis terlebih dahulu mengemukakan macam-macam harta
yang kita kenal di Indonesia antara lain:
1. Harta yang diperoleh
sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, di Bali
disebut Guna Karya, di Sumatra disebut harta pembujang, harta yang
seperti ini tetap hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak.
2. Harta yang
pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu, mungkin berupa
modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat tinggal mereka
suami istri. Apabila terjadi perceraian, maka harta ini kembali kepada orangtua
(keluarga) yang memberikan semula.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau
keluarga terdekat., dan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta disebut harta gawan,
di Jakarta disebut barang usaha, di Bandung disebut Barang sulu, di Jawa Barat
dikatakan barang Benda atau datang asal (Barang pusaka) di Aceh terkenal dengan
istilah Hareuta Tuka (Hareuta Asal atau pusaka) dan di Nganju Dayak disebut
dengan Pinbut. Sedangkan di Minangkabau dikenal denga harta pusaka
tinggi.6
4. Harta
yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas
usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka disebut harta
pencaharian.7Harta ini menjadi harta
bersama menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat (1) yang
menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta
bersama. Harta jenis ke 4 ini di Aceh disebut Harenta Sihareukat,
sedangkan di Bali disebut Druwegabro, di Jawa dikenal dengan harta
gono-gini atau barang guna, di Kalimantan disebut barang papantangan, di
Minangkabau diistilahkan dengan Harta Suarang Nan Babagi, di Madura disebut Ghana-ghana,
di Jawa Barat dikatakan Gana Kaya. Disamping itu ada istilah lain dengan
pengertian agak berbeda yaitu dalam perkawinan Manggih Kaya dan Nyalindung
Kagilung. Di daerah Bugis (Makassar)
dikenal dengan sebutan Makruf dengan barang-barang cakara.7
Tentang harta jenis pertama, kedua dan
ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah jelas statusnya yaitu dikuasai
masing-masing pihak (jenis pertama). Kembali kepada asal dari mana datangnya
semula (jenis kedua) dan tetap dikuasai orang tua atau penguasa adat yang
bersangkutan (jenis ketiga).
Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah
harta jenis keempat, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka di bawah ini penulis
mengemukakan dua versi jawaban yang berkaitan dengan Harta Bersama nenurut
Hukum Islam, yaitu:
Pertama: Tidak dikenal harta bersama dalam Islam kecuali
dengan syirkah. Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat (BW) dalam Hukum
Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami istri karena
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai
sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap
menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. Oleh karena itu
pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami
dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda, sehingga ia dapat
melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.8 Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat
dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 32, Allah Swt. berfirman:
wur (#öq¨YyJtGs?
$tB
@Òsù
ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã
<Ù÷èt/
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR $£JÏiB
(#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE
tû÷ù|¡tGø.$#
4 …
Terjemahannya.
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebahagian
yang lain, (karena) bagian orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bahagian dari perempuan ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan (An-Nisa 32).9
Lihat juga firman Allah Swt.
... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB
Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur
îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Terjemahannya:
…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
(Al-Baqarah: 228).10
Dengan demikian menurut hukum Islam bahwa
suami istri berwenang atas harta kekuasaannya masing-masing. Suami tidak berhak
atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap hartanya tetap dan tidak
berkurang disebabkan perkawinan.
Karena itu suami tidak boleh mempergunakan
harta isteri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izin sang isteri,
bahkan harta kepunyaan isteri yang dibelanjakan untuk kepentingan rumah tangga
menjadi utang suami dan suami wajib membayar kepada isterinya, kecuali isteri
mau merelakannya.11
Namun demikian menurut Hukum Islam dengan
perkawinan menjadilah sang isteri “Syarikatur rajuli filhayati”. Kongsi
sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami isteri
dapat terjadi Syarikah Abdan (perkongsian tidak terbatas).12
Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena
Syirqah seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama
suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama karena itu apabila kelak
perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau thalaq, maka harta
syirqah tersebut dibagi antara suami isteri menurut pertimbangan sejauh mana
usaha mereka suami/isteri turut berusaha dalam syirqah. Dalam yurisprudensi di
Indonesia dapat dilihat keadaan ini pada keputusan Landraad Serang, 29 Agustus
1929 yang didasarkan kepada pendapat Raad Van Justitie Jakarta tanggal 28
Desember 1928, menetapkan bahwa tidak ada milik bersama antara suami isteri
meskipun barang yang diperoleh karena pekerjaan dan kerajinan bersama kecuali
jika hal itu dengan jelas disetujui pada perkawinan.13
Lihat juga ketetapan Fatwa Syirqah tentang
harta bersama antara suami isteri yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Timur, tanggal 7 Februari 1978 No. 21/C/1978 dalam perkembangan hukumnya
mengemukakan:
“ Apabila telah terjadi syirkah (harta
bersama) pada suatu masa tertentu, setelah berpindah dan tidak dapat
diperbolehkan dari masing-masing harta syirkah itu, maka harta tersebut dibagi
dua.”14
Dari beberapa argumen yang telah
dikemukakan di atas yang mengatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami
dan isteri menurut hukum Islam kecuali adanya syirkah, menurut penulis, mungkin
didasarkan atas beberapa ayat Al-Qur’an antara lain Q.S. An-Nisa’: 34 yang
berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/ @Òsù
ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& …
Terjemahnya :
“ Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.”15
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym
OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? .... …
Terjemahnya :
“Tempatkanlah mereka (para
Isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu
menyusahkan mereka. (At-Talak.6)”16
Karena Isteri mendapat perlindungan dari
Suami, baik tentang nafkah lahir, sandang pangan, nafkah batin dan moral,
materil maupun papan rumah tempat tinggal, demikian juga biaya kesehatan
pemeliharaan serta pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab penuh suami
sebagai kepala keluarga. Sebagaimana yang terkandung pada dua ayat tersebut di
atas, berarti sang Isteri dianggap passif menerima apa yang datang dari suami,
maka menurut tafsiran ini tidak ada harta bersama antara suami, dan apa yang
diterima isteri di luar pembiayaan rumah tangga dan pendidikan anak-anak,
misalnya hadiah perhiasan, anting, gelang, cincin dan semacamnya, itulah yang
menjadi hak isteri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh suami, dan apa yang
diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik suami, kecuali
bila ada syirqah (perjanjian bahwa harta mereka itu bersatu).
Kedua: Hukum Islam mengakui adanya harta bersama antara suami isteri dalam
perkawinan, pendapat yang kedua ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 35, 36 dan 37 yang lengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama Suami atau Isteri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 37 (1) Bilamana perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama di atas menurut hukumnya masing-masing.17
Jelaslah bahwa harta bersama yang penulis
kemukakan pada bagian kedua Makalah ini yang perumusannya berbunyi: “Harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena usahanya menjadi
harta bersama.”18
Adapun harta suami istri yang diperoleh
sebelum terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh setelah terjadinya
perkawinan yang bukan karena usaha
sendidi-sendiri, tetapi diperoleh karena warisan atau suatu pemberian yang diperuntukkan khusus bagi kedua belah
pihak yang menerimanya dapat juga dicampurkan menjadi milik bersama dengan
suatu perjanjian yang dibuat dengan cara-cara tertentu.
Dalam hal pencampuran harta milik suami
atau harta milik isteri dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Dengan mengadakan
perjanjian secara nyata-nyata, tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah
berlangsungnya akad dalam suatu perkawinan, baik untuk harta bawaan
masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri ataupun harta
pencaharian.
2. Dapat pula ditetapkan
dengan undng-undang atau peraturan perundang-undangan, bahwa harta yang
diperoleh atas usaha salah seorang suami atau isteri atau kedua-duanya dalam
masa adanya hubungan perkawinan, yaitu harta pencaharian adalah harta bersama
suami isteri tersebut.
3. Pencampuran harta
benda suami isteri dapat pula dilakukan dengan kenyataan kehidupan suami isteri.19
Bertitik tolak dari uraian tersebut di
atas, maka penulis berkesimpulan bahwa menurut Hukum Islam bahwa harta yang
diperoleh Suami dan Isteri karena usahanya, adalah harta bersama, baik mereka
bekerja bersama-sama ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedang isteri
hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah, karena mereka
terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri, maka semuanya menjadi
bersatu, baik harta maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syirqah,
sebab perkawinan dengan ijab qabul serta memenuhi persyaratan lainnya seperti
adanya wali, saksi, mahar, walimah dan i’lanuh Nikah sudah dianggap
syirqah antara suami isteri. Kecuali kalau harta yang diperoleh dengan melalui
warisan atau pemberian dari orang tua mereka masing-masing atau tetapi
dilakukan suatu perjanjian maka menjadilah harta bersama.
Bilamana isteri dari seorang suami hamil
kemudian melahirkan anak sedangkan suami tidak turut serta mengandung anak yang
dikandung isterinya itu dan tidak turut serta menderita melahirkannya, tetapi
anak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai anak si isteri saja tentulah anak
dari suami isteri dan bahkan yang lebih ditonjolkan adalah nama ayahnya (suami)
di belakang nama anak. Demikian pula halnya bilamana suaminya yang bekerja dan
berusaha mendapatkan harta, tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta
suami saja, tentulah menjadi harta suami isteri bersama. dan apabila putus
hubungan perkawinan, baik karena cerai atas gugatan pihak isteri, atau karena
thalaq atas permohonan suami, maka harta bersama itu harus dibagi antara suami
isteri. Hal ini sejalan dengan Firman
Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Annisa ayat 21
berfirman:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur
4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î)
<Ù÷èt/
cõyzr&ur Nà6ZÏB
$¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
Terjemahnya:
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 20
Lihat juga firman dalam Al-Qur’an Surah
An-Nisa ayat 32, yang berbunyi:
wur (#öq¨YyJtGs?
$tB
@Òsù
ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã
<Ù÷èt/
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR $£JÏiB
(#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE
tû÷ù|¡tGø.$#
4 ...
Terjemahannya.
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebahagian
yang lain, (karena) bagian orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bahagian dari perempuan ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan (An-Nisa 32)21
Lihat juga firman Allah Swt.
... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB
Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur
îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Terjemahannya:
…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
(Al-Baqarah: 228..22
Pendapat yang kedua ini dipelopori oleh
Sayuti Thalib, SH., Ichtianto, SA, SH dan Prof. DR. Hazairin, SH.
2. Proses Pembagian Harta Bersama Suami Isteri
Sebagaimana yang telah diuraikan pada
pembahasan terdahulu bahwa dalam kehidupan suami disadari atau tidak bahwa
semua harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan adalah merupakan
harta bersama, baik yang diperoleh dari usaha masing-masing atau salah seorang
dari suami atau istri. Dan apabila disuatu masa hubungan perkawinan putus, baik karena kematian,
thalak atau perceraian atau dengan keputusan pengadilan, maka harta tersebut
dapat dibagi
Menurut Kompilasi Hukum Islam yang terdapat
pada XIII pasal 96 dan 97 mengenai pembagian harta bersama ini dijelaskan
sebagai berikut:
Pasal 96 (1) apabila terjadi cerai mati, maka separuh
harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang
isteri atau suami hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 Janda atau Duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.23
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas
maka dapatlah dipakai bahwa harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
melalui usaha, Suami isteri baik secara bersama-sama atau salah seorang
diantara mereka adalah merupakan harta bersama dan apa disuatu hari perkawinan putus,
baik karena kematian, thalak atas permohonan pihak suami atau perceraian karena atas gugatan pihak isteri, maka harta
bersama tersebut dua dengan ketentuan,
bahwa harta bawaan, harta yang diperoleh, dengan hibah (pemberian) dari pihak
masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh melalui warisan harus
dipisahkan terlebih dahulu kecuali kalau harta tersebut telah dilakukan
perjanjian, maka ia juga ikut terbagi.
III. KESIMPULAN
Dengan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada suatu
kesepakatan menurut Hukum Islam tentang harta bersama antara suami isteri.
Adapun pendapat yang mengemukakan tidak ada
harta bersama kecuali melalui syirqah (perjanjian) antara suami isteri sebelum
atau pada saat perkawinan berlangsung di satu pihak sedangkan di pihak lain ada
kecendrungan bahwa otomatis ada harta bersama antara suami dan isteri setelah
perkawinan berlangsung baik mereka bekerja bersama-sama maupun salah seorang
saja dari mereka yang bekerja sedangkan yang lainnya mungkin mengurus rumah
tangga suami dan anak-anaknya saja.
Apabila dianggap ada harta bersama, maka
harta bersama yang merupakan harta pencaharian suami isteri itu dapat dibagi
apabila hubungan perkawinan putus. Putus hubungan perkawinan karena kematian,
mempunyai kekuatan pasti sejak kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu
harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi dalam kenyataannya pembagian itu baru
dilaksanakan selesai upacara penguburan, bahkan ada yang menunggu setelah empat
puluh atau upacara seratus hari si meninggal. Adapun putusnya perkawinan karena
putusan hakim, nanti bisa dibagi setelah mempunyai ketetapan hukum yang pasti.
Catatan Kaki dan Rujukan:
[1]Departemen Agama RI., Terjemah Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta: PT. Bumi Restu,
h. 120
2
Ibid, h. 119
3Ibid,
h. 664
4Thalaq dalam bahasa Arab diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
dengan cerai, yaitu putusnya hubungan perkawinan antara suami istri.
5Moh. Asnawi, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang
R.I. tentang Perkawinan, Semarang, 1975, h. 81 dan 82
6H. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang
1978, cet. II, h. 41.
7Sayuti Thalib, Hukum Keluarga di Indonesia, Jakarta:
Universitas Indonesia,
1974.h.90
8
H.Ismuha, Op-Cit,h.42
8H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia 1982, h. 82
9Departemen
Agama RI, op-cit
10
Departemen Agama RI, op-cit.
11
H.M. Djamil Latif, op-cit, h. 83
12 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pedoman Rumah Tangga¸Medan: Pustaka
Maju, 1971, h. 9
13T. Bg. 133, h. 133 bandingkan H. Ismuha, pencaharian bersama suami
isteri di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,
1978. Cet. II, h. 43
14Proyek Pembinaan peradilan Agama Dep.Agama, Himpunan Fatwa
pengadilan Agama, Jakarta:
1980 / 1981, h. 63
15
Departemen Agama, op-cit.
16 Ibid
17K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:
Ghalia-Indonesia, cet. IV 1976, h. 60
18Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Imdonesia, Jakarta:
Universitas Indonesia,
1974, h. 41
19
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaaan di Indonesia, Jakarta
: Universitas Indonesia,
1974, h.92
20
Departemen Agama RI. Op-Cit.
21Ibid.
22Ibid
23H. Abdurrahman, SH, MA, Kompilasi Hukun Islam, Jakarta: Akademika
Presindo,1992, h. 136-137
Daftar Pustakaan
Asnawi, Mohd, Himpunan
Peraturan dan Undang-Undang RI
tentang Perkawinan, Semarang:
Perwakilan Departemen Agama, 1975.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta:
PT. Bumi Restu, 1974.
Departemen Agama RI., Himpunan
Fatwah Pengadilan Agama, Jakarta:
Proyek pembinaan Agama, 1980 / 1981.
Ismuha, H., Pencaharian
Bersama Suami Isteri di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Latif Djamil, H.M., Aneka
Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta:
Ghaliah Indonesia,
1982.
Ramulyo, Idris, Mohd., Akibat
Yuridis dari Perkawian di Bawah Tangan, Jakarta : Majalah Hukum dan Pembangunan tahun
X, 1982.
----------, Himpunan
Kuliah Hukum Islam II, Jakarta: Bursa Buku Fakultas Hukum
UI, 1981.
Thalib, sayuti, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, Jakarta,
UI: 1971.
----------, Kuliah Hukum
Islam II pada Fakultas Hukum UI, 1979 / 1980.
q q q
Tidak ada komentar:
Posting Komentar