KONSEP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM
Andi Herawati
UIN Alauddin DPK pada Fak. Agama Islam
Universitas Islam Makassar
Abstract: Qur'an as
scripture has laid the principles and ethical
values in society and state. The principles practiced by
the Prophet in his capacity
as head of state, so he was able to
create a system of government
that is peaceful, prosperous and democratic. Government that upholds justice, equality,
and protection of human rights
Kata Kunci: Islam, the system of
government, peaceful, prosperous,
democratic
I.
PENDAHULUAN
Di dalam Alquran terdapat sejumlah
ayat yang mengandung petunjuk dan pedo-man bagi manusia dalam hidup ber-masyarakat
dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan
manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
kehidupan kemasyarakatan.
Alquran merupakan sumber ajaran
Islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya meng-atur
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dan dengan alam ling-kungannya. Alquran juga memerintahkan agar umat
Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti
kehendak dan ajakan setan.1 Di antara
ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau
ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah di atas,
maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan negara.
Negara yang dikehendaki umat Islam
adalah negara yang bersistem ketata-negaraan berdasarkan syariat Islam, dan
tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Dengan
demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa al-Rasyidin.2
Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin dapat disebut sebagai sistem
ketatanegaraan yang ideal dalam Islam.
Oleh sebab itu, maka tulisan ini
akan mengungkapkan bagaimana konsep ketata-negaraan dalam Islam? Dalam menjawab
permasalah pokok tersebut, penulis akan lebih banyak mengungkapkan apa yang
telah Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin telah contohkan.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
tatanegara
Tata negara adalah suatu kekuasaan
sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas
negara dan pemerintahan, atau sebaliknya.3
Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di
kalangan para pakar.
AV. Decey, sebagaimana yang
dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah segala
peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang
pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu negara.4
Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan
bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan serta tata cara yang berlaku
dalam suatu kelompok keluarga, organisasi ke-wilayahan dan kedaerahan yang
memiliki kekuasaan, kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang
ber-daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan
kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita
bersama.5
Dari beberapa pengertian yang
dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tata negara
adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk pemerintahan
suatu negara.
B.
Sifat dan Bentuk Pemerintahan
Belum ada suatu definisi yang di-sepakati
tentang negara. Namun, secara umum mungkin dapat dijadikan sekedar pegangan sebagaimana
lazim dikenal dalam hukum internasional bahwa suatu negara biasanya memiliki
tiga unsur pokok yaitu; 1) rakyat atau sejumlah orang, 2) wilayah tertentu, dan
3) pemerintahan yang ber-wibawa dan berdaulat.6
Kita cenderung memahami suatu
negara sebagai suatu kehidupan kelompok manusia yang didirikan atas dasar sebagai
makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat7, karena tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain, padahal
negara itu juga didirikan atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah
(pengatur dan pengelola) di bumi8 yang
mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam
menjalani hidup ini harus selalu sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam
rangka mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian,
secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia harus selalu memperhatikan dan
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar yang mengandung makna perintah
untuk senan-tiasa melakukan kebaikan dan mencegah kerusakan, sebagaimana yang
diajarkan dalam Islam.
Adapun bentuknya tidak ditentukan
dalam Alquran dan Sunah Rasul. Apakah kerajaan atau republik? Karena esensinya
tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi ada pada prinsip-prinsip umum yang
sudah digariskan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Namun ada suatu isyarat yang
diberikan Alquran agar umat Islam membentuk negara kesatuan.9 Meskipun demikian, manusia diberi
kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara
yang paling baik bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu
kerajaan, namun secara faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan
secara konsekuen. Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun
mengabaikan prinsip-prinsip umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu
tipe negara ideal menurut Alquran dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan
jiwa syari’ah.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin umat Islam memilih dan
menggunakan sistem khalifah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling
cocok bagi mereka saat itu.10
Sistem khalifah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’
(konsensus) para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan
suatu konsep yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan
tempat. Pada masa kontemporer dimung-kinkan untuk diganti dengan sistem yang
lain yang memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya
bentuk republik.
Ibnu Taimiyah, salah seorang
pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang penganjur ijtihad dalam rangka
kembali kepada Alquran dan sunah, dalam teori kenegaraannya lebih mefokuskan
pada peran syari’ah dalam negara. Beliau memahami apapun bentuk pemerintahan
dalam Islam ia semata-mata alat syari’ah.12
Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam
ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.
Begitu pula cara menentukan
pemimpin umat atau kepala negara tidak terdapat petunjuk dalam Alquran maupun
hadis nabi, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari
penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui
musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus
diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui
musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
Abu Bakar menjadi khalifah yang
pertama melalui pemilihan dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh
yang mewakili semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin
Khattab diangkat sebagai khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar setelah
mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior dan tidak melalui
pemilihan terbuka. Usman bin Affan dingkat melalui pemilihan dalam satu
pertemuan terbuka oleh dewan formatur yang ditunjuk oleh Khalifah Usman
berdasarkan pertimbangan kualitas pribadi masing-masing. Ali bin Abi Thalib
diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau
sehingga keabsahan pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu
senantiasa melestarikan tradisi musyawarah dalam mengelola urusan negara dan
menyelesai-kan masalah-masalah kemasyarakatan.
Sebagaimana yang telah dikemuka-kan
di atas bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah
Allah di bumi ini. Makna khalifah dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai
pengemban amanah Allah. Dalam hal ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas
kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya menurut
ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.
Apabila manusia berkuasa di muka
bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya sebagai suatu pendelegasian kewenangan
dari Allah swt., karena Allah swt. adalah sumber dari segala kekuasaan. Alquran
menegaskan bahwa Allah swt. sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan
kepada siapa saja yang Dia kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut
kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki.14
Dengan demikian, ke-kuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari
Allah swt Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu manusia dalam menunaikan amanah itu
hendaklah berpegang pada prinsip-prinsip umum hukum Allah sebagai berikut:
1.
Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah
Perkataan amanah tercantum dalam Alquran
surah al-Nisa’ (4): 58 yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّواالأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَاحَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًابَصِيْرًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.15
Dari ayat di atas dapat dipahami
bahwa 1) manusia diwajibkan menyampai-kan amanah kepada yang berhak me-nerimanya
dan 2) manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang secara leksi-kal
berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata tersebut dijadikan kata sifat, maka
ia mengandung pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada
orang lain dengan rasa aman”.16
Dengan demikian jika perkataan amanah dibawa dalam konteks kekuasaan negara,
maka perkataan tersebut dapat dipaham sebagai suatu pen-delegasian atau
pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai mandate
yang bersumber atau berasal dari Allah swt.
2.
Prinsip Musyawarah
Dalam Alquran ada dua ayat yang
menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. Ayat
pertama terdapat dalam surah al-Syura (42): 38 ...
وامرهم شوري بينهم ... (…sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musya-warah…)17, sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali
Imran (3): 159 ...
وشاورهم في الامر... (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…)18.
Ayat pertama menggambarkan bahwa
dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi
selalu mengambil keputusan setelah me-lakukan mesyawarah dengan para sahabat-nya.
Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah, atau lebih tegasnya umat
Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan. Kewajiban
ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam
melaksanakan kekuasaannya.
Musyawarah dapat diartikan sebagai
suatu forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran
yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu peng-ambilan
keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu
prinsip konstitusional dalam Islam19
yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk men-cegah
lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat.20 Dengan demikian musyawarah berfungsi
sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau
kepala negara.
3.
Prinsip Keadilan
Perkataan keadilan sama hal dengan
musyawarah yang bersumber dari Alquran. Cukup banyak ayat-ayat Alquran yang
menggambarkan tentang keadilan, di antaranya terdapat dalam surah al-Nisa’
(4): 135
يَا أَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا
كُوْنُوا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرِبِيْنِ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا
فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوْا الهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ
تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahnya:
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.21
Dari ayat tersebut di atas
sekurang-kurangnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Orang-orang yang beriman wajib me-negakkan
keadilan.
b.
Setiap mukmin apabila ia menjadi saksi ia
diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil..
c.
Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.
d.
Manusia dilarang menyelewengkan ke-benaran.
Keadilan merupakan salah satu
prinsip yang sangat penting dalam Alquran. Oleh karena Allah sendiri memiliki
sifat Maha Adil. Keadilan-Nya penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman
dan rahim). Dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah
merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang di dalam Alquran
disebut al-haq. Oleh karena itu, Al-Syaukani, sebagaimana yang dikutip
Abd. Muin Salim, menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara
berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Alquran dan sunah, bukan menetapakn hukum
dengan pikiran.22
Apabila prinsip keadilan dibawa ke
fungsi kekuasaan negara, maka ada tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara
negara atau suatu pemerin-tahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu: 1) Kewajiban
menerapkan kekuasaan negara yang adil, jujur, dan bijaksana; 2) Kewajiban menerapkan
kekuasaan kehakiman yang seadil-adilnya; dan 3) Kewajiban penyelenggara negara
untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di
bawah keridhaan Allah.
4.
Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan dalam Islam
dapat dipahami antara lain dari alquran
surah al-Hujurat (49): 13
يَاأَيًّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
Terjemahnya:
Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.23
Ayat itu melukiskan bagaimana
proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan
wanita. Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa, kemudian dilanjutkan oleh
pasangan-pasangan lainnya melalui suatu pernikahan atau keluarga. Jadi semua
manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang merupkan suatu kriterium
bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki kedudukan yang sama.
Inilah yang disebut prinsip persamaan.
5.
Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap
Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam Islam hak-hak asasi manusia
bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Dalam hal ini ada dua
prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan
prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Prinsip-prinsip itu secara
tegas digariskan dalam alquran antara
lain dalam surah al-Isra’ (17): 70
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطِّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيْلاً
Terjemahnya:
Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.24
Ayat tersebut di atas dengan jelas
mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks Alquran disebut karamah
(kemuliaan). Hal itu mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: 1)
persamaan manusia; 2) martabat manusia; dan 3) kebebasan manusia.
6.
Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip ini berkaitan dengan
prinsip keadilan dan persamaan. Dalam Islam seorang hakim memiliki kewenangan
yang bebas dalam mengambil keputusan. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan
dan persamaan terhadap siapapun berdasarkan ayat dalam surah al-Nisa’ (4):
58
...
وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِ ...
Terjemahnya:
…
dan
(menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil 25
Dengan demikian putusan hakim
harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Prinsip peradilan
bebas dalam Islam bukan hanya sekedar cirri bagi suatu negara hukum, akan
tetapi juga ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap
hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan
persamaan hukum.
7.
Prinsip Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian.
Olehnya itu alquran sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian sebagaimana
yang termaktub dalam surah al-Baqarah (2): 208
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا
ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كَافَّةً
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, masuk-lah kamu ke dalam Islam keseluruhan 26
Pada dasarnya sikap bermusuhan
atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam alquran. Perang
hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri.
8.
Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan dalam Islam
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh
anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara
negara dan masyarakat. alquran telah
menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota
masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial
dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah : zakat,
sadaqah, hibah, dan wakaf. Mungkin juga dari pendapatan negara seperti pajak,
bea, dan lain-lain.
9.
Prinsip Ketaatan Rakyat
Prinsip ketaatan rakyat telah
ditegaskan alquran dalam surah al-Nisa’
(4): 59
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا
أَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَومِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah ( alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.27
Dari ayat di atas dapat dipahami
bahwa “menaati Allah” itu berarti tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah, “menaati
Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw.,
dan “menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas
kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya, selama
ketetapan-ketetapan itu tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
alquran sebagai kitab suci umat Islam
mengandung seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. alquran
mengajarkan antara lain prinsip-prinsip kekuasaan sebagai amanah, permu-syawaratan
dalam mencari pemecahan masalah-masalah bersama, keadilan, persamaan,
pengakuan, dan perlin-dungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas,
perdamaian, kesejah-teraan, dan ketaatan rakyat.
2.
alquran maupun hadis Nabi tidak meng-ajarkan sistem
pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi saw. wafat tanpa
meberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa
pemimpin atau kepala negara, tentang bagaimana mengatur hubungan kekuasaan
antara kepala negara dan rakyat, tentang batas kekuasaan dan masa jabatan
kepala negara, dan tentang dapat atau tidaknya dibebaskan dari jabatannya.
3.
Nabi Muhammad saw. sebagai Kepala Negara
Madinah telah menerapkan prinsip-prinsip itu (poin 1) dengan baik dan sukses,
karena: 1) Beliau adalah tokoh panutan atau uswatun hasanah yang tidak
hanya sekedar berbicara tentang ajaran Islam, tetapi ajaran itu beliau wujudkan
secara konkret dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; 2) karakter Nabi
saw. sebagai kepala negara selalu mencerminkan sikap dan watak sebagai pemimpin
yang berjiwa demokrat dan berwibawa sesuai dengan akhlak Islam; dan 3)
kesadaran rakyat sangat tinggi terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
4.
Sistem Khilafah (suatu pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai kepala negara) yang pernah diterapkan
pada masa Khulafa al-Rasyidin adalah suatu sistem bernegara yang ideal yang
pernah dalam hukum dan sejarah Islam. Artinya, baik secara teoritis maupun
secara empiris sistem itu pernah ada dalam Islam. Oleh karena itu, asumsi yang
menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada sistem negara dan pemerintahan adalah
tidak benar.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata
Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan
Politik Dalam Al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante. Cet. I; Jakarta:
LP3ES, 1985.
al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1988.
Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata Negara.
Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Raya, 1991.
Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam
Pemerintahan Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum:
Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:
ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu
Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional
Indonesia, Jilid 16. Cet. I; Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991.
Catatan Akhir:
[1]Lihat QS. al-Baqarah (2): 208; Depar-temen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1988), h. 50
2Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993), h.
1
3Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional
Indonesia, Jilid 16 (Cet. I; Jakarta:
Cipta Adi Pustaka, 1991), h. 133
4Lihat A. Mustari Pide, Pengantar Hukum
Tata Negarai (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 3
5Lihat Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata
Negara (Cet. I; Jakarta:
Dunia Pustaka Raya, 1991), h. 11
6Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa Kini (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 12
7Lihat Abd. Muin Salim, Konsepsi
Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995), h. 84-85
8Lihat QS. al-Baqarah (2): 30
9Perhatikan firman Allah yang berbunyi: كان الناس أمة واجدة
فبعث الله النبيين QS. al-Baqarah (2): 213; dan وماكان
الناس إلاأمة واجدة فأجتلفوا QS. Yunus (10): 19
10Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu
Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 33
11Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dan
Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985), h.
33; dan Muhammad Tahir Azhary, op. cit., h. 9
12Lihat Munawir Sjadzali, op. cit., h. 28
13Lihat QS. Ali Imran (3): 26
14Departemen Agama RI, op. cit., h. 128
15Lihat Abd. Muin Salim, op. cit., h. 198
16Departemen Agama RI, op. cit., h.
789
17Ibid., h. 103
18Lihat Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik
dalam Pemerintahan Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 114
19Lihat al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1984), h. 73
20Departemen Agama RI,
op cit., h. 144-145.
21Lihat Abd. Muin Salim, op. cit., h. 214
22Departemen Agama RI, op. cit., h. 847
23Ibid., h. 435
24Ibid., h. 128
25Ibid., h. 50
26Ibid., h. 128
Ini ada pdfnya ?
BalasHapusIni ga ada no jurnal sama volemenya? Pdfnya juga ?
BalasHapusterima kasih
BalasHapus